Sadewa memutar balik kendaraan karena tiba-tiba merasa gelisah. Dia terus saja memikirkan sang istri yang dia tinggal bersama anak-anaknya di rumah, membatalkan pertemuan dengan kolega yang menghubunginya dan meminta dia untuk bertemu saat itu juga, padahal jarum jam sudah menunjuk ke angka sebelas malam.
Perasaan resah yang terus saja menyelimuti hati membuat dia memutuskan untuk kembali. Tidak masalah jika harus kehilangan investor, asalkan tidak terjadi sesuatu kepada Sania, wanita yang baru dia nikahi beberapa jam yang lalu.
Dengan mengayunkan langkah cepat Sadewa menaiki anak tangga menuju kamarnya, dan debaran di hatinya kian bertambah saat mendengar suara aneh di dalam kamar.
"Apa yang sedang kamu lakukan, Anak S*alan!" Tanpa basa-basi Sadewa menarik tubuh putranya dari tubuh Sania, menyeretnya keluar lalu menghadiahi pukulan tanpa ampun.
"Siapa yang mengajarkan kamu untuk berbuat asusila, Kevin?! Sania itu istri ayah kamu, wanita yang wajib kamu hormati!" sentak Sadewa dengan amarah kian membuncah. Berkali-kali didaratkannya tinju di wajah Kevin, tidak perduli dengan erangan serta ringisan pria yang sudah dia didik dengan penuh kasih sayang sejak bayi.
"Ada apa, Ayah?" Clarissa berlari tergopoh menghampiri suara gaduh di depan kamar sang ayah.
"Hubungi polisi, laporkan tindak pelecehan yang adik kamu lakukan kepada Sania sekarang juga!"
"Aku belum sampai melakukannya, Yah. Jangan penjarakan aku!" Kevin meraih kaki Sadewa, memohon ampun juga belas kasih darinya.
"Apa nunggu kamu melakukannya dulu baru Ayah harus marah?! kamu sudah melecehkan dia. Ayah tetap harus menghukum kamu!!"
"Tidak, Ayah. Apa Ayah tidak kasihan kepada Lisa. Dia sedang hamil. Siapa yang akan mengurusnya jika aku sampai dipenjara."
"David, bawa dia ke kantor polisi. Jangan sampai lepas!!" perintahnya lagi kepada David, suami Clarissa dan segera dijawab anggukan patuh oleh si menantu.
Dengan wajah Gusar pria dengan garis wajah tegas itu masuk ke dalam kamar, menghampiri sang istri yang sedang duduk sambil memeluk lutut di atas kasur.
Gurat ketakutan terpancar jelas di wajah perempuan yang seharusnya jadi menantunya itu, karena Kevin hampir saja merenggut kesuciannya andai Dewa terlambat datang walau hanya semenit saja.
"San, apa kamu baik-baik saja?" tanya Sadewa dengan intonasi sangat lembut, berjalan lebih mendekat lalu duduk di tepi ranjang.
"PERGI, JANGAN SENTUH AKU!!" jerit Sania histeris, menatap takut lelaki yang ada di hadapannya.
"Sania, Sayang. Kamu nggak usah takut. Aku Sadewa, suami kamu." Pelan serta hati-hati pria bermata sayu itu menyentuh pundak sang istri, mengusap air mata yang menganak sungai di pipi kemudian menggeser duduknya lebih mendekat.
"Kamu tidak apa-apa 'kan? Tidak usah takut ya, dia sudah pergi. Sekarang kamu aman." Diraihnya kepala Sania, menenggelamkan dalam pelukan kemudian mengusap lembut rambut yang sudah tidak beraturan.
"Nia takut, Om. Dia hampir saja menodai Nia. Jangan tinggalkan Nia sendirian. Nia takut!!" racau perempuan dalam dekapan si pemilik punggung lebar di sela isak tangisnya.
"Iya, aku tidak akan meninggalkan kamu lagi."
"Yah," panggil Clarissa pelan seraya berjalan mendekati ayah serta ibu tirinya.
"Tolong buatkan teh hangat untuk Nia, Ca!" perintah Sadewa kepada anak sulungnya, yang usianya empat tahun lebih tua dari Sania.
Dengan patuh Clarissa langsung berjalan ke dapur, membuatkan teh hangat seperti perintah sang ayah lalu segera kembali ke kamar dan mengangsurkan air seduhan teh beraroma melati tersebut.
"Minum tehnya dulu, Sayang."
Sania menyesapnya pelan-pelan karena masih gemetar, menatap Sadewa yang terus saja memindai wajahnya dengan tatapan yang sulit sekali untuk diartikan.
"Tolong ambilkan baju untuk ibu kamu, Ca."
Lagi, Clarissa mengangguk patuh. Dibukanya lemari besar yang bertengger di samping ranjang, namun perempuan berambut ikal itu mengerutkan dahi karena tidak ada pakaian wanita di dalam sana.
"Tapi di sini tidak ada baju Nia, Ayah. Ma--maksud aku baju Ma--ma." Sang pemilik bulu mata lentik terlihat bingung mau memanggil istri baru ayahnya dengan sebutan apa, sebab biasanya dia hanya memanggil nama saja karena memang usia Sania terpaut empat tahun lebih muda darinya. Clarissa sudah berusia dua puluh enam tahu sedangkan Sania baru berumur dua puluh dua.
"Pinjam baju kamu 'kan ada?"
"Tapi baju aku terlalu besar dan nggak ada yang panjang."
Sadewa nenyentak napas kasar. Dia menoleh menatap wajah putrinya, membuat Clarissa langsung menunduk takut dan segera ke kamarnya mengambil baju untuk Sania.
Sadewa memang terkenal tegas dan galak. Dia tidak pernah pandang bulu menghukum siapa saja yang salah, termasuk anaknya sendiri Kevin Dan Clarissa. Maka dari itu kedua buah hati dari istri pertamanya terlihat begitu patuh, lebih tepatnya takut kepada Sadewa.
***
Malam kian beranjak larut. Suara detik jam mendominasi malam yang sunyi, membuat pria berusia empat puluh lima tahun yang sedang terbaring di atas tempat tidur bertambah gelisah.
Dipandanginya wajah lelap sang istri, mengulurkan tangan hendak mengusap pipi kemerah-merahan milik Sania namun ia urungkan karena sudah berjanji tidak akan menyentuh apalagi sampai merusak wanita yang ada di sisinya itu, meskipun dia tahu Sania itu halal baginya, setidaknya menurut agama, sebab pernikahan mereka berlum tercatat di kantor urusan agama.
Sadewa berniat ingin mendaftarkan pernikahan keduanya jika Sania sudah mantap, namun berjanji akan melepas sang istri jika suatu saat menemukan lelaki yang tulus serta menyayangi Sania dengan segenap jiwa.
Terdengar menyakitkan memang. Tapi itu memang janjinya sejak meminta izin untuk mempertanggungjawabkan perbuatan sang anak yang sudah mempermalukan keluarga Sania.
"Jangan tinggalkan aku sendirian, Om. Aku takut!" Spontan Sadewa kembali berbaring ketika hendak beranjak dari kasur dan tiba-tiba Sania mencekal lengannya.
"Aku tidak akan pergi." Kini suara lelaki dengan wajah penuh kharisma itu terdengar serak.
Tidak bisa dipungkiri, hasratnya sebagai lelaki normal tidak bisa tertahankan jika harus terus berbagi ranjang dengan seorang perempuan. Dua puluh empat tahun dia tidak pernah melakukan itu, semenjak Veronica--istri pertamanya tiba-tiba pergi begitu saja meninggalkan dia bersama kedua buah hatinya karena saat itu keuangan Sadewa masih belum stabil. Dia masih menjadi seorang mahasiswa dan juga pegawai yang gajinya hanya cukup untuk makan dan membiayai kuliahnya saja.
Sadewa mencoba memejamkan mata. Satu sisi hatinya terus saja berbisik, mendorong dia untuk melakukan itu karena biar bagaimanapun Sania adalah istrinya. Wanita yang halal untuk ia gauli dengan atau tanpa cinta, tapi sisi lainnya menyuruh dia untuk bertahan sesuai janji yang sudah pernah dia ucapkan.
***
Sadewa menarik kursi meja makan dan duduk di sebelah Sania yang terlihat sedang sibuk mengoles selai strawberry di atas selembar roti tawar. Mata pria dengan garis wajah tegas itu tidak lepas dari wajah cantik perempuan yang ada di sebelahnya, mulai merasakan kenyamanan karena sang istri begitu berbakti walaupun belum bisa memiliki dia seutuhnya.
"Kenapa liatin aku seperti itu, Om?"
"Tidak apa-apa. Kamu cantik!"
Sania menoleh dan segera menyodorkan sarapan yang sudah dia siapkan untuk suaminya, mengulas senyum seperti biasa menyembunyikan luka yang tengah bertahta di dalam dada.
Ting! Tong!
Ketika sedang asik santap pagi berdua, tiba-tiba bel rumah Sadewa berbunyi. Sania segera mengangkat bokong dari kursi, mengayunkan kaki menuju pintu untuk melihat siapa gerangan yang datang bertamu.
"Maaf, cari siapa, Bu?" tanya Sania seraya memindai perempuan berjambul tinggi dengan riasan cetar yang ada di hadapannya.
"Mas Dewanya ada?" Sang tamu balik bertanya.
"Ada. Om Dewa lagi sarapan."
Tanpa basa-basi si perempuan masuk begitu saja melewati tubuh Sania, tanpa permisi apalagi mengucapkan salam.
"Maaf, Bu. Tolong jangan sembarangan masuk ke rumah orang. Ibu silahkan tunggu di teras biar saya panggilkan Om Dewa."
"Heh, Bocah Kecil. Saya ini istrinya Mas Dewa. Untuk apa harus minta izin terlebih dahulu jika ingin masuk ke dalam rumah sendiri!"
"Istri?" Mulut Sania menganga. Ia mengepalkan tangan, meremas gamis yang sedang ia kenakan sambil menahan air mata yang sudah hampir tumpah dari balik kelopak.
Ternyata Om Dewa tidak sebaik yang aku kira. Dia masih memiliki istri, tapi malah berani menikahi aku dengan alasan nama baik keluarga. Buaya tetap saja buaya. Tidak akan berubah menjadi kadal, apalagi kupu-kupu. Sania membatin sendiri, merasa begitu kecewa kepada lelaki yang menyandang gelar suami.
POV Sania.Berjalan melewati Om Dewa yang sedang menggulung lengan kemeja, hatiku teriris sakit merasa dipermainkan oleh dia juga putranya.Kemarin, aku dipermalukan di depan semua orang oleh Kevin, sampai-sampai dicap sugar baby karena harus menikah dengan laki-laki yang lebih pantas menjadi ayahku. Dan semuanya tidak berakhir sampai di situ. Kevin berusaha merenggut paksa kehormatanku tepat di malam pertama aku menjadi ibu tirinya, sampai aku merasa sedikit traum akibat ulahnya itu.Jika Om Dewa terlambat beberapa menit saja, mungkin saat ini hidupku sudah hancur sehancur hancurnya.Sekarang, Om Dewa yang menancapkan luka di dada, dengan cara mendatangkan istri tuanya ke rumah yang kami tinggali.Kenapa titian takdir hidup jadi penuh duri yang malukai, Tuhan. Sebenarnya apa yang sudah aku lakukan sehingga Engkau menghukum diriku seberat ini?Duduk di kursi balkon, menatap dedaunan yang mulai meranggas di jalanan komplek. Gersang seperti hati ini. Tanpa terasa air bah nan asin sudah
Buru-buru turun dari tempat tidur, menutup jendela dan aku lihat ada dua orang berbaju serba hitam serta berkacamata sedang menatap ke arah kamar Om Dewa. Aku lekas menutup tirai rapat-rapat juga mengunci pintu kamar, takut ada yang masuk ke dalam bilik dan berbuat jahat kepadaku.Tok!Tok!Tok!Aku terkesiap ketika mendengar suara nyaring pintu diketuk."Lindungi aku, ya Allah," ucapku menahan takut luar biasa.Keringat sebesar-besar biji jagung mulai menyembul dari balik pori-pori, tenggorokan mendadak kering dan tubuh mulai gemetar."San, kamu ada di dalam 'kan?" Terdengar suara Clarissa memanggil namaku.Lekas berlari ke arah pintu, memutar anak kunci dan segera menyuruh Clarissa untuk masuk ke dalam kamar dan kembali menguncinya kembali."Ada apa, San? Kok wajah kamu pucet banget?" tanya Clarissa terlihat begitu khawatir melihat keadaan diriku."Ada yang mengawasi kamar ini. Tadi aku dapat telepon misterius, dan dia juga mengirimkan pesan berupa ancaman kepadaku!" Aku menjawab se
Sadewa membuka mata perlahan, tersenyum penuh arti saat melihat seprai kamarnya yang sudah acak-acakan dan ada bercak merah di sana.Pemilik rahang tegas serta wajah penuh kharisma itu terus saja menyunggingkan bibir bahagia, karena mendapatkan apa yang tidak pernah ia dapatkan dari Veronika dulu. Wajahnya terlihat lebih ceria, semangat dalam dada kian membara menyambut pagi dengan penuh rasa suka cita.Ditengoknya jam yang tergeletak di atas meja, dan ternyata sudah pukul lima pagi.Tidak lama kemudian Sania keluar dari kamar mandi, berjalan dengan hati-hati Manahan nyeri akibat perbuatan sang suami.Lagi, Sadewa tersenyum bahagia, apalagi ketika melihat jejak cinta di leher Sania.“Om Dewa kenapa pagi-pagi udah senyum-senyum begitu. Masih sehat ‘kan?” tanya Sania sedikit ragu.“Enggak, Sayang. Terima kasih untuk yang semalam.”“Ish!! Jangan dibahas. Aku malu. Mendingan sekarang Om mandi dan kita salat!”“Siap, Bos!!”Sadewa segera mengambil handuk yang diulurkan oleh istrinya, menga
Sambil bersenandung riang perempuan berusia dua puluh dua tahun juga salah satu lulusan terbaik di pesantren tempat dia menimba ilmu dulu segera berganti pakaian, memoles sedikit lipstik di bibirnya membuat pria yang sedang duduk di bibir ranjang kian terpesona.“Om Dewa nggak ganti baju?”“Aku begini saja, San. Masih keliatan tampan, kok!” seloroh Sadewa direspons dengan kerucutan bibir oleh istrinya.Walaupun terasa sedikit malas dan lelah si pemilik tubuh atletis berjalan keluar, menggandeng tangan Sania menuruni anak tangga menuju lantai dasar.“Kaya kereta, gandeng terus!!” celetuk Clarissa ketika melihat tangan ayah serta ibu tirinya saling menggamit satu sama lain.Mendengar ucapan si sulung wajah Sadewa langsung memerah tapi bukan karena marah. Clarissa juga mulai berani meledek sang ayah karena semenjak menikah lelaki yang teramat dia hormati tidak lagi mudah tersulut emosi. Banyak sekali perubahan positif yang dia rasa, karena kehadiran Sania sebagai ibu tirinya justru membu
“Iya, Pak.”Mereka berdua kemudian pergi ke sebuah pusat perbelanjaan, menghampiri toko berlian paling terkenal di Jakarta dan membeli kalung berliontin hati untuk Sania.Semoga saja istriku senang dengan hadiah ini. Gumam Sadewa dalam hati.“Kamu kembali ke kantor naik taksi onlen saja, Lia. Saya mau pulang ke rumah!” Sang pemilik alis tebal itu melirik benda bulat berwarna silver yang melingkar di pergelangan tangan, karena merasa sudah lama sekali berada di luar rumah meninggalkan Sania.Masih jam satu siang. Tapi rasanya sudah kangen banget sama Sania. Gumamnya lagi.Emilia mengernyitkan dahi melihat perubahan aneh bosnya. Di mata wanita berambut sebahu itu Sadewa terlihat lebih fresh, tidak segalak biasanya dan bahkan ketika dia melakukan kesalahan karena lupa membawa salah satu berkas yang dibutuhkan sang atasan tidak marah sama sekali. Dia hanya ditegur, lebih tepatnya diingatkan.“Next time jangan teledor kalau bekerja.” Hanya itu yang dikatakan oleh Sadewa, dan itu membuat se
Karena tangis sang istri tidak kunjung berhenti, Sadewa memutuskan untuk membopong tubuh Sania dan membawanya masuk ke dalam mobil. “Turunin aku, Om. Kalau nggak aku teriak!” ancam perempuan dengan gamis bercorak bunga lili tersebut seraya memukuli dada suaminya. Sadewa segera masuk ke dalam mobil, menyalakan kendaraan roda empatnya meninggalkan parkiran kafe membawa sang istri pulang ke rumah. “Aku nggak mau tinggal di sini. Aku mau pulang!” rengek Sania seperti anak kecil yang mulai tidak kerasan tinggal di tempat yang baru. Lagi, Sadewa menggendong tubuh mungil istrinya masuk ke dalam rumah, merebahkannya di atas kasur setelah sampai di dalam kamar. “San, maaf. Aku tidak mengizinkan kamu pulang ke rumah orang tua kamu. Kita selesaikan masalah ini secara dewasa dan jangan libatkan orang tua. Kamu itu istri aku. Jadi pulangnya ke sini bukan ke rumah Pak Romi. Tolong berhentilah menangis. Aku tidak sanggup melihat kamu terus seperti ini, Sayang.” Pemilik rahang tegas serta wajah p
Sania berjalan mendekat, mengambil tangan Romi lalu mencium bagian punggungnya dengan khidmat. Dia kemudian mempersilahkan ayahnya untuk masuk dan duduk di ruang tamu.“Ayah tumben mampir. Ada apa?”“Ayah kangen sama kamu, Nia. Perasaan Ayah tiba-tiba tidak enak. Makanya Ayah datang ke sini, ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja. Apa Pak Dewa berbuat macam-macam sama kamu?”“Enggak,Yah. Om Dewa baik banget sama aku, kok. Dia juga baru banget beliin aku kalung berlian. Iya, ‘kan, Om?” Sania menatap wajah suaminya dan dibalas senyum kaku oleh Sadewa.Entah mengapa pria di sebelahnya mendadak canggung, juga takut tiba-tiba Romi menanyakan janji yang sudah dia ucap sebelum menikahi Sania.“Begini, Pak Dewa. Emm ... Nak Dewa.” Pria satu generasi tersebut terlihat bingung harus memanggil menantunya dengan panggilan apa.“Panggil Dewa saja, Pak. Saya ini ‘kan menantu Bapak sekarang.”Riak wajah Romi seketika langsung berubah mendengarnya. Dia terlihat tidak suka, namun apa mau dikata. P
Mobil berwarna hitam yang ditumpangi dua sejoli berbeda generasi tersebut menepi di parkiran sebuah pusat perbelanjaan. Dengan cepat Sania keluar dari kendaraan roda empat milik suaminya, menggamit lengan Sadewa tanpa peduli tatapan orang-orang di sekitar mereka.Wanita itu terkesan cuek serta bodo amat kala ada beberapa orang berbisik, mengatai dia sebagai seorang sugar baby.Biar saja mereka mau berkata apa. Toh, semuanya tidak nyata. Aku istri Om Dewa, bukan sugar baby-nya. Batin Sania tanpa melepas rangkulan tangannya.“Beli baju ini ya, San.” Sadewa menunjuk sebuah lingerie berwarna merah muda yang terpajang di display sebuah toko.“Buat apaan, Om?” Dahi perempuan berumur dua puluh dua tahun tersebut berkerut dengan mimik heran.“Dipake lah. Memangnya buat apaan.”Sania berjalan masuk dan melihat-lihat barang yang ditunjuk oleh suaminya.“Nggak usah ah, Om. Harganya terlalu mahal. Mending buat beli gamis aku dapet satu.” Dia menyeringai, syok melihat harga yang tercantum.“Biar k
Tangis sahabat seperjuangannya itu semakin pecah ketika melihat sang mertua datang. Sadewa ikut duduk di lantai, menatap lemas dengan air mata sudah merebak dari balik kelopak.“Maaf, Pak. Silakan anak-anaknya diazani dulu!” Seorang perempuan berseragam khas perawatan keluar sambil tersenyum, menyuruh Aditya segera masuk untuk mengazani anak-anaknya.Sambil menghapus air mata laki-laki berkumis tipis itu berjalan masuk, menghampiri istrinya yang masih terbaring lemah dan menciumi pipinya sambil menangis.“Jangan cengeng, Abang. Masa seorang penembak jitu nangis sesenggukan begini?” ucap Clarissa sembari menerbitkan senyum.“Iya, Ca. Saking jitunya Abang nembak, sekali jadi langsung tiga! Makanya Abang terharu dan melihat perjuangan kamu melahirkan ketiga anak kita. Padahal, dokter kemarin Cuma bilang kalau kamu hamil kembar. Abang pikir Cuma dua. Ternyata malah tiga!” Aditya kembali mengusap air matanya.“Alhamdulillah, Bang. Rezeki kita langsung dikasih amanah banyak sama Allah. Ting
“Maaf, Sayang. Abang begitu mengkhawatirkan kamu soalnya. Plis jangan nangis. Abang liat kamu kesakitan saja sudah stres, ditambah liat kamu nangis. Abang minta maaf kalo Abang salah. Tolong jangan menangis. Mana yang sakit biar Abang elus-elus.” Aditya terus saja mencerocos sambil mengusap perut gendut istrinya.“Sakit semua, Bang!” Wanita berambut ikal itu melingkarkan tangan di pinggang, mencengkeram baju yang tengah dikenakan sang suami sambil meringis menahan sakit yang semakin terasa.“Minum air hangat dulu, Kak. Biar rileks!” Sania berjalan sambil menyodorkan segelas air putih hangat dan langsung disambar oleh menantunya, ditenggak habis hingga tersisa gelasnya saja.“Istri gue ngasih minum buat anak gue! Kenapa jadi lo yang minum?!” Sadewa menjitak kepala sahabatnya itu.“Maaf, Wa. Aku terlalu grogi!”“Wa...Wa... Dasar mantu durjana, sama mertua sendiri panggil nama. Nanti gue coret kamu dari daftar keluarga!” protes sang pemilik rahang tegas sambil menjitak kepala Aditya seka
“Naik motor, ya Bang. Ica pengen peluk Abang dari belakang!”Lelaki berambut cepak itu menghela napas berat, akan tetapi dia tidak berani menolak permintaan si istri, karena saat ini Clarissa tengah berbadan dua dan perasaannya begitu sensitif. Ia pun akhirnya mendorong sepeda motor miliknya keluar, menyuruh Clarissa merapatkan tubuh serta memeluknya dan segera melajukan kendaraan roda dua miliknya menuju tukang sate langganan.Clarissa tersenyum sembari menyenderkan kepala di punggung sang suami, merasa begitu nyaman serta bahagia hidup bersama sahabat ayahnya yang kini sudah sah menjadi suaminya.Tidak seperti saat membina biduk rumah tangga dengan David dulu, yang penuh luka juga liku. David tidak pernah berlaku manis, bahkan sekedar tersenyum kepadanya pun tidak pernah. Hanya luka yang selalu ditorehkan, baik di sanubari maupun fisiknya.“Terima kasih, ya Bang,” bisiknya seraya mempererat dekapan.“Untuk apa?” Raditya menggenggam jemari Clarissa yang tengah bertengger di pinggang.
Pagi-pagi sekali Sania sudah berjibaku di dapur menyiapkan sarapan untuk suami serta putranya. Kebetulan hari ini Mbak Resti izin libur, karena suaminya sedang kurang sehat jadi Sania harus menyiapkan segala sendiri.“Assalamualaikum, selamat pagi bidadari,” sapa Sadewa sembari melingkarkan tangan di pinggang sang istri.“Emangnya aku secantik bidadari, Yah?”“Lebih cantik dari bidadari malahan. Kamu itu luar biasa. Wanita tercantik yang pernah aku temui juga perempuan terbaik yang pernah aku kenal. Kamu adalah jantung serta napasku, dan tanpamu mungkin aku tidak akan sanggup lagi untuk hidup serta berdiri. Terima kasih atas cinta yang selama ini kamu curahkan kepadaku, terima kasih juga karena sudah mau menjadi ibu dari anak-anakku!” bisiknya mesra di telinga istrinya.Saat sedang santap pagi terdengar suara pintu diketuk nyaring. Sania segera keluar untuk melihat siapa yang datang, dan ternyata Malvin—anaknya Darmi yang bertamu. Sania mengulas senyum tipis kepada anak mantan asisten
“Sudah, buruan dimakan. Biar dedeknya tambah besar!”“Iya, Yah. Ayah juga sebaiknya cepat makan. Nanti Embun habisin loh, jatahnya kalau Cuma diliatin doang.”“Kalau mau silakan habiskan. Kalau kamu minta sekalian dibeli sama kios-kiosnya juga akan aku turuti.”“Ish! Memangnya mau buat apaan?” Sania mencebik. Perempuan berhijab ungu itu segera memotong makanan berbentuk bulat dengan isi tertelan daging tersebut dan lekas menyantapnya dengan semangat, hingga keringat sebiji-biji kacang hijau menitik di dahinya.Buru-buru Sadewa menarik dua lembar tisu, mengelap peluh yang membuat istrinya semakin terlihat bertambah menawan sambil tidak henti-hentinya mengagumi wajah cantik Sania.“Kenapa Ayah liatin aku seperti itu?” Sania menghentikan aktivitasnya menyantap bakso karena terus diperhatikan.“Kamu cantik. Aku mencintai kamu!”“Aku tau, kok, kalau Ayah begitu mencintai aku.”“Aku mencintai kamu lebih dari yang kamu tahu, Mbun. Cinta di hati ini begitu besar, dan bahkan tiap detiknya kian
“Abang ngapain? Kok malah olah raga?” tanya Clarissa seraya menatap bingung ke arah suaminya.“Sayangku itu bagaimana sih? Tadi katanya Abang suruh pemanasan. Sekarang malah ditanya lagi ngapain?”Hah? Mulut perempuan berambut ikal itu menganga lebar.Seriusan ini laki nggak mudeng pemanasan? Pikirnya.“Bang, maksud aku pemanasan itu bukan seperti itu. Tapi...Ah, masa Abang tidak tahu. Kan aneh, Abang ini duda, masa nggak paham pemanasan sebelum perang?” Kedua bulat bening milik Clarissa terus saja menatap wajah Aditya yang terlihat basah oleh keringat juga sudah ngos-ngosan.“Sebenarnya, Abang belum pernah perang sebelumnya, Ca. Abang...” Dia menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. “Abang dulu belum sempat kikuk-kikuk sama mantan istri Abang. Dia menolak disentuh sama Abang, dan ternyata setelah beberapa bulan usia pernikahan kami, Abang baru tahu kalau dia sedang mengandung benih orang lain!”“Ya Allah, Bang. Miris sekali kisah cinta Abang dulu. Berarti Abang duda perjaka, don
“Saya terima nikah dan kawinnya Clarissa Arabella binti Veronika untuk diri saya, dengan mas kawin tersebut tunai!” Dengan sekali tarikan napas dan semangat empat lima Aditya mengucap ijab qobul di depan penghulu juga beberapa orang saksi, memindahkan tanggung jawab serta dosa-dosa wanita yang telah resmi menjadi pendamping hidupnya.Clarissa menghampiri lelaki yang kini menyandang gelar suami, menyalami dan mencium bagian punggungnya dengan takzim, disambut ciuman hangat di kening dan Aditya segera membacakan doa setelah ijab kabul.“Alhamdulillah. Akhirnya aku bisa menghalalkan anak kamu, Wa,” ucap Aditya ketika kedua mempelai disuruh sungkeman.“Coba sekali lagi kamu panggilan saya apa?” Kedua manik hitam lawan bicaranya melotot, menatap sang menantu yang tidak ada sopan-sopannya sama sekali.“Lah, saya harus panggil apa, Wa?”“Wa! Wa! Hargai saya sedikit lah, Dit. Saya ini ayahnya Ica dan Ica istri kamu. Otomatis kamu sudah menjadi menantu saya. Harusnya kamu panggil saya ayah. Ja
Kevin tertawa mendengar kabar tersebut, merasa lucu saja jika sang kakak benar-benar menikahi sahabat ayahnya itu.“Kenapa kamu ketawa seperti itu, Kevin? Ada apa? Memangnya nggak boleh, saya nikah sama Ica?” Timpal Aditya yang ternyata sudah berdiri tidak jauh dari tempat kevin serta Sania bercengkerama.“Ya lucu saja, Om. Om kan ... ya sudahlah. Asalkan Om setia dan menyayangi kakak saya. Usia nggak jadi penghalang. Yang penting saling mencintai!” Kevin menjawab sambil menahan tawa.“Tumben kamu lempeng, Vin?”“Kan sudah berguru sama Om waktu saya dipenjara!” kekehnya lagi.Tidak lama kemudian Clarissa keluar sambil menggendong Angel putrinya. Senyum terkembang di bibir merah perempuan itu, apalagi ketika melihat Lisa bersama putrinya datang bertamu untuk pertama kalinya.“Alhamdulillah akhirnya kamu mau main ke rumah juga, Sa. Kakak seneng kamu dateng,” ucap wanita berambut ikal itu seraya menyalami sang adik ipar.“Terima kasih, Kak.”“Hayo masuk ke dalam. Kita ngobrol-ngobrolnya
"Silakan lakukan kalo Mama berani. Aku pastikan Ayah dan Bang Adit tidak akan memberi ampun sama Mama, apalagi sampai melepaskan Mama!" Clarissa mengancam balik. Aditya yang merasa namanya disebut dengan embel-embel 'Bang', tersenyum semringah dan langsung memasang wajah serius serta jemawa. "Maaf, ibu yang pake baju hijau!" Dia menunjuk salah seorang perempuan yang tengah merekam kejadian dan memintanya untuk menghampiri dirinya. "Ma--maaf, Pak. Saya cuma iseng-iseng merekam. Kalo Bapak tidak berkenan akan saya hapus!" Wajah si ibu tampak ketakutan. "Tidak perlu takut, Bu. Saya seorang anggota polisi dan saya akan meminta video yang ibu rekam tadi sebagai barang bukti untuk menjebloskan mantan mertua calon istri saya ke penjara," ucap Aditya kemudian, membuat mamanya David bertambah ketakutan. "Pak, saya tadi cuma bercanda loh. Saya nggak serius ngancem Ica. Lagian Enjel itu kan cucu saya. Mana mungkin saya berani menculik dan menjualnya. Tolong jangan penjarakan saya, Pak Adit.