Bapak itu memberikan beberapa tempat yang sering ia kunjungi dengan ayahnya anna. Setelahnya, ia pamit karena memang tidak mau diketahui siapapun kedatangannya.
Bisa-bisa ia menjadi sasaran temannya sendiri jika melihat bersekongkol dengan anak dan menantunya.Ayah Anna memang tidak mempunyai dendam pada besannya. Lantas apa yang membuatnya tega membunuh besannya jika itu benar?Jevano dan Anna masih berpikir tentang alasannya. Keduanya sama sekali tidak terpikirkan bahkan keberadaan sang ayah saja sekarang masih dilacak beberapa orang suruhan Gio dengan petugas kepolisian juga.Hari berikutnya, Jevano kali ini akan berangkat bekerja bersama dengan Gio. Apalagi memang ada rapat bersama dengan client-nya di luar kantor.Anna memegang erat tangan suaminya, seolah menginginkannya untuk terus berada di sampingnya.Jelas ia ingin ikut bersama suaminya. Pasalnya Anna benar-benar bosan berdiam diri di rumah sekalipun dirinya merasJevano tersadar lalu menemui petugas kepolisian yang datang untuk menemuinya. Padahal ini masih pagi sekali, namun apa alasan petugas itu datang menemui Jevano? Jevano duduk di sofa ruang tamunya dengan kedua petugas kepolisian. "Ada apa ya Pak?" tanya Jevano. "Saya membawa surat untuk Pak Jevano agar bisa menjadi saksi untuk memberikan keterangan," ucap salah satu petugasnya. "Keterangan? Saksi? Saksi apa Pak?" tanya Jevano bingung. Petugas itu menjelaskan apa yang sedang diperlukannya. Jevano tentu terkejut mendengar hal itu. Baru saja kemarin ia bertemu dengannya. Laki-laki itu mengangguk setuju, namun ia akan datang bersama sekretarisnya nanti siang. Petugas kepolisian itupun pamit setelah berbincang beberapa hal dengan Jevano mengenai hal ini. Setelah kedua petugas itu berpamitan, Jevano kembali ke kamarnya menemui sang istri yang sejak tadi menunggu. "Mas ada apa?" tanya Anna dengan wajah khawatirn
Jevano menoleh kebingungan pada istrinya, begitupun dengan sang istri. Padahal biasanya Anna pergi cek kandungan seorang diri. Paling ditemani oleh supirnya dan itupun hanya sampai depan rumah sakit. Setelah pemeriksaan selesai, Jevano keluar dari ruang pemeriksaan sembari merangkul pinggang sang istri untuk segera ke parkiran dan pergi ke Perusahaannya. "Mas kira-kira Ibu yang dimaksud Bidan tadi siapa ya?" tanya Anna membuat Jevano juga kebingungan menjawabnya. "Tapi kamu yakin gak pernah berobat sama siapapun? Bi Ani misalnya?" tanya Jevano. Anna menggelengkan kepalanya, "mas kan tau sendiri kalau Aku selama 3 bulan kemarin cek sendiri, gak ditemenin siapapun." Jevano menghela napasnya heran, begitupun dengan Anna. Apa Ibunya yang selalu menemani dia? Untuk sekedar melindunginya dari sang ayah? Atau memang itu hanya halusinasi bidannya saja? Atau bahkan
Jevano menggelengkan kepalanya, "terakhir kabar yang Mas dapetin, dia sempet ketemu sama Ayah di luar kota waktu itu. Terus katanya gak terlihat lagi di kota itu, gak tau emang dia sengaja sembunyi atau pindah ke luar kota lainnya atau bahkan mungkin ada di kota ini." Anna berbaring di samping suaminya, "jujur Anna jadi takut kalau mau kemana-mana." Jevano mengulas senyumannya. Ia rangkul pinggang sang istri untuk di dekapnya, "gak apa-apa, sementara ini gak usah kemana-mana dulu selain pergi sama Mas ya!" pintanya. Anna mengangguk dengan senyumannya. Wanita itu juga tidak mau mengorbankan kembali sang anak untuk kedua kalinya. Keesokan paginya, Anna terbangun lebih dulu. Rasa mual yang 4 bulan kebelakang dia rasakan itu kini sudah mulai membaik bahkan sangat jarang terjadi. Wanita itu mengulas senyumannya melihat sang suami yang masih terlelap di sampingnya dengan tangan yang dirangkul kan pada perut bu
"Ya karena awalnya Anna gak yakin kalau itu narkoba. Tapi kalau Ayah gak usaha kayak gitu mana bisa dia judi setiap hari terus keluar kota kabur-kaburan begitu," timpal Anna. "Kalau begitu berarti kita bisa ambil kesimpulan sementara dari Mbak Anna lalu mencari bukti lainnya dan juga keberadaan Pak Surya," ucap salah satu petugas kepolisian. Setelah semuanya pamit termasuk Gio, sementara Jevano memilih untuk bekerja di rumah hari ini karena dirinya memang tidak tidak ingin meninggalkan sang istri dalam keadaan genting. Anna dan Jevano sedang asik menonton televisi di ruang tengah. Wanita itu mendongak pada sang suami yang merangkulnya, "mas maaf ya gara-gara Anna, kamu gak jadi kerja." "Gak apa-apa Sayang, justru Mas kalau pergi malah makin khawatir sama kamu," jawabnya dengan senyuman. "Emangnya gak ada kerjaan yang penting sampe Mas mau nungguin aku di rumah?" tanya Anna.
Jevano menggelengkan kepalanya, "kita jaga bareng-bareng anak kita ya! Jangan bicara kayak gitu." Sesampainya di ruang pemeriksaan, Anna harus segera ditangani apalagi memang ketuban sudah pecah dan pendarahan yang cukup hebat. Dokter keluar untuk berbicara dengan Jevano. Wanita paru baya itu dengan ramahnya menjelaskan bahwa keadaan Anna saat ini tidak bisa lahiran secara normal bahkan keadaan bayinya pun tidak memungkinkan untuk lahiran normal. Jevano menyetujui perkataan Dokternya untuk segera melakukan operasi. Laki-laki itu akan melakukan apapun asal istri dan anaknya selamat. Keesokan paginya, Anna terbangun setelah operasi selesai. Jevano menghela napasnya lega melihat sang istri kini baik-baik saja. Anna menyimpulkan senyumnya, "mas?" "Iya Sayang? Ada yang sakit?" tanyanya. Anna mengangguk, "tapi baby baik-baik aja kan Mas?" tanyanya. Jevano tersenyum, "mas udah ketemu sama dia." "HAH?"
"Gimana kalau Rezkiano Naratama?" tanya Jevano. Anna mengulas senyumannya, "ganteng namanya." "Baby nya ganteng gak?" Anna terkekeh lalu mengangguk, "anak aku pasti ganteng dong Mas." Jevano ikut terkekeh mendengarnya lalu membawa sang istri ke pelukan dan terlelap bersama. Tengah malamnya, Anna bangun untuk menyusui sang anak lalu menggantikan pakaiannya yang sudah basah. Wanita itu sudah mulai terbiasa terbangun dari hari ke harinya. Apalagi semasa dirinya di rumah sakit. Anna mengulas senyumannya melihat sang suami yang terlihat lelap dalam tidurnya sekarang. Ia kecup pipinya lalu kembali berbaring di samping Jevano dan melanjutkan tidurnya. Keesokan paginya, Anna baru saja terbangun. Padahal matahari sudah mulai menampakkan dirinya. Wanita itu panik lalu mencari sang suami dan anaknya yang sudah tidak ada di kamar. "Loh kok Mas gak bangu
Gio terkekeh pelan lalu menggelengkan kepalanya, "saya emang suka bawa tab ini kemana-mana Pak. Jangan terpaku sama tab ini!" timpalnya. Jevano dan Gio masuk ke lift khusus untuknya dan para tamu. Laki-laki itu menghela napasnya lalu berkata pada Gio, "istri saya juga dapat kiriman fotonya sendiri." "Serius Pak?" "Ya masa saya bohongin kamu, buat apa," timpal Jevano. Gio menghela napasnya, rasanya permasalahan semakin rumit dibanding masalah dengan Elin. Rumah tangga atasannya ini terasa tidak pernah tentram setelah saling menerima satu sama lain. Keduanya memilih untuk mengurus pekerjaan kantor lebih dulu. Apalagi ada pertemuan dengan beberapa client hari ini. Jevano dan Gio juga akan lebih sibuk di butik kota pusatnya dibanding dengan kantor hari ini. Pasalnya orderan beberapa gaun masuk dan ingin mengobrol lebih dulu dengan Jevano untuk lebih pastinya. Tidak tera
"Iya tapi nanti pulangnya dijemput sama malaikat," pungkas Anna membuat suaminya itu menekuk wajah. "Suka kebiasaan kalau sama kerja tuh suka lupa sama waktu makan. Coba tinggal nyemil aja susahnya biar gak kosong banget itu perut," omel Anna hanya membuatnya terdiam. "Mas dengerin gak?" tanya Anna. Jevano mengangguk, "dengerin Sayang." "Denger kuping kanan keluar kuping kiri, gitu Mas?" tanya Anna. Jevano menggelengkan kepalanya, "kali ini beneran Sayang." "Awas aja ya Mas, kamu bandel lagi," ucap Anna kembali diangguki suaminya. Anna membuka kotak bekal yang dibawanya tadi. Wanita itu sempat meminta Bi Ani memasakkan bubur ayam untuk suaminya. Sedangkan anaknya masih terlihat lelap dalam stroller yang dipakainya. Setelahnya, Jevano terpaksa harus pulang bersama dengan istrinya, diantarkan oleh Gio. Pasalnya Dokter juga menyarankan Jevano untuk istirahat lebih dulu beberapa hari, sampai beberapa p
Tidak lama setelah itu, Rezkiano juga sudah kembali dan menyelesaikan semua pelajaran yang diikutinya hari ini. Dengan senyumannya yang merekahnya, ia berlari pada sang ayah sembari memanggilnya. Sontak ibu-ibu yang sempat menyebutnya sebagai supir tadi menoleh terkejut, "jadi kamu ayahnya?" "Aduh maaf ya Pak! Saya kurang tau soalnya," ungkapnya. Jevano tersenyum dengan anggukannya, "iya Bu, tidak apa-apa. Kalau gitu saya pamit duluan." Ibu itu mengangguk dengan senyumannya. Sesampainya di rumah, Jevano memeluk istrinya yang sedang duduk di ruang tengah sembari memakan buah potong yang disediakan Bi Ani. Semenjak rasa mualnya parah pagi tadi, Anna memilih untuk diam di ruang tengah. Apalagi sembari menunggu anak dan suaminya datang. Wanita itu terkekeh ketika sang suami dan anaknya berebutan ingin memeluk ibu hamil ini, "kalian bisa gak sih akur sebentar. Kayaknya akurnya kalau gak ada Ibu ya?" Jevano dan anaknya
Anna menggelengkan kepala dengan tangisannya, ia sudah tidak kuat menahan rasa mual yang terasa kuat pagi ini. Setelah merasa baikan, Jevano memapah istrinya untuk sekedar duduk di tepian kasur. Sembari menatapnya lekat, ia bersimpuh di hadapan istrinya. "Kamu yakin gak mau sesuatu?" tanya Jevano lagi. Anna menggelengkan kepalanya, "anna kan baru aja bangun tidur. Barusan juga kebangun gara-gara mualnya Mas." "Ya ampun... Kalau gitu Mas bawain dulu air hangat ya! Kamu tunggu sini," pinta Jevano beranjak dari kamar. Ia tuangkan air hangat lalu kembali ke kamarnya, membantu Anna untuk minum agar lebih lega rasa mualnya. "Tidur lagi aja ya! Nanti sarapannya dimasak Bi Ani aja. Kamu istirahat aja kalau mual," ucap Jevano. Jevano baru saja akan beranjak untuk membangunkan anaknya, namun tangannya segera ditahan oleh Anna. "Kenapa Sayang?" tanya Jevano. "Mas mau kemana?" tanya Anna.
Jevano menggelengkan kepalanya, "enggak Sayang." "Terus kenapa itu mulut anaknya ditutup segala?" tanya Anna. Jevano sedikit menggeser posisi kursinya, menghadap sang istri dengan tatapan lembutnya, "nanti Mas yang cerita." "Beneran?" Jevano mengangguk, "nanti habis makan siang ya!" Anna hanya mengangguk setelahnya. Makan siang susah selesai, Anna juga sudah membereskan kembali piring-piring yang kotor tadi, berikut dengan Rezkiano yang sudah bermain bersama sang ayah di ruang tengah. Anna datang menghampiri keduanya, "kayaknya kalian emang harus main bareng terus biar akur. Dibanding kalau salah satu deketan sama aku, satunya merajuk." Jevano terkekeh mendengarnya, "bang, ibu marah tuh!" "Ya kan Ayah yang suka manja sama Ibu," Anna terkekeh mendengarnya apalagi ketika melihat ekspresi sang suami pada anaknya. S
Jevano menoleh pada pria paru baya yang ada di dekatnya, sedangkan Rezkiano malah bersembunyi dibalik kaki sang ayah, "ayah itu yang kemarin mau culik ibu." Laki-laki itu menatap sinis orang tua istrinya. Ia berjongkok menghadap sang anak, memintanya untuk masuk ke kelas lebih dulu. Setelahnya, Jevano meminta Ayah anna untuk mengikutinya, menuju bangku taman yang sedikit lebih jauh dari taman kanak-kanak anaknya. "Mau ada urusan apalagi?" tanya Jevano. "Jev, Ayah cuman mau tau siapa nama dia," jawab Ayah anna. "Untuk apa? Saya sudah tidak mau ada sangkut paut apapun sama kamu," ucap Jevano. "Bagaimanapun Ayah tetap kakeknya, Jev," Jevano malah menyeringai, "kakek? Kakek yang bagaimana maksudnya?" "Yang tega bunuh besannya sendiri? Yang tega bikin ibunya keguguran? Yang tega kasih obat perangsang buat menantunya, biar rumah tangga anaknya hancur?" "Yang mana?" tanya Jevano mencerca. "T
Dokter itu malah tersenyum, "selamat ya Pak, Bu."Jevano menautkan alisnya bingung, "dok... masa istri saya sakit dokter malah bilang selamat." Dokter itu terkekeh pelan, "saya belum selesai bicara Pak," jawabnya.Anna menahan senyumannya melihat ekspresi malu sang suami. Wanita itu kembali bertanya tentang keadaannya. "Ibu Anna positif hamil, usia kandungannya baru 5 minggu. Jadi harus dijaga dengan ekstra hati-hati ya!" pesan dokternya. Anna dan Jevano saling menoleh, keduanya memang merencanakan untuk menambah anak. Tapi tidak menyangka, Anna akan hamil secepat ini. Ucapan selamat dari dokter itu membuat Anna mengangguk dengan senyumannya. Setelah pemeriksaan selesai, Anna berjalan menuju apotek untuk menebus obat dan vitamin yang diresepkan dokternya. Apalagi Anna sedang berada di fase mual. Anna menoleh pada suaminya yang sejak tadi terdiam. Pikirannya begitu jauh hingga ia tidak berani berbicara deng
Anna menggelengkan kepalanya, "gak usah Mas. Anna mau istirahat aja dulu, nanti kalau masih gak enak, mau." "Ya udah pulangnya diantar aja ya!" tawar Jevano. Baru saja Anna membuka mulutnya, Jevano langsung menyela, "mas gak terima penolakan."Anna mengulas senyuman, "iya kalau gitu boleh." Setelah menikmati makan siang, Jevano langsung mengantar istri dan anaknya lebih dulu. Laki-laki itu berpesan pada Bi Ani untuk menjaga istrinya. Begitupun pada sang anak, untuk segera memberitahunya jika terjadi sesuatu. "Rezki tau kan nomor Ayah?" tanya Jevano sebelum kembali berangkat. Rezki mengangguk mengiyakan dengan senyumannya. Jevano kembali ke Perusahaannya, sekalipun dirinya masih terus kepikiran sang istri yang tiba-tiba sakit tadi. Laki-laki itu berpikir bahwa mungkin karena ayahnya kembali, Anna menjadi banyak pikiran dengan rasa takut yang kembali menghantuinya. Setibanya di Perusahaan, Gio sudah menungg
Jevano yang sedang menuntun anaknya itu menoleh pada sang istri yang terdiam dan menghentikan langkahnya, "sayang kenapa malah melamun gitu sih?" Anna menoleh pada suaminya, ia masukkan kembali ponselnya lalu berjalan dengan senyuman menghampiri suami dan anaknya. "Gak ada Mas. Yuk!" ajaknya sembari menggandeng tangan sang suami. Jevano hanya mengangguk mengiyakan, laki-laki itu sebenarnya tahu ada yang terjadi dengan istrinya. Namun sekarang yang terpenting adalah menikmati makan siang bersama sang anak. Rezkiano memesan beberapa makanan yang disukainya, hingga Anna menegurnya untuk tidak serakah. Di sela-sela makan siangnya, panggilan masuk terus-menerus pada ponsel Anna membuatnya sedikit risih. Begitupun dengan Jevano yang terus meliriknya. "Udah kamu angkat dulu aja," pungkas Jevano. "Nomornya gak dikenal Mas," "Siapa tau penting Sayang, makanya dia telepon terus," timpal kembali sang suami.
Wanita itu tadinya akan masuk ke mobil namun tangannya ditahan oleh seseorang yang menyapanya. "Tolong jangan pergi dulu! Ayah mau bicara sama kamu," ucap pria paru baya itu. Anna sedikit ketakutan padanya, kekejaman yang dilakukannya kembali terngiang di kepala anna. Sedangkan tangannya masih berusaha menggenggam kuat tangan sang anak. Taksi saja sudah kembali ditutup oleh Anna dan pergi begitu saja. Ayahnya sempat menarik Anna untuk berbicara sebentar dengannya. Namun Rezkiano dengan ketakutannya berteriak hingga beberapa ibu-ibu yang masih di sekolahnya itu keluar dan mencegah pria yang tidak dikenal oleh Rezkiano sendiri. Anak itu menangis hingga ibu-ibu juga mencegah dan memarahi Ayah Anna hingga mengancamnya untuk dibawa ke kantor polisi. Dengan dandanan selusuh itu, bagaimana ada yang percaya jika itu adalah ayah dari anna sendiri. Ayahnya kembali pergi, apalagi sudah ada petugas keamanan menghampirinya. Ia
"Mas cuman pengen kamu selalu bahagia sekalipun gak direpotin sama Mas," jawabnya. Anna mengulas senyumannya, lalu memeluk sang suami, "makasih ya Mas." "Kok kamu malah bilang makasih? Kan harusnya Mas yang bilang kayak gitu," tanya Jevano. Anna mendongak pada suaminya, "ya gak apa-apa. Kan Mas udah selalu mengusahakan apapun untuk aku." Jevano mengecup istrinya dengan senyuman, "mas sayang sama kamu." Suara ketukan pintu dengan teriakan dari Rezkiano membuat Jevano kembali menghela napas. Anna terkekeh, "udah deh gak usah merajuk lagi gitu." "Ya abisnya anak kamu heran, romantis sebentar aja Mas sama kamu susah banget," pungkasnya. "Udah yuk ah! Nanti anaknya gedor-gedor lagi," ajak Anna menarik tangan suaminya keluar dari kamar. Rezkiano melipat kedua tangannya sembari duduk di meja makan, "ibu sama ayah lama banget. Katanya tadi takut terlambat, tapi kalau udah berduaan lama," protesnya.