Jevano terkekeh, "insyaallah enggak. Punya istri yang cakep sama menggoda begini, gimana mau berpaling aku," ucapnya membuat Anna mendecak.
"Gombal banget," "Bukan gombal itu kenyataan Sayang," timpal suaminya. "Udah ah sana lanjutin lagi kerjanya, Anna mau nunggu di taman aja," ucap anna sembari mendorong tubuhnya keluar dari lift. Laki-laki itu mengulas senyumannya, lalu berpesan pada Anna untuk hati-hati dan mengabarinya jika ada sesuatu yang terjadi. Hari sudah mulai sore, Jevano sudah membenahi semua barangnya lalu keluar mencari sang istri setelah tidak ada balasan pesan ataupun sambungan panggilan dari istrinya. Jevano berjalan menuju taman di lantai atas, namun hasilnya nihil. Tidak ia temukan istri mungilnya itu. Laki-laki itu mulai panik sembari menghela napasnya berat. Ia meminta Gio untuk ikut mencarinya bahkan hingga menyuruhnya untuk mengecek cctv.<"Belum, Mas juga baru selesai rapat sama Gio dan yang lainnya," jawabnya. Padahal laki-laki itu baru saja makan siang bersama dengan client dari luar kota. Tapi karena sang istri sendiri yang membawakannya, Jevano tidak bisa menolak sekalipun perutnya masih terasa kenyang. Bau masakan istrinya membuat rasa laparnya kembali bangkit sekalipun sudah tidak ada tempat lagi pada perutnya. Jevano mengajak Anna untuk duduk pada sofa ruangannya. Ia buka dengan senang hati kotak bekal yang dibawa sang istri. "Ini wangi banget sih masakannya!" puji Jevano membuat Anna tersipu malu. "Sayang, Mas pengen disuapin boleh?" pinta Jevano dengan manjanya pada sang istri. Anna mendecak, tetapi wanita itu tidak bisa menolaknya. Ia menyuapi sang suami dengan dirinya sendiri karena sengaja ingin makan siang bersama dengannya. "Sayang nanti abis makan ikut
Jevano dengan cepat menoleh pada istrinya. Ia tanyakan keadaan sang istri yang baru saja siuman setelah beberapa hari terkapar pada ranjang pasien. "Mas panggil dulu dokter ya!" ucap Jevano beranjak dari duduknya. Anna menahannya dengan cepat, "jangan tinggalin Anna, Mas." Jevano mengangguk, "ya udah Mas gak bakal tinggalin kamu. Mas di sini," ucapnya kembali duduk pada tepian kasur bersama sang istri yang ia genggam sejak tadi. "Mas maaf ya!" ungkap Anna sembari menunduk. "Kenapa harus minta maaf Sayang?" tanya sang suami heran. Anna mendongak dengan tangisannya, "gara-gara Anna, acara perusahaan dan resepsi pernikahan kita jadi kacau kan Mas?" Laki-laki itu menggelengkan kepalanya, "sama sekali enggak, Sayang. Justru semuanya khawatir sama kamu karena jatuh dari tangga waktu itu." "Anna jatuh dari tangga?" tanya Anna membuat Jevano heran.
Anna menggelengkan kepalanya, lalu mengulas senyumannya sepanjang perjalanan menuju hotel yang sudah dipesankan oleh Gio kemarin. Wanita itu menjatuhkan tubuh mungilnya pada kasur yang cukup luas untuk dirinya dan sang suami. Sedangkan Jevano memilih untuk memesan makanan melalui pelayanan kamar karena hari sudah cukup malam dan belum sempat untuk makan tadi. Anna yang merasa tubuhnya cukup panas itu beranjak pergi ke kamar mandi untuk mengganti pakaiannya. Matanya terbelalak ketika melihat sang suami yang sedang menghadap ke arahnya. Wanita itu keluar kembali, berdiri di samping Jevano dengan rasa terkejutnya. "Mas kok ini kamar mandinya transparan sih?" tanyanya heran. Jevano mengerdikkan bahunya, "mas juga gak tau Sayang. Orang Mas juga baru aja ke sini." Anna menatap suaminya curiga. Jevano yang sadar akan hal itu langsung mengangkat kedua jariny
Jevano duduk pada tepian kasur heran melihat sang istri tiba-tiba menangis seperti sekarang. "Sayang mas kenapa?" tanya Jevano. "Maafin Anna ya!" ungkap Anna lalu memeluk suaminya dengan erat. "Kenapa emangnya Sayang?" tanya Jevano lagi. Anna mendongak dengan wajah gemasnya, "anna udah nyusahin Mas, manja sama Mas, padahal Mas juga banyak kerjaan." Jevano malah mencium bibir istrinya, laki-laki itu membenarkan rambut poni sang istri dengan senyumannya, "kenapa harus minta maaf? Mas sama sekali gak pernah keberatan mau bagaimanapun kamu." "Bohong," timpal Anna. "Kok bohong? Emang Mas keliatan bohong sekarang?" tanyanya dengan tatapan lekat pada Anna. Jevano menghela napasnya, "mas harus kayak gimana biar kamu percaya?" tanyanya.
"Mas!!" protes Anna pelan namun penuh dengan penekanan pada suaminya. Jevano hanya terkekeh begitupun dengan Dokter kandungan yang melihat wajah memerah Anna. "Tidak usah malu, hal ini sudah biasa dibicarakan kok. Tapi disarankan untuk tidak melakukannya selama trimester pertama, apalagi ini untuk kehamilan pertama untuk Mbak Anna. Kalaupun misalnya tetap menginginkan usahakan untuk tidak terlalu sering ya!" pesan Dokter kandungannya. Anna hanya manggut-manggut paham begitupun dengan Jevano. Sepulang dari rumah sakit, Jevano kembali merasakan mual yang cukup kuat hingga dirinya harus berlari ke kamar mandi. Gio yang melihatnya pun ikut merasa heran dengan atasannya. "Mbak emangnya Pak Jevano kenapa?" tanya Gio pada Anna yang memijat leher suaminya di kamar mandi. "Dia kebagian mual karena anaknya, Gi," jawab Anna. "HAH? Anak? Maksudnya Mbak-" Anna mengangguk, "do'ain semoga lancar
"Intinya, saya punya bukti bahwa hubungan kita berdua itu sudah tidak sehat. Saya juga tidak mau membeberkan sesuatu yang menjadi rahasia orang lain. Lebih baik kalian cari tau sendiri," jawab Jevano lalu masuk ke kantornya. Siangnya, Bi Ani mengabarkan bahwa Anna sedang muntah-muntah parah sekarang. Hingga Jevano langsung pergi begitu saja dan menyerahkan kembali pekerjaannya pada sang ayah sementara waktu. Dengan cepat ia kemudikan mobilnya menuju rumah yang memang tidak terlalu jauh jika tidak padat kendaraan. Hanya dengan beberapa menit saja, Jevano sudah sampai ke rumah. Laki-laki itu berlari masuk, menghampiri sang istri yang sudah terkapar lemah di tempat tidur kamar bawah. Kamar itu memang tidak terlalu besar dibandingkan dengan kamar Jevano yang berada di lantai atas. Hanya sana, laki-laki itu tidak ingin menanggung resiko dengan kehamilan istrinya. Jevano duduk pada tepian kasur di samping
Jevano membaca berkas yang diberikan sekretarisnya, lalu menandatangani surat pengalihan nama itu. Gio memilih pamit setelah berbicara tentang pekerjaan di Perusahaan yang cukup teratasi oleh Ayah atasannya. Bahkan sang ayah juga berpesan untuk tidak mengkhawatirkan pekerjaan di kantor dan memintanya untuk fokus pada kehamilan sang istri yang memang sedikit sulit untuk ditinggal bepergian jauh dan lama. Walaupun ada Bi Ani yang menemaninya, tidak mungkin juga Jevano hanya mengandalkan tenaga wanita yang hampir sebaya dengan sang ayah untuk menangani Anna yang sedikit-sedikit merasa mual bahkan muntah berkali-kali. Malamnya, Jevano baru saja turun dari ruang kerjanya. Laki-laki itu langsung masuk ke kamar mencari sang istri yang sudah tidak ada di dapur maupun ruang tengah. Netranya mencari keberadaan wanita cantik itu. Ia bernapas lega ketika melihat sang istri yang terlihat
Gadis itu langsung pamit setelah menyerahkan dokumen untuk Jevano. Apalagi setelah atasannya sudah memasang wajah sinisnya. Anna terkekeh ketika suaminya duduk kembali di sampingnya. Jevano sontak menoleh padanya lalu bertanya, "kenapa?" "Mas serem banget kalau sama karyawan, sama Aku malah kayak bayi," ledek Anna. "Kalau sama karyawan kayak begitu mereka gak bakal pernah bener kerjanya nanti. Atasan kan harus punya wibawa, Sayang," jelasnya. Anna manggut-manggut paham maksud suaminya, "bukan begitu Mas. Emang atasan itu harus punya wibawa tapi kan gak nyebelin gitu juga. Nanti kalau pada resign gimana?" tanyanya. "Buktinya mereka betah tuh," timpal Jevano. "Ya udah lah gimana Mas aja," ungkap Anna sudah lelah untuk berbicara dengan suaminya. Jevano menoleh pada istrinya yang kini terdiam dan tidak mau menyangkal lagi ucapannya. Laki-laki itu dengan man
Pria itu masih terdiam sembari menunduk merasa kebingungan. Jevano menggebrak mejanya hingga papan bundar itu bergetar dan menambah ketegangan. Ia dekati sang karyawan lalu duduk di dekatnya, "pak, kita sudah bekerja sama lumayan lama. Bahkan dari saat Ayah masih produktif bekerja dan sekarang dia sudah meninggal." "Saya percayakan kepada Bapak tentang keuangan perusahaan. Lalu apa yang bisa Bapak jelaskan tentang semua ini?" tanya Jevano sembari menunjuk berkas laporan keuangan. Keringat pria itu mulai bercucuran, rasanya bisa sampai membanjiri ruangan itu jika Jevano terus menatapnya dengan tajam. "Bapak masih mau bungkam?" tanya Jevano lagi. "Itu..... Untukkk-""Untuk keperluan Bapak sendiri?" tanya Jevano dengan tatapan tajamnya itu. Gio sebenarnya tidak tega jika rekannya sedang dimarahi oleh Jevano. Dia saja yang setiap harinya bersama dengan Jevano akan takut jika dia sudah memasang mata tajamnya itu. "Untuk keperluan berobat anak saya," jelas Bapak manajer keuangan itu.
"Aku gak merubah Mas. Justru Mas yang berubah," jelas Anna. "Kan berkat kamu, Mas jadi berubah," timpa Jevano. Anna menggelengkan kepalanya, "mas.... Seseorang gak bakalan berubah kalau bukan dirinya sendiri yang mau berubah." Jevano tersenyum mendengar penuturan istrinya. Ia dekatkan wajahnya pada Anna. Namun Anna segera menahannya, apalagi Gio juga mengetuk pintu ruangan atasannya kembali. Jevano memasang wajah kesalnya sembari memangku sang anak yang kini tertidur. Tangan Gio begitu bergetar terlihat oleh Anna karena ditatap tajam oleh istrinya. Anna menyenggol lengan suaminya, hingga ia menoleh dan memberikan isyarat bahwa ekspresinya kini menyeramkan. "Ada apa Gi?" tanya Jevano. "Pak, ini laporan keuangan minggu lalu yang bapak minta," jawab Gio sembari menyerahkan berkas yang diminta atasannya tadi. "Oh ya sudah kamu simpan dulu saja di meja saya ya!" ucapnya, "makasih." Gio sempat terdiam mendengarnya. "Kenapa Gi?" tanya Anna merasa heran dengan ekspresi sek
"Kata istri saya, kalau kamu suka sama dia atau mau memulai mengenal dia lebih dulu gak ada yang salah buat ketemu dulu, sekedar ngobrol dulu. Toh dia juga udah kenal kamu, jadi kayaknya gak masalah kalau kamu mau temuin dia dulu," jelas Jevano. Gio terdiam mendengarnya. "Gi kesempatan gak akan datang 2 kali. Setau saya dia juga baik dan ramah sama orang lain, bukannya kamu yang lebih berpengalaman sama dia dibanding saya? Kamu juga lebih banyak interaksi sama dia kan?" Gio mengangguk mengiyakan. Laki-laki itu juga mulai memikirkan pendapat dari istri atasannya ini. Selama dirinya mencoba aplikasi kencan ini, memang dia tidak pernah merespon wanita lain kecuali Intan ini. Siang harinya, Gio memutuskan untuk tidak makan siang bersama dengan sang atasan. Kebetulan juga, Jevano akan diantarkan makan siang oleh istrinya. Anna berjalan dengan santainya menuju ruangan sang suami. Wanita itu mendorong stroller dengan sang anak yang tertidur dan kotak bekal yang Anna simpan di bawahnya.
"Loh kenapa?" tanya Anna. Jevano kembali menceritakan kembali alasan mengapa sekretarisnya itu membatalkan janji kencannya. Anna terkekeh pelan, "dia batalin cuman karena temen sekantornya?" "Iya Sayang. Padahal anaknya ramah, terus kayak interaksi banyak banget sama Gio. Kalaupun udah merasa cocok menurut Mas pantes aja mereka kalau saling suka juga," jelas Jevano. "Cantik, mas?" tanya Anna. Jevano mengulas senyumannya, "lebih cantik kamu." Anna mendelik, "bohong banget." "Loh kok bohong?" tanya Jevano, "beneran loh Sayang." "Iya deh iya," timpal Anna dengan senyumannya. Setelah makan malam selesai, Anna dan Jevano memilih untuk masuk ke kamar. Sekalipun memang keduanya belum mengantuk setelah kenyang menyantap masakan Anna. Jevano merangkul pinggang sang istri yang sedang memainkan ponselnya di kasur, "sayang.""Iya Mas?" tanya Anna menoleh pada suaminya. "Kamu mau tas-nya?" tanya Jevano, "perasaan dari kemarin Mas liat kamu liatin tas itu terus." Anna tersenyum, "mau si
"Kenapa Pak?" tanya Gio. "Anna udah bilang kalau dia mau bawain makan siang tadi pagi. Tapi saya malah makan siang sama kamu," jawabnya. "Hayoh loh Pak! Mbak Anna pasti marah itu, kesel karena Bapak udah makan siang sendirian," ucapnya. Jevano mendelik pada sekretarisnya, ia menarik tangan Gio untuk ke ruangannya juga. Laki-laki itu berpura-pura belum mengetahui sang istri sudah berada di ruangannya. Jevano tersenyum ketika membuka pintu ruangannya. "Dikira Mas belum sampai," pungkas Jevano lalu duduk di samping istri dan anaknya. Rezkiano yang sudah mulai aktif itu sudah terlihat senang melihat Jevano yang baru saja duduk. Anak itu sudah merentangkan tangannya untuk dipangku oleh sang ayah. Jevano dengan senang hati memangkunya, Bercanda dengan sang anak memang waktunya yang paling berharga kali ini. Apalagi jika dirinya sedang merindukan sang ayah yang sudah meninggalkannya setahun yang lalu. Sekalipun semasa kecilnya, Jevano tidak pernah merasakan hal seperti ini. Setidakn
Gio menggelengkan kepalanya. "Terus kenapa bisa gagal?" tanya Jevano lagi. "Saya kenal sama dia," jawab Gio. "Kenal? Siapa?" tanya Jevano beruntun. Gio sempat terdiam sebelumnya. Laki-laki itu menghela napasnya lalu menjawab, "Intan." "Intan yang kerja di sebelah kamu?" tanya Jevano. Gio mengangguk mengiyakan. "Kok bisa?" tanya Jevano, "emang sebelumnya gak pernah lihat foto atau apapun?" Gio menggelengkan kepalanya, "di aplikasinya gak nunjukin foto juga gak apa-apa Pak. Makanya saya awalnya tertarik karena emang gak harus keluarin foto saya," jelasnya. "Ya terus kenapa gak jadi kencannya?" tanya Jevano lagi, "kan bisa aja kalian pacaran nantinya karena nyambung dan cocok. Syukur-syukur kalau sampai menikah." Gio menggelengkan kepalanya, "enggak deh Pak. Mending saya cari yang lain aja." "Emangnya kenapa?" tanya Jevano heran. Intan kerjaannya baik kok." "Iya sih Pak. Cuman dia suka ngeselin aja," jawab Gio. Jevano terkekeh mendengarnya. Ia menggelengkan kepalanya heran p
"Ya enggak sih, cuman kadang suka gemes aja kalau kamu kelakuannya kayak bayi begini. Badan aja gede," jawab Anna sembari mencubit pipi suaminya. "Biarin yang penting Mas bisa manja sama kamu," timpal sang suami. Anna manggut-manggut, "ya udah awas dulu! Anna bawain dulu makanan buat Mas." "Makannya bareng aja," jawabnya. "Katanya tadi mau di kamar!" "Iya di kamar, maksudnya kamu sambil makan sambil suapin Mas," jelasnya.Anna mengangguk, "ya udah tunggu ya!" Jevano mengangguk dengan senyumannya. Dengan cepat Anna kembali ke kamar dengan masakan makan malam yang sudah dimasaknya tadi. Ia menyuapi suaminya dengan telaten hingga makanan yang ada di piring itu habis dimakan bersama. Jevano meminum obatnya kembali lalu mengganti pakaiannya dan segera beristirahat. Begitupun dengan Anna yang segera menidurkan sang anak yang mulai aktif itu, lalu tidur di samping suaminya. Keesokan paginya, syukurnya Jevano tidak sampai demam. Mungkin laki-laki itu pusing karena kerjaan yang selalu
"Bukan gitu Sayang," "maksudnya gimana dong Mas?" tanya Anna, "kan kamu yang bilang barusan kayak begitu." Jevano terus membujuk istrinya hingga Anna menahan senyuman melihat wajah suaminya yang menggemaskan itu. "Bukan maksud Mas begitu loh Sayang. Maafin ya!" pintanya. Anna mengangguk, "iya deh iya. Anna maafin." "Tapi kalau ada yang ngajakin kencan mau?" tanya Anna dengan gurauannya. "Kalau kamu yang ngajakin Mas terima," jawabnya membuat Anna terkekeh. Hari-hari berikutnya,Gio nampak terlihat biasa-biasanya sebelumnya, hingga akhirnya Anna dan Jevano mendapati laki-laki itu sedang berdandan seolah akan bertemu dengan seseorang yang penting. "kamu mau ketemu sama siapa Gi?" tanya Jevano, "perasaan sekarang gak ada jadwal ketemu client." "emang gak ada Pak. Saya cuman pengen rapih aja," jawab Gio membuat Jevano menatapnya curiga. Begitupun dengan Anna. "Ada apa Pak?" tanya Gio. Jevano menggelengkan kepalanya, "enggak deh. Yuk berangkat," ajaknya lalu masuk ke mobil dan m
"Mungkin itu privasinya kali Mas," jawab Anna. "Tapi jangan lama-lama ya!" pinta Jevano. Anna mendecak lalu mengangguk mengiyakan. Setelah suaminya makan siang, Anna keluar untuk mengobrol dengan Gio, sedangkan anaknya dititipkan pada sang ayah. Gio mengajaknya untuk mengobrol di pantry sembari menyajikan teh hangat untuk Anna. "Makasih ya Gi," "Sama-sama Mbak," jawab Gio sembari terlihat gugup untuk berbicara. "Gak usah gugup sampe celingukan begitu, Mas Jevano jagain Rezky gak bakal ke sini," ucap Anna. Gio terkekeh, "bukan Mbak. Saya takut ada yang dengerin aja." "Emangnya mau ngobrol apa?" tanya Anna penasaran. Gio menjelaskan bahwa dirinya sedang mendekati seorang wanita dari aplikasi kencan. Namun dirinya sedikit kebingungan ketika sang pasangan memintanya untuk bertemu dan lebih dalam untuk berkomunikasi. Anna menautkan alisnya, mengapa hal ini saja Gio menanyakan padanya. Padahal Gio juga bukan lagi laki-laki yang baru saja menginjak usia remaja. "Menurut Mbak gima