Jevano menghela napasnya berat, "iy-"
"Anna dipanggil Dokter Arkan buat ke ruangannya," ucap salah satu rekan kerja Anna. "Oh iya," jawab Anna dengan anggukannya juga. Anna langsung mematikan teleponnya begitu saja. Sontak Jevano mendengus kesal mendengarnya, baru saja ia akan bercerita tentang hubungannya dengan Elin. "Si Arkan itu emang harus dimusnahkan," gumam Jevano dengan wajah kesalnya. Di sisi lain, Anna baru saja masuk ke ruangan Arkan. Laki-laki itu mengulas senyumannya pada wanita cantik yang baru saja masuk setelah ia persilahkan. "Ada apa ya Dok?" tanya Anna. "Duduk dulu Anna," pinta Arkan diangguki oleh wanita itu. Arkan memberikan paper bag warna biru muda padanya. Anna menautkan alisnya bingung, dia sedang tidak berulang tahun hari ini. Lantas kenapa Arkan memberikan sesuatu padanya? "Ini apa Dok?" tanya Anna.Gio menggelengkan kepalanya, "masih dalam proses Pak. Apalagi memang beritanya sudah tersebar luas," jawabnya. "Ya sudah kalian tangani hal ini sampai besok, saya akan mengupayakan agar saham tidak turun lebih banyak," ucap Jevano langsung keluar dari ruangan begitu saja. Laki-laki itu kembali ke ruangannya. Ia tatap sang istri yang sudah tertidur pada sofanya itu. Jevano duduk pada lantai di hadapan istrinya. Ia benarkan rambut Anna yang menghalangi wajahnya, "anna terima kasih sudah percaya sama saya. Mau bagaimanapun hasilnya nanti, saya tidak akan pernah melepaskan kamu." Selepasnya, Jevano memasangkan jas miliknya untuk menutup tubuh Anna. Sedangkan ia akan kembali sibuk dengan pekerjaannya. Keesokan paginya, Anna baru saja terbangun dari tidurnya. Wanita itu langsung menoleh pada sang suami yang masih sibuk dengan kerjaannya.
"Kamu gak bisa baca?" tanya Jevano. "Saya mau memutuskan kontrak kerjasama dengan kamu," "Kenapa?" tanya Elin. Jevano mendecak dengan senyuman remehnya, "kenapa, kamu bilang? Harusnya saya gak perlu jelasin hal ini lagi." "Tapi Mas, Aku merasa dirugikan dengan pembatalan ini," protes Elin. Jevano manggut-manggut lalu mengambil berkas di meja kerjanya, "kamu bisa lihat kerugian yang saya tanggung karena berita yang tidak benar itu. Kamu mau ganti rugi? Atau kamu terima saja pembatalan kontrak kita?" tanyanya menggunakan pilihan. Elin menatap Jevano dengan kepalan tangannya kesal. Tidak ingin berlama-lama mengurusi Elin, Jevano meminta Gio untuk menyiapkan surat pemutusan kontrak kerjasama antara perusahaan dan Elin sebagai modelnya. Dengan kesalnya, Elin terpaksa menandatangani surat itu dibanding hartanya akan terkuras untuk mengganti kerugian yang Jevano tanggung. Wanita
Jevano membuka pintu kamar mandinya ketika mendengar sang istri sudah menangis. Laki-laki itu membawa Anna pada pelukan hangatnya. "Anna sudah ya!" bujuknya, "saya gak marah sama kamu. Saya tadi hanya berusaha mengontrol napsu saya." Anna mendongak dengan wajah merah dan sisa air mata pada wajahnya, "beneran?" Jevano terkekeh lalu menghapus air mata di wajah istrinya, "iya Anna." "Sekarang kita tidur aja ya! Mas udah ngantuk pengen peluk Anna," ajaknya membuat Anna terkejut kembali. Anna mendongak setelah Jevano mendekapnya, "bukannya Mas dingin ya? Kok malah clingy kayak gini?" tanyanya. "Ya emangnya kenapa? Saya dingin sama yang lain, beda lagi kalau sama istri," jawabnya. "Dulu Mas dingin tuh, sampe suruh Anna tidur di gudang sama bekal makan siang Anna sampe tumpah di depan perusahaan," ujar Anna mengungkitnya. Jevano menunduk menatap istrinya,
Anna masuk ke mobil suaminya, "mas tau gak?" tanyanya dengan semangat. Jevano malah mendekat pada istrinya, memasangkan sabuk pengaman lalu mengecup bibir istrinya ketika wanita itu memundurkan wajahnya dengan tutupan mata. "Enggak Anna, apa memangnya?" tanya Jevano sembari melajukan mobilnya dengan santai keluar dari parkiran rumah sakit. Anna mendelik pada suaminya, "mas pasangin sabuknya sambil modus." Jevano terkekeh, "abisnya suruh siapa merem gitu." "Ya kan Aku kira kamu ngapain," timpalnya. "Tuh kan kamu juga udah berpikiran ke sana, sekalian aja kalau gitu," ucap Jevano. Anna menekuk wajahnya sembari mengedarkan pandangannya dari sang suami yang sangat tampan ketika menyetir dengan lengan kemejanya yang ia gulung. Jevano terkekeh, "barusan mau kasih tau apa? Kok kayaknya semangat banget," tanya Jevano
"Ceritanya Ibu masih gadis atau enggak?" tanya Jevano dengan gurauannya. Anna memukul dada bidang suaminya, "ih tau ah Aku marah beneran," ucapnya. Jevano terkekeh mendengarnya, "iya, iya bercanda Sayangku." "Mas pilih kamu," sambungnya. Anna mendongak pada suaminya. Dengan cepat Jevano mengecup bibir mungil istrinya itu, "udah ayo tidur udah malem tuh!" ajaknya langsung, sebelum istrinya itu protes kembali. Jevano terlihat begitu nyenyak sembari mendekap istrinya. Namun tidak dengan Anna, tengah malamnya Jevano terbangun mendengar igauan sang istri. Tangisan dari Anna bahkan membuatnya bertanya-tanya dengan kejadian sesakit apa setelah sepeninggal ibunya. "Anna ini Mas, Sayang," ucap Jevano membangunkan istrinya. Dengan wajah penuh keringat, wanita itu terbangun lalu menangis sembari memeluk suaminya dengan erat. Piyama Jevano bahkan digenggam erat oleh tangan mungilnya.
Anna mendelik dengan tatapan sinisnya, "gak usah modus," tukasnya lalu masuk ke kamar mandi. Jevano hanya menggelengkan kepalanya sembari terkekeh dengan kelakuan sang istri. Beberapa menit kemudian, Anna keluar dengan pakaian dinasnya. Sedangkan Jevano entah kemana dia karena tidak ada di kamar saat ini. Anna asik berdandan di kamar suaminya. Tidak lama setelah itu, Jevano membawa nampan dengan isi roti panggang dan susu cokelat kesukaan sang istri. "Mas darimana?" tanya Anna sembari menoleh pada sang suami yang baru saja masuk ke kamar. "Abis siapin ini buat kamu," jawabnya dengan menaruh nampan pada meja rias di hadapan sang istri. Anna mengulas senyumannya, "kok dibawa ke sini?" "Ya kan takutnya kamu mogok makan karena ada Ayah di sini," timpalnya membuat Ann
Anna terkekeh ketika tangan suaminya itu langsung terlepas karena terkejut dengan teriakan Bi Ani pada ambang pintu kamarnya. "Tuh kan apa Aku bilang, jadinya ketauan sama orang lain. Malu kan kamu?" ledek Anna sembari menahan senyumannya melihat ekspresi sang suami kali ini. "Bibi sejak kapan ada di sini?" tanya Jevano, "perasaan tadi belum ada." "Bibi baru dateng kok Tuan," jawabnya dengan senyuman. Jevano mengangguk paham lalu kembali menoleh pada asisten rumah tangganya, "bibi panggilnya Mas aja. Kan sama istri saya aja manggilnya Mbak." "Saya makin gak enak Tuan kalau gitu," tolak Bi Ani canggung. Jevano menghela napasnya, "ya udah Bi gak apa-apa, seenaknya bibi aja lah." Setelah mengangguk paham, Bi Ani memilih untuk kembali masuk dan membereskan barang yang dibawanya. Karena Anna yang memasak makan malam hari ini. Beberapa waktu kemudian, Anna sudah menyajikan masakannya di meja maka
Jevano menatap istrinya dengan lekat, "tapi kamu diem di jalan masuknya Sayang. Atau emang mau mandi lagi bareng Mas?" godanya. Anna menyunggingkan bibirnya, "enggak ya!" tolaknya langsung pergi menjauh dari sang suami. Jevano terkekeh mendengarnya. Hari sudah mulai siang, Jevano sendiri yang mengantar istrinya ke rumah sakit karena dirinya memutuskan untuk tidak pergi ke Perusahaan di hari libur ini. Laki-laki itu menoleh pada istrinya setelah sampai di parkiran rumah sakit, melepaskan sabuk pengamannya pada sang istri. "Mas jangan sedih gitu dong!" bujuk Anna, "nanti Anna gak bisa konsen kerjanya." "Ya abisnya masa Mas nanti di rumah berduaan sama Ayah. Kayak bujang sama duda aja," jawabnya membuat Anna terkekeh pelan. "Iya sabar ya!" ucap Anna dengan senyumannya lalu mengecup pipi sang suami. Jevano masih meneku
Pria itu masih terdiam sembari menunduk merasa kebingungan. Jevano menggebrak mejanya hingga papan bundar itu bergetar dan menambah ketegangan. Ia dekati sang karyawan lalu duduk di dekatnya, "pak, kita sudah bekerja sama lumayan lama. Bahkan dari saat Ayah masih produktif bekerja dan sekarang dia sudah meninggal." "Saya percayakan kepada Bapak tentang keuangan perusahaan. Lalu apa yang bisa Bapak jelaskan tentang semua ini?" tanya Jevano sembari menunjuk berkas laporan keuangan. Keringat pria itu mulai bercucuran, rasanya bisa sampai membanjiri ruangan itu jika Jevano terus menatapnya dengan tajam. "Bapak masih mau bungkam?" tanya Jevano lagi. "Itu..... Untukkk-""Untuk keperluan Bapak sendiri?" tanya Jevano dengan tatapan tajamnya itu. Gio sebenarnya tidak tega jika rekannya sedang dimarahi oleh Jevano. Dia saja yang setiap harinya bersama dengan Jevano akan takut jika dia sudah memasang mata tajamnya itu. "Untuk keperluan berobat anak saya," jelas Bapak manajer keuangan itu.
"Aku gak merubah Mas. Justru Mas yang berubah," jelas Anna. "Kan berkat kamu, Mas jadi berubah," timpa Jevano. Anna menggelengkan kepalanya, "mas.... Seseorang gak bakalan berubah kalau bukan dirinya sendiri yang mau berubah." Jevano tersenyum mendengar penuturan istrinya. Ia dekatkan wajahnya pada Anna. Namun Anna segera menahannya, apalagi Gio juga mengetuk pintu ruangan atasannya kembali. Jevano memasang wajah kesalnya sembari memangku sang anak yang kini tertidur. Tangan Gio begitu bergetar terlihat oleh Anna karena ditatap tajam oleh istrinya. Anna menyenggol lengan suaminya, hingga ia menoleh dan memberikan isyarat bahwa ekspresinya kini menyeramkan. "Ada apa Gi?" tanya Jevano. "Pak, ini laporan keuangan minggu lalu yang bapak minta," jawab Gio sembari menyerahkan berkas yang diminta atasannya tadi. "Oh ya sudah kamu simpan dulu saja di meja saya ya!" ucapnya, "makasih." Gio sempat terdiam mendengarnya. "Kenapa Gi?" tanya Anna merasa heran dengan ekspresi sek
"Kata istri saya, kalau kamu suka sama dia atau mau memulai mengenal dia lebih dulu gak ada yang salah buat ketemu dulu, sekedar ngobrol dulu. Toh dia juga udah kenal kamu, jadi kayaknya gak masalah kalau kamu mau temuin dia dulu," jelas Jevano. Gio terdiam mendengarnya. "Gi kesempatan gak akan datang 2 kali. Setau saya dia juga baik dan ramah sama orang lain, bukannya kamu yang lebih berpengalaman sama dia dibanding saya? Kamu juga lebih banyak interaksi sama dia kan?" Gio mengangguk mengiyakan. Laki-laki itu juga mulai memikirkan pendapat dari istri atasannya ini. Selama dirinya mencoba aplikasi kencan ini, memang dia tidak pernah merespon wanita lain kecuali Intan ini. Siang harinya, Gio memutuskan untuk tidak makan siang bersama dengan sang atasan. Kebetulan juga, Jevano akan diantarkan makan siang oleh istrinya. Anna berjalan dengan santainya menuju ruangan sang suami. Wanita itu mendorong stroller dengan sang anak yang tertidur dan kotak bekal yang Anna simpan di bawahnya.
"Loh kenapa?" tanya Anna. Jevano kembali menceritakan kembali alasan mengapa sekretarisnya itu membatalkan janji kencannya. Anna terkekeh pelan, "dia batalin cuman karena temen sekantornya?" "Iya Sayang. Padahal anaknya ramah, terus kayak interaksi banyak banget sama Gio. Kalaupun udah merasa cocok menurut Mas pantes aja mereka kalau saling suka juga," jelas Jevano. "Cantik, mas?" tanya Anna. Jevano mengulas senyumannya, "lebih cantik kamu." Anna mendelik, "bohong banget." "Loh kok bohong?" tanya Jevano, "beneran loh Sayang." "Iya deh iya," timpal Anna dengan senyumannya. Setelah makan malam selesai, Anna dan Jevano memilih untuk masuk ke kamar. Sekalipun memang keduanya belum mengantuk setelah kenyang menyantap masakan Anna. Jevano merangkul pinggang sang istri yang sedang memainkan ponselnya di kasur, "sayang.""Iya Mas?" tanya Anna menoleh pada suaminya. "Kamu mau tas-nya?" tanya Jevano, "perasaan dari kemarin Mas liat kamu liatin tas itu terus." Anna tersenyum, "mau si
"Kenapa Pak?" tanya Gio. "Anna udah bilang kalau dia mau bawain makan siang tadi pagi. Tapi saya malah makan siang sama kamu," jawabnya. "Hayoh loh Pak! Mbak Anna pasti marah itu, kesel karena Bapak udah makan siang sendirian," ucapnya. Jevano mendelik pada sekretarisnya, ia menarik tangan Gio untuk ke ruangannya juga. Laki-laki itu berpura-pura belum mengetahui sang istri sudah berada di ruangannya. Jevano tersenyum ketika membuka pintu ruangannya. "Dikira Mas belum sampai," pungkas Jevano lalu duduk di samping istri dan anaknya. Rezkiano yang sudah mulai aktif itu sudah terlihat senang melihat Jevano yang baru saja duduk. Anak itu sudah merentangkan tangannya untuk dipangku oleh sang ayah. Jevano dengan senang hati memangkunya, Bercanda dengan sang anak memang waktunya yang paling berharga kali ini. Apalagi jika dirinya sedang merindukan sang ayah yang sudah meninggalkannya setahun yang lalu. Sekalipun semasa kecilnya, Jevano tidak pernah merasakan hal seperti ini. Setidakn
Gio menggelengkan kepalanya. "Terus kenapa bisa gagal?" tanya Jevano lagi. "Saya kenal sama dia," jawab Gio. "Kenal? Siapa?" tanya Jevano beruntun. Gio sempat terdiam sebelumnya. Laki-laki itu menghela napasnya lalu menjawab, "Intan." "Intan yang kerja di sebelah kamu?" tanya Jevano. Gio mengangguk mengiyakan. "Kok bisa?" tanya Jevano, "emang sebelumnya gak pernah lihat foto atau apapun?" Gio menggelengkan kepalanya, "di aplikasinya gak nunjukin foto juga gak apa-apa Pak. Makanya saya awalnya tertarik karena emang gak harus keluarin foto saya," jelasnya. "Ya terus kenapa gak jadi kencannya?" tanya Jevano lagi, "kan bisa aja kalian pacaran nantinya karena nyambung dan cocok. Syukur-syukur kalau sampai menikah." Gio menggelengkan kepalanya, "enggak deh Pak. Mending saya cari yang lain aja." "Emangnya kenapa?" tanya Jevano heran. Intan kerjaannya baik kok." "Iya sih Pak. Cuman dia suka ngeselin aja," jawab Gio. Jevano terkekeh mendengarnya. Ia menggelengkan kepalanya heran p
"Ya enggak sih, cuman kadang suka gemes aja kalau kamu kelakuannya kayak bayi begini. Badan aja gede," jawab Anna sembari mencubit pipi suaminya. "Biarin yang penting Mas bisa manja sama kamu," timpal sang suami. Anna manggut-manggut, "ya udah awas dulu! Anna bawain dulu makanan buat Mas." "Makannya bareng aja," jawabnya. "Katanya tadi mau di kamar!" "Iya di kamar, maksudnya kamu sambil makan sambil suapin Mas," jelasnya.Anna mengangguk, "ya udah tunggu ya!" Jevano mengangguk dengan senyumannya. Dengan cepat Anna kembali ke kamar dengan masakan makan malam yang sudah dimasaknya tadi. Ia menyuapi suaminya dengan telaten hingga makanan yang ada di piring itu habis dimakan bersama. Jevano meminum obatnya kembali lalu mengganti pakaiannya dan segera beristirahat. Begitupun dengan Anna yang segera menidurkan sang anak yang mulai aktif itu, lalu tidur di samping suaminya. Keesokan paginya, syukurnya Jevano tidak sampai demam. Mungkin laki-laki itu pusing karena kerjaan yang selalu
"Bukan gitu Sayang," "maksudnya gimana dong Mas?" tanya Anna, "kan kamu yang bilang barusan kayak begitu." Jevano terus membujuk istrinya hingga Anna menahan senyuman melihat wajah suaminya yang menggemaskan itu. "Bukan maksud Mas begitu loh Sayang. Maafin ya!" pintanya. Anna mengangguk, "iya deh iya. Anna maafin." "Tapi kalau ada yang ngajakin kencan mau?" tanya Anna dengan gurauannya. "Kalau kamu yang ngajakin Mas terima," jawabnya membuat Anna terkekeh. Hari-hari berikutnya,Gio nampak terlihat biasa-biasanya sebelumnya, hingga akhirnya Anna dan Jevano mendapati laki-laki itu sedang berdandan seolah akan bertemu dengan seseorang yang penting. "kamu mau ketemu sama siapa Gi?" tanya Jevano, "perasaan sekarang gak ada jadwal ketemu client." "emang gak ada Pak. Saya cuman pengen rapih aja," jawab Gio membuat Jevano menatapnya curiga. Begitupun dengan Anna. "Ada apa Pak?" tanya Gio. Jevano menggelengkan kepalanya, "enggak deh. Yuk berangkat," ajaknya lalu masuk ke mobil dan m
"Mungkin itu privasinya kali Mas," jawab Anna. "Tapi jangan lama-lama ya!" pinta Jevano. Anna mendecak lalu mengangguk mengiyakan. Setelah suaminya makan siang, Anna keluar untuk mengobrol dengan Gio, sedangkan anaknya dititipkan pada sang ayah. Gio mengajaknya untuk mengobrol di pantry sembari menyajikan teh hangat untuk Anna. "Makasih ya Gi," "Sama-sama Mbak," jawab Gio sembari terlihat gugup untuk berbicara. "Gak usah gugup sampe celingukan begitu, Mas Jevano jagain Rezky gak bakal ke sini," ucap Anna. Gio terkekeh, "bukan Mbak. Saya takut ada yang dengerin aja." "Emangnya mau ngobrol apa?" tanya Anna penasaran. Gio menjelaskan bahwa dirinya sedang mendekati seorang wanita dari aplikasi kencan. Namun dirinya sedikit kebingungan ketika sang pasangan memintanya untuk bertemu dan lebih dalam untuk berkomunikasi. Anna menautkan alisnya, mengapa hal ini saja Gio menanyakan padanya. Padahal Gio juga bukan lagi laki-laki yang baru saja menginjak usia remaja. "Menurut Mbak gima