Setahu Fyan, dalam seminggu ini, Rey tiga kali mengantarkan Ara. Itu artinya mereka jalan bareng sebanyak tiga kali. Yang jelas selama seminggu ini, Ara tidak pernah berkunjung ke rumah Fyan, tidak ada menelepon juga. Intinya tidak ada komunikasi. Hingga sore ini, Mama menghubungi Fyan. "Aku masih di kantor, Ma. Memangnya ada apa?" tanya Fyan pada wanita yang sudah dianggap sebagai ibunya itu. Mama bertanya tentang keberadaan Fyan."Sebenarnya Mama pengen ketemu sama kamu, tapi kamu kenapa nggak ke rumah-rumah?""Maaf, Ma. Fyan lagi sibuk di kantor, jadi nggak sempet ke rumah mama.""Nggak apa-apa kalau kamu sibuk. Mama takutnya kamu lagi berantem sama Ara, soalnya Ara juga nggak pernah ngebahas kamu. Biasanya sebentar sebentar dia ngomongin Bang Fyan, tapi sekarang, kok, enggak.""Fyan sama Ara gak kenapa-kenapa, kok, Ma. Fyan benar-benar sibuk dan Ara juga sibuk ngerjain skripsi 'kan.""Tapi .... ""Tapi apa, Ma?" Fyan bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju jendela ruangan kan
Hari ini Rey bermaksud untuk tidak menghubungi ataupun bertemu dengan Ara. Setelah satu minggu kemarin mereka sempat bertemu beberapa kali. Maksud Rey adalah ingin perlahan-lahan menjauh dari gadis itu.Seperti janjinya dalam hati, Rey tidak ingin menyakiti Ara dengan cinta palsunya. Dia juga tidak ingin mengkhianati Nindy. Tetapi bagaimana kalau ternyata benar Ara terlanjur jatuh hati padanya. Ini tugasnya untuk memberikan pengertian perlahan-lahan.Seharian ini, ia pun sengaja tidak banyak membuka ponsel. Ada beberapa chat dari Ara yang sengaja tidak dibuka. Nanti malam baru ia akan membukanya dengan alasan sibuk. Bukankah biasanya dia juga melakukan hal seperti itu pada cewek-cewek yang sudah bosan ia pacar sewaktu kuliah dan masih suka berpetualang dari satu hati ke hati yang lain.Akan tetapi ada satu hal yang tidak dimengerti oleh Rey. Saat dirinya menatap layar laptop, yang terus terlintas justru wajah Ara. Ara seperti yang sudah mengisi ruang hatinya, tetapi pria itu ingin me
Gadis manis yang menggunakan kemeja biru muda itu duduk dengan gelisah di bangku yang berada di bawah pohon flamboyan. Sesekali ia melirik jam tangan yang berada di pergelangan tangan kirinya, kemudian menoleh ke arah jalan. Seperti yang menunggu kehadiran seseorang.Sebentar kemudian, matanya kembali tertuju pada buku tebal yang berada di tangannya. Membukanya sembarang lalu menutupnya lagi. Begitu dan begitu terus hingga hal itu ia lakukan berulang-ulang.Ia meletakkan buku di samping tempat duduknya, di dekat tas ransel yang tergeletak sejak tadi. Berdiri lalu berjalan beberapa langkah sampai kembali melirik benda bulat yang melingkar di pergelangan tangannya.Kemudian ia pun duduk kembali dan meraih buku itu lalu meletakkannya di pangkuan.Sudah lebih dari setengah jam Ara di sana menunggu keajaiban. Tadi sewaktu di kampus, Maya sudah memintanya untuk tidak terlalu berharap. Tetapi gadis itu bersikeras dan yakin kalau sore ini Rey akan datang menemuinya. "Kayaknya selera Bang Rey
Tanpa mereka sadari, dari kejauhan sepasang mata mengintip dari dalam sebuah mobil. Memandang keduanya dengan tatapan miris. Sore ini Fyan bermaksud ingin duduk santai di taman. Namun, ia melihat mobil Rey terparkir. Pria itu pun kemudian melajukan kendaraannya perlahan sambil memperhatikan ke area taman. Fyan yakin kalau Rey sedang bersama Ara di sana. Pemuda itu menghela panjang berulang kali untuk meredakan sesak di dadanya. Ia cemburu pada Rey yang baru saja beberapa hari akrab dengan Ara, tetapi sudah bisa merebut hati gadis itu. Sementara dia yang belasan tahun bersamanya, sekarang terkesan dilupakan. Bahkan komunikasi mereka jadi kaku.Fyan ingin marah, bahkan sisi kelelakiannya ingin berbuat kasar pada Rey. Tetapi jika dipikir lagi, itu akan membuat Ara semakin tidak suka padanya dan hubungan mereka pun akan semakin renggang. Pada akhirnya Fyan memilih diam, meredam perasaan kecewa dan amarah yang menguasai hatinya.Memang sulit untuk berdamai dengan hati sendiri. Semua Fya
Pagi-pagi Ara bertandang ke rumah Fyan dengan wajah yang berseri-seri. Pemuda yang tengah memanaskan mobilnya itu menautkan kedua alisnya. Sudah lama sejak ada Rey diantara mereka, Ara tidak pernah datang dengan wajah seperti itu. Fyan lantas berpikir apa mungkin sekarang Ara sudah kembali seperti semula?"Pagi, Bang.""Hei, pagi. Tumben?!" Dengan pandangan menelisik, Fyan menyahut."Ih Abang, kok, bilangnya tumben? Bang Fyan masih marah ya, sama Ara?""Siapa yang marah? Lagian marah karena apa? Memangnya kapan Abang marah sama Ara?" Tiga pertanyaan itu sekaligus Fyan ajukan."Buktinya .... ""Buktinya apa? Kenyataannya kamu yang yang berubah karena keasikan punya teman baru. Apa kabar kamu , Ra? Apa Rey tidak mengganggumu?""Rey baik, kok. Bahkan Ara sama Rey .... " Gadis itu tersenyum sambil menautkan kedua jemarinya.Rey mengalihkan pandangan, khawatir kalau kabar yang akan Ara sampaikan adalah kabar buruk. Bagaimana kalau gadis itu sudah diapa-apakan oleh Rey."Kenapa? Apa yang te
"Papa tidak bisa mengatur kamu harus tinggal di mana, sebab itu menjadi hak kamu sepenuhnya. Papa hanya berharap, di manapun berada, kamu selalu dalam keadaan baik-baik saja dan punya karir yang bagus." Itu yang dikatakan Papa ketika malam ini Fyan datang ke rumahnya untuk berpamitan. Sebenarnya berat bagi Papa untuk menerima keputusan Fyan yang akan menyusul Ayah Bundanya ke Surabaya. Akan tetapi, Papa tidak bisa berbuat banyak, ia tidak punya hak apa-apa pada pemuda itu. Meskipun kasih sayangnya sama dengan pada anak-anaknya."Kalian berantem?" Mama melirik Fyan dan Ara secara bergantian. Sejak tadi anak gadisnya tidak bersuara, Ara hanya menunduk mendengar penuturan Fyan yang berpamitan akan pindah ke Surabaya."Nggak, kok. Ma. Fyan nggak ada masalah dengan Ara. Fyan cuma merasa punya beban. Merasa harus mendampingi Ayah. Di usianya yang sudah tidak lagi muda, seharusnya biar ada di sisinya untuk menemaninya berkarir." Akhirnya Fyan menemukan alasan, meskipun yang sebenarnya keper
"Ini coklatnya, Ra!"Rey mengulang ucapannya setelah beberapa detik yang lalu ia mengatakan hal yang sama, namun tidak mendapat respon dari kekasihnya itu. Kali ini, pemuda itu menambah volume suaranya."Eh, iya. Udah, ya? Kok cepet?" Ara berbalik dalam keadaan setengah kaget sambil menerima cup coklat panas. Menurut perasaannya, Rey baru saja pergi meski pada kenyataannya pria itu sudah pergi lebih dari 15 menit. Karena pikiran Ara akhir-akhir ini terganggu oleh kepergian Fyan, maka gadis itu sering melamun."Udah lama, kok, hampir setengah jam. Kamu aja yang bengong terus." Rey tersenyum miris, dia pun sadar perubahan yang terjadi pada kekasihnya itu akhir-akhir ini."Masa, sih?" Ara tersenyum miring, gadis itu kemudian mendekatkan coklat yang masih mengepul pada wajahnya kemudian menghirup aroma itu seperti biasa sebelum menikmatinya.Rey duduk di sampingnya, pandangannya lurus ke depan. Sadar kalau kekasihnya ini sedang tidak fokus. Seminggu sejak Fyan pergi ke Surabaya, Ara kerap
"Ini sudah lebih dari 2 jam, lho, Mas. Sebenarnya kita mau ke mana? Dari tadi muter-muter terus, kita sudah jauh meninggalkan rumah." Gadis berkerudung ungu yang duduk di samping Fyan melirik jam tangannya sekilas. Kemudian ia menoleh ke arah pria berwajah datar yang sedari tadi fokus menyetir tanpa berkata apapun. "Mas!!" Pekik Ajeng sekali lagi."Tadi juga Mas bilang nggak usah ikut. Kamu yang ngeyel ikut, jadi sebaiknya diam saja jangan banyak protes." Tanpa menoleh ke arah Ajeng, Fyan menjawab dengan raut muka yang tetap datar."Tadi 'kan Mas Fyan bilang mau jalan sambil cari makan. Ini jalan terus kapan makannya. Aku bisa-bisa pingsan, lho, Mas," rengek Ajeng lagi sambil memalingkan pandangannya ke arah kaca jendela. Fyan tak menjawab. Dua bulan setelah kepindahannya ke Surabaya, nyatanya ia belum bisa melepaskan bayangan Ara dari ingatannya. Bahkan semakin lama, kerinduannya semakin menggunung. Dia pikir dengan pergi dari kota Bandung, akan membuatnya lupa. Ternyata itu salah
"Ha--hallo ... assalamualaikum .... " Ara tidak bisa membunyikan kegugupannya. Suaranya terdengar bergetar begitu mengucap salam. "Waalaikumsalam, Ra. Abang kira Ara tidak mau menerima telepon dari Abang. Barusan Mama menyampaikan kabar bahagia itu. Makasih, ya." Suara renyah Fyan terdengar sangat familiar di telinga Ara. Seharusnya gadis itu rindu, tetapi entah kenapa saat ini Ara malah terkesan tidak suka. Bukan tidak suka orangnya, namun status mereka yang akan berubah. Itu yang membuat Ara gelisah. "Iya, Bang, tetapi ada syaratnya." "Katakan saja, apa yang harus Abang lakukan. Oh ya, apa kabar kamu, Ra?" Seperti biasa, Fyan selalu mengalah dan berusaha menurut apa yang Ara mau. "Ara baik, Bang. Eum .... ada baiknya kita ketemu, Bang. Kayaknya hal ini nggak bisa dibicarakan lewat telepon." Suara Ara tetap datar. "Eh, iya. Tentu saja kita harus ketemu, besok Abang jemput Ara di toko, ya." "Memangnya Abang tahu di mana toko Ara?" Gadis itu memicing. "Tahu, dong. Aban
Fyan sudah bisa menduga kalau tidak semudah itu Ara menerima perjodohan ini. Bahkan sebenarnya Fyan juga sudah siap jika gadis itu menolak. Meski demikian, kabar dari Mama cukup membuat Fyan mematung beberapa saat.Kecewa. Tentu saja.Hal inilah yang ia takutkan sejak dulu. Empat tahun yang lalu, saat ia merasa ada perasaan lain pada gadis itu. Perasaan lebih dari sekedar sahabat dan seorang kakak. Yang pada akhirnya Fyan harus kehilangan Ara saat gadis itu jatuh ke tangan Rey. "Kamu Jangan berkecil hati, Nak. Mama dan Papa akan terus meyakinkan Ara.""Jangan dipaksakan, Ma. Sesuatu yang terpaksa itu tidak akan baik nantinya. Fyan ingin Ara menerima ini dengan kesadaran penuh dan tanpa paksaan.""Tenang saja, ya. Mama dan Papa tahu kok, harus bagaimana.""Terima kasih, Ma. Kalau begitu izinkan Fyan bertemu dengan Ara, biar Fyan yang menjelaskan padanya.""Sabar dulu, ya, Nak. Tidak secepat itu, nanti setelah Ara bisa ditemui malah akan kabarin, kok."Panggilan terakhir, Fyan meletakk
Pulang dari bertemu dengan mama dan papanya Ara, Fyan merasa lega mendengar kabar gadis itu masih sendiri. Berarti ia mempunyai kesempatan untuk mewujudkan harapannya. Senyum tak lepas dari bibirnya, sepanjang perjalanan Fyan bersenandung kecil. Dunia yang sempat terasa sempit kini kembali melebar. Fyan berharap, semoga saja Ara menyetujui rencana mama dan papanya. Gadis itu pasti kecewa kepada Rey. Semoga kehadiran Fyan kembali akan membuka hatinya dan menjadi pelipur dukanya. Hari itu Fyan tidak kembali ke kantor. Ia mengirim pesan pada sekretarisnya untuk menghandle beberapa pekerjaan. Pemuda itu langsung pulang ke rumah lantaran ingin segera berbaring dan merayakan kebahagiaannya sendiri.Hal yang pertama Fyan lakukan setelah sampai di rumah adalah mencari media sosial Rey. Ia ingin bertanya pada sahabatnya itu kenapa sampai hati melakukan ini pada Ara.Terakhir kali Fyan berkomunikasi dengan Rey entah berapa tahun yang lalu. Kalau tidak salah tak lama setelah dia berada di Sura
Sudah hampir dua bulan Fyan tinggal di kota Bandung. Hari demi hari ia lalui sangat membosankan. Kegiatannya hanya ke kantor dan di rumah. Fyan termasuk orang yang tidak suka keluyuran atau nongkrong tidak jelas. Sesekali menginap di rumah Shafia jika Fyan sedang ingin makan makanan rumahan. Setiap hari makan di restoran memang tidak enak. Mau masak di rumah rasanya tidak seru kalau dimakan sendirian.Shafia pernah menyarankan supaya Fyan mencari seorang ART, tetapi sang adik tidak mau. Untuk bersih-bersih rumah, Fyan bisa mengerjakannya sendiri. Bukankah sekarang sudah banyak alat yang membantu. Pakaian dicuci di laundry. Selain rumah Shafia, hari minggu biasanya Fyan berkunjung rumah yang baru saja ia beli untuk melihat pembangunan yang sudah hampir selesai. Membayangkan suatu saat ia tinggal di sini bersama keluarga kecilnya. Bahagia dengan seorang istri dan mereka saling menyayangi. Lagi-lagi wajah Ara yang muncul ketika Fyan membayangkan masa depan.Selam dua bulan tinggal di B
Satu bulan setelah pernikahan Ajeng dan Pras dilaksanakan. Tepatnya satu bulan setengah setelah Ayah meminta Fyan pindah ke Bandung. Namun belum ada tanda-tanda pemuda itu bersiap-siap untuk pergi ke kota tersebut. Ayah dan Bunda pun belum membahasnya lagi sejak pembicaraan saat itu. Fyan sendiri bukan lupa kalau saat itu dirinya mengiyakan permintaan Ayah. Namun dirinya masih menimbang dan ragu untuk kembali ke kota itu. Meski jujur saja, dalam hatinya penasaran dengan kabar Ara, namun dia masih tetap tidak punya keberanian untuk mencari tahu tentang gadis itu. Malam ini, Ayah dan Bunda kembali membahas hal itu selepas mereka makan malam. "Sudah hampir dua bulan lho, Nak? Jadi mau kapan?" Bunda membuka pembicaraan dengan sebuah pertanyaan."Sebentar lagi, Bun. Ada pembangunan yang belum selesai di panti asuhan. Lagi pula Ajeng dan Pras masih pengantin baru.""Sudah satu bulan menikah, harusnya Ajeng dan Pras sudah kembali aktif. Bulan madu kan bisa kapan-kapan. Kakakmu kemarin sud
"Bagaimana kabar tokonya Ara?" tanya bunda setelah beberapa menit berbasa-basi sekedar bertanya kabar. Pertanyaan itu pun masih bagian dari basa-basi. Terakhir Bunda mendengar kabar kalau Ara membuka usaha toko di ruko yang tidak jauh dari taman flamboyan."Alhamdulillah, Jeng. Karena ditekuni, usahanya semakin lancar bahkan sekarang menerima pesanan lewat online. Ara juga kelihatannya semakin dewasa tidak manja lagi seperti dulu." Terdengar tawa kecil dari seberang telepon. Bunda membayangkan gadis kecil itu sekarang sudah berubah menjadi wanita dewasa. Gadis kecil yang dulu selalu tampil dengan rambut dikuncir satu di belakang yang kerap merengek manja memintanya membuatkan sesuatu tatkala dirinya sedang di dapur."Saya sebenarnya sangat kangen sama Ara. Tapi, kok, nomornya tidak aktif, ya." "Sepertinya Ara ganti nomor, Jeng. Kalau begitu, nanti saya kirim nomor baru Ara.""Ndak usah, Jeng. Ara sekarang sibuk di tokonya, takut mengganggu waktunya. Mendengar dia sehat dan baik-baik
"Hah?! Willy?!"Seketika mama dan papa menatap Ara penuh tanya ketika mendengar anak keduanya itu seperti kaget."Kenapa? Ara kenal?" Mama tak bisa menahan rasa penasarannya."Eum ... anu .... " Ara berusaha menyembunyikannya kagetnya."Atau ... jangan-jangan kalian sudah ...." Mama tersenyum sambil menatap tajam ke arah putrinya, kemudian ia beralih pada suaminya. Berharap kalau Ara dan Willy sudah saling kenal atau bahkan sering berkomunikasi. Itu sebabnya Tuan Markus membahas mereka."Ara pernah dengar nama itu sewaktu kuliah dulu. Kayaknya dia kakak tingkat Ara. Tetapi .... " Ara memutuskan untuk tidak memberitahu Mama dan Papa perihal pertemuannya dengan Willy beberapa hari yang lalu."Tetapi apa?" Lagi, Mama antusias mengajukan pertanyaan. Perempuan itu semakin berharap."Tetapi ... dulu dikenal sebagai mahasiswa yang suka gonta-ganti pacar." Ara melirik Mama yang nampak sedikit kaget.Mama menghempaskan bagian belakang tubuhnya kesadaran kursi. Sesungguhnya ini jawaban yang ti
Usaha yang dijalankan Ara bersama Maya berjalan lancar. Selain melayani pembeli langsung, mereka juga menyediakan layanan online yang lebih dari separuhnya pendapatan mereka berasal dari penjualan online ini. Pelanggannya pun tidak terbatas dari dalam kota saja. Tetapi merambah ke luar kota, bahkan luar provinsi. Modal yang Ara pinjam dari Papa juga sudah dikembalikan. Sebenarnya Papa menolak, tetapi Ara bersikeras. Atas bantuan Mama, akhirnya Papa mengalah. Aktivitas yang cukup menyita waktunya ini berhasil mengalihkan pikiran Ara dari Rey. Pemuda yang ditunggunya selama hampir 3 tahun itu memang sempat membuat hari-hari gadis yang sekarang mantap berhijab itu terasa menyakitkan. Beruntung ada Maya juga mama dan papa yang selalu memberikan dukungan hingga ia bisa berhasil melewati masa-masa sulitnya. Meskipun tidak jarang Ara teringat pada pemuda itu, namun kembali ia menyibukkan diri pada pekerjaannya.Hidup sederhana yang dijalankan oleh Ara membuat ia benar-benar mandiri. Ia p
"Sorry, bukannya kasar ... "Fyan mengangkat tangan tanda tidak ada masalah."Priska, kayak dia gak cocok jadi calon suami lu." Pria itu beralih menatap Priska. "Sorry bro, saya bukan calon suaminya." Fyan menegaskan sekali lagi."Priska bilang lu calon suaminya. Kalian korban perjodohan. Hahaha. Harusnya Priska mendapatkan pendamping hidup yang sesuai dengannya." Pria itu tertawa dengan nada mengejek. "Sudah dibilang saya bukan calon suaminya. Saya hanya teman lama yang baru ketemu lagi tadi siang." Fyan merasa tidak enak mendengar pria itu berkata dengan nada tinggi."Sudah, jangan berdebat. Jadi kamu cuma mau mempermainkan aku, Fyan?!" Sekarang giliran Priska yang berkata dengan nada tak kalah tinggi.Fyan mengalihkan pandangan sejenak. Memang susah kalau ngobrol dengan orang dalam keadaan setengah sadar."Mempermainkan apa, Priska?" "Kita sudah dijodohkan tapi kamu bilang bukan calon suamiku?!" Priska menunjuk wajah Fyan, sungguh tidak ada sopan santun."Tidak ada perjodohan di