"Papa tidak bisa mengatur kamu harus tinggal di mana, sebab itu menjadi hak kamu sepenuhnya. Papa hanya berharap, di manapun berada, kamu selalu dalam keadaan baik-baik saja dan punya karir yang bagus." Itu yang dikatakan Papa ketika malam ini Fyan datang ke rumahnya untuk berpamitan. Sebenarnya berat bagi Papa untuk menerima keputusan Fyan yang akan menyusul Ayah Bundanya ke Surabaya. Akan tetapi, Papa tidak bisa berbuat banyak, ia tidak punya hak apa-apa pada pemuda itu. Meskipun kasih sayangnya sama dengan pada anak-anaknya."Kalian berantem?" Mama melirik Fyan dan Ara secara bergantian. Sejak tadi anak gadisnya tidak bersuara, Ara hanya menunduk mendengar penuturan Fyan yang berpamitan akan pindah ke Surabaya."Nggak, kok. Ma. Fyan nggak ada masalah dengan Ara. Fyan cuma merasa punya beban. Merasa harus mendampingi Ayah. Di usianya yang sudah tidak lagi muda, seharusnya biar ada di sisinya untuk menemaninya berkarir." Akhirnya Fyan menemukan alasan, meskipun yang sebenarnya keper
"Ini coklatnya, Ra!"Rey mengulang ucapannya setelah beberapa detik yang lalu ia mengatakan hal yang sama, namun tidak mendapat respon dari kekasihnya itu. Kali ini, pemuda itu menambah volume suaranya."Eh, iya. Udah, ya? Kok cepet?" Ara berbalik dalam keadaan setengah kaget sambil menerima cup coklat panas. Menurut perasaannya, Rey baru saja pergi meski pada kenyataannya pria itu sudah pergi lebih dari 15 menit. Karena pikiran Ara akhir-akhir ini terganggu oleh kepergian Fyan, maka gadis itu sering melamun."Udah lama, kok, hampir setengah jam. Kamu aja yang bengong terus." Rey tersenyum miris, dia pun sadar perubahan yang terjadi pada kekasihnya itu akhir-akhir ini."Masa, sih?" Ara tersenyum miring, gadis itu kemudian mendekatkan coklat yang masih mengepul pada wajahnya kemudian menghirup aroma itu seperti biasa sebelum menikmatinya.Rey duduk di sampingnya, pandangannya lurus ke depan. Sadar kalau kekasihnya ini sedang tidak fokus. Seminggu sejak Fyan pergi ke Surabaya, Ara kerap
"Ini sudah lebih dari 2 jam, lho, Mas. Sebenarnya kita mau ke mana? Dari tadi muter-muter terus, kita sudah jauh meninggalkan rumah." Gadis berkerudung ungu yang duduk di samping Fyan melirik jam tangannya sekilas. Kemudian ia menoleh ke arah pria berwajah datar yang sedari tadi fokus menyetir tanpa berkata apapun. "Mas!!" Pekik Ajeng sekali lagi."Tadi juga Mas bilang nggak usah ikut. Kamu yang ngeyel ikut, jadi sebaiknya diam saja jangan banyak protes." Tanpa menoleh ke arah Ajeng, Fyan menjawab dengan raut muka yang tetap datar."Tadi 'kan Mas Fyan bilang mau jalan sambil cari makan. Ini jalan terus kapan makannya. Aku bisa-bisa pingsan, lho, Mas," rengek Ajeng lagi sambil memalingkan pandangannya ke arah kaca jendela. Fyan tak menjawab. Dua bulan setelah kepindahannya ke Surabaya, nyatanya ia belum bisa melepaskan bayangan Ara dari ingatannya. Bahkan semakin lama, kerinduannya semakin menggunung. Dia pikir dengan pergi dari kota Bandung, akan membuatnya lupa. Ternyata itu salah
Seperti biasa, sore hari di taman flamboyan. Sudah dua hari ini Ara tidak berkunjung karena tidak ada teman. Selepas Rey berpamitan untuk urusan kerjanya keluar kota, Rey tidak menyebut kemana pemuda itu akan pergi. Sengaja merahasiakannya dari Ara.Sore ini Ara memaksakan diri ke taman flamboyan. Ia kangen suasana sore di bawah pohon-pohon tinggi itu. Gadis itu berjalan melewati jajaran pohon flamboyan yang berdiri dengan anggunnya dengan coklat panas dalam genggaman.Alih-alih rindunya terobati, Ara malah semakin merasa kehilangan. Dua pria yang biasanya menemani santainya satupun tidak ada. Tangannya meraih benda yang berada di dalam tasnya, bermaksud menghubungi Rey. Akan tetapi, gadis itu harus menahan kecewa karena sepertinya ponsel Rey tidak aktif. Bahkan foto profilnya tidak ada, pesannya centang satu. Atau ... jangan-jangan nomornya diblokir."Rey mungkin sibuk dengan pekerjaannya, hingga dia tidak mau diganggu." Ara berusaha untuk berpikir positif karena Rey memang berpamit
Sejak saat itu, Fyan dan Ajeng rajin mengunjungi mereka di tempat itu setiap hari Minggu. Terkadang keras juga ikut kalau sedang tidak ada kerjaan. Selain membawakan makanan, keduanya juga kerap memberikan sejumlah uang. Maksudnya adalah, supaya anak-anak itu bersemangat mengikuti pelajaran. Semakin hari anak-anak yang datang semakin. Banyak diantara mereka tergiur dengan makanan dan uang yang diberikan oleh Fyan dan Ajeng. Namun tetap saja, ada yang datang ada yang pergi. Sebagian dari mereka ada yang bosan sehingga tidak mengikuti kegiatan itu lagi. Yang lainnya lagi ada yang bertahan juga ada yang baru. Fyan sangat menyukai kegiatan ini, lantaran ketika bersama anak-anak itu, dirinya bisa berhenti memikirkan Ara. Selama ini bayangan gadis itu tidak pernah lepas dari ingatannya, membuatnya harus tersiksa sepanjang hari bahkan sampai pagi lagi. Namun ketika bersama dengan anak-anak jalanan itu, iya seperti menemukan dunia yang baru dan melupakan dunia yang lama. Meski masih tersisa
Hari-hari tanpa Rey terasa begitu berat bagi Ara. Bahkan lebih berat dari kepergian Fyan setahun yang lalu. Hal itu disebabkan oleh status dua pria itu yang memang berbeda. Meski baru sebentar dekat dengannya, tetapi Rey istimewa di hati Ara. Lain lagi dengan Fyan, mereka memang selalu bersama sudah sejak lama, namun hubungan keduanya hanya sebagai kakak beradik, tidak banyak melibatkan perasaan. Selain itu, saat Fyan pergi ke Surabaya, Ara punya Rey yang menemani hari-harinya.Hal itu pula yang menyebabkan Ara tidak begitu kehilangan. Sementara Rey, selain sangat istimewa di hatinya, Rey benar-benar meninggalkannya sendiri. Hari-hari Ara tidak ada semangat, kehilangan gairah hidup dan kehilangan senyuman. Apalagi ke-empat sahabatnya sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing selepas mereka lulus kuliah. Ara sendiri selama ini tidak punya kegiatan yang rutin. Saat Maya mengajaknya melamar pekerjaan ke beberapa perusahaan, Ara menolaknya mentah-mentah. Bahkan saat Papa Baskara menga
Seperti yang dikatakan pada sahabatnya, Maya berhenti bekerja karena berbagai alasan. Gadis itu memutuskan untuk sementara tidak bekerja kantoran. Ia pun mulai memikirkan untuk mulai usaha sendiri.Hal ini sempat dibicarakan bersama sahabatnya, Ara. Namun, saat ini Ara sedang tidak bisa diajak kompromi, pasalnya gadis itu sedang kalut oleh urusan hatinya. Apalagi belakangan ini, komunikasinya dengan Rey mulai tidak lancar. Begitupun dengan Fyan."Sudahlah, lupain mereka! Kita pikirkan usaha apa kira-kira yang bisa kita jalani bersama," ucap Maya suatu hari ketika mereka sedang makan bersama."Aku benar-benar buntu, May. Gak bisa mikir." Maya mengaduk minumannya."Itu karena kamu terlalu fokus memikirkannya." Sebenarnya Maya geram dengan sikap Ara. Semenjak gadis itu punya pacar, Ara jadi berbeda. "Terus aku harus bagaimana? Dua tahun itu bukan waktu yang singkat. Ini baru beberapa bulan saja, kok, rasanya begini." Ara melepaskan sendoknya kemudian mengusap wajah dengan kedua telapak
Fyan menolak saay Pras akan mendampinginya ketika menemui Atmo. "Kalian tunggu di mobil saja!" "Tapi, Mas. Atmo itu ketua geng. Bagaimana kalau mereka .... " Pras nampak khawatir. "Aku akan membicarakannya baik-baik.""Mas, mereka mana bisa bicara baik-baik. Sudahlah, jangan ngeyel! Aku akan ikut!' Pras bersikeras untuk mendampingi Fyan. Hal itu disetujui oleh Ajeng."Tidak usah, kalian tunggu saja di sini! Nanti kalau ada apa-apa aku pasti minta bantuan, kok." Fyan kembali meyakinkan Ajeng dan Pras. Pras membuang nafas kasar, jika Fyan sudah berkata tidak, maka selamanya tidak. Begitupun sebaliknya. Pras tahu, pemuda ini berpendirian kuat."Hati-hati, ya, karena itu berbahaya!"Setelah menepuk pundak Pras, Fyan pun turun lalu memasuki gang yang terdapat di pemukiman padat di dekat pasar. Dari informasi dua anak asuhnya, di sanalah Atmo tinggal. Pras dan Ajeng menatap punggung Fyan dengan rasa was-was. Lantaran pemuda yang akan ditemui oleh Fyan bukan orang biasa. Atmo adalah kep