"Ini sudah lebih dari 2 jam, lho, Mas. Sebenarnya kita mau ke mana? Dari tadi muter-muter terus, kita sudah jauh meninggalkan rumah." Gadis berkerudung ungu yang duduk di samping Fyan melirik jam tangannya sekilas. Kemudian ia menoleh ke arah pria berwajah datar yang sedari tadi fokus menyetir tanpa berkata apapun. "Mas!!" Pekik Ajeng sekali lagi."Tadi juga Mas bilang nggak usah ikut. Kamu yang ngeyel ikut, jadi sebaiknya diam saja jangan banyak protes." Tanpa menoleh ke arah Ajeng, Fyan menjawab dengan raut muka yang tetap datar."Tadi 'kan Mas Fyan bilang mau jalan sambil cari makan. Ini jalan terus kapan makannya. Aku bisa-bisa pingsan, lho, Mas," rengek Ajeng lagi sambil memalingkan pandangannya ke arah kaca jendela. Fyan tak menjawab. Dua bulan setelah kepindahannya ke Surabaya, nyatanya ia belum bisa melepaskan bayangan Ara dari ingatannya. Bahkan semakin lama, kerinduannya semakin menggunung. Dia pikir dengan pergi dari kota Bandung, akan membuatnya lupa. Ternyata itu salah
Seperti biasa, sore hari di taman flamboyan. Sudah dua hari ini Ara tidak berkunjung karena tidak ada teman. Selepas Rey berpamitan untuk urusan kerjanya keluar kota, Rey tidak menyebut kemana pemuda itu akan pergi. Sengaja merahasiakannya dari Ara.Sore ini Ara memaksakan diri ke taman flamboyan. Ia kangen suasana sore di bawah pohon-pohon tinggi itu. Gadis itu berjalan melewati jajaran pohon flamboyan yang berdiri dengan anggunnya dengan coklat panas dalam genggaman.Alih-alih rindunya terobati, Ara malah semakin merasa kehilangan. Dua pria yang biasanya menemani santainya satupun tidak ada. Tangannya meraih benda yang berada di dalam tasnya, bermaksud menghubungi Rey. Akan tetapi, gadis itu harus menahan kecewa karena sepertinya ponsel Rey tidak aktif. Bahkan foto profilnya tidak ada, pesannya centang satu. Atau ... jangan-jangan nomornya diblokir."Rey mungkin sibuk dengan pekerjaannya, hingga dia tidak mau diganggu." Ara berusaha untuk berpikir positif karena Rey memang berpamit
Sejak saat itu, Fyan dan Ajeng rajin mengunjungi mereka di tempat itu setiap hari Minggu. Terkadang keras juga ikut kalau sedang tidak ada kerjaan. Selain membawakan makanan, keduanya juga kerap memberikan sejumlah uang. Maksudnya adalah, supaya anak-anak itu bersemangat mengikuti pelajaran. Semakin hari anak-anak yang datang semakin. Banyak diantara mereka tergiur dengan makanan dan uang yang diberikan oleh Fyan dan Ajeng. Namun tetap saja, ada yang datang ada yang pergi. Sebagian dari mereka ada yang bosan sehingga tidak mengikuti kegiatan itu lagi. Yang lainnya lagi ada yang bertahan juga ada yang baru. Fyan sangat menyukai kegiatan ini, lantaran ketika bersama anak-anak itu, dirinya bisa berhenti memikirkan Ara. Selama ini bayangan gadis itu tidak pernah lepas dari ingatannya, membuatnya harus tersiksa sepanjang hari bahkan sampai pagi lagi. Namun ketika bersama dengan anak-anak jalanan itu, iya seperti menemukan dunia yang baru dan melupakan dunia yang lama. Meski masih tersisa
Hari-hari tanpa Rey terasa begitu berat bagi Ara. Bahkan lebih berat dari kepergian Fyan setahun yang lalu. Hal itu disebabkan oleh status dua pria itu yang memang berbeda. Meski baru sebentar dekat dengannya, tetapi Rey istimewa di hati Ara. Lain lagi dengan Fyan, mereka memang selalu bersama sudah sejak lama, namun hubungan keduanya hanya sebagai kakak beradik, tidak banyak melibatkan perasaan. Selain itu, saat Fyan pergi ke Surabaya, Ara punya Rey yang menemani hari-harinya.Hal itu pula yang menyebabkan Ara tidak begitu kehilangan. Sementara Rey, selain sangat istimewa di hatinya, Rey benar-benar meninggalkannya sendiri. Hari-hari Ara tidak ada semangat, kehilangan gairah hidup dan kehilangan senyuman. Apalagi ke-empat sahabatnya sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing selepas mereka lulus kuliah. Ara sendiri selama ini tidak punya kegiatan yang rutin. Saat Maya mengajaknya melamar pekerjaan ke beberapa perusahaan, Ara menolaknya mentah-mentah. Bahkan saat Papa Baskara menga
Seperti yang dikatakan pada sahabatnya, Maya berhenti bekerja karena berbagai alasan. Gadis itu memutuskan untuk sementara tidak bekerja kantoran. Ia pun mulai memikirkan untuk mulai usaha sendiri.Hal ini sempat dibicarakan bersama sahabatnya, Ara. Namun, saat ini Ara sedang tidak bisa diajak kompromi, pasalnya gadis itu sedang kalut oleh urusan hatinya. Apalagi belakangan ini, komunikasinya dengan Rey mulai tidak lancar. Begitupun dengan Fyan."Sudahlah, lupain mereka! Kita pikirkan usaha apa kira-kira yang bisa kita jalani bersama," ucap Maya suatu hari ketika mereka sedang makan bersama."Aku benar-benar buntu, May. Gak bisa mikir." Maya mengaduk minumannya."Itu karena kamu terlalu fokus memikirkannya." Sebenarnya Maya geram dengan sikap Ara. Semenjak gadis itu punya pacar, Ara jadi berbeda. "Terus aku harus bagaimana? Dua tahun itu bukan waktu yang singkat. Ini baru beberapa bulan saja, kok, rasanya begini." Ara melepaskan sendoknya kemudian mengusap wajah dengan kedua telapak
Fyan menolak saay Pras akan mendampinginya ketika menemui Atmo. "Kalian tunggu di mobil saja!" "Tapi, Mas. Atmo itu ketua geng. Bagaimana kalau mereka .... " Pras nampak khawatir. "Aku akan membicarakannya baik-baik.""Mas, mereka mana bisa bicara baik-baik. Sudahlah, jangan ngeyel! Aku akan ikut!' Pras bersikeras untuk mendampingi Fyan. Hal itu disetujui oleh Ajeng."Tidak usah, kalian tunggu saja di sini! Nanti kalau ada apa-apa aku pasti minta bantuan, kok." Fyan kembali meyakinkan Ajeng dan Pras. Pras membuang nafas kasar, jika Fyan sudah berkata tidak, maka selamanya tidak. Begitupun sebaliknya. Pras tahu, pemuda ini berpendirian kuat."Hati-hati, ya, karena itu berbahaya!"Setelah menepuk pundak Pras, Fyan pun turun lalu memasuki gang yang terdapat di pemukiman padat di dekat pasar. Dari informasi dua anak asuhnya, di sanalah Atmo tinggal. Pras dan Ajeng menatap punggung Fyan dengan rasa was-was. Lantaran pemuda yang akan ditemui oleh Fyan bukan orang biasa. Atmo adalah kep
Pukulan pertama berhasil dihindari oleh Fyan. Meskipun pemuda itu merasa kesulitan bergerak lantaran Bagas yang terus memeluk dirinya. Kemudian dengan gerakan perlahan, Fyan berusaha melepaskan pelukan Bagas sambil memberi pengertian pada anak itu supaya berdiri agak jauh di belakangnya.Atmo kembali bergerak. Sudah jelas sekarang pemuda bertato itu ingin menyakiti Fyan. "Tenang dulu, Mas Atmo, kita bicara baik-baik." Fyan mengangkat kedua tangannya sebagai isyarat pada Atmo supaya menghentikan aksinya."Oh, jadi kamu takut sama aku?! Bagaimana kamu berlaga akan melindungi anak-anak itu sementara menghadapi aku seorang saja kamu takut." Atmo menepuk dadanya yang membusung."Bukan begitu, Mas Atmo. Selagi kita bisa membicarakannya dengan baik-baik, kenapa tidak? Menyelesaikan masalah secara dengan kekerasan, menurut saya, justru tidak akan selesai. Yang ada malah nambah masalah." Fyan berkata pelan-pelan, berharap emosi Atmo sedikit menurun. "Tidak usah mengguruiku! Aku tahu apa yan
Mendengar berita Fyan membawa delapan orang anak jalanan beserta Bagas dan Atmo ke panti asuhan, Ajeng hampir tidak percaya. Kalau saja ia tidak melihat anak-anak itu berada di Panti Asuhan. Begitupun dengan Pras, kekasih Ajeng itu menggeleng beberapa kali karena merasa tidak percaya akhirnya Atmo, orang yang diduga keras kepala itu akhirnya melemah.Meski demikian, Fyan dan teman-temannya tetap waspada. Jangan sampai Atmo membohongi mereka, siapa tahu itu akal-akalan dia saja.Seminggu tinggal di Panti Asuhan, anak-anak sudah mulai sekolah. Badan Mereka pun sudah bersih, pakaian rapi meskipun terlihat sederhana.Sementara Atmo menolak untuk sekolah, alasannya dia memang sudah besar dan sudah tidak seharusnya sekolah di pendidikan dasar. Tetapi ia berjanji akan belajar di lingkungan panti asuhan. Hal itu dibuktikan dengan rajin mengikuti kelas Diniyah di sore hari. Ajeng dibantu oleh dua orang temannya mengajar mereka membaca Alquran, doa-doa pendek, surat-surat pendek juga sedikit il
"Ha--hallo ... assalamualaikum .... " Ara tidak bisa membunyikan kegugupannya. Suaranya terdengar bergetar begitu mengucap salam. "Waalaikumsalam, Ra. Abang kira Ara tidak mau menerima telepon dari Abang. Barusan Mama menyampaikan kabar bahagia itu. Makasih, ya." Suara renyah Fyan terdengar sangat familiar di telinga Ara. Seharusnya gadis itu rindu, tetapi entah kenapa saat ini Ara malah terkesan tidak suka. Bukan tidak suka orangnya, namun status mereka yang akan berubah. Itu yang membuat Ara gelisah. "Iya, Bang, tetapi ada syaratnya." "Katakan saja, apa yang harus Abang lakukan. Oh ya, apa kabar kamu, Ra?" Seperti biasa, Fyan selalu mengalah dan berusaha menurut apa yang Ara mau. "Ara baik, Bang. Eum .... ada baiknya kita ketemu, Bang. Kayaknya hal ini nggak bisa dibicarakan lewat telepon." Suara Ara tetap datar. "Eh, iya. Tentu saja kita harus ketemu, besok Abang jemput Ara di toko, ya." "Memangnya Abang tahu di mana toko Ara?" Gadis itu memicing. "Tahu, dong. Aban
Fyan sudah bisa menduga kalau tidak semudah itu Ara menerima perjodohan ini. Bahkan sebenarnya Fyan juga sudah siap jika gadis itu menolak. Meski demikian, kabar dari Mama cukup membuat Fyan mematung beberapa saat.Kecewa. Tentu saja.Hal inilah yang ia takutkan sejak dulu. Empat tahun yang lalu, saat ia merasa ada perasaan lain pada gadis itu. Perasaan lebih dari sekedar sahabat dan seorang kakak. Yang pada akhirnya Fyan harus kehilangan Ara saat gadis itu jatuh ke tangan Rey. "Kamu Jangan berkecil hati, Nak. Mama dan Papa akan terus meyakinkan Ara.""Jangan dipaksakan, Ma. Sesuatu yang terpaksa itu tidak akan baik nantinya. Fyan ingin Ara menerima ini dengan kesadaran penuh dan tanpa paksaan.""Tenang saja, ya. Mama dan Papa tahu kok, harus bagaimana.""Terima kasih, Ma. Kalau begitu izinkan Fyan bertemu dengan Ara, biar Fyan yang menjelaskan padanya.""Sabar dulu, ya, Nak. Tidak secepat itu, nanti setelah Ara bisa ditemui malah akan kabarin, kok."Panggilan terakhir, Fyan meletakk
Pulang dari bertemu dengan mama dan papanya Ara, Fyan merasa lega mendengar kabar gadis itu masih sendiri. Berarti ia mempunyai kesempatan untuk mewujudkan harapannya. Senyum tak lepas dari bibirnya, sepanjang perjalanan Fyan bersenandung kecil. Dunia yang sempat terasa sempit kini kembali melebar. Fyan berharap, semoga saja Ara menyetujui rencana mama dan papanya. Gadis itu pasti kecewa kepada Rey. Semoga kehadiran Fyan kembali akan membuka hatinya dan menjadi pelipur dukanya. Hari itu Fyan tidak kembali ke kantor. Ia mengirim pesan pada sekretarisnya untuk menghandle beberapa pekerjaan. Pemuda itu langsung pulang ke rumah lantaran ingin segera berbaring dan merayakan kebahagiaannya sendiri.Hal yang pertama Fyan lakukan setelah sampai di rumah adalah mencari media sosial Rey. Ia ingin bertanya pada sahabatnya itu kenapa sampai hati melakukan ini pada Ara.Terakhir kali Fyan berkomunikasi dengan Rey entah berapa tahun yang lalu. Kalau tidak salah tak lama setelah dia berada di Sura
Sudah hampir dua bulan Fyan tinggal di kota Bandung. Hari demi hari ia lalui sangat membosankan. Kegiatannya hanya ke kantor dan di rumah. Fyan termasuk orang yang tidak suka keluyuran atau nongkrong tidak jelas. Sesekali menginap di rumah Shafia jika Fyan sedang ingin makan makanan rumahan. Setiap hari makan di restoran memang tidak enak. Mau masak di rumah rasanya tidak seru kalau dimakan sendirian.Shafia pernah menyarankan supaya Fyan mencari seorang ART, tetapi sang adik tidak mau. Untuk bersih-bersih rumah, Fyan bisa mengerjakannya sendiri. Bukankah sekarang sudah banyak alat yang membantu. Pakaian dicuci di laundry. Selain rumah Shafia, hari minggu biasanya Fyan berkunjung rumah yang baru saja ia beli untuk melihat pembangunan yang sudah hampir selesai. Membayangkan suatu saat ia tinggal di sini bersama keluarga kecilnya. Bahagia dengan seorang istri dan mereka saling menyayangi. Lagi-lagi wajah Ara yang muncul ketika Fyan membayangkan masa depan.Selam dua bulan tinggal di B
Satu bulan setelah pernikahan Ajeng dan Pras dilaksanakan. Tepatnya satu bulan setengah setelah Ayah meminta Fyan pindah ke Bandung. Namun belum ada tanda-tanda pemuda itu bersiap-siap untuk pergi ke kota tersebut. Ayah dan Bunda pun belum membahasnya lagi sejak pembicaraan saat itu. Fyan sendiri bukan lupa kalau saat itu dirinya mengiyakan permintaan Ayah. Namun dirinya masih menimbang dan ragu untuk kembali ke kota itu. Meski jujur saja, dalam hatinya penasaran dengan kabar Ara, namun dia masih tetap tidak punya keberanian untuk mencari tahu tentang gadis itu. Malam ini, Ayah dan Bunda kembali membahas hal itu selepas mereka makan malam. "Sudah hampir dua bulan lho, Nak? Jadi mau kapan?" Bunda membuka pembicaraan dengan sebuah pertanyaan."Sebentar lagi, Bun. Ada pembangunan yang belum selesai di panti asuhan. Lagi pula Ajeng dan Pras masih pengantin baru.""Sudah satu bulan menikah, harusnya Ajeng dan Pras sudah kembali aktif. Bulan madu kan bisa kapan-kapan. Kakakmu kemarin sud
"Bagaimana kabar tokonya Ara?" tanya bunda setelah beberapa menit berbasa-basi sekedar bertanya kabar. Pertanyaan itu pun masih bagian dari basa-basi. Terakhir Bunda mendengar kabar kalau Ara membuka usaha toko di ruko yang tidak jauh dari taman flamboyan."Alhamdulillah, Jeng. Karena ditekuni, usahanya semakin lancar bahkan sekarang menerima pesanan lewat online. Ara juga kelihatannya semakin dewasa tidak manja lagi seperti dulu." Terdengar tawa kecil dari seberang telepon. Bunda membayangkan gadis kecil itu sekarang sudah berubah menjadi wanita dewasa. Gadis kecil yang dulu selalu tampil dengan rambut dikuncir satu di belakang yang kerap merengek manja memintanya membuatkan sesuatu tatkala dirinya sedang di dapur."Saya sebenarnya sangat kangen sama Ara. Tapi, kok, nomornya tidak aktif, ya." "Sepertinya Ara ganti nomor, Jeng. Kalau begitu, nanti saya kirim nomor baru Ara.""Ndak usah, Jeng. Ara sekarang sibuk di tokonya, takut mengganggu waktunya. Mendengar dia sehat dan baik-baik
"Hah?! Willy?!"Seketika mama dan papa menatap Ara penuh tanya ketika mendengar anak keduanya itu seperti kaget."Kenapa? Ara kenal?" Mama tak bisa menahan rasa penasarannya."Eum ... anu .... " Ara berusaha menyembunyikannya kagetnya."Atau ... jangan-jangan kalian sudah ...." Mama tersenyum sambil menatap tajam ke arah putrinya, kemudian ia beralih pada suaminya. Berharap kalau Ara dan Willy sudah saling kenal atau bahkan sering berkomunikasi. Itu sebabnya Tuan Markus membahas mereka."Ara pernah dengar nama itu sewaktu kuliah dulu. Kayaknya dia kakak tingkat Ara. Tetapi .... " Ara memutuskan untuk tidak memberitahu Mama dan Papa perihal pertemuannya dengan Willy beberapa hari yang lalu."Tetapi apa?" Lagi, Mama antusias mengajukan pertanyaan. Perempuan itu semakin berharap."Tetapi ... dulu dikenal sebagai mahasiswa yang suka gonta-ganti pacar." Ara melirik Mama yang nampak sedikit kaget.Mama menghempaskan bagian belakang tubuhnya kesadaran kursi. Sesungguhnya ini jawaban yang ti
Usaha yang dijalankan Ara bersama Maya berjalan lancar. Selain melayani pembeli langsung, mereka juga menyediakan layanan online yang lebih dari separuhnya pendapatan mereka berasal dari penjualan online ini. Pelanggannya pun tidak terbatas dari dalam kota saja. Tetapi merambah ke luar kota, bahkan luar provinsi. Modal yang Ara pinjam dari Papa juga sudah dikembalikan. Sebenarnya Papa menolak, tetapi Ara bersikeras. Atas bantuan Mama, akhirnya Papa mengalah. Aktivitas yang cukup menyita waktunya ini berhasil mengalihkan pikiran Ara dari Rey. Pemuda yang ditunggunya selama hampir 3 tahun itu memang sempat membuat hari-hari gadis yang sekarang mantap berhijab itu terasa menyakitkan. Beruntung ada Maya juga mama dan papa yang selalu memberikan dukungan hingga ia bisa berhasil melewati masa-masa sulitnya. Meskipun tidak jarang Ara teringat pada pemuda itu, namun kembali ia menyibukkan diri pada pekerjaannya.Hidup sederhana yang dijalankan oleh Ara membuat ia benar-benar mandiri. Ia p
"Sorry, bukannya kasar ... "Fyan mengangkat tangan tanda tidak ada masalah."Priska, kayak dia gak cocok jadi calon suami lu." Pria itu beralih menatap Priska. "Sorry bro, saya bukan calon suaminya." Fyan menegaskan sekali lagi."Priska bilang lu calon suaminya. Kalian korban perjodohan. Hahaha. Harusnya Priska mendapatkan pendamping hidup yang sesuai dengannya." Pria itu tertawa dengan nada mengejek. "Sudah dibilang saya bukan calon suaminya. Saya hanya teman lama yang baru ketemu lagi tadi siang." Fyan merasa tidak enak mendengar pria itu berkata dengan nada tinggi."Sudah, jangan berdebat. Jadi kamu cuma mau mempermainkan aku, Fyan?!" Sekarang giliran Priska yang berkata dengan nada tak kalah tinggi.Fyan mengalihkan pandangan sejenak. Memang susah kalau ngobrol dengan orang dalam keadaan setengah sadar."Mempermainkan apa, Priska?" "Kita sudah dijodohkan tapi kamu bilang bukan calon suamiku?!" Priska menunjuk wajah Fyan, sungguh tidak ada sopan santun."Tidak ada perjodohan di