Tanpa mereka sadari, dari kejauhan sepasang mata mengintip dari dalam sebuah mobil. Memandang keduanya dengan tatapan miris. Sore ini Fyan bermaksud ingin duduk santai di taman. Namun, ia melihat mobil Rey terparkir. Pria itu pun kemudian melajukan kendaraannya perlahan sambil memperhatikan ke area taman. Fyan yakin kalau Rey sedang bersama Ara di sana. Pemuda itu menghela panjang berulang kali untuk meredakan sesak di dadanya. Ia cemburu pada Rey yang baru saja beberapa hari akrab dengan Ara, tetapi sudah bisa merebut hati gadis itu. Sementara dia yang belasan tahun bersamanya, sekarang terkesan dilupakan. Bahkan komunikasi mereka jadi kaku.Fyan ingin marah, bahkan sisi kelelakiannya ingin berbuat kasar pada Rey. Tetapi jika dipikir lagi, itu akan membuat Ara semakin tidak suka padanya dan hubungan mereka pun akan semakin renggang. Pada akhirnya Fyan memilih diam, meredam perasaan kecewa dan amarah yang menguasai hatinya.Memang sulit untuk berdamai dengan hati sendiri. Semua Fya
Pagi-pagi Ara bertandang ke rumah Fyan dengan wajah yang berseri-seri. Pemuda yang tengah memanaskan mobilnya itu menautkan kedua alisnya. Sudah lama sejak ada Rey diantara mereka, Ara tidak pernah datang dengan wajah seperti itu. Fyan lantas berpikir apa mungkin sekarang Ara sudah kembali seperti semula?"Pagi, Bang.""Hei, pagi. Tumben?!" Dengan pandangan menelisik, Fyan menyahut."Ih Abang, kok, bilangnya tumben? Bang Fyan masih marah ya, sama Ara?""Siapa yang marah? Lagian marah karena apa? Memangnya kapan Abang marah sama Ara?" Tiga pertanyaan itu sekaligus Fyan ajukan."Buktinya .... ""Buktinya apa? Kenyataannya kamu yang yang berubah karena keasikan punya teman baru. Apa kabar kamu , Ra? Apa Rey tidak mengganggumu?""Rey baik, kok. Bahkan Ara sama Rey .... " Gadis itu tersenyum sambil menautkan kedua jemarinya.Rey mengalihkan pandangan, khawatir kalau kabar yang akan Ara sampaikan adalah kabar buruk. Bagaimana kalau gadis itu sudah diapa-apakan oleh Rey."Kenapa? Apa yang te
"Papa tidak bisa mengatur kamu harus tinggal di mana, sebab itu menjadi hak kamu sepenuhnya. Papa hanya berharap, di manapun berada, kamu selalu dalam keadaan baik-baik saja dan punya karir yang bagus." Itu yang dikatakan Papa ketika malam ini Fyan datang ke rumahnya untuk berpamitan. Sebenarnya berat bagi Papa untuk menerima keputusan Fyan yang akan menyusul Ayah Bundanya ke Surabaya. Akan tetapi, Papa tidak bisa berbuat banyak, ia tidak punya hak apa-apa pada pemuda itu. Meskipun kasih sayangnya sama dengan pada anak-anaknya."Kalian berantem?" Mama melirik Fyan dan Ara secara bergantian. Sejak tadi anak gadisnya tidak bersuara, Ara hanya menunduk mendengar penuturan Fyan yang berpamitan akan pindah ke Surabaya."Nggak, kok. Ma. Fyan nggak ada masalah dengan Ara. Fyan cuma merasa punya beban. Merasa harus mendampingi Ayah. Di usianya yang sudah tidak lagi muda, seharusnya biar ada di sisinya untuk menemaninya berkarir." Akhirnya Fyan menemukan alasan, meskipun yang sebenarnya keper
"Ini coklatnya, Ra!"Rey mengulang ucapannya setelah beberapa detik yang lalu ia mengatakan hal yang sama, namun tidak mendapat respon dari kekasihnya itu. Kali ini, pemuda itu menambah volume suaranya."Eh, iya. Udah, ya? Kok cepet?" Ara berbalik dalam keadaan setengah kaget sambil menerima cup coklat panas. Menurut perasaannya, Rey baru saja pergi meski pada kenyataannya pria itu sudah pergi lebih dari 15 menit. Karena pikiran Ara akhir-akhir ini terganggu oleh kepergian Fyan, maka gadis itu sering melamun."Udah lama, kok, hampir setengah jam. Kamu aja yang bengong terus." Rey tersenyum miris, dia pun sadar perubahan yang terjadi pada kekasihnya itu akhir-akhir ini."Masa, sih?" Ara tersenyum miring, gadis itu kemudian mendekatkan coklat yang masih mengepul pada wajahnya kemudian menghirup aroma itu seperti biasa sebelum menikmatinya.Rey duduk di sampingnya, pandangannya lurus ke depan. Sadar kalau kekasihnya ini sedang tidak fokus. Seminggu sejak Fyan pergi ke Surabaya, Ara kerap
"Ini sudah lebih dari 2 jam, lho, Mas. Sebenarnya kita mau ke mana? Dari tadi muter-muter terus, kita sudah jauh meninggalkan rumah." Gadis berkerudung ungu yang duduk di samping Fyan melirik jam tangannya sekilas. Kemudian ia menoleh ke arah pria berwajah datar yang sedari tadi fokus menyetir tanpa berkata apapun. "Mas!!" Pekik Ajeng sekali lagi."Tadi juga Mas bilang nggak usah ikut. Kamu yang ngeyel ikut, jadi sebaiknya diam saja jangan banyak protes." Tanpa menoleh ke arah Ajeng, Fyan menjawab dengan raut muka yang tetap datar."Tadi 'kan Mas Fyan bilang mau jalan sambil cari makan. Ini jalan terus kapan makannya. Aku bisa-bisa pingsan, lho, Mas," rengek Ajeng lagi sambil memalingkan pandangannya ke arah kaca jendela. Fyan tak menjawab. Dua bulan setelah kepindahannya ke Surabaya, nyatanya ia belum bisa melepaskan bayangan Ara dari ingatannya. Bahkan semakin lama, kerinduannya semakin menggunung. Dia pikir dengan pergi dari kota Bandung, akan membuatnya lupa. Ternyata itu salah
Seperti biasa, sore hari di taman flamboyan. Sudah dua hari ini Ara tidak berkunjung karena tidak ada teman. Selepas Rey berpamitan untuk urusan kerjanya keluar kota, Rey tidak menyebut kemana pemuda itu akan pergi. Sengaja merahasiakannya dari Ara.Sore ini Ara memaksakan diri ke taman flamboyan. Ia kangen suasana sore di bawah pohon-pohon tinggi itu. Gadis itu berjalan melewati jajaran pohon flamboyan yang berdiri dengan anggunnya dengan coklat panas dalam genggaman.Alih-alih rindunya terobati, Ara malah semakin merasa kehilangan. Dua pria yang biasanya menemani santainya satupun tidak ada. Tangannya meraih benda yang berada di dalam tasnya, bermaksud menghubungi Rey. Akan tetapi, gadis itu harus menahan kecewa karena sepertinya ponsel Rey tidak aktif. Bahkan foto profilnya tidak ada, pesannya centang satu. Atau ... jangan-jangan nomornya diblokir."Rey mungkin sibuk dengan pekerjaannya, hingga dia tidak mau diganggu." Ara berusaha untuk berpikir positif karena Rey memang berpamit
Sejak saat itu, Fyan dan Ajeng rajin mengunjungi mereka di tempat itu setiap hari Minggu. Terkadang keras juga ikut kalau sedang tidak ada kerjaan. Selain membawakan makanan, keduanya juga kerap memberikan sejumlah uang. Maksudnya adalah, supaya anak-anak itu bersemangat mengikuti pelajaran. Semakin hari anak-anak yang datang semakin. Banyak diantara mereka tergiur dengan makanan dan uang yang diberikan oleh Fyan dan Ajeng. Namun tetap saja, ada yang datang ada yang pergi. Sebagian dari mereka ada yang bosan sehingga tidak mengikuti kegiatan itu lagi. Yang lainnya lagi ada yang bertahan juga ada yang baru. Fyan sangat menyukai kegiatan ini, lantaran ketika bersama anak-anak itu, dirinya bisa berhenti memikirkan Ara. Selama ini bayangan gadis itu tidak pernah lepas dari ingatannya, membuatnya harus tersiksa sepanjang hari bahkan sampai pagi lagi. Namun ketika bersama dengan anak-anak jalanan itu, iya seperti menemukan dunia yang baru dan melupakan dunia yang lama. Meski masih tersisa
Hari-hari tanpa Rey terasa begitu berat bagi Ara. Bahkan lebih berat dari kepergian Fyan setahun yang lalu. Hal itu disebabkan oleh status dua pria itu yang memang berbeda. Meski baru sebentar dekat dengannya, tetapi Rey istimewa di hati Ara. Lain lagi dengan Fyan, mereka memang selalu bersama sudah sejak lama, namun hubungan keduanya hanya sebagai kakak beradik, tidak banyak melibatkan perasaan. Selain itu, saat Fyan pergi ke Surabaya, Ara punya Rey yang menemani hari-harinya.Hal itu pula yang menyebabkan Ara tidak begitu kehilangan. Sementara Rey, selain sangat istimewa di hatinya, Rey benar-benar meninggalkannya sendiri. Hari-hari Ara tidak ada semangat, kehilangan gairah hidup dan kehilangan senyuman. Apalagi ke-empat sahabatnya sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing selepas mereka lulus kuliah. Ara sendiri selama ini tidak punya kegiatan yang rutin. Saat Maya mengajaknya melamar pekerjaan ke beberapa perusahaan, Ara menolaknya mentah-mentah. Bahkan saat Papa Baskara menga