Bastian segera menghampiri meja makan.
'Masak apa sih perempuan itu? Aromanya cukup menggoda,'batinnya.
Segera ia buka tutup saji, oh ... rupanya sop iga sapi yang masih mengepul, ada bawang goreng dan sambalnya juga. Segera ia menyendok nasi dan menuangkan kuah sop dan dagingnya ke dalam piring, tidak lupa di taburi bawang goreng yang renyah. Dia tidak berani menaruh sambal, takut pencernaannya tidak kuat.
Hmmm, rupanya masakan wanita itu enak juga walau tanpa MSG. Bastian tersenyum geli ketika Rahma ditawari menjadi pembantunya, wanita itu spontan menolaknya walau akhirnya menerima dengan banyak syarat. "Tulis diperjanjian, saya bekerja sepulang ngajar ya, saya tidak mau mengganggu pekerjaan utama saya. Sudah itu, jika saya bekerja tidak becus sampai mendapatkan 100 kali komplen, saya harus dipecat tanpa dituntut uang lagi. Deal?" Wanita itu mengulurkan tangan tanda persetujuan.Tanpa pikir panjang Bastian menerima syarat itu, yang membuatnya kesulitan sekarang. Bayangkan baru tiga hari wanita itu bekerja, dia mungkin sudah sepuluh kali komplen, berarti wanita itu bakal tidak sampai dua tahun bekerja dengannya, boro-boro dua tahun, satu bulan saja pasti sudah kelar.Suara motor Rahma memasuki halaman rumah, bertepatan Bastian menghabiskan makanan di piringnya. "Alif, tunggu Bunda di sini ya? Nih ... sambil nunggu, baca buku komik Detektif Conan yang Bunda beli kemaren.” Rahma mengambil buku komik di dalam jok motor."Baik Bunda, wah ... buku baru ya?"Mata anak lelaki itu berbinar, dia langsung duduk di kursi yang berada di teras rumah membaca buku. Sekarang Rahma lega, anaknya bisa ditinggal beres-beres rumah majikannya.
"Assalamualaikum,” seru RahmaTidak ada jawaban dari dalam rumah, tapi Rahma tidak peduli, dia langsung ngeloyor masuk rumah, lanjut ke halaman belakang mengangkat jemuran dan menyetrikanya di sebelah ruang makan. Dia melihat Bosnya sedang memainkan handphone, piring bekas makan masih ada di hadapannya.
"Pak Bos!" panggil Rahma memecahkan keheningan."Hmmm.” Bastian hanya menjawab dengan deheman."Mulai besok, baju kotor biar saya cuci di rumah saya, ya? Sayakan punya banyak waktu di malam hari, masak juga saya masakin di rumah, jadi ke sini tinggal bersih-bersih rumah sama ngepel," kata RahmaTangan wanita itu dengan terampil menggosok baju kemeja Bastian.
"Kalau untuk makan malam kamu masaknya malam sebelumnya apa ya nggak basi?" tanya lelaki itu cuek.Mata lelaki itu masih menatap layar ponselnya, berselancar di sosial media berlogo biru.
"Ya, minimal saya racikin bumbu dan bahan-bahannya di rumah, di sini tinggal eksekusi.""Ya, terserah kamu. Waktu malam itu di pakai istirahat biar gak kecapek’an, kalau kamu sakit, siapa yang memasak makanan saya?" 'Hais, bahasanya manis banget kayak perhatian banget, yeah ... ujung-ujungnya cuma nguatirin diri sendiri,'batin Rahma.Mulut wanita itu tersenyum sinis. Yang diajak ngomong malah cuek saja dari tadi sibuk memainkan HP.
"Bos gak usah kuatir, saya sudah biasa banting tulang, sebagai singel parent sudah biasa berjibaku dengan pekerjaan berat," jawab RahmaTangannya masih sibuk menggosok baju terakhir lelaki itu.
"Memangnya suamimu mana?" tanya lelaki itu.Matanya menatap Rahma dengan seksama, akhirnya dia bisa mengalihkan pandangannya dari benda pipih itu.
"Saya tidak punya suami," jawab Rahma tanpa ekspresi, datar.
"Bercerai atau meninggal?" tanyanya lagi
"Saya belum menikah."
Tangan Rahma masih sibuk melipat baju lelaki itu.
"Terus, Ayahnya Alif siapa?" tanya lelaki itu lagi
"Tidak tahu."
Yah ... dia memang tidak tahu siapa ayah anak itu. Bastian menatapnya dengan pandangan yang aneh, Rahma sudah sering melihat tatapan mata seperti itu jika menyangkut tentang ayah putranya. Yah, memang dia tidak tahu kok, ya bilang gitu saja daripada asal nuduh orang lain sebagai bapaknya.
Ternyata memang benar, pandangan Bastian mengarah ke negatif masa lalu Rahma.
'Wah, nampaknya sok alim nih cewek tahunya masa mudanya pergaulan bebas, sampai gak tahu siapa bapak anaknya?. Yah ... berapa pria kira-kira yang sudah menggaulinya?'batin pria itu.
Netra lelaki itu terus menatap dari ujung kaki sampai kepala Rahma. Wanita itu menarik napas panjang-panjang. Dia risih mendapat tatapan bosnya yang seperti melecehkannya.
"Apa kau sudah taubat?" tanya pria itu
"Setiap saat saya selalu bertaubat, Pak Bos," jawab Rahma
Matanya terus menatap ke pakaian yang harus dirapikannya, dia tidak mau menatap pria itu, Rahma tidak ingin melihat tatapan merendahkan di mata lelaki itu.
"Baguslah ... jangan sampai kau menggodaku. Masa lalumu yang buruk jangan kau ulangi lagi."
Setelah berkata seperti itu, Bastian melangkahkan kakinya ke kamar, dia tahu wanita itu merasa tidak nyaman jika hal pribadinya dikorek seperti itu, lelaki itu sengaja menghindari rasa penasaran tentang wanita yang kini menjadi ARTnya.
Rahma menepis rasa yang selalu hadir, tatkala mereka menanyakan Ayahnya Alif. Walau sering dipandang rendah oleh semua orang. Mau bagaimana lagi, diapun tidak berani mengakui jika Alif bukan putra kandungnya, dia belum siap kehilangan putranya. Pasti perlakuan Alif akan berbeda jika mengetahui semuanya, apalagi jika dia tahu ibu kandungnya tidak menginginkannya, dan ayahnya tidak tahu siapa, hanya Ibu kandungnya yang mengetahui siapa Ayah anak itu.
Setelah menggosok baju, Rahma segera membersihkan seluruh rumah dan mengepelnya. Semua ruangan sudah dirapikannya tinggal kamar Bosnya. Segera dia mengetuk kamar lelaki itu pelan-pelan.
"Bos ... Pak Bos ...," panggil Rahma
Karena tidak ada jawaban, Rahma mengetuk lebih keras, bahkan menggedornya.
"Bos ... Bangun Bos!”
Bastian yang tengah bersantai benar-benar terganggu, diapun segera membuka pintu dengan wajah tak suka, pembokat satu ini bener-bener ya, gak ada sopan-sopannya.
"Ada apa, sih?" tanyanya sewot.
"Minggir dulu, Bos. Aku mau bersihin kamar," kata Rahma.
Wanita itu mendorong tubuh Bastian, nyelonong masuk kamar dan membongkar sprei di atas ranjang.
"Dasar, nganggu orang aja sih?" Bastian ngedumel.
Dia pergi keruang tamu melanjutkan memainkan handphonenya.
Rahma membereskan dan merapikan kamar Bastian yang sudah seperti kapal pecah. Spreinya sudah bau, terpaksa dia ganti dengan yang baru. Dia membongkar-bongkar isi lemari mencari sprei ganti ternyata tidak ada. Yah sudah, pakai saja yang lama dulu.
"Bos, spreinya sudah bau itu, gak ada gantinya apa?" tanya Rahma
Wanita itu menghampiri Bastian setelah selesai merapikan kamar sambil memasukkan baju-baju kotor ke kantong plastik.
"Gak ada, akukan baru dua minggu di sini, belum sempat beli. Kamu belikan ya? Mana nomor rekeningmu? Biar kutransfer uangnya,” kata Bastian.
"Ya, buku tabungan saya di rumah. Saya mana apal no rekening saya," kata Rahma.
Dia sudah selesai bekerja. siap-siap mau pulang.
"Kirim lewat SMS ya, sekalian saya kirim uang belanja besok. Buat makanan yang enak," kata Bastian.
"Yang enak itu apa? Tinggal bilang mau dimasakin apa?"
"Masakin sayur saja," jawab Bastian
"Oke, aku pulang ya? Assalamualaikum."
Rahma bersiap pulang, dia raih tas kerjanya di atas nakas
"Hei ... itu bawa sayur sop yang kamu masak, untuk anak kamu. Aku juga sudah kenyang gak bakalan kumakan lagi," kata Bastian sebelum Rahma pergi
"Boleh? Wah ... makasih banyak. Bisa irit nih kalau kayak gini terus. He ... he ... he ...," kata Rahma girang banget.
Rahma dengan riang memasukkan makanan ke dalam rantang seperti tidak pernah melihat makanan seperti itu, Bastian menatapnya heran.
“Dasar aneh, kayak gak pernah makan seperti itu, padahal itukan makanan buatannya sendiri,” batin Bastian.
****
Rahma menatap layar HP nya tak percaya, di SMS Banking ada uang masuk tiga juta rupiah. Setara gajinya sebagai guru CPNS.
(Ni uang untuk beli sprei dan uang belanja satu minggu) tertera pesan dari Bosnya, Bastian.
(Uang belanja seminggu emangnya yang mau dimasak apaan?) Jawabnya.
(Terserah kaulah)
“Terserah? Okelah kalau jawabannya gitu. Kumasakin masakan kampung saja nanti,” gumam wanita itu
(Bener ini tiga juta seminggu? Tiga juta bisa untuk sebulan loh?)
Rahma kembali bertanya untuk meyakinkan diri, kalau salah dia sendirikan yang akan rugi.
(Kan bukan untuk makan doang, Curut. Itu uang belilah sprei yang bagus 2 buah. Beli sabun cuci, pewangi dan perlengkapan bersih-bersih rumah. Sudah ya, aku mau kerja jangan diganggu, gitu aja mesti diajarin!)
“What? Mentang-mentang bos kasar banget ngomongnya! Pakek ngatain aku curut lagi. Bener-bener ya, minta dikasih pelajaran itu lelaki sial.” Rahma benar-benar kesal dengan jawaban SMS Bastian.
Kalau dia tidak ingat diperjanjian kerja jika bosnya sampai celaka dia harus mengganti uang servis mobilnya sepuluh kali lipat, dia pasti sudah ngerjain bosnya itu lewat makanan.
Sudah jam satu siang sebentar lagi bel sekolah tanda pulang berbunyi. Perasaan lega setelah seharian dia berceramah panjang lebar menasehati sepuluh muridnya yang bolos sekolah. Kalau ingat perjuangannya menyandang guru Bimbingan Konseling, Rahma benar-benar bersyukur bisa melalui semua ini.
Setelah berhenti kuliah dan fokus mengurus Alif yang masih bayi dan mencari nafkah sebagai penjual mie ayam keliling pakai gerobak, Rahma sebenarnya sudah tidak terpikir untuk kuliah lagi. Biaya kebutuhan Alif yang masih bayi cukup menguras seluruh penghasilannya hanya menyisakan untuk makan sehari sekali. Kadang dia hanya memakan sisa dagangannya. Alif termasuk kuat minum susu, sehari bisa menghabiskan satu kotak seratus gràm susu formula bubuk. Belum beli diapers, baju, selimut, bubur bayi.
Setelah mengantar Alif ke sekolah, Rahma buru-buru pergi ke rumah bosnya itu untuk mengantar sarapan dan bekal makan siang. Sebentar-sebentar dilihatnya jam tangannya, sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Dia harus buru-buru karena hari ini jadwal piket di sekolahnya, dia harus segera ke sekolah menyambut murid-muridnya di pintu gerbang, minggu kemarin dia sudah telat sampai sekolah, cukup kemarin saja dia ditegur kepala sekolah, hari ini dia tidak sanggup jika ditegur lagi.Sampai rumah bosnya, Rahma segera memeriksa tasnya untuk mengambil kunci rumah lelaki itu, tapi sudah lama mencari kok gak ada ya?"Ya, ampun! Pantesan gak ada, kuncinya kan ditaruh tas satunya!" dengus Rahma kesal.Saking buru-buru berangkat, Rahma salah mengambil tas. Hufhhh ... Rahma menghembuskan napas kuat-kuat, dia mencoba tenang menghadapi situasi ini. Hari ini dia memang selalu gagal fokus karena mengejar waktu, padahal dia bangun sudah jam 3 pagi untu
Tidak terasa sudah hari jum'at. Sudah hampir seminggu Alif berada di asrama, besok siang rencana Rahma akan menjemput Alif untuk menghabiskan akhir pekan bersama. Rahma sudah memiliki rencana istimewa untuk menyambut putranya itu. Sepulang mengajar dia akan belanja untuk membuat masakan kesukaan Alif, ayam geprek dan bakso bakar. Selama sembilan tahun membesarkan anak itu, dia tahu benar perubahan Alif satu persatu. Waktu umur dua tahun, Alif suka sekali memakan gulai ikan patin tanpa cabe, dimakan dengan nasi hangat, dia bisa tambah-tambah makannya. Umur tiga tahun beda lagi kesukaannya, dia suka kue browies keju. Karena hari ini pulang cepat, Rahma akan segera belanja ke pasar untuk membeli bahan ayam geprek buatannya, Alif lebih suka jika dia yang membuatnya daripada membeli jadi, menurut anak itu sambelnya tidak terlalu pedas tetapi gurih dan lezat. Baru memarkirkan motor di pasar, handphone Rahma berbunyi, buru-buru dia mengambil Ponsel di tasnya, rupanya bosnya yang menghubu
"What? Elu jatuh cinta sama pembokat gue?" tanya Bastian "Iya, emang kenapa? Dia cuma pembokat elu, kan? Bukan pacar atau bini elu?" Romi menatap Bastian heran. "Elu gak bakal ngomong gitu kalau tahu dia sudah punya anak." "Ha? Dia sudah nikah, bro? Sudah punya suami?" tanya Romi, ada gurat kecewa di matanya. "Dia sudah punya anak, tapi belum pernah nikah dan gak punya suami. Elu bayangin gimana parahnya perempuan itu, emangnya Ibu lu bakal ngijinin? Gue tahu gimana kolotnya ibu elu itu," kata Bastian Suasana hati Romi yang sempat kecewa, kembali berbunga-bunga. Dia tidak mengindahkan perkataan Bastian. "Ahayyy, yang penting dia masih singel, Bro. Gue bis
Rahma masuk rumah dengan kesal. Segera dia baringkan tubuhnýa di kasur, dari kemaren bekerja tidak kenal istirahat membuat tubuhnya kelelahan. Dilihatnya jam dinding menunjukkan pukul empat sore. Dengan langkah gontai, dia melangkah ke kamar mandi mengguyur tubuhnya dengan air, perasaannya menjadi fresh dan ringan.Setelah mandi dia salat Asyar, sepanjang salat ponselnya berdering terus membuatnya tidak berkonsentrasi. Dilihatnya notifikasi di ponselnya semua panggilan dan pesan dari bosnya."Aish, malas banget baca pesannya," kata Rahma sambil mematikan daya ponselnya.Dia segera tertidur, matanya begitu berat, tubuhnya begitu lelah.***Bastian kesal luar biasa, berulang kali ditelpon perempuan itu tidak juga mau menjawabnya, SMS nya juga tidak dibaca."Ngapalah dia ini? Apa yang membuatnya marah? Apa coba salahku? Yang kukatakan bener, kan? Kalau dia itu punya anak di luar nikah?" gumam Bas
Bastian masih terjaga, jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tadi kayaknya dia kecapekan dan ingin segera tidur, nyatanya dia malah gak bisa tidur. Segera dia menuju dapur, dibukanya kulkas. Ah ... kulkasnya penuh minuman dingin. Pasti perempuan itu yang mengisinya. Diraihnya air soda jeruk lime, diteguknya minuman bergas dingin tersebut, rasanya segar melewati tenggorokan. Segera dia berjalan ke meja makan. Di atas meja terdapat beberapa panci yang tertutup tutup kaca sehingga isi di dalamnya terlihat. Bastian meraih panci berisi kue brownies, dia belum mencicipi makanan itu tadi siang. Hmm, yummy juga rasanya, apalagi dipadu dengan minuman soda ini, rasanya mantap banget.Dia benar-benar merasa bersalah dengan perempuan itu sekarang, gara-gara marah yang tidak jelas, dia jadi mengeluarkan kata-kata yang menyakiti perempuan itu.'Ah, ada apa denganku? Kenapa aku tidak suka jika perempuan itu dekat dengan sahabatku sendiri, Romi?' batinnya.
Rahma melajukan motornya tanpa menghiraukan hujan lebat yang mengguyur sekujur tubuhnya. Sampai di rumahnya, dia langsung mandi keramas, berulang kali keningnya disabun bahkan digosok agar bekas kecupan lelaki itu hilang. Karena kehujanan begitu lama membuat tubuhnya menggigil kedinginan. Setelah mandi dia segera memakai kaos kaki dan sweater hangat berbahan wol, selanjutnya dia hanya meringkuk di bawah selimut untuk menghangatkan tubuh.Masih terbayang adegan di bawah guyuran hujan tadi seperti adegan di film India. Berulang kali dia beristigfar,'Ya Allah ... dosanya diri ini. Bagaimana aku akan menghadapi laki-laki itu, apakah bersikap biasa saja? Atau menghindari bertemu dengannya? Atau ... Ah ya, lebih baik aku menghindarinya. Kalau sore di usahakan selesai kerja sebelum laki-laki itu datang,' batinnya.Sore ini dia memasak untuk Bastian dari rumahnya saja. Dia membuat sop daging sapi di iris tipis-tipis karena persediaan di kulkas tinggal 1 ons, di
"Mau apa kalian ke sini?" tanya Bastian dengan suara keras, rahangnya bahkan mengeras menahan amarah. "Kok pertanyaanmu begitu, Sayang? Tentu saja Mama kangen sama kamu." Virda, Mama Bastian melepaskan pelukan pada putranya itu. Rambutnya yang disanggul rapi terkena rintikan air hujan. "Kenapa Mama bawa perempuan ini ke sini?" tanya Bastian menunjuk perempuan cantik yang datang bersama Mamanya. "Ya Ampun, Sayang ... bukankah kau rindu padanya selama ini?" ujar Mamanya. Wanita cantik itu hanya terdiam di depan pintu. "Ayo, masuk. Bawa semua koper kita ke kamar tamu," kata Virda menyuruh wanita itu. "Kalian mau menginap di sini? Kenapa tidak di hotel saja?" kembali Bastian protes. "Bastian, kami capek baru datang dari Paris, biarkan kami istirahat dulu," kata Virda memotong ucapan Putranya. "Baiklah, silahkan malam ini kalian tidur di ini. Besok pagi silahkan tinggalkan rumah ini. Jangan tidur di kamar tamu, sudah
Bastian terbangun dari tidurnya, badannya rasanya sakit semua karena dia tidur di sofa. Apartemen Romi yang hanya memiliki satu ranjang tidak bisa menampung mereka berdua. Bastian tidak mau, dulu dia pernah tidur seranjang dengan Romi, tapi tidur anak itu lasak bukan main. Bahkan Bastian pernah juga dicium bertubi-tubi karena dia bermimpi mencium seorang gadis. Romi sudah menawari jika dia saja yang tidur di sofa, tapi Bastian yang merasa menumpang bersikeras jika dia saja yang tidur di sofa.Dilihatnya jam dinding diruangan itu menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Dia baru ingat kalau jam segitu pasti Rahma sudah pergi mengantar bekal makan siangnya. Ditelponnya Rahma berkali-kali tapi tidak diangkat, akhirnya dia kirim SMS saja.(Aku menginap di rumah Romi. Bekalnya antar ke kantorku saja, jika aku belum sampai titip pada Satpam)Bastian segera mandi super kilat dan memakai bajunya dengan buru-buru. Dia lupa tidak membawa mobil tadi malam.
Malam itu menjadi malam paling membahagikan bagi Rahma sejak kehamilan pertamanya. Dia tidak menyia-nyiakan kesempatan berjalan-jalan berdua dengan Bastian. Bastian sengaja mematikan ponselnya agar qualty time dengan istrinya tidak terganggu.Hingga sampai pulang seorang perawat dari rumah sakit menunggunya di rumahnya."Maaf, Pak. Saya jadinya ke mari, karena Bapak tidak bisa dihubungi, saya akan mengabarkan satu jam yang lalu, Bu Virda menghembuskan napas terakhir.""Apa?" Bastian kaget sekali mendengar kabar itu.Dia hanya berjalan-jalan dengan istrinya selama tiga jam dari kepulangannya dari rumah sakit, jika dia tahu Mamanya akan meninggal tentu dia akan bersikeras tidak meninggalkan Mamanya, walau Mama Virda memaksanya untuk pulang. Bastian terduduk lesu di sofa ruang tamu. Dia juga menyesali kenapa dia musti mematikan ponselnya"Ya, Allah ... Innalilahi wa Inna ilaihi rojiun ...," u
"Bunda pergi dulu, ya ... Jagalah Mama kalian dengan baik," kata Bunda Asti ketika berada di Bandara.Bastian, Rahma, Fitri dan Alif turut mengantar kepergian mereka ke tanah suci."Bunda ... Tolong do'akan agar Mama lekas sembuh," kata Bastian."Iya, tentu saja Bunda akan mendo'akan Mama Virda. Jaga baik-baik istrimu dan anakmu, ya?""Iya, itu pasti," Bastian mencium punggung tangan Bunda Asti."Bunda, do'akan kehamilan Rahma lancar dan sehat ya ... Do'akan juga Alif cepat sembuh dan cepat berjalan dan tolong do'akan juga suamiku agar ingatannya kembali lagi," Rahma memeluk Bunda Asti."Iya, sayang ... Semua keluarga Bunda nanti Bunda do'akan satu persatu.""Aku berangkat dulu, Bro. Nanti akan aku do'akan agar ingatanmu cepat kembali. Agar kau bisa mengingat kembali momen di mana kau bucin banget sama istrimu itu, agar kau bisa mengingat malam pertama kalian," kata Romi sambil terkekeh.Bastian memeluk saudaranya itu dan
"Bunda ... Bunda dari mana?" suara Alif menyambut kedatangan Rahma dan Baatian dari rumah sakit."Alif? Kenapa belum tidur, Nak? Ini sudah malam loh," kata Bastian membelai rambut Alif.Alif terpukau dengan perkataan Bastian, lelaki itu biasanya selalu bersikap masa bodoh, cuek bahkan menampakkan wajah tak ramah padanya. Namun, sekarang lelaki dihadapannya ini rela berlutut hingga wajahnya bisa menatapnya dengan jelas, mata lelaki itu penuh kehangatan seperti Ayah Bastian yang dulu."Alif belum ngantuk, Yah. Ayah Sama Bunda dari mana?""Ayah sama Bunda dari Rumah sakit" jawab Rahma"Ke Rumah sakit? Siapa yang sakit, Bun?""Yang sakit Mamanya Ayah," jawab Bastian."Maksudnya Nenek Bunda Asti? Dia di rumah kok," kata Alif polos"Bukan sayang, Ayah juga sama dengan Alif, punya dua orang Ibu. Yang sakit itu Mama kandung Ayah, seperti Mama Santi, dia ibu kandung Alif, kan?""OOO gitu? Ternyata kita punya nasib yang sama
"Nanti malam kita makan di luar, yuk? Untuk meresmikan hari jadian kita," kata Bastian setelah salat AsharRahma yang tengah membereskan tempat tidur tersenyum ceria."Hari inikan bukan hari jadi kita? Kita menikah baru dua bulan, Mas!""Bukan hari pernikahan kita, tetapi hari jadian kita saat aku Amnesia, kalau kenangan masa lalu bersamamu aku lupa, maka mulai hari ini aku akan membuat kenangan baru, ingatan baru bersamamu," Bastian memeluk Rahma dari belakang.Derrrttt ... Derrrrtttt ...."Mas, itu ponselmu bergetar," seru Rahma menunjuk ponsel Bastian di atas nakas.Bastian segera mengambil ponselnya dan menggeser tanda panggilan di layar."Halo? Iya ... Apa? Oiya ... Iya, saya akan segera ke sana,"Bastian menutup teleponnya dengan menghembuskan napas berat."Ada apa, Mas? Siapa yang nelpon?" tanya Rahma penasaran."Dari rumah sakit, katanya Mama pingsan dan sekarang masuk rumah sakit."
Suasana sore itu membuat mereka tertidur sambil berpelukan. Semua baju basah mereka ditumpuk di kamar mandi. Rahma terjaga dari tidurnya setelah mendengar suara ramai.'Ah, mereka pasti sudah pulang dari belanja,' batinnya.Rahma segera bangkit dari pembaringan dan memakai pakaian lengkap, tak lupa memakai jilbab kaosnya. Diperhatikan dengan seksama suaminya yang tengah terlelap dengan tubuh ditutupi selimut tebal. Rahma harus segera ke kamar lelaki itu untuk membawa baju ganti. Dia segera keluar dari kamar tak lupa mengunci kamarnya dari luar."Alif sudah pulang?" tanya Rahma antusias melihat putranya tengah membawa mobilan remot."Bunda, lihat deh. Om Romi membelikan Alif mobil-mobilan remote," serunya"Iya, bagus ya? Sudah bilang terima kasih belum?""Sudah.""Sekarang Alif mandi, sudah itu salat Ashar. Selanjutnya makan ya?"
"Rahma, kamu kenapa, Sayang?" seru Bunda Asti ketika melihat Rahma muntah-muntah di kamar mandi."Nggak tahu, Bunda. Perutku rasanya mual banget," kata Rahma."Ya, Ampun ... Kamu sudah mulai emesis. Ya sudah kamu istirahat saja, tidak usah ikut belanja. Nanti biar Bik Wati menemanimu.""Iya, Bunda ... Aku gak bisa ikut, takutnya mualku kambuh di sana."Ketika mau berangkat, Alif ternyata bersikeras untuk ikut. Rahma meminta Bik Wati agar ikut belanja bersama mereka, untuk membantu keperluan Alif. Walau Romi dan Fitri bersikeras mereka yang akan menjaga Alif, namun Rahma ingin agar pasangan muda itu lebih bebas menjalin kedekatan diantara mereka.Setelah mereka pergi, Rahma hanya berbaring di ranjang sembari membaca novel.****Setelah jam makan siang tiba, Bastian tidak sabar membuka bekal makan siangnya. Setelah dibuka, aromanya tercium begitu sedap
Hari ini terpaksa Bastian menghubungi Romi, untuk mengantarnya menjemput Rahma. Dia menduga Romi akan mengejeknya habis-habisan tetapi ternyata tidak. Saudaranya itu malah antusias menemaninya, dia berulang kali bersyukur karena Allah telah menyadarkannya.Sesampainya di rumah Rahma, Romi segera menyampaikan maksudnya disaksikan Fitri, sedang Bastian hanya menundukkan kepala tidak berani menatap kedua wanita itu."Maksud Abang ke sini mau menjemputmu, Rahma. Pulanglah ke rumah suamimu sekarang, dia memintamu. Iya kan, Bas?"Bastian hanya mengangguk pelan."Kok Bang Romi yang bilang? Kenapa bukan suaminya langsung," kata Fitri.Mendengar perkataan Fitri, Bastian spontan mendongakkan kepalanya menatap kedua wanita di hadapannya dengan tatapan jengah."Iya, pulanglah." Hanya itu kata yang mampu terucap dari bibir Bastian."Apa? Cuma gitu? Kemaren waktu ngusir panjang lebar, gak ada permintaan maaf, gitu? Apa ...," gerutu Fitr
Yadi datang setelah lima tujuh menit berlalu. Bastian segera masuk dan duduk di sampingnya."Kita mau ke mana, Pak?""Ke cafe atau apapun, cari tempat sepi buat mengobrol," kata Bastian."Bapak janji mau bertemu seseorang?""Tidak, saya hanya ingin membicarakan beberapa hal denganmu.""Tentang masalah apa, Pak?" ucap Yadi, dia merasa kuatir, selama ini Bosnya tidak pernah ingin berbicara dengannya, apakah ini soal pekerjaannya?"Tidak perlu kuatir, ini bukan tentang kamu, ini tentang diriku sendiri," kata Bastian seolah tahu apa yang dipikirkan Yadi.Yadi tersenyum lega, dia segera membawa bosnya di warung Bakso di dekat taman. Mereka memilih duduk di bangku taman yang agak sepi."Ada apa, Pak?" tanya Yadi membuka percakapan."Yadi ... Aku mengenalmu, kau sudah bekerja pada Papa berapa lama?" tanya Bastian memastikan."Sudah hampir dua tahun, Pak. Makanya Bapak mengenal saya, Bapak hanya lupa peristiwa
"Ini Pak rumahnya," kata Yadi"Kamu yakin ini rumahnya?""Yakin dong, Pak. Saya sudah sering kemari mengantar Bu Rahma. Ini rumah peninggalan Almarhum Ayahnya, Pak.""Oo" hanya itu yang keluar dari mulut Bastian.Bastian tidak menyangka kalau Rahma memiliki rumah warisan yang begitu mewah, berarti benar kata Bunda, Rahma anak orang kaya."Pak Yadi pulang saja, saya tidak mau Rahma mengetahui saya datang jika pakai mobil," kata Bastian,Sebenarnya dia hanya ingin tahu ada perlu apa Santi menemui Rahma, jika dia masuk memakai mobil, pasti tidak bisa menyelidiki semua itu."Terus Bapak nanti pulangnya bagaimana? Atau Bapak mau menginap?" kata Yadi tersenyum simpul."Nanti kukabari." Bastian segera turun dari mobil dan memencet bel pagar.Dari dalam muncul seorang Satpam dan segera membuka pintu pagar