Rahma masuk rumah dengan kesal. Segera dia baringkan tubuhnýa di kasur, dari kemaren bekerja tidak kenal istirahat membuat tubuhnya kelelahan. Dilihatnya jam dinding menunjukkan pukul empat sore. Dengan langkah gontai, dia melangkah ke kamar mandi mengguyur tubuhnya dengan air, perasaannya menjadi fresh dan ringan.
Setelah mandi dia salat Asyar, sepanjang salat ponselnya berdering terus membuatnya tidak berkonsentrasi. Dilihatnya notifikasi di ponselnya semua panggilan dan pesan dari bosnya. "Aish, malas banget baca pesannya," kata Rahma sambil mematikan daya ponselnya.Dia segera tertidur, matanya begitu berat, tubuhnya begitu lelah.***Bastian kesal luar biasa, berulang kali ditelpon perempuan itu tidak juga mau menjawabnya, SMS nya juga tidak dibaca. "Ngapalah dia ini? Apa yang membuatnya marah? Apa coba salahku? Yang kukatakan bener, kan? Kalau dia itu punya anak di luar nikah?" gumam Bastian sambil berpikir kira-kira di mana letak kesalahannya.Sebuah nada panggilan dari ponselnya mengejutkannya, nah ... kan? Akhirnya nelpon juga ..."Halo? Kamu kenapa tadi kok lari?" tanya Bastian spontan."Siapa yang lari, Bro?" jawab suara di seberang.Loh, kok suara laki-laki? Dilihatnya kembali layar ponselnya, walah ... si Romi ternyata."Ah, kupikir kau orang lain," kata Bastian."Siapa? Rahma ya? Kau apain anak itu?" tanya suara di seberang sana."Nggak kuapa-apain, kok," jawab Bastian."Halah! Tadi aku jemput dia di rumahmu kok gak ada orang. Kalian kemana? Kau antarin dia ya?" tanya Romi bertubi-tubi.'Wah, cenayan juga nih bocah,' batin Bastian "Aku gak ngantarin dia, entah kenapa dia tiba-tiba pergi gitu aja dari rumah gak ngomong-ngomong lagi," kata Bastian"Pasti kau bilang sesuatu yang buat dia marah, kan? Kau kan kalau ngomong suka gak pikir-pikir dulu.""Ah, aku cuma bilang sama dia, kau itu sebagai perempuan sadar diri, kau ini perempuan yang punya anak di tanpa pernikahan. Benerkan yang aku bilang? Wong kenyataannya memang begitu," kata Bastian membela diri."Wah, benar-benar elu ya, Bas! Coba elu tu kalau ngomong dijaga. Elu gak tahu persis masa lalu dia kan? Aku aja yang baru tadi ketemu bisa nilai, gak mungkinlah wanita model dia punya masa lalu sebagai cewek gampangan. Coba berpikir kemungkinan yang lain, siapa tahu Alif itu anak korban perkosaan, kau tahu kan, perkosaan itu bisa membuat trauma yang begitu dalam? Kalau memang iya, coba kau pikir betapa hebatnya dia merawat anak hasil perkosaan dengan penuh kasih sayang, biasanya orang itu lihat anaknya saja sudah timbul dendam kesumat."Kata -kata Romi yang begitu panjang membuat Bastian tercenung, mungkinkah?"Hei, Bro ... Bro!. Kau masih di situ, Bro?" tanya suara di seberang sana."Ya, sudah ya? Aku mau istirahat." kata Bastian sambil memutus panggilan telponnya.Segera dia telpon kembali nomor Rahma, masih juga belum aktif.'Ah ... kalau memang yang dibilang Romi benar, aku memang keterlaluan. Siapa coba yang mau jadi korban perkosaan,' batin Bastian. ****Rahma terbangun ketika azan magrib berkumandang, segera dia tunaikan salat magrib. Dia beringsut ke dapur setelah salat. Perutnya tiba-tiba lapar, di rumah tidak ada nasi dan lauk, segera dimasaknya mie instan yang dibelinya dari swalayan kemarin untuk stok. Sambil makan mie instan, Rahma kembali berpikir, sepertinya reaksinya terhadap perkataan bosnya itu berlebihan. Mengingat kontrak kerjanya masih lama dengan lelaki itu, dia seharusnya tahan-tahan terhadap omongan lelaki itu. Toh sebenarnya dia sudah terbiasa dihina selama ini. Setelah Alif masuk asrama, penghasilannya sebagai guru CPNS dirasa masih pas-pasan, karena gajinya masih delapan puluh persen. Mungkin kalau sudah PNS, dia bisa bernapas lega. Entah kenapa mendadak kemarahan atas ucapan pria arogan itu lenyap dalam hatinya."Aish, kenapa aku tidak bisa membenci lelaki itu. Yah, sebenarnya bukan salah dia sepenuhnya sih berkata seperti itu, itu salahku juga yang tidak bisa jujur mengenai putraku. Yah ... sudah resiko dia ngomong begitu, seharusnya aku terima saja," kata Rahma merenungi apa yang baru saja terjadi.Ah, kalau mengingat masa lalu, Rahma tak kuasa menahan tangis, Alif memang tidak dilahirkan dari rahimnya, namun dengan adanya anak itu dia merasa memiliki keluarga, memiliki orang yang dia cintai, Alif alasannya hidup dan menghidupi kini.
Entah sampai kapan Rahma akan merahasiakan semua ini dari putranya itu, jika dia bukanlah wanita yang melahirkannya. Ah, kejadiannya sudah bertahun-tahun yang lalu, namun seperti baru terjadi kemarin. Persahabatan yang dijalinnya dari rumah yang sama akan berakhir seperti ini. Waktu itu Rahma baru berusia tujuh tahun ketika sepasang suami istri yang mengaku paman dan bibinya membawanya ke panti asuhan, kesedihan yang begitu dalam dalam diri bocah itu karena kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan masih menyisakan trauma yang mendalam, karena dia juga turut serta menyaksikan semua itu, namun takdir berkata lain hanya dia yang selamat. Jika boleh memilih takdir, Rahma ingin mati bersama kedua orang tuanya.Di panti asuhan Rahma merasa asing, dia masih belum mengerti kenapa dia harus dibawa ke sini, padahal rumah kedua orang tuanya cukup besar dan indah, lebih besar dari Panti Asuhan ini. Keterasingannya mulai terkikis ketika dia bertemu dengan Santi, gadis cilik yang ceria dan cantik seusia dengannya. Santi sudah berada di panti ini sejak usia bayi, ditinggalkan oleh orang tuanya di teras panti. Persahabatan melebihi saudara yang mengikat keduanya terjalin sampai mereka remaja, mereka sekolah di tempat yang sama, di mana ada Santi di situ ada Rahma.Waktu SMA Santi menjadi primadona, dia cantik, supel dan gaul. Sejak SMA itu, perilaku Santi mulai berubah. Dia menyuruh Rahma berbohong bahwa dia bukan penghuni panti, dia anak orang kaya. Sepulang sekolah Rahma dan Santi bekerja di salah satu rumah di dekat panti sebagai ART, Santi selalu mengaku-ngaku pada teman-temannya di sekolah bahwa dia anak majikannya, semua orang percaya karena Santi yang cantik dan supel, dia juga berani memimjam barang-barang branded kepunyaan Bu Hana majikan mereka, Bu Hana yang baik hati selalu meminjamkannya tanpa banyak bertanya asalkan dikembalikan lagi. Panti asuhan memiliki peraturan jika anak asuhan mereka sudah tamat SMA, mereka harus hidup mandiri di luar Panti, karena keterbatasan tempat dan dana, karena penghuni Panti semakin hari semakin bertambah. Rahma dan Santipun ngekost sekamar berdua agar hemat pengeluaran. Rahma masih menjadi pembantu di rumah Bu Hana, karena dia belum mendapat pekerjaan yang lain. Mereka berdua memiliki cita-cita untuk kuliah, namun tabungan mereka jika digabung hanya bisa untuk mendaftar satu orang. Karena sifat keras Santi, Rahma mengalah merelakan tabungannya dipakai kuliah oleh Santi, sementara Santi mencoba peruntungannya di dunia modelling untuk kerja paruh waktunya. Sebenarnya penghasilan Santi lumayan, namun sudah satu tahun berjalan, Santi belum juga mengembalikan uang Rahma, dia lebih mementingkan memenuhi gaya hidup dan penampilannya."Sebagai model, penampilan itu modal utama. Kalau aku gak cantik dan menarik, mana ada yang mau memakai aku. Aku pasti ngembalikan uang yang tidak seberapa itu," kata Santi ketus, ketika Rahma menanyakan uangnya. Bukan apa-apa, Rahma merasa tabungan selama satu tahun ini jika di gabung dengan uang yang dipinjam Santi cukup untuk mendaftar kuliah, akhirnya Rahmah hanya mengubur mimpinya kuliah di tahun itu. Jika mengingat itu hati Rahmah sesak, pengorbanannya atas nama persahabatan ternyata tidak dibalas sama oleh Santi, dia seperti bertepuk sebelah tangan. Ah, seandainya dulu ada program Bidikmisi seperti saat ini, mungkin Rahma sudah kuliah tanpa pusing memikirkan biaya, secara dia siswa berprestasi, selalu juara umum di SMA dulu. Belum lagi sedihnya Rahma tidak bisa kuliah, dia terpaksa keluar dari pekerjaannya menjadi pembantu Bu Hana, lantaran suami Bu Hana meninggal karena sakit jantung koroner. Bu Hana terpaksa menjual semua aset dan pindah ke kampung halamannya di Manado. Berbekal uang pesangon yang tidak seberapa, akhirnya Rahma berjualan Mie ayam memakai gerobak, dia menyewa rumah petak sendiri dan meninggalkan Santi di kos-kosan sendiri. Selama enam bulan jualan, Rahma sudah cukup uang untuk mendaftar ke perguruan tinggi negeri. Dia dinyatakan lulus UMPTN. Di sinilah dia bertemu seniornya, Fauzan. Sebagai ketua BEM, Fauzan benar-benar seorang yang menarik dilihat dari manapun. Fauzan sendiri kagum terhadap Rahma, seorang mahasiswi yang mandiri, menghidupi dirinya dan kuliahnya walau hanya berjualan mie ayam di sore hari. Tidak seperti dirinya, yang hanya mengandalkan orang tua, yah ...walau memang orang tuanya kaya raya.Namun, petaka itu datang lagi. Santi ternyata diusir dari kost karena tiga bulan tidak bayar uang kost. Yah kemana dia pergi kalau bukan ke tempat Rahma. Namun, baru empat bulan Santi di rumah Rahmah dia mengaku hamil. Rahma yang geram, meminta Santi memberitahu siapa ayahnya, namun gadis itu hanya bungkam. Santi tidak menginginkan bayi itu, berapa kali dia mencoba menggugurkannya, namun sudah terlambat, bayi itu sudah mengakar dengan kuat di perut Santi. Gadis itu hanya murung saja, dia tidak pernah keluar rumah. Rahmahlah yang mencukupi kebutuhannya, hingga sampai anak itu lahir belum genap tiga hari, Santi meninggalkan bayinya yang masih merah. Rahmah mencari Santi kemana-mana, ternyata Santi sudah dikeluarkan dari kampus saat pindah ke rumahnya dulu, karena tidak pernah membayar SPP kuliah. Ah, akhirnya demi bayi yang masih merah itu, Rahmah terpaksa berhenti kuliah, sebenarnya sayang, kuliahnya sudah masuk semester tiga. Namun, dia tidak mempunyai pilihan.Rahma menghela napas dalam-dalam demi mengingat itu semua, perasaan nyeri selalu menyayat hatinya jika teringat masa lalu. Segera dia mengambil wudhu ketika azan isya berkumandang, dia ingin segera memeluk guling di peraduan. Setelah salat segera dibaringkan tubuhnya, penatnya sudah berkurang. Ingin dia segera tertidur, dipejamkannya matanya, ya ampun ... kok gak bisa tidur-tidur sih? Rahma berkali-kali ganti posisi, miring kanan, miring kiri, telentang."Aduh ... kok gelisah gini sih tidurku?" gumamnya.
Dipeluk bantal gulingnya lebih erat, aroma rose pewangi pakaian menguar dari sarung bantal yang kemarin dia cuci. Wangi rose ini mengingatkan dia pada aroma sabun mandi yang lelaki itu pakai tadi siang, terbayang di pelupuk matanya hangat dada lelaki itu yang menyentuh kulit wajahnya. Tatapan mata lelaki itu tak bisa dia lupakan, sorot matanya sangat aneh, mampu menggetarkan sukmanya. Tak terasa Rahma tersenyum sendiri.'Ya ampun ... ada apa denganku? Ah, kebanyakan ngehalu kayaknya ini,' batinnya.
****Bastian masih terjaga, jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tadi kayaknya dia kecapekan dan ingin segera tidur, nyatanya dia malah gak bisa tidur. Segera dia menuju dapur, dibukanya kulkas. Ah ... kulkasnya penuh minuman dingin. Pasti perempuan itu yang mengisinya. Diraihnya air soda jeruk lime, diteguknya minuman bergas dingin tersebut, rasanya segar melewati tenggorokan. Segera dia berjalan ke meja makan. Di atas meja terdapat beberapa panci yang tertutup tutup kaca sehingga isi di dalamnya terlihat. Bastian meraih panci berisi kue brownies, dia belum mencicipi makanan itu tadi siang. Hmm, yummy juga rasanya, apalagi dipadu dengan minuman soda ini, rasanya mantap banget.Dia benar-benar merasa bersalah dengan perempuan itu sekarang, gara-gara marah yang tidak jelas, dia jadi mengeluarkan kata-kata yang menyakiti perempuan itu.'Ah, ada apa denganku? Kenapa aku tidak suka jika perempuan itu dekat dengan sahabatku sendiri, Romi?' batinnya.
Rahma melajukan motornya tanpa menghiraukan hujan lebat yang mengguyur sekujur tubuhnya. Sampai di rumahnya, dia langsung mandi keramas, berulang kali keningnya disabun bahkan digosok agar bekas kecupan lelaki itu hilang. Karena kehujanan begitu lama membuat tubuhnya menggigil kedinginan. Setelah mandi dia segera memakai kaos kaki dan sweater hangat berbahan wol, selanjutnya dia hanya meringkuk di bawah selimut untuk menghangatkan tubuh.Masih terbayang adegan di bawah guyuran hujan tadi seperti adegan di film India. Berulang kali dia beristigfar,'Ya Allah ... dosanya diri ini. Bagaimana aku akan menghadapi laki-laki itu, apakah bersikap biasa saja? Atau menghindari bertemu dengannya? Atau ... Ah ya, lebih baik aku menghindarinya. Kalau sore di usahakan selesai kerja sebelum laki-laki itu datang,' batinnya.Sore ini dia memasak untuk Bastian dari rumahnya saja. Dia membuat sop daging sapi di iris tipis-tipis karena persediaan di kulkas tinggal 1 ons, di
"Mau apa kalian ke sini?" tanya Bastian dengan suara keras, rahangnya bahkan mengeras menahan amarah. "Kok pertanyaanmu begitu, Sayang? Tentu saja Mama kangen sama kamu." Virda, Mama Bastian melepaskan pelukan pada putranya itu. Rambutnya yang disanggul rapi terkena rintikan air hujan. "Kenapa Mama bawa perempuan ini ke sini?" tanya Bastian menunjuk perempuan cantik yang datang bersama Mamanya. "Ya Ampun, Sayang ... bukankah kau rindu padanya selama ini?" ujar Mamanya. Wanita cantik itu hanya terdiam di depan pintu. "Ayo, masuk. Bawa semua koper kita ke kamar tamu," kata Virda menyuruh wanita itu. "Kalian mau menginap di sini? Kenapa tidak di hotel saja?" kembali Bastian protes. "Bastian, kami capek baru datang dari Paris, biarkan kami istirahat dulu," kata Virda memotong ucapan Putranya. "Baiklah, silahkan malam ini kalian tidur di ini. Besok pagi silahkan tinggalkan rumah ini. Jangan tidur di kamar tamu, sudah
Bastian terbangun dari tidurnya, badannya rasanya sakit semua karena dia tidur di sofa. Apartemen Romi yang hanya memiliki satu ranjang tidak bisa menampung mereka berdua. Bastian tidak mau, dulu dia pernah tidur seranjang dengan Romi, tapi tidur anak itu lasak bukan main. Bahkan Bastian pernah juga dicium bertubi-tubi karena dia bermimpi mencium seorang gadis. Romi sudah menawari jika dia saja yang tidur di sofa, tapi Bastian yang merasa menumpang bersikeras jika dia saja yang tidur di sofa.Dilihatnya jam dinding diruangan itu menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Dia baru ingat kalau jam segitu pasti Rahma sudah pergi mengantar bekal makan siangnya. Ditelponnya Rahma berkali-kali tapi tidak diangkat, akhirnya dia kirim SMS saja.(Aku menginap di rumah Romi. Bekalnya antar ke kantorku saja, jika aku belum sampai titip pada Satpam)Bastian segera mandi super kilat dan memakai bajunya dengan buru-buru. Dia lupa tidak membawa mobil tadi malam.
Bastian terus menelpon Rahma tetapi wanita itu tak juga menjawab panggilannya, SMS yang sudah dia kirim belum ada satupun yang di baca."Rahma ... di mana kamu?"Bastian tidak jadi melajukan mobil Romi menuju kantor, dia putar balik menuju rumahnya, jika SMS nya belum Rahma baca, pasti wanita itu langsung ke rumahnya."Semoga dua iblis betina itu tidak membuat ulah, jika sampai dia menyakiti Rahma, bisa mati mereka berdua," gumam Bastian sambil memukul stir mobil.Sesampainya di rumah, Bastian mendapati kedua wanita itu tengah menyantap bekal makan siangnya di meja makan."Kenapa kalian makan bekal makan siangku? Lancang kalian!" teriaknya.Dilihatnya bekal makan siang itu adalah makanan kesukaannya, ikan nila bakar dan sambal goreng terasi. Dia benar-benar meradang, makanan yang sudah dimasak oleh perempuan yang dikasihinya dimakan begitu saja oleh wanita yang dibencinya sampai mendarah daging."Bastian, bilang sama pemba
Rahma selalu ingat betul penggalan peristiwa kehidupannya yang pilu, saat itu usia Alif baru dua minggu, semalaman bayi yang masih merah itu menangis tidak juga berhenti. Rahma yang sudah kelelahan karena seharian belum sempat makan dan istirahat hanya bisa ikut menangis, dia begitu bingung tidak tahu harus berbuat apa, bayi itu hanya digendongnya saja. Usianya yang masih belia baru menginjak 20 tahun, membuatnya tidak memiliki pengalaman apapun dalam merawat bayi. Ketika para gadis di usianya tengah bergembira menggapai asa, bersenda gurau dengan teman-temannya atau tengah asyik berkencan, Rahma justru sibuk mencari nafkah dan mengurus bayi yang notabene bukan bayinya. Perasaan nelangsa beberapa kali menyelusup dalam hatinya, membuatnya meratap dan menangis dalam diam tanpa mengeluarkan air mata.Bukde Marni yang juga ikut kerepotan membantu merawat Alif ikut kebingungan, maklum dia yang sudah berumahtangga selama sepuluh tahun juga belum punya pengalaman mengurus bayi karen
Tiba-tiba ponsel Rahma berdering, mau diangkat Fitri gak berani, didiamkan kok manggil terus kalau panggilan penting gimana?"Ah, angkat aja, ha? Pak Bos? Ini pasti majikan Mbak Rahma," gumam Fitri setelah melihat nama yang tertera di layar ponsel."Halo ...," sapa Fitri"Halo? Rahmah?""Eh, saya bukan Rahmah, Pak. Bu Rahmahnya sekarang sedang di ruang Kepala Sekolah," kata Fitri."Oiya, Bu ..., sekolah Ibu di mana ya? Saya mau langsung ketemu Rahma," kata Bastian"Oo ... di SMK 4, Pak. Yang berada di lorong pembangunan," kata Fitri"Oiya, saya OTW ke sana.""Baik, Pak."Fitri segera mengirim nomor telpon Bastian melalui SMS ke handphonenya, siapa tahu kelak berguna.****"Fit, aku pergi ke Dinas ya?" kata Rahma.'Cepat sekali dari ruang Kepsek? Padahal Aku baru masang mukena,' batin Fitri."Iya, mbak ...," jawab Fitri'nah gimana ini kalau Majikan Mbak Rahma ke sini?' pikir
"Itu aku sudah mengirim kontak temannya Rahma, tolong kau temui dia, sepertinya ada yang penting yang akan dia bicarakan," kata Bastian sebelum sampai di rumahnya"Oke," jawab Romi singkat."Oya, kenapa kau tidak langsung menemui Rahma atau menelponnya?" tanya Romi."Kau tahu kenapa kau tidak bisa menghubungiku?" Romi hanya menggeleng."Itu karena aku terus mencoba menelponnya, tapi perempuan itu gak mengangkat telponnya," kata Bastian kesal.Wajah Bastian terlihatbterlihat kusut, rambutnya yang biasanya selalu rapi kini habis diacak-acaknya."Kau kirim SMS-lah," kata Romi.Ah ... Bastian harus lebih banyak menahan emosi hari ini, perkataan Romi membuatnya bertambah jengkel lagi."Gak perlu kau ajari sudah kukirim itu pesan sampai jariku pegal mengetiknya," katanya sewot."Ya, sudah. Entar juga dia baca SMS-nya.""Aku gak yakin, palingan pesanku sudah dia hapus tanpa membacanya. Sekarang nomorku sudah diblok
Malam itu menjadi malam paling membahagikan bagi Rahma sejak kehamilan pertamanya. Dia tidak menyia-nyiakan kesempatan berjalan-jalan berdua dengan Bastian. Bastian sengaja mematikan ponselnya agar qualty time dengan istrinya tidak terganggu.Hingga sampai pulang seorang perawat dari rumah sakit menunggunya di rumahnya."Maaf, Pak. Saya jadinya ke mari, karena Bapak tidak bisa dihubungi, saya akan mengabarkan satu jam yang lalu, Bu Virda menghembuskan napas terakhir.""Apa?" Bastian kaget sekali mendengar kabar itu.Dia hanya berjalan-jalan dengan istrinya selama tiga jam dari kepulangannya dari rumah sakit, jika dia tahu Mamanya akan meninggal tentu dia akan bersikeras tidak meninggalkan Mamanya, walau Mama Virda memaksanya untuk pulang. Bastian terduduk lesu di sofa ruang tamu. Dia juga menyesali kenapa dia musti mematikan ponselnya"Ya, Allah ... Innalilahi wa Inna ilaihi rojiun ...," u
"Bunda pergi dulu, ya ... Jagalah Mama kalian dengan baik," kata Bunda Asti ketika berada di Bandara.Bastian, Rahma, Fitri dan Alif turut mengantar kepergian mereka ke tanah suci."Bunda ... Tolong do'akan agar Mama lekas sembuh," kata Bastian."Iya, tentu saja Bunda akan mendo'akan Mama Virda. Jaga baik-baik istrimu dan anakmu, ya?""Iya, itu pasti," Bastian mencium punggung tangan Bunda Asti."Bunda, do'akan kehamilan Rahma lancar dan sehat ya ... Do'akan juga Alif cepat sembuh dan cepat berjalan dan tolong do'akan juga suamiku agar ingatannya kembali lagi," Rahma memeluk Bunda Asti."Iya, sayang ... Semua keluarga Bunda nanti Bunda do'akan satu persatu.""Aku berangkat dulu, Bro. Nanti akan aku do'akan agar ingatanmu cepat kembali. Agar kau bisa mengingat kembali momen di mana kau bucin banget sama istrimu itu, agar kau bisa mengingat malam pertama kalian," kata Romi sambil terkekeh.Bastian memeluk saudaranya itu dan
"Bunda ... Bunda dari mana?" suara Alif menyambut kedatangan Rahma dan Baatian dari rumah sakit."Alif? Kenapa belum tidur, Nak? Ini sudah malam loh," kata Bastian membelai rambut Alif.Alif terpukau dengan perkataan Bastian, lelaki itu biasanya selalu bersikap masa bodoh, cuek bahkan menampakkan wajah tak ramah padanya. Namun, sekarang lelaki dihadapannya ini rela berlutut hingga wajahnya bisa menatapnya dengan jelas, mata lelaki itu penuh kehangatan seperti Ayah Bastian yang dulu."Alif belum ngantuk, Yah. Ayah Sama Bunda dari mana?""Ayah sama Bunda dari Rumah sakit" jawab Rahma"Ke Rumah sakit? Siapa yang sakit, Bun?""Yang sakit Mamanya Ayah," jawab Bastian."Maksudnya Nenek Bunda Asti? Dia di rumah kok," kata Alif polos"Bukan sayang, Ayah juga sama dengan Alif, punya dua orang Ibu. Yang sakit itu Mama kandung Ayah, seperti Mama Santi, dia ibu kandung Alif, kan?""OOO gitu? Ternyata kita punya nasib yang sama
"Nanti malam kita makan di luar, yuk? Untuk meresmikan hari jadian kita," kata Bastian setelah salat AsharRahma yang tengah membereskan tempat tidur tersenyum ceria."Hari inikan bukan hari jadi kita? Kita menikah baru dua bulan, Mas!""Bukan hari pernikahan kita, tetapi hari jadian kita saat aku Amnesia, kalau kenangan masa lalu bersamamu aku lupa, maka mulai hari ini aku akan membuat kenangan baru, ingatan baru bersamamu," Bastian memeluk Rahma dari belakang.Derrrttt ... Derrrrtttt ...."Mas, itu ponselmu bergetar," seru Rahma menunjuk ponsel Bastian di atas nakas.Bastian segera mengambil ponselnya dan menggeser tanda panggilan di layar."Halo? Iya ... Apa? Oiya ... Iya, saya akan segera ke sana,"Bastian menutup teleponnya dengan menghembuskan napas berat."Ada apa, Mas? Siapa yang nelpon?" tanya Rahma penasaran."Dari rumah sakit, katanya Mama pingsan dan sekarang masuk rumah sakit."
Suasana sore itu membuat mereka tertidur sambil berpelukan. Semua baju basah mereka ditumpuk di kamar mandi. Rahma terjaga dari tidurnya setelah mendengar suara ramai.'Ah, mereka pasti sudah pulang dari belanja,' batinnya.Rahma segera bangkit dari pembaringan dan memakai pakaian lengkap, tak lupa memakai jilbab kaosnya. Diperhatikan dengan seksama suaminya yang tengah terlelap dengan tubuh ditutupi selimut tebal. Rahma harus segera ke kamar lelaki itu untuk membawa baju ganti. Dia segera keluar dari kamar tak lupa mengunci kamarnya dari luar."Alif sudah pulang?" tanya Rahma antusias melihat putranya tengah membawa mobilan remot."Bunda, lihat deh. Om Romi membelikan Alif mobil-mobilan remote," serunya"Iya, bagus ya? Sudah bilang terima kasih belum?""Sudah.""Sekarang Alif mandi, sudah itu salat Ashar. Selanjutnya makan ya?"
"Rahma, kamu kenapa, Sayang?" seru Bunda Asti ketika melihat Rahma muntah-muntah di kamar mandi."Nggak tahu, Bunda. Perutku rasanya mual banget," kata Rahma."Ya, Ampun ... Kamu sudah mulai emesis. Ya sudah kamu istirahat saja, tidak usah ikut belanja. Nanti biar Bik Wati menemanimu.""Iya, Bunda ... Aku gak bisa ikut, takutnya mualku kambuh di sana."Ketika mau berangkat, Alif ternyata bersikeras untuk ikut. Rahma meminta Bik Wati agar ikut belanja bersama mereka, untuk membantu keperluan Alif. Walau Romi dan Fitri bersikeras mereka yang akan menjaga Alif, namun Rahma ingin agar pasangan muda itu lebih bebas menjalin kedekatan diantara mereka.Setelah mereka pergi, Rahma hanya berbaring di ranjang sembari membaca novel.****Setelah jam makan siang tiba, Bastian tidak sabar membuka bekal makan siangnya. Setelah dibuka, aromanya tercium begitu sedap
Hari ini terpaksa Bastian menghubungi Romi, untuk mengantarnya menjemput Rahma. Dia menduga Romi akan mengejeknya habis-habisan tetapi ternyata tidak. Saudaranya itu malah antusias menemaninya, dia berulang kali bersyukur karena Allah telah menyadarkannya.Sesampainya di rumah Rahma, Romi segera menyampaikan maksudnya disaksikan Fitri, sedang Bastian hanya menundukkan kepala tidak berani menatap kedua wanita itu."Maksud Abang ke sini mau menjemputmu, Rahma. Pulanglah ke rumah suamimu sekarang, dia memintamu. Iya kan, Bas?"Bastian hanya mengangguk pelan."Kok Bang Romi yang bilang? Kenapa bukan suaminya langsung," kata Fitri.Mendengar perkataan Fitri, Bastian spontan mendongakkan kepalanya menatap kedua wanita di hadapannya dengan tatapan jengah."Iya, pulanglah." Hanya itu kata yang mampu terucap dari bibir Bastian."Apa? Cuma gitu? Kemaren waktu ngusir panjang lebar, gak ada permintaan maaf, gitu? Apa ...," gerutu Fitr
Yadi datang setelah lima tujuh menit berlalu. Bastian segera masuk dan duduk di sampingnya."Kita mau ke mana, Pak?""Ke cafe atau apapun, cari tempat sepi buat mengobrol," kata Bastian."Bapak janji mau bertemu seseorang?""Tidak, saya hanya ingin membicarakan beberapa hal denganmu.""Tentang masalah apa, Pak?" ucap Yadi, dia merasa kuatir, selama ini Bosnya tidak pernah ingin berbicara dengannya, apakah ini soal pekerjaannya?"Tidak perlu kuatir, ini bukan tentang kamu, ini tentang diriku sendiri," kata Bastian seolah tahu apa yang dipikirkan Yadi.Yadi tersenyum lega, dia segera membawa bosnya di warung Bakso di dekat taman. Mereka memilih duduk di bangku taman yang agak sepi."Ada apa, Pak?" tanya Yadi membuka percakapan."Yadi ... Aku mengenalmu, kau sudah bekerja pada Papa berapa lama?" tanya Bastian memastikan."Sudah hampir dua tahun, Pak. Makanya Bapak mengenal saya, Bapak hanya lupa peristiwa
"Ini Pak rumahnya," kata Yadi"Kamu yakin ini rumahnya?""Yakin dong, Pak. Saya sudah sering kemari mengantar Bu Rahma. Ini rumah peninggalan Almarhum Ayahnya, Pak.""Oo" hanya itu yang keluar dari mulut Bastian.Bastian tidak menyangka kalau Rahma memiliki rumah warisan yang begitu mewah, berarti benar kata Bunda, Rahma anak orang kaya."Pak Yadi pulang saja, saya tidak mau Rahma mengetahui saya datang jika pakai mobil," kata Bastian,Sebenarnya dia hanya ingin tahu ada perlu apa Santi menemui Rahma, jika dia masuk memakai mobil, pasti tidak bisa menyelidiki semua itu."Terus Bapak nanti pulangnya bagaimana? Atau Bapak mau menginap?" kata Yadi tersenyum simpul."Nanti kukabari." Bastian segera turun dari mobil dan memencet bel pagar.Dari dalam muncul seorang Satpam dan segera membuka pintu pagar