Amara menelan ludah, getir. Entah kenapa, melihat foto itu membuat dadanya terasa sesak, seolah-olah ada benjolan emosi yang tak bisa dijelaskan. Mungkin karena ia terlalu mengenal rasa kosong yang terpancar dari gambar tersebut, refleksi dari mata yang tampak hampa.
Kenangan masa kecilnya pun tiba-tiba menyeruak, mengalir bagai sungai yang tak bisa dibendung.
Dia teringat malam-malam panjang di panti asuhan, saat ia berbaring di ranjang sempit, menatap langit-langit yang usang sambil bertanya-tanya, apakah ada orang di luar sana yang merindukannya.
Hari-hari yang harus dilaluinya dengan belajar menjadi kuat lebih cepat dari seharusnya, karena tak ada seorang pun yang akan menolong jika ia terjatuh. Dan saat itu juga, ia pertama kali menyadari bahwa dunia ini tidak selalu adil bagi orang-orang seperti dirinya.
Amara menggigit bibirnya, menatap pantulan dirinya di kaca jendela besar di depannya, sebuah jendela ke dalam jiwa yang lain.
Ia pernah berp
Amara Larasati tenggelam dalam kursi empuk yang menghadap jendela besar ruangan itu. Sinar sore menembus kaca, membelai wajahnya dengan lembut, menciptakan kontras antara cahaya keemasan dan bayangan yang melukis kesunyian pribadinya.Di luar sana, gedung-gedung pencakar langit Jakarta berdiri kokoh, memamerkan ambisi yang tak pernah padam. Kota itu sibuk, tak kenal lelah. Tapi di dalam ruangan ini, yang dipenuhi aroma teh vanilla yang baru diseduh, hanya ada keheningan—hening yang terasa hampir melankolis. Di seberang meja, Laksha Wijanarko mengaduk kopi hitamnya. Bunyi sendok yang beradu dengan dinding cangkir porselen sesekali memecah kesunyian di antara mereka. Rambut hitamnya tampak berantakan—jejak dari malam yang mungkin tak berjalan tenang atau pikiran yang terus melayang tanpa arah. “Kenapa kamu terima tawaran pernikahan ini, Amara?” suara Laksha akhirnya memecah diam. Nada suaranya rendah, ada beban yang disembunyi
Langit Jakarta memamerkan senja yang dramatis, semburat jingga dan merah membakar awan yang menggantung di ufuk barat. Di bawahnya, kota masih berdenyut, tak pernah benar-benar diam, seakan enggan menyerahkan dirinya pada malam.Namun, di sebuah ruangan di lantai atas salah satu gedung pencakar langit yang megah, ada sejenak keheningan yang terasa seperti dunia lain—sebuah jeda dari hiruk-pikuk yang terus bergulir di luar sana. Di dalam ruangan itu, Amara Larasati duduk dengan fokus yang nyaris tak tergoyahkan.Matanya terpaku pada layar laptop, mengikuti barisan angka dan grafik yang berkelindan seperti teka-teki yang hanya bisa dipecahkan oleh ketajaman pikirannya. Jemarinya kadang bergerak cepat di atas keyboard, mencatat sesuatu, lalu kembali diam sejenak, merenung, sebelum kembali mengetik.Di atas meja yang tertata rapi, berkas-berkas tersusun dengan disiplin, berdampingan dengan secangkir teh yang masih mengepulkan uap hangat, aromanya
Langit Jakarta sore itu kelabu, seakan menyimpan beban yang tak terucap. Awan-awan menggantung rendah, berat dengan janji hujan yang tertunda sejak siang. Dari balik jendela kaca ruang kerja Laksha, Amara menatap jalanan yang tetap sibuk meski gerimis mulai turun.Lampu-lampu kendaraan berpendar di tengah rintik, menciptakan kilau temaram yang tak sepenuhnya bisa mengusir kesuraman di dadanya.Di atas meja, ponselnya bergetar pelan. Sebuah notifikasi masuk.Pernikahan CEO Laksha Wijanarko dan Kasir Minimarket? Pernikahan Cinta atau Transaksi Bisnis?Dahi Amara berkerut. Dengan jantung berdebar tak menentu, ia membuka tautan artikel itu. Deretan kata-kata sensasional langsung menghantamnya."Seorang wanita biasa tiba-tiba menikah dengan pewaris kerajaan bisnis Wijanarko Group. Sumber terpercaya mengungkapkan bahwa pernikahan ini hanyalah kesepakatan bisnis yang menguntungkan salah satu pihak. Benarkah? Ataukah ini hanya
Langit Jakarta masih diselimuti awan kelabu ketika Amara melangkah keluar dari kamar tidur. Udara pagi membawa sisa-sisa hujan semalam, meninggalkan jejak embun tipis di kaca jendela apartemen.Cahaya matahari yang malu-malu mencoba menembus lapisan awan, menciptakan bias lembut di dalam ruangan. Aroma kopi hitam menyelinap ke dalam penciumannya, bercampur dengan wangi samar buku-buku lama yang tersusun rapi di rak sudut ruangan.Di meja makan, Laksha sudah duduk. Kemeja putihnya tergulung hingga siku, memperlihatkan lengan yang tegang, seolah ketegangan itu bukan hanya berasal dari pikirannya, tetapi juga merambat hingga ke tubuhnya.Rahangnya mengeras, ibu jarinya bergerak perlahan di atas layar ponsel. Ia begitu terfokus, seakan-akan dunia di sekelilingnya hanya menjadi latar belakang semata.Amara tak perlu menebak apa yang sedang ia baca. Berita itu masih di mana-mana, terpampang di layar-layar ponsel, mengalir dalam bisik-bisik media, menyusup ke da
Hujan telah reda, meninggalkan jejak dingin yang merayap pelan melalui kaca jendela apartemen. Embun tipis masih menggantung di permukaannya, membiaskan gemerlap lampu-lampu kota Jakarta yang berpendar seperti bintang jatuh.Cahaya redup dari luar menciptakan pantulan samar di meja makan, memperkuat keheningan yang menggantung di dalam ruangan. Di dapur, aroma bawang goreng dan kuah kaldu yang hangat perlahan mengambil alih ruangan, menggantikan sisa wangi kopi yang sebelumnya mendominasi. Di tengah meja, dua mangkuk mi instan mengepulkan asap tipis—sederhana, kontras dengan interior mewah yang mengelilinginya. Amara menatap mangkuknya tanpa banyak gerakan, sumpit di tangannya melayang di atas mi yang tampak sedikit terlalu kental. Ekspresinya sulit ditebak, seolah ada sesuatu yang tengah berkecamuk dalam pikirannya.Sementara di seberangnya, Laksha tampak lebih santai, menyendok mi buatannya dengan percaya diri—seakan ia baru sa
Langit Jakarta malam itu dipenuhi cahaya neon yang berpendar, mencerminkan gemerlap kota yang tak pernah tidur.Namun, di dalam rumah keluarga Wijanarko, suasana terasa kontras—dingin, tegang, dan penuh tekanan yang menggantung di udara seperti hujan yang tertahan di langit sebelum akhirnya turun dengan deras.Amara melangkah pelan di koridor lantai dua, nyaris tanpa suara di atas marmer dingin yang memantulkan cahaya lampu gantung.Sebenarnya, ia hanya ingin turun ke dapur untuk mengambil segelas air, tetapi langkahnya terhenti ketika samar-samar terdengar suara laki-laki dari balik pintu ruang kerja yang sedikit terbuka.Awalnya, ia berniat untuk berlalu begitu saja. Ini bukan urusannya. Ia tak ingin terlibat dalam permasalahan pribadi Laksha dan keluarganya. Namun, nada suara yang terdengar dari dalam ruangan begitu keras, dipenuhi emosi yang mentah, membuatnya ragu."Aku sudah muak, Ayah!"Langkahnya terhenti. Itu suara La
"Aku tidak peduli kau menikah dengan siapa," suara Aditya terdengar rendah, nyaris seperti geraman yang tertahan. "Tapi aku ingin melihat komitmen. Aku ingin melihat kau benar-benar bertanggung jawab atas keputusanmu. Bukan sekadar membuat kesepakatan yang kosong."Laksha tertawa pendek, getir. Bukan tawa bahagia, melainkan tawa seseorang yang lelah, yang sudah terlalu sering mendengar kata-kata seperti itu."Tanggung jawab?" ulangnya, seakan mencicipi kata itu dengan sarkasme yang tajam. "Kau bicara tentang tanggung jawab, tapi sepanjang hidupku, aku hanya berusaha memenuhi standar yang bahkan kau sendiri tidak pernah jelaskan dengan jelas."Tatapan Aditya tetap tajam, tidak berubah sedikit pun. "Kedewasaan tidak bisa diajarkan, Laksha," katanya, nada suaranya tetap tegas. "Itu harus dipelajari sendiri. Dan sampai hari ini, aku masih melihat bocah yang keras kepala, yang lebih peduli pada egonya daripada pada sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri."
Angin malam berembus lembut melalui celah jendela besar di kamar Amara, membawa serta aroma tanah basah yang khas setelah hujan.Dari kejauhan, langit Jakarta yang kelam diterangi gemerlap lampu-lampu pencakar langit, menciptakan pendar cahaya yang seakan berkilauan di balik tirai tipis yang bergerak pelan.Namun, di dalam kamar itu, suasana justru terasa berat—seolah ada dinding tak kasatmata yang memisahkan dua sosok yang kini duduk berseberangan di atas sofa. Laksha melangkah masuk tanpa benar-benar menyadari keberadaan Amara. Jaket yang dikenakannya ia lemparkan sembarangan ke kursi di dekat meja kerja, gerakannya sedikit kasar dan tergesa.Bahunya yang tegang, napasnya yang masih sedikit memburu—semua itu memberi isyarat jelas bahwa pikirannya masih dipenuhi oleh percakapan yang baru saja terjadi dengan ayahnya. Amara menarik napas dalam, mencoba menyusun kata-kata yang tepat dalam benaknya. Ia tahu betul bahwa Laksha
Angin malam berembus lembut melalui celah jendela besar di kamar Amara, membawa serta aroma tanah basah yang khas setelah hujan.Dari kejauhan, langit Jakarta yang kelam diterangi gemerlap lampu-lampu pencakar langit, menciptakan pendar cahaya yang seakan berkilauan di balik tirai tipis yang bergerak pelan.Namun, di dalam kamar itu, suasana justru terasa berat—seolah ada dinding tak kasatmata yang memisahkan dua sosok yang kini duduk berseberangan di atas sofa. Laksha melangkah masuk tanpa benar-benar menyadari keberadaan Amara. Jaket yang dikenakannya ia lemparkan sembarangan ke kursi di dekat meja kerja, gerakannya sedikit kasar dan tergesa.Bahunya yang tegang, napasnya yang masih sedikit memburu—semua itu memberi isyarat jelas bahwa pikirannya masih dipenuhi oleh percakapan yang baru saja terjadi dengan ayahnya. Amara menarik napas dalam, mencoba menyusun kata-kata yang tepat dalam benaknya. Ia tahu betul bahwa Laksha
"Aku tidak peduli kau menikah dengan siapa," suara Aditya terdengar rendah, nyaris seperti geraman yang tertahan. "Tapi aku ingin melihat komitmen. Aku ingin melihat kau benar-benar bertanggung jawab atas keputusanmu. Bukan sekadar membuat kesepakatan yang kosong."Laksha tertawa pendek, getir. Bukan tawa bahagia, melainkan tawa seseorang yang lelah, yang sudah terlalu sering mendengar kata-kata seperti itu."Tanggung jawab?" ulangnya, seakan mencicipi kata itu dengan sarkasme yang tajam. "Kau bicara tentang tanggung jawab, tapi sepanjang hidupku, aku hanya berusaha memenuhi standar yang bahkan kau sendiri tidak pernah jelaskan dengan jelas."Tatapan Aditya tetap tajam, tidak berubah sedikit pun. "Kedewasaan tidak bisa diajarkan, Laksha," katanya, nada suaranya tetap tegas. "Itu harus dipelajari sendiri. Dan sampai hari ini, aku masih melihat bocah yang keras kepala, yang lebih peduli pada egonya daripada pada sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri."
Langit Jakarta malam itu dipenuhi cahaya neon yang berpendar, mencerminkan gemerlap kota yang tak pernah tidur.Namun, di dalam rumah keluarga Wijanarko, suasana terasa kontras—dingin, tegang, dan penuh tekanan yang menggantung di udara seperti hujan yang tertahan di langit sebelum akhirnya turun dengan deras.Amara melangkah pelan di koridor lantai dua, nyaris tanpa suara di atas marmer dingin yang memantulkan cahaya lampu gantung.Sebenarnya, ia hanya ingin turun ke dapur untuk mengambil segelas air, tetapi langkahnya terhenti ketika samar-samar terdengar suara laki-laki dari balik pintu ruang kerja yang sedikit terbuka.Awalnya, ia berniat untuk berlalu begitu saja. Ini bukan urusannya. Ia tak ingin terlibat dalam permasalahan pribadi Laksha dan keluarganya. Namun, nada suara yang terdengar dari dalam ruangan begitu keras, dipenuhi emosi yang mentah, membuatnya ragu."Aku sudah muak, Ayah!"Langkahnya terhenti. Itu suara La
Hujan telah reda, meninggalkan jejak dingin yang merayap pelan melalui kaca jendela apartemen. Embun tipis masih menggantung di permukaannya, membiaskan gemerlap lampu-lampu kota Jakarta yang berpendar seperti bintang jatuh.Cahaya redup dari luar menciptakan pantulan samar di meja makan, memperkuat keheningan yang menggantung di dalam ruangan. Di dapur, aroma bawang goreng dan kuah kaldu yang hangat perlahan mengambil alih ruangan, menggantikan sisa wangi kopi yang sebelumnya mendominasi. Di tengah meja, dua mangkuk mi instan mengepulkan asap tipis—sederhana, kontras dengan interior mewah yang mengelilinginya. Amara menatap mangkuknya tanpa banyak gerakan, sumpit di tangannya melayang di atas mi yang tampak sedikit terlalu kental. Ekspresinya sulit ditebak, seolah ada sesuatu yang tengah berkecamuk dalam pikirannya.Sementara di seberangnya, Laksha tampak lebih santai, menyendok mi buatannya dengan percaya diri—seakan ia baru sa
Langit Jakarta masih diselimuti awan kelabu ketika Amara melangkah keluar dari kamar tidur. Udara pagi membawa sisa-sisa hujan semalam, meninggalkan jejak embun tipis di kaca jendela apartemen.Cahaya matahari yang malu-malu mencoba menembus lapisan awan, menciptakan bias lembut di dalam ruangan. Aroma kopi hitam menyelinap ke dalam penciumannya, bercampur dengan wangi samar buku-buku lama yang tersusun rapi di rak sudut ruangan.Di meja makan, Laksha sudah duduk. Kemeja putihnya tergulung hingga siku, memperlihatkan lengan yang tegang, seolah ketegangan itu bukan hanya berasal dari pikirannya, tetapi juga merambat hingga ke tubuhnya.Rahangnya mengeras, ibu jarinya bergerak perlahan di atas layar ponsel. Ia begitu terfokus, seakan-akan dunia di sekelilingnya hanya menjadi latar belakang semata.Amara tak perlu menebak apa yang sedang ia baca. Berita itu masih di mana-mana, terpampang di layar-layar ponsel, mengalir dalam bisik-bisik media, menyusup ke da
Langit Jakarta sore itu kelabu, seakan menyimpan beban yang tak terucap. Awan-awan menggantung rendah, berat dengan janji hujan yang tertunda sejak siang. Dari balik jendela kaca ruang kerja Laksha, Amara menatap jalanan yang tetap sibuk meski gerimis mulai turun.Lampu-lampu kendaraan berpendar di tengah rintik, menciptakan kilau temaram yang tak sepenuhnya bisa mengusir kesuraman di dadanya.Di atas meja, ponselnya bergetar pelan. Sebuah notifikasi masuk.Pernikahan CEO Laksha Wijanarko dan Kasir Minimarket? Pernikahan Cinta atau Transaksi Bisnis?Dahi Amara berkerut. Dengan jantung berdebar tak menentu, ia membuka tautan artikel itu. Deretan kata-kata sensasional langsung menghantamnya."Seorang wanita biasa tiba-tiba menikah dengan pewaris kerajaan bisnis Wijanarko Group. Sumber terpercaya mengungkapkan bahwa pernikahan ini hanyalah kesepakatan bisnis yang menguntungkan salah satu pihak. Benarkah? Ataukah ini hanya
Langit Jakarta memamerkan senja yang dramatis, semburat jingga dan merah membakar awan yang menggantung di ufuk barat. Di bawahnya, kota masih berdenyut, tak pernah benar-benar diam, seakan enggan menyerahkan dirinya pada malam.Namun, di sebuah ruangan di lantai atas salah satu gedung pencakar langit yang megah, ada sejenak keheningan yang terasa seperti dunia lain—sebuah jeda dari hiruk-pikuk yang terus bergulir di luar sana. Di dalam ruangan itu, Amara Larasati duduk dengan fokus yang nyaris tak tergoyahkan.Matanya terpaku pada layar laptop, mengikuti barisan angka dan grafik yang berkelindan seperti teka-teki yang hanya bisa dipecahkan oleh ketajaman pikirannya. Jemarinya kadang bergerak cepat di atas keyboard, mencatat sesuatu, lalu kembali diam sejenak, merenung, sebelum kembali mengetik.Di atas meja yang tertata rapi, berkas-berkas tersusun dengan disiplin, berdampingan dengan secangkir teh yang masih mengepulkan uap hangat, aromanya
Amara Larasati tenggelam dalam kursi empuk yang menghadap jendela besar ruangan itu. Sinar sore menembus kaca, membelai wajahnya dengan lembut, menciptakan kontras antara cahaya keemasan dan bayangan yang melukis kesunyian pribadinya.Di luar sana, gedung-gedung pencakar langit Jakarta berdiri kokoh, memamerkan ambisi yang tak pernah padam. Kota itu sibuk, tak kenal lelah. Tapi di dalam ruangan ini, yang dipenuhi aroma teh vanilla yang baru diseduh, hanya ada keheningan—hening yang terasa hampir melankolis. Di seberang meja, Laksha Wijanarko mengaduk kopi hitamnya. Bunyi sendok yang beradu dengan dinding cangkir porselen sesekali memecah kesunyian di antara mereka. Rambut hitamnya tampak berantakan—jejak dari malam yang mungkin tak berjalan tenang atau pikiran yang terus melayang tanpa arah. “Kenapa kamu terima tawaran pernikahan ini, Amara?” suara Laksha akhirnya memecah diam. Nada suaranya rendah, ada beban yang disembunyi
Amara menelan ludah, getir. Entah kenapa, melihat foto itu membuat dadanya terasa sesak, seolah-olah ada benjolan emosi yang tak bisa dijelaskan. Mungkin karena ia terlalu mengenal rasa kosong yang terpancar dari gambar tersebut, refleksi dari mata yang tampak hampa.Kenangan masa kecilnya pun tiba-tiba menyeruak, mengalir bagai sungai yang tak bisa dibendung.Dia teringat malam-malam panjang di panti asuhan, saat ia berbaring di ranjang sempit, menatap langit-langit yang usang sambil bertanya-tanya, apakah ada orang di luar sana yang merindukannya.Hari-hari yang harus dilaluinya dengan belajar menjadi kuat lebih cepat dari seharusnya, karena tak ada seorang pun yang akan menolong jika ia terjatuh. Dan saat itu juga, ia pertama kali menyadari bahwa dunia ini tidak selalu adil bagi orang-orang seperti dirinya.Amara menggigit bibirnya, menatap pantulan dirinya di kaca jendela besar di depannya, sebuah jendela ke dalam jiwa yang lain.Ia pernah berp