Musik jazz mengalun lembut di seluruh ballroom, menyatu dengan dentingan gelas kristal dan tawa halus para tamu. Lampu gantung besar berpendar keemasan, menerangi setiap sudut ruangan dengan cahaya hangat yang mewah.
Aroma anggur merah, parfum mahal, dan hidangan bercampur di udara, menciptakan atmosfer yang terasa terlalu megah bagi Amara.
Ia berdiri di dekat meja prasmanan, jari-jarinya melingkari gelas sampanye yang sejak tadi hanya ia putar-putar tanpa benar-benar diminum. Gaun hitamnya yang elegan membalut tubuhnya sempurna, tetapi tetap terasa seperti pakaian pinjaman.
Sepatu hak tinggi yang ia kenakan memaksanya untuk tetap tegak, seolah memberi peringatan bahwa ia bukan bagian dari dunia ini.
Laksha sedang berada di seberang ruangan, dikelilingi oleh beberapa p
Cahaya pagi yang hangat dan lembut menembus celah jendela besar di kamar, menari lembut di antara debu yang berkilauan bagai bintang-bintang kecil yang bertaburan di udara.Aroma kopi hitam yang baru saja diseduh berpadu dengan aroma lavender yang halus dari diffuser di sudut ruangan, menciptakan suasana yang menenangkan dan mengundang.Di luar sana, Jakarta sudah mulai ramai; suara klakson kendaraan bergema meski hanya sebagai latar belakang yang samar, mengingatkan pada kehidupan kota yang tak pernah berhenti.Amara, dengan gaya santainya, duduk mengangkang di kursi bar dapur. Ia mengenakan kaus kebesaran dan celana pendek yang nyaman, menciptakan rasa nyaman yang sempurna untuk menikmati pagi.Kakinya yang satu bertumpu pada palang kursi, sementara kedua tangannya yang lain dengan lembut memeluk cangkir kopi yang hangat, merasakan kehangatan yang menyebar ke seluruh tubuhnya.Di hadapannya, Laksha berdiri tegap di dekat mesin kopi, dengan geraka
Mereka berdua berjalan beriringan di trotoar sempit sebuah gang kecil di Jakarta, melewati deretan warung makan sederhana yang berjejer dengan apik. Aroma sate yang terbakar di atas arang menari-nari di udara, bercampur dengan harum kaldu bakso yang mengepul hangat dari gerobak di ujung gang.Laksha, yang biasanya dikelilingi oleh para rekan bisnis berjas rapi dan mobil-mobil mewah, kini berdiri di depan sebuah warung tenda kecil. Meja plastik berwarna merah dan bangku panjang yang sedikit goyah tampak begitu asing baginya.Amara memandangnya dengan tangan bersedekap, alisnya terangkat penuh tanya, "Masih yakin bisa bertahan di tempat seperti ini?"Laksha menghela napas, lalu dengan gerakan yang ragu, menarik kursi dan duduk. "Aku sudah duduk di sini, bukan? Itu berarti aku tidak kabur."Amara tersenyum simpul, lalu ikut duduk di seberang Laksha. Dia melambaikan tangan ke arah seorang ibu pemilik warung, yang segera mendekat dengan senyum ramah terkembang
Amara menelan ludah, getir. Entah kenapa, melihat foto itu membuat dadanya terasa sesak, seolah-olah ada benjolan emosi yang tak bisa dijelaskan. Mungkin karena ia terlalu mengenal rasa kosong yang terpancar dari gambar tersebut, refleksi dari mata yang tampak hampa.Kenangan masa kecilnya pun tiba-tiba menyeruak, mengalir bagai sungai yang tak bisa dibendung.Dia teringat malam-malam panjang di panti asuhan, saat ia berbaring di ranjang sempit, menatap langit-langit yang usang sambil bertanya-tanya, apakah ada orang di luar sana yang merindukannya.Hari-hari yang harus dilaluinya dengan belajar menjadi kuat lebih cepat dari seharusnya, karena tak ada seorang pun yang akan menolong jika ia terjatuh. Dan saat itu juga, ia pertama kali menyadari bahwa dunia ini tidak selalu adil bagi orang-orang seperti dirinya.Amara menggigit bibirnya, menatap pantulan dirinya di kaca jendela besar di depannya, sebuah jendela ke dalam jiwa yang lain.Ia pernah berp
Amara Larasati tenggelam dalam kursi empuk yang menghadap jendela besar ruangan itu. Sinar sore menembus kaca, membelai wajahnya dengan lembut, menciptakan kontras antara cahaya keemasan dan bayangan yang melukis kesunyian pribadinya.Di luar sana, gedung-gedung pencakar langit Jakarta berdiri kokoh, memamerkan ambisi yang tak pernah padam. Kota itu sibuk, tak kenal lelah. Tapi di dalam ruangan ini, yang dipenuhi aroma teh vanilla yang baru diseduh, hanya ada keheningan—hening yang terasa hampir melankolis. Di seberang meja, Laksha Wijanarko mengaduk kopi hitamnya. Bunyi sendok yang beradu dengan dinding cangkir porselen sesekali memecah kesunyian di antara mereka. Rambut hitamnya tampak berantakan—jejak dari malam yang mungkin tak berjalan tenang atau pikiran yang terus melayang tanpa arah. “Kenapa kamu terima tawaran pernikahan ini, Amara?” suara Laksha akhirnya memecah diam. Nada suaranya rendah, ada beban yang disembunyi
Langit Jakarta memamerkan senja yang dramatis, semburat jingga dan merah membakar awan yang menggantung di ufuk barat. Di bawahnya, kota masih berdenyut, tak pernah benar-benar diam, seakan enggan menyerahkan dirinya pada malam.Namun, di sebuah ruangan di lantai atas salah satu gedung pencakar langit yang megah, ada sejenak keheningan yang terasa seperti dunia lain—sebuah jeda dari hiruk-pikuk yang terus bergulir di luar sana. Di dalam ruangan itu, Amara Larasati duduk dengan fokus yang nyaris tak tergoyahkan.Matanya terpaku pada layar laptop, mengikuti barisan angka dan grafik yang berkelindan seperti teka-teki yang hanya bisa dipecahkan oleh ketajaman pikirannya. Jemarinya kadang bergerak cepat di atas keyboard, mencatat sesuatu, lalu kembali diam sejenak, merenung, sebelum kembali mengetik.Di atas meja yang tertata rapi, berkas-berkas tersusun dengan disiplin, berdampingan dengan secangkir teh yang masih mengepulkan uap hangat, aromanya
Langit Jakarta sore itu kelabu, seakan menyimpan beban yang tak terucap. Awan-awan menggantung rendah, berat dengan janji hujan yang tertunda sejak siang. Dari balik jendela kaca ruang kerja Laksha, Amara menatap jalanan yang tetap sibuk meski gerimis mulai turun.Lampu-lampu kendaraan berpendar di tengah rintik, menciptakan kilau temaram yang tak sepenuhnya bisa mengusir kesuraman di dadanya.Di atas meja, ponselnya bergetar pelan. Sebuah notifikasi masuk.Pernikahan CEO Laksha Wijanarko dan Kasir Minimarket? Pernikahan Cinta atau Transaksi Bisnis?Dahi Amara berkerut. Dengan jantung berdebar tak menentu, ia membuka tautan artikel itu. Deretan kata-kata sensasional langsung menghantamnya."Seorang wanita biasa tiba-tiba menikah dengan pewaris kerajaan bisnis Wijanarko Group. Sumber terpercaya mengungkapkan bahwa pernikahan ini hanyalah kesepakatan bisnis yang menguntungkan salah satu pihak. Benarkah? Ataukah ini hanya
Langit Jakarta masih diselimuti awan kelabu ketika Amara melangkah keluar dari kamar tidur. Udara pagi membawa sisa-sisa hujan semalam, meninggalkan jejak embun tipis di kaca jendela apartemen.Cahaya matahari yang malu-malu mencoba menembus lapisan awan, menciptakan bias lembut di dalam ruangan. Aroma kopi hitam menyelinap ke dalam penciumannya, bercampur dengan wangi samar buku-buku lama yang tersusun rapi di rak sudut ruangan.Di meja makan, Laksha sudah duduk. Kemeja putihnya tergulung hingga siku, memperlihatkan lengan yang tegang, seolah ketegangan itu bukan hanya berasal dari pikirannya, tetapi juga merambat hingga ke tubuhnya.Rahangnya mengeras, ibu jarinya bergerak perlahan di atas layar ponsel. Ia begitu terfokus, seakan-akan dunia di sekelilingnya hanya menjadi latar belakang semata.Amara tak perlu menebak apa yang sedang ia baca. Berita itu masih di mana-mana, terpampang di layar-layar ponsel, mengalir dalam bisik-bisik media, menyusup ke da
Hujan telah reda, meninggalkan jejak dingin yang merayap pelan melalui kaca jendela apartemen. Embun tipis masih menggantung di permukaannya, membiaskan gemerlap lampu-lampu kota Jakarta yang berpendar seperti bintang jatuh.Cahaya redup dari luar menciptakan pantulan samar di meja makan, memperkuat keheningan yang menggantung di dalam ruangan. Di dapur, aroma bawang goreng dan kuah kaldu yang hangat perlahan mengambil alih ruangan, menggantikan sisa wangi kopi yang sebelumnya mendominasi. Di tengah meja, dua mangkuk mi instan mengepulkan asap tipis—sederhana, kontras dengan interior mewah yang mengelilinginya. Amara menatap mangkuknya tanpa banyak gerakan, sumpit di tangannya melayang di atas mi yang tampak sedikit terlalu kental. Ekspresinya sulit ditebak, seolah ada sesuatu yang tengah berkecamuk dalam pikirannya.Sementara di seberangnya, Laksha tampak lebih santai, menyendok mi buatannya dengan percaya diri—seakan ia baru sa
Langit senja perlahan meredup, membiarkan cahaya jingga yang tersisa melebur ke dalam gelap. Lampu-lampu kota mulai menyala, membias di atas aspal yang masih basah oleh sisa hujan.Udara malam membawa aroma tanah lembap yang bercampur dengan wangi kopi dari warung kecil di sudut jalan, menghangatkan atmosfer di tengah dinginnya angin yang berembus perlahan.Namun bagi Amara, tak ada kehangatan di sana.Langkahnya pelan di trotoar, menyusuri jalan tanpa tujuan. Hanya membiarkan kakinya bergerak, berharap pikirannya bisa terbawa pergi bersama angin malam. Tapi semakin jauh ia melangkah, semakin erat bayangan Laksha mencengkeramnya.Ia masih bisa melihat pria itu dengan jelas di benaknya—berdiri di depan pintu rumah Reza, tubuhnya kuyup, rambutnya basah menempel di dahi. Rahangnya mengeras, napasnya sedikit memburu. Tapi yang paling tak bisa Amara lupakan adalah tatapan itu.Mata gelap yang menyimpan begitu banyak hal yang tak terucapkan.
Laksha tersentak, tubuhnya menegang seolah ibunya baru saja membuka sesuatu yang selama ini terkunci rapat di sudut terdalam hatinya. Ia memalingkan wajah, menatap ke arah jendela besar yang terbuka, seakan berharap angin malam yang masuk bisa mendinginkan gejolak yang tiba-tiba menyerangnya.Di luar, langit pekat bertabur bintang. Cahaya bulan memantulkan bayangan samar di lantai kayu ruang tamu yang luas, tetapi bagi Laksha, malam terasa lebih sempit dari biasanya. Udara seolah berat, seperti menekan dadanya, menahan setiap kata yang ingin ia ucapkan.Ia ingin membantah. Ingin berkata bahwa ini bukan tentang cinta, bahwa ia hanya merasa terganggu karena Amara pergi begitu saja tanpa peringatan. Tapi mulutnya tetap tertutup, seolah ada sesuatu yang mengunci semua penyangkalan itu di dalam tenggorokan.Indira memperhatikan putranya dalam diam. Ada kelembutan di matanya, tetapi juga ketajaman seorang ibu yang mengenal anaknya lebih baik daripada siapa pun. Senyum
Di ruang tamu yang luas dan penuh kehangatan terselubung, cahaya lampu kristal yang lembut jatuh ke permukaan marmer, menciptakan kilauan samar di lantai. Aroma teh melati yang baru diseduh menguar pelan, bercampur dengan wangi kayu mahoni dari perabotan yang tertata sempurna.Meski ruangan ini begitu mewah dan teratur, ada sesuatu yang terasa berat di udara—sebuah ketegangan yang sunyi namun nyata. Laksha duduk di sofa beludru berwarna cokelat tua, tubuhnya sedikit merosot, seolah kelelahan yang ia bawa tak hanya berasal dari fisiknya, tetapi juga dari dalam hatinya.Jaketnya tersampir sembarangan di sandaran sofa, kerahnya sedikit kusut akibat tangan yang berkali-kali menariknya sepanjang perjalanan ke rumah ini. Kedua tangannya saling bertaut di depan wajah, jemarinya mengetuk-ngetuk ibu jari dalam irama yang tak beraturan.Pandangannya tertuju pada meja kopi di depannya—bukan karena ada sesuatu yang menarik di sana, tetapi lebih kar
Hujan telah reda, meninggalkan jejak tipis di permukaan jalan yang memantulkan cahaya lampu-lampu kota. Aroma tanah basah menyelinap masuk melalui jendela yang setengah terbuka, bercampur dengan udara malam yang sejuk.Di kejauhan, suara rintik yang tersisa masih terdengar samar-samar, seperti enggan benar-benar pergi.Amara duduk diam di meja makan, tubuhnya nyaris tak bergerak kecuali jemarinya yang menggenggam cangkir teh—cairannya sudah lama kehilangan hangatnya. Pandangannya kosong, tidak benar-benar melihat apapun, seakan pikirannya berada di tempat lain.Di seberangnya, Reza menatapnya lekat-lekat. Ekspresinya lebih serius dari biasanya, rahangnya mengeras seolah menahan sesuatu yang sudah lama ingin ia katakan."Lo nggak bisa terus kayak gini, Ra." Suaranya tenang, tapi ada desakan halus yang sulit diabaikan. "Kalau lo udah pergi, ya udah. Jangan terus-terusan nyangkut di masa lalu."Masa lalu.Kata itu menggantung di udara, me
Hujan masih menari-nari di atas aspal saat mobil Laksha melaju membelah jalanan Jakarta yang basah. Lampu-lampu kota berpendar di genangan air, menciptakan refleksi tak beraturan yang berkedip-kedip di kaca depan.Wiper bergerak malas, menyapu rintik-rintik hujan yang terus saja turun.Tangannya mencengkeram kemudi lebih kuat dari yang seharusnya, jemarinya memutih. Rahangnya mengeras, otot-otot di lehernya menegang. Di kepalanya, ingatan tentang Amara berputar tanpa henti, menyisakan lubang yang semakin menganga.Kemana dia pergi?Amara bukan tipe yang akan kembali ke rumah orang tua—karena ia tak punya siapa-siapa di sana. Ia juga bukan seseorang yang akan menghamburkan uang di hotel-hotel mahal. Terlalu boros, terlalu tidak masuk akal baginya.Jika ia ingin menghilang, ke mana?Laksha memejamkan mata sejenak di lampu merah, membiarkan pikirannya menelusuri jejak-jejak kecil yang selama ini luput dari perhatiannya. Percakapan-percaka
Hujan turun perlahan, mengetuk-ngetuk kaca jendela apartemen dengan ritme yang seolah menggema di dalam dadanya. Langit di luar kelabu pekat, serupa kanvas kusam yang mencerminkan benang kusut dalam kepalanya.Udara membawa aroma aspal basah dan samar-samar dingin yang merayapi kulit, tetapi Laksha nyaris tak menyadarinya.Ia terduduk di atas sofa, satu tangan menopang dahinya, sementara tangan lain menggenggam gelas kristal berisi bourbon yang tak tersentuh. Cairan keemasan itu berpendar redup di bawah cahaya lampu, tetapi tak ada daya tariknya malam ini.Ruangan ini... terlalu luas. Terlalu sunyi.Dulu, selalu ada suara langkah kecil yang tergesa-gesa di pagi hari, gemerisik sendok beradu dengan cangkir, aroma kopi yang menyelusup dari dapur. Selalu ada dengusan kesal atau lirikan tajam yang mengiringi candaan sarkastisnya.Selalu ada suara Amara.Selalu ada Amara.Sekarang? Kosong.Laksha menghela napas panjang, pundaknya tu
Hujan baru saja reda, menyisakan aroma tanah basah yang samar-samar bercampur dengan udara dingin yang menusuk kulit. Tetesan air masih jatuh perlahan dari dedaunan di luar jendela, menciptakan irama samar yang menyatu dengan desah napas tertahan di dalam kamar itu.Langit Jakarta malam itu kelabu pekat, seakan menyerap segala emosi yang menggenang di ruangan sempit tempat dua hati saling terombang-ambing dalam ketidakpastian. Amara berdiri di tengah kamar mereka, kaki telanjangnya menyentuh lantai kayu yang dingin. Di hadapannya, koper kecil terbuka setengah, pakaian yang tergulung rapi berbaring di dalamnya seperti saksi bisu dari keputusannya.Tangannya gemetar saat meraih sehelai sweater, tapi ia memaksa dirinya untuk tetap bergerak. Jika ia berhenti, ia tahu dadanya akan semakin sesak. Dari belakangnya, langkah kaki terdengar mendekat—berat dan tergesa. “Amara, berhenti.” Suara itu dalam, le
Pagi di Jakarta selalu sibuk, penuh dengan suara klakson yang bersahutan dan langkah-langkah tergesa di trotoar. Tapi bagi Amara, semuanya terasa lebih lambat hari ini.Ia duduk di sebuah kafe kecil di sudut Senopati, membiarkan jemarinya melingkari gelas kopi yang kini mulai kehilangan kehangatannya. Aroma espresso yang pekat bercampur dengan wangi croissant hangat yang baru saja keluar dari oven dapur terbuka, tapi tak satu pun menggugah seleranya.Suara sendok beradu dengan cangkir, derit kursi yang bergeser, dan bisikan percakapan dari meja-meja lain menyusup ke telinganya, tapi tetap saja dunia di sekelilingnya terasa jauh, seolah hanya ada ia dan laki-laki yang duduk di depannya.Reza.Pria itu mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga siku, memperlihatkan urat-urat halus di pergelangan tangannya. Ia selalu tampak seperti ini—rapi, effortless, seseorang yang tidak butuh usaha berlebih untuk terlihat menarik.Tapi hari ini,
Hujan telah reda, menyisakan jejak basah yang berkilauan di sepanjang jalanan Jakarta. Genangan kecil memantulkan cahaya lampu jalan, menciptakan kilau keemasan di antara aspal yang menghitam.Aroma tanah basah masih menggantung di udara, berpadu dengan angin malam yang berembus pelan, membawa serta sisa dingin yang menggigit kulit. Dari balkon apartemennya di lantai delapan, Amara berdiri dengan tangan melingkari secangkir teh yang mulai kehilangan hangatnya. Uap tipis yang tadi membubung kini hampir lenyap, menyisakan permukaan air yang tenang, seolah mencerminkan hatinya yang tak menentu.Pandangannya mengembara ke gedung-gedung tinggi di sekelilingnya—monumen bisu yang menjulang dalam kesunyian. Kota ini tak pernah benar-benar tidur, tetapi malam ini terasa berbeda. Lebih sunyi. Lebih lengang. Di dalam, suara pintu yang berderit memecah keheningan. Amara tidak berbalik. Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang dat