Tapi, kalau tidak untuk disentuh lantas buat apa Om memiliki banyak wanita? Atau jangan-jangan Om Zuan tak normal? Tidak, tidak, bukankah ia sebelumnya telah menikah dan istrinya sudah mengandung? Ah, Zi. Kenapa otakmu penuh tanya.Tak selang lama kendaraan ini berhenti, terparkir juga mobil sedan hitam milik Rendra. Ia juga ada di sini? Berarti Rendra juga tahu kalau Om Zuan punya banyak istri simpanan? Kenapa tidak pernah bercerita kepada Zi? “Bunga telah menunggu tuan dari tadi,” ucap Rendra ketika jendela mobil ini dibuka.Om Zuan mengangguk, memakai kaca mata hitamnya dan mulai turun.Benar kan firasat Zi. Om Zuan memang memiliki wanita simpanan. Om Zuan kurang sehat saja dibela-belain datang, apalagi perjalanan yang memakan banyak waktu.“Ayo, Zi. Kita turun,” ucap Om yang sudah berdiri menunggu di depan pintu mobil.Aku manut, meskipun hatiku terasa kacau balau. Wanita mana yang sanggup bertemu madunya?Seorang wanita berjilbab menyambut kami, ia memangku gadis kecil yang mung
Kami duduk di atas ayunan, tepat di tengah Taman milik Panti ini. Panti yang dibesarkan Oleh Om Zuan dan almarhum Mbak Hanum. Merekalah donatur terbesar di tempat ini. Sedangkan Bunga, mereka temukan saat bayi, yang tergeletak begitu saja di depan pintu panti. Ternyata anak itu memiliki kondisi medis tertentu, ya ia memiliki penyakit kelainan pada salah satu sistem organ dalamnya. “Mama Zi. A’ ...”Bunga membuka mulutnya lebar dengan mata yang berbinar, menunggu suapan makanan dariku.Ia terlihat begitu bahagia.Beberapa hari ini ia mogok makan, hampir tiap malam mengigau dengan menyebut nama Om Zuan. Ia telah menganggap Om Zuan sebagai papanya, begitupun Om Zuan, sepetinya juga mencintai Bunga seperti anaknya sendiri.“Yeay. Anak Papa pinter, makanannya habis,” puji Om Zuan kepada gadis kecil itu.“Iya dong, Papa. Bunga ingin sehat. Bunga ingin menggapai cita-citanya Bunga.”“Cita-cita Bunga jadi apa? Kalau Mama Zi boleh tahu si.”“Jadi dokter, Ma. Biar Bunga bisa mengobati anak yan
“Om. Jangan mendekat,” ucapku dengan menyilangkan kedua tanganku ke dada.“Kamu itu kenapa, Zi?” tanyanya keheranan.“Selamat siang Pak Zuan. Maaf saya datang terlambat.”Seorang lelaki paruh baya datang. Ia menatap kami berdua. Sepertinya aku pernah mengenal dia, tapi di mana? “Aku tidak ingin kamu melakukan kesalahan yang sama,” ucap Om Zuan yang terlihat dingin.“Ba-baik, Pak,” ucap lelaki tersebut dengan menunduk hormat. Kami berjalan bersama menuju hamparan sawah yang terlihat meluas, lelaki itu menunjuk ke salah satu lahan luas tersebut dan kami mengikuti petunjuk arahnya. “Sawah ini seluas 5 hektar, Pak. Dijual dengan harga miring karena beliau ingin segera mendapatkan uang tunai. Berita yang aku dengar anak dan istrinya kecelakaan , butuh banyak biaya untuk operasi.”“Berapa harganya?”“Mintanya tiga milyar, Padahal harga umumnya sampai lima milyar.”‘Tiga milyar?’ batinku bertanya. Entah seberapa banyak uang tersebut. Bagaimana Om bisa memiliki uang sebanyak itu? “Baiklah
Sungguh, semakin aku mengenal Om Zuan, aku semakin dibuat jatuh cinta kepadanya. Lelaki yang terlihat dingin dan galak itu ternyata hatinya lembut. Ia peduli sesama, dan begitu menghargai orang lain. Berbeda sekali penilaian ku dengan saat pertama kali aku melihatnya.“Berhenti, Om!” teriakku, hingga membuat kendaraan beroda empat ini berhenti mendadak. Aku dan Om Zuan sedikit terrpental ke belakang.“Ada apa, Zi? Kamu tidak apa-apakan?”Lelaki itu memperhatikan sekelilingku, seakan memastikan keadaanku.“Itu, Om. Lontong campur kesukaanku,” ucapku sambil menunjuk salah satu warung di tepi jalan.“Hah,” Ia membuang nafas kasar, dan melepaskan sabun pengaman yang kupakai.Sebuah warung kaki lima, dengan kain lusuh bertuliskan lontong campur Mbok Jum menjadi tempat singgah kami, apalagi hari mulai gelap, dan kami hanya diterangi oleh cahaya lampu 5 Watt di tenda ini.“Yakin, kita makan di sini, Zi?” tanya Om Zuan sambil memasuki tenda ini. Ia mengernyitkan dahi, seakan tak nyaman dengan
“Au,” teriak Om Zuan ketika kucubit pahanya. Pandangannya kepada Mesa terus terpaku, memperhatikan dari ujung atas sampai ujung bawah. Apalagi wanita cantik itu memakai pakaian minim ala-ala kota.“,Ada apa. Zi?” tanya Om Zuan yang kini mengubah fokus pandangannya.“Dosa tau, Om. Menatap wanita yang bukan muhrimnya seperti itu,” jawabku setengah berbisik, mendekat ke telinga Om Zuan. Mesa juga apa-apaan cari muka di sini, biasanya dia cuek kalau ada tamu. Lebih senang menghabiskan waktunya di kamar. Dan sekarang? Dia berjalan mengantar satu teh hangat untuk Om Zuan. Ya, Cuma satu, tidak ada untukku. Atau jangan-jangan, ia menyesal meninggalkan Om Zuan saat pernikahan? “Lama tidak bertemu denganmu, Zi!” ucap Mesa sambil duduk di sebelah Pak De.“Iya, Mes.”“Bagaimana kabarmu?”“Alhamdulullah baik.”“Dengar-dengar kamu kuliah di universitas yang sama denganku ya, Zi? Kenapa kita gak pernah ketemu ya? “ tanya Mesa masih dengan senyum yang mengembang indah.“I-iya.”Universitas itu mem
“Tapi, Om. Di sini sesak,” protesku.Om Zuan yang berada di tepi kasur, memiringkan tubuhnya menghadapku, sedangkan tangan kanannya dijadikannya bantal untukku. Ya, dikamar ini hanya ada satu bantal dan telah dipakai untuk alas kepala Om Zuan.“Kepalaku pusing kalau tidak pakai bantal. Jadi maaf, malam ini kamu berbantalkan lenganku,” ucap Om Zuan dengan senyum yang mengembang.Om Zuan kenapa berbeda sekali, ia terlihat begitu berbeda dengan saat pertama aku mengenalnya. “Kamu ngapain, Zi?” tanya Om Zuan sambil mendelik ke arahku.Ia memegang tangan yang kusentuhkan di dahinya.“Aku kira Om Zuan demam. Atau jangan-jangan Om kesambet ya?”Om Zuan justru terkekeh, lalu menenggelamkanku ke dalam pelukannya. Ya, ini adalah pelukan pertamanya untukku, dia mengeratkan pelukannya dan mencium lembut keningku, sama persis saat adegan Songkang bermalam di rumah Han so hee, terlihat begitu romantis. “Tidurlah, Zi,” ucap Om Zuan sambil mengelus rambutku.“Om.”Aku menatapnya, wajah yang dipaksa
“Zj, kamu ngapain buka bajumu?” tanya Om Zuan sambil menutup kedua matanya dengan telapak tangannya. “E ... Ini, Om. Bukannya ....”“Pijat plus kerokin, plus balurin minyak kayu putih ya, Zi! Badanku pegal semua.”“Kerokin , Om?”“Iya, Zi. Telingamu masih normalkan? Masih mampu mendengar dengan baikkan?”“I-iya, Om”. Aku bergegas mengaitkan kancingku kembali dan mengambil minyak putih di tas.Pertama ku balur seluruh punggungnya dengan minyak kayu putih, lalu kupijat-pijat sebentar dan akhirnya ku gosok punggung itu dengan uang koin. Om Zuan tampak menikmati setiap gerakan tanganku, ia bahkan tak merasa kesakitan sama sekali.“Om, apa Om Zuan melihat Mesa baru sekali ini?” tanyaku untuk memecah keheningan malam.“hm,” jawabnya masih dengan tidur bertelungkup.“Mesa cantik ya, Om?” “Iya, cantik sekali.”Ah, rasanya mendengar jawaban Om Zuan ingin kuremas-remas kasar punggungnya saat ini.“Au sakit, Zi. Pelanan dikit mijitnya,” protes Om Zuan.“Om menyesal? Tidak jadi menikah denganny
Kamar mandi di rumah Om Zuan memang besar sekali, jadi suara apapun tak terdengar dari luar, berbeda sekali dengan kamar mandi bude, pintunya saja rusak dan belum mampu diperbaiki. Semenjak Mesa kuliah, keuangan bude sedikit berantakan. Wajar sekali biaya kuliah saja, setinggi gunung. “Zi, kenapa dari tadi mondar mandir di depan pintu kamar mandi?” tanya Simbok menatapku keheranan. “Iya, Mbok. Zi hanya ....”Simbok tersenyum simpul. “Iya, iya, Simbok tahu,” ucapnya dan kemudian berlalu. Tak selang lama Mesa datang, mengenakan piyama berbahan tipis yang menampilkan auratnya.“Zi. Kenapa berdiri di depan pintu seperti itu? Aku mau mandi,” ucap Mesa sambil mencoba meraih gagang pintu. “Jangan!!!”“Kamu apa-apaan sih, Zi. Aneh.”“Om Zuan lagi mandi, Mes. Kan kamu tahu sendiri kalau pintu ini rusak. Jadi mesti ada yang jagain,” jawabku. Mesa terkekeh. “Zi, Zi, dari dulu kamu selalu lucu. Masa panggil suaminya Om? Atau jangan-jangan ... ““Ehem,”Seorang lelaki di belakangku berdehem