Suara gong, gamelan, dan suling itu seperti irama sebuah harapan untuk Alit dan kawan-kawan. Alunannya terus menggema seakan merayu mereka untuk mendekat."Fadly, kamu bener-bener denger, 'kan, kalau suaranya datang dari arah sana?" tanya Alit memastikan sambil menunjuk arah barat, titik dari mana suara itu berasal."Iya, aku juga dengar, Lit. Cukup jelas, kok, suaranya. Bunyinya kayak gak jauh, deh, kayak di belakang hutan cemara sana, Lit," jawab Fadly. "Tapi, Bang, kali aja suara itu terbawa angin, apalagi di hutan gunung kayak gini, kan, sunyi," sambung Diah, ia memeluk kedua lututnya di depan api unggun. Di samping Diah, Zahra sesekali mengusap matanya yang sembab dengan kaos lengan panjangnya. Hampir tiap waktu ia meneteskan air mata. Wajahnya benar-benar kusut. Dua perempuan itu pasti syok berat, apalagi itu adalah pendakian pertama bagi mereka. Alit menatap dua teman perempuannya itu. Tergambar raut wajah tak tega saat melihat Diah dan Zahra yang menghadapi kondisi buruk da
Deras keringat membasahi wajah serta pundak. Angin berembus sunyi. Hanya terdengar engahan napas berulang-ulang. Alit dan Fadly tiba di lokasi kemah pukul 04.14 WITA. Mereka mendapati Diah dan Zahra tengah terlelap dalam dekapan hangat api unggun yang masih menyala dengan asap tipis mengudara. "Hah, ternyata mereka baik-baik saja. Alhamdulillah," ucap Alit dengan napas tersengal."Jadi, siapa yang kasih kita tanda darurat tadi, Lit?" tanya Fadly."Nggak tahu, Bro. Tolong cek tenda, ada Ibnu, nggak?" pinta Alit pada Fadly untuk memastikan. Fadly menuruti perintah Alit dan segera menarik resleting tenda dengan kasar. Tak ada keanehan yang ia temukan. Ibnu masih terbaring di dalam.Seketika, rasa penasaran deras melanda. Entah siapa yang memberi mereka tanda. Beruntung, semua baik-baik saja.Sayup-sayup di kejauhan, terdengar suara ayam hutan berkokok seolah membisiki bahwa fajar di timur akan segera tiba. Tenaga Alit dan Fadly benar-benar terkuras. Segera, mereka mencari posisi untuk
"Zahra ... Diaah!" teriak Alit memanggil teman-temannya.Ia terus berjalan sambil memperhatikan ke segala arah. Karena jalan setapak yang landai, Alit mempercepat langkahnya. Ia yakin, tidak mungkin salah jalur karena itu satu-satunya jalur yang harus dilewati.Alit semakin bingung dan mulai bertanya pada diri sendiri. "Saya berjalan paling depan atau saya paling belakang?""Fadly ... Ibnu! Di mana kalian?" Alit kembali berteriak mencari keberadaan mereka."Apa iya, mereka jalan terus dan gak nungguin?" gumam Alit mengingat sudah lima belas menit ia berjalan menyusul Fadly dan yang lainnya, tetapi tak kunjung bertemu.Alit membalikkan badan, berputar, dan melangkah ragu. Tak ada siapa pun yg ia lihat. Hanya jalan setapak, ilalang, dan kabut tebal yang mengiringi langkahnya. Alit benar-benar sendiri. Ia berhenti karena bimbang apakah harus terus berjalan, menunggu, atau harus kembali ke tempat semula yang berjarak lebih dari satu kilometer. Sedangkan, jalur tebing di atas danau untuk
Dari waktu ke waktu, warna kulit jenazah semakin gelap karena lebam dan baunya pun semakin menguar. Posisi Bang Ron berada sekitar tiga meter di atas area perkemahan."Kita bangun tenda di sini saja. Arum, bangun tenda, ya," suruh Bang Ipul lembut kepada istrinya."Ayo, kita taruh barang di sini, kita harus pindahkan jenazah ke tempat yang landai, khawatir kesorean," lanjut Bang Ipul kepada timnya sambil melepas carrier yang melekat di punggungnya. Posisi mereka akan membangun tenda, sama persis dengan tempat Alit dan teman-temannya berkemah.Bang Ipul bersama timnya mulai melapisi tangan mereka dengan plastik keresek untuk menghindari tangannya bersentuhan langsung dengan jenazah. Begitu juga dengan Alit dan Fadly, mereka mengikuti apa yang Bang Ipul lakukan.Sepertinya, tim Bang Ipul cukup terlatih. Tanpa diberi perintah pun, mereka telah tahu apa yang harus dilakukan. Sebagian dari mereka membangun tenda, sebagian lagi mencari kayu bakar."Jadi, jenazahnya sudah dua hari, ya?" tan
Pada dahan cemara yang berlumut, celepuk rinjani mengibas-ngibaskan sayap dan bulu ekor, lalu ia merendahkan kepalanya seakan memantau pergerakan Alit dan kawan-kawan. Sesekali, ia memutar kepalanya 180 derajat, mengawasi setiap sudut lembah Gunung Baru Jari. Suaranya yang khas membuat suasana malam di tempat itu semakin menakutkan. Mata besar dan bulat itu terus memperhatikan dengan tatapan tajam. Keberadaan burung malam itu seakan diutus hanya untuk memata-matai sekelompok orang yang terjebak di lembah misterius itu.Betapa khawatirnya Arum, putri kecilnya berjalan entah ke mana dan tanpa pengawasan. Di tengah alam gunung Rinjani yang liar dan dilingkupi gelap, bocah perempuan itu tak terpantau sama sekali. Kejadian itu menjadi pengingat bahwa seseorang yang sudah terbiasa di alam bebas pun bisa lalai terhadap apa yang ada di sekitarnya. Lalu, bagaimana dengan pendaki minim pengetahuan dan pengalaman yang hanya bermodal menonton film?Alit terus mengarahkan cahaya headlamp ke arah
Sehari sebelumnya di Pintu Hutan Jalur Selatan Rinjani.Unyil bejalan gontai menuju pos pengawasan pendakian taman nasional untuk melaporkan insiden yang terjadi di atas sana. Setiba di pos pengawasan, ternyata warga sudah berkerumun membicarakan kejadian yang akan Unyil laporkan. Mereka sangat penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Dugaan-dugaan begitu santer terdengar.Tanpa menunggu lama, Unyil segera membuat laporan. Di pos pengawasan, laporannya dicatat dan direkam oleh seorang petugas Balai Taman Nasional Gunung Rinjani bernama Pak Yamin.Kepada Pak Yamin, Unyil memberikan keterangan bahwa dua hari lalu, tepatnya menjelang magrib ada rombongan pendaki hendak kembali melalui jalur selatan, tetapi leader-nya terjatuh dari tebing saat menuju pelawangan. Ia juga menambahkan bahwa mereka turun bertiga, tetapi salah satu penyintas yang ia dampingi mengalami patah kaki. "Kalian satu tim?" tanya Pak Yamin."Bukan, Pak. Tim saya masih di atas, di pelawangan. Kalau tim yang patah
Mereka berhenti sejenak sambil memastikan penyebab hal aneh itu. Unyil mendongak menyapukan pandangan pada siluet-siluet pohon raksasa. Begitu pun dengan Pak Junet dan timnya, cahaya-cahaya senter dan lampu sorot diarahkan ke setiap sudut hutan dan sumber suara-suara itu, tetapi mereka tak mendapati sesuatu yang janggal sama sekali.Unyil merapatkan diri karena ada rasa khawatir pada dirinya. Begitu juga dengan beberapa orang lainnya yang terlibat dalam misi evakuasi itu. Mereka seakan diawasi.Suara pepohonan tumbang dan kayu-kayu yang patah bergemuruh dalam gelapnya hutan. Kejadian demi kejadian aneh terus mengiringi perjalanan mereka, seolah tim itu tak diberikan jalan untuk memberikan pertolongan kepada mereka yang ada di dasar kawah. Sekali lagi mereka memastikan, tetapi tetap saja tak ada satu pohon pun yang tumbang atau patah, terlebih angin berembus cukup tenang."Tetap tenang, fokus pada tujuan kita!" tegas Pak Junet mengarahkan timnya.Mereka tetap melanjutkan perjalanan den
Mendengar suara orang-orang bicara di luar, Dini dan Luris pun terbangun."Ada yang datang, Bang?" tanya Dini dari dalam tenda."Iya, tim SAR baru nyampe," jawab Bang Ochi.Anggota tim SAR yang juga tampak lelah, segera mencari posisi untuk beristirahat. Mereka harus mengumpulkan tenaga agar proses evakuasi dapat berjalan dengan lancar. Sepertinya, hari ini akan menjadi hari yang panjang dan melelahkan bagi mereka yang terlibat."Eh, rame di luar. Alhamdulillah, datang juga bantuan," ucap Luris setelah membuka resleting tenda. "Unyil mana, Bang?" tanya kemudian."Tuh, di tenda sana. Dia tepar," jawab Bang Ochi."Hm, terus dua orang yang dianterin itu, mana, ya?" Luris bertanya lagi."Jeko sama Opik? Katanya, sih, mereka dapet musibah. Nanti aja kita tanya Unyil pas bangun.""Innalillahiwainnailaihiroji'un." Dini dan Luris kompak."Din, bisa minta tolong ambilkan botol air di dalam tendamu?" pintak Bang Ochi sambil meletakkan dahan-dahan cemara kering pada perapian agar semakin menghan
Ket.: Detik-detik menjelang gempa saat di puncak.PoV Citra_______________Ini kali pertama aku berada di puncak gunung. Merasai angin dingin menerpa tubuh dan menyentuh awan. Ingin rasanya berlama-lama di tempat tertinggi di Lombok ini. Kapan lagi aku bisa setinggi ini? Indah seluas mata memandang. Kusadari, betapa kecilnya aku. Mungkin, ini maksud Kakek, aku harus tumbuh dewasa dengan kesan yang berarti. Kuhirup udara dingin, hmm ... dinginnya terasa merasuk ke dalam rongga dada. Kurasa mulai saat ini, aku jatuh cinta pada gunung."Rinjani ... aku ingin menetap di sini saja ...!" Kulepas rasa bahagiaku dengan berteriak di ujung pasak bumi di pulau ini. Ada rasa bangga dan puas memenuhi dada.Lalu, aku menunggu giliran untuk dapat mengabadikan momen ini. Kapan lagi bisa ke puncak Rinjani?Ujung puncak Rinjani berupa sisa letusan Samalas beratus-ratus tahun silam dengan luas hanya beberapa meter saja. Jadi, tak ada cara lain selain harus menunggu giliran. Tak bisa kubayangkan berapa
#PJSR2_________________PoV Bang Ochi__________________Jeritan dan tangis pilu itu masih terdengar dari para pendaki asing maupun lokal. Mereka turun dari puncak dengan raut panik dan takut memenuhi wajah mereka, semua takut akan mati.Debu-debu mengangkasa dan mengurapi tubuh kami sampai terbaluri dari ujung kaki hingga ujung rambut. Tubuh kami pun berwarna senada dengan tanah. Gempa susulan berkali-kali terasa. Setiap datangnya gempa selalu disusul runtuhan tebing yang membuat debu semakin pekat. Gempa benar-benar mengubah wajah Rinjani. Tanah yang terpijak pecah menganga. Rinjani terkoyak."Ayo, Kek ... kita tunggu mereka di sana," ajakku sambil menuntun Kakek Mustafa untuk menunggu di tempat yang lebih teduh dan aman.Raut keberatan tampak jelas tergambar pada wajahnya yang keriput."Kakek duduk dulu di sini, biar aku yang pastiin kalau teman-teman semua baik-baik saja," saranku berusaha menenangkan.Kakek Mustafa tak menjawab dan hanya memadangi jalur puncak yang terselimuti
#PJSR2_____________PoV Opik_____________Dari dalam tenda, aku benar-benar mencemaskan matahari yang rasanya tak kunjung meninggi. Kupikir lebih baik aku diam saja sementara di dalam sambil packing barang bawaan. Begitu matahari terlihat, aku harus pergi bawa mereka turun. "Opik ...," panggil Alika dari luar tenda tiba-tiba. "Ya," jawabku dari dalam tenda."Sarapan pakai mie sama telur, gak apa-apa ya ... biar cepat kita berangkat," ucap Alika."Iya, apa aja yang penting cepat," balasku.Setelah beberapa menit menunggu, kuintip dari lubang tenda untuk memastikan kakek itu pergi. Karena kurasa aman, aku pun segera keluar setelah yakin dia benar-benar tidak di sana lagi. Aku bersyukur karena cuaca semakin cerah dan kabut sudah tak lagi melingkupi kami.Kulihat di atas karimat, empat piring mie kuah sudah tertata. Terlihat jelas uap hangat menari-nari di atas kuah mie yang panas. Aku pun makan dengan cepat agar segera habis dan dapat pergi dari sini sebelum Alit turun ke danau.Di p
#PJSR2____________PoV Opik____________"Opik ... Opik!" teriak Utari menunjuk ke arahku sambil menangis.Sontak beberapa orang pendaki melompat ke dalam air karena mengira aku tenggelam. Padahal, aku bisa berenang dan hanya sedang mencari keberadaan Mila yang ternyata tidak berada di sini. Mila berada di tepi bersama Utari dan Alika.Sambil tangan dan kakiku terus mengayuh berenang, aku terheran, siapa yang baru saja kulihat kalau Mila ada di sana? Tiba-tiba, dari dalam air danau yang dingin, kulihat sebentuk benda bulat besar menyembul berwarna kekuningan. Awalnya, kukira itu adalah alat bantu renang yang di bawa pendaki, tapi semakin kuperhatikan, ia semakin mendekat, lalu tiba-tiba berkedip. Aku pun panik dan berusaha menjauh secepat mungkin karena sepasang mata yang sangat besar itu semakin mendekat ke arahku. Ia seakan mengintai dari balik kabut pekat."Ahhh, tolong!" teriakku dengan suara bergetar.Sebisa mungkin aku berusaha berenang kembali ke tepian, tapi air yang tadinya
Ket: Tim danau sebelum gempa terjadi______________PoV Opik______________Malam lembab dengan kabut cukup tebal menyelimuti area perkemahan danau Segara Anak. Kulihat jam yang melingkar di tanganku baru saja menunjukkan pukul 7.30 malam. Suasana di danau cukup padat oleh tenda-tenda pendaki. Bulan ini memang bulan padat pengunjung mendaki Rinjani. "Masak apa, Pik? Wangi butter-nya enak banget," tanya Utari sambil sedikit mengangkat dagu membaui udara dari pintu tenda."Eh, ini ... aku bikin pancake, buat makan malam kita," jawabku sambil membalik adonan yang sudah mulai kering di bagian bawahnya.Mendengar jawabanku, Utari keluar dari tenda dan melangkah ke arahku."Mila mana?" tanyaku karena tak melihat adanya Mila di tenda perempuan."Tuh, dia jalan ke sana tadi, kayanya dia lagi pengen sendiri. Oh ya, Bang Ron itu siapa, terus Mila siapanya Bang Ron?" tanya Utari penasaran."Waduh, aku merinding bahas masalah itu, Tari. Kita omongin itu nanti aja ya kalau udah di bawah.""Dikit
#PJSR2__________________PoV Bang Ochi__________________Ternyata ini adalah moment yang dinanti Alit. Kupikir hanya rencanaku saja, tapi bagaimanapun juga laki-laki harus tetap kokoh. "Bang Ochi, mau ke mana? Aku ikut." Citra melangkah cepat membuntutiku di belakang."Gak ke mana-mana, anginnya kenceng banget, cuma mau ke sana," tunjukku ke balik batu besar bermaksud menghindari terpaan angin langsung. Dari tempatku yang agak rendah, drama katakan cinta itu tak terlihat, suaranya pun terbawa pergi bersama angin. Apapun jawabannya, tidak perlu aku tahu di gunung ini. "Ih, Abang ... jalannya cepet banget, sih," ucap Citra mencoba mendahului."Lagian kamu ngapain ikut? udah sana puas-puasin foto, ntar lagi kita turun," balasku sambil menyandarkan punggung pada permukaan batu yang tampak kecokelatan.Baru saja aku bersandar melepas lelah, kulihat ada sesuatu yang aneh terjadi pada Kakek Mustafa. Ia berjalan turun meninggalkan teman-teman yang sedang asyik berfoto. Tiba-tiba, ia terd
#PJSR2_______________PoV Bang Ochi_______________Di puncak, sudah ada teman-teman yang sedari tadi menunggu kedatangan kami. Bersamaan dengan udara yang semakin menghangat, kaki terus melangkah menapaki titik tertinggi pulau Lombok."Ra, itu lima langkah ke sana, itu puncak tertinggi Rinjani. Ayo sana!" suruhku sambil menunjuk sudut tempat bendera tertancap."Kata Abang tadi mau samaan," balas Zahra."Tugasku kan cuma ngedampingi kamu sama teman-teman yang lain, Ra," ucapku dengan senyum."Abaang, aku tu mau kita samaan ke sana," balas Zahra semakin menitikkan air mata.Melihatnya meminta seperti itu, tak tega rasanya kutolak. Aku pun mengangguk sebagai tanda menyetujui.Dari puncak tertinggi, pemandangan sungguh menakjubkan dengan birunya danau Segara Anak dan Gunung Baru Jari yang masih aktif mengeluarkan asap vulkanik. Diah yang sudah menunggu, berteriak memanggil nama Zahra dan mereka pun saling menghambur berpelukan.Ada tangis haru yang tak dapat lagi mereka bendung. Meliha
_____________Pov Bang Ochi_____________Engahan napas terdengar di mana-mana. Ratusan pendaki berjalan pelan pada jalur yang tak lebar. Jarak pandang kami terbatas hanya sejauh pendaran cahaya headlamp. Debu-debu tampak beterbangan menyesaki kami sepanjang jalur menuju punggungan. Kami terus berusaha mencapai punggungan walau sesekali terbatuk karena debu dan terpeleset karena kemiringan jalur. Jalur pendakian memang cukup sulit untuk dilewati karena butiran pasir sebesar biji ketumbar membuat pijakan kaki tidak menapak dengan baik pada permukaan tanah yang miring."Ayo semangat." Sambil menyeka keringat yang mengalir di kening, Alit terus memberi semangat untuk tim. Ratusan cahaya headlamp memenuhi jalur pendakian dan menciptakan suasana ramai pada jalur selebar kurang dua meter. Pendaki lokal dan mancanegara pun saling menyemangati untuk menaklukkan puncak di malam yang beku.Di posisi paling belakang, aku bersama Kakek Mustafa memantau pergerakan teman-teman agar tak salah arah.
________________PoV Bang Ochi_________________Waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Udara cukup tenang dan langit tampak bersih dari gumpalan awan, tak ada tanda-tanda akan datangnya badai angin ataupun hujan. Satu per satu cahaya headlamp terpendar dari para pendaki yang bersiap menaklukkan puncak setinggi 3.726 MDPL.Dari dalam tenda dengan pintu yang kubuka menganga, kulihat Alit sedang membangunkan teman-teman agar melakukan persiapan untuk summit attack malam ini. Sesuai kesepakatan, pendakian menuju puncak akan dilakukan pukul dua dini hari ini. Setelah membangunkan teman-teman, Alit melangkah ke arahku."Bang Ochi, bisa bantu kasih arahan ke teman-teman? Kita briefing dulu sebelum berangkat," ucap Alit dengan nada pelan."Apa gak kamu aja sekalian, Lit, kan kamu leadernya." Aku menolak dengan halus."Ayolah, Bang ... Abang punya pengalaman lebih ketimbang aku, jadi Abang bantu sekedar untuk kasih arahan aja," desak Alit."Tapi, yang mimpin sampai ke puncak tetap kamu, ya."