Mereka berhenti sejenak sambil memastikan penyebab hal aneh itu. Unyil mendongak menyapukan pandangan pada siluet-siluet pohon raksasa. Begitu pun dengan Pak Junet dan timnya, cahaya-cahaya senter dan lampu sorot diarahkan ke setiap sudut hutan dan sumber suara-suara itu, tetapi mereka tak mendapati sesuatu yang janggal sama sekali.Unyil merapatkan diri karena ada rasa khawatir pada dirinya. Begitu juga dengan beberapa orang lainnya yang terlibat dalam misi evakuasi itu. Mereka seakan diawasi.Suara pepohonan tumbang dan kayu-kayu yang patah bergemuruh dalam gelapnya hutan. Kejadian demi kejadian aneh terus mengiringi perjalanan mereka, seolah tim itu tak diberikan jalan untuk memberikan pertolongan kepada mereka yang ada di dasar kawah. Sekali lagi mereka memastikan, tetapi tetap saja tak ada satu pohon pun yang tumbang atau patah, terlebih angin berembus cukup tenang."Tetap tenang, fokus pada tujuan kita!" tegas Pak Junet mengarahkan timnya.Mereka tetap melanjutkan perjalanan den
Mendengar suara orang-orang bicara di luar, Dini dan Luris pun terbangun."Ada yang datang, Bang?" tanya Dini dari dalam tenda."Iya, tim SAR baru nyampe," jawab Bang Ochi.Anggota tim SAR yang juga tampak lelah, segera mencari posisi untuk beristirahat. Mereka harus mengumpulkan tenaga agar proses evakuasi dapat berjalan dengan lancar. Sepertinya, hari ini akan menjadi hari yang panjang dan melelahkan bagi mereka yang terlibat."Eh, rame di luar. Alhamdulillah, datang juga bantuan," ucap Luris setelah membuka resleting tenda. "Unyil mana, Bang?" tanya kemudian."Tuh, di tenda sana. Dia tepar," jawab Bang Ochi."Hm, terus dua orang yang dianterin itu, mana, ya?" Luris bertanya lagi."Jeko sama Opik? Katanya, sih, mereka dapet musibah. Nanti aja kita tanya Unyil pas bangun.""Innalillahiwainnailaihiroji'un." Dini dan Luris kompak."Din, bisa minta tolong ambilkan botol air di dalam tendamu?" pintak Bang Ochi sambil meletakkan dahan-dahan cemara kering pada perapian agar semakin menghan
Situasi seketika berubah tegang. Sesuatu terjadi di bawah sana dan tak dapat terpantau langsung walau dengan alat. Awan kelabu bergulungan memenuhi kawah Rinjani."Pada tim evakuasi, mohon laporkan kondisi ... tim evakuasi laporkan kondisi, ganti," perintah Pak Najam.Tak ada jawaban apa pun. Sepi. Sunyi.Pak Najam segera berlari ke arah Bang Ochi dengan raut wajah panik. "Teropongnya!" Ia mengambil teropong yang tadi ia pinjamkan, lalu fokus meneropong dan memantau kondisi di bawah sana.Pak Najam melepas kembali teropong itu, lalu berlari ke arah katrol dan mencoba melihat ke arah tim yang ada di bawah. Ia tak melihat apa pun kecuali kabut tebal di bawah. Kemudian, matanya tertuju ke arah tali carmantel yang digunakan untuk turun. Tangannya mencoba menggoyang-goyangkan tali itu untuk memastikan sesuatu.Tali masih dalam kondisi tegang karena beban, pertanda masih ada orang yang bergantungan di bawah sana. Namun, tiba-tiba saja talinya mengendur. Pak Najam sedikit menarik tali itu. B
Tim evakuasi yang sudah tiba terlebih dulu, segera menghampiri Pak Junet yang tiba-tiba datang bersama Bang Ochi dan Pak Najam. Mereka bertanya-tanya apa yang terjadi sehingga datang dengan dua tambahan personil.Melihat Pak Junet memegang jarinya yang cedera, tim medis segera memberikan pertolongan pertama dengan memberikan penyangga tulang, lalu dibalut dengan perban agar jari jempol yang menggantung lemas itu tak semakin parah. "Minum obat pereda nyeri ini, Pak Junet, supaya rasa nyerinya berkurang," ucap tim medis segera membuka sling bag mencari obat yang dibutuhkan."Masih tahan, Pak?" tanya Pak Najam menyela."Tahan! Saya baik-baik saja. Hanya agak nyut-nyutan saja rasanya," jawab Pak Junet."Jadi, di mana lokasi jenazahnya?" tanya Pak Junet kepada salah satu rekannya.Pak Junet benar-benar tangguh. Karena tugas dan tanggung jawab, ia tak menghiraukan tulang jarinya yang remuk dan lemas."Mari, Pak, di sana! Jasadnya sudah terbungkus plastik," jawab salah satu anggota tim evak
Salat Magrib telah ditunaikan, Pak Junet datang menghampiri, lalu duduk di samping Bang Ochi. Ia bersandar pada batu besar, lalu sedikit merosotkan badannya."Chi, terima kasih sudah membantu kami. Jujur saja, saya asli kaget liat kamu ikut turun," ujar Pak Junet dengan suara seraknya."Iya, sama-sama, Pak. Kebetulan udah pernah belajar dan ngisi materi rappelling di kampus. Jadi, udah paham gimana caranya." Bang Ochi menimpali."Oh gitu. Siapa yang sempat ajari rappelling dulu?" tanya Pak Junet."Senior, Bang Ogot namanya. Dia keras, Pak. Tapi ajarannya membekas.""Salam sama Ogot ya, saya seangkatan sama dia, tapi beda fakultas.""Oh, nggih, innsyaallah, Pak."Saat asik mengobrol, Pak Najam datang ke arah kami dengan gelas plastik di kedua tangannya."Pak Net, sebaiknya Bapak istirahat saja, biar saya yang ambil alih sementara." Pak Najam datang menyela pembicaraan dalam Bahasa Sasak."Ndak apa-apa. Saya masih bisa tahan, Pak." Pak Junet meyakinkan."Oh, nggih kalau gitu. Silaq kopi
Pak Junet berlari mengejar bocah perempuan yang semakin menarik kantung jenazah itu menuju gelap.Jingga tampak berusaha keras agar bisa menyeret jasad itu dengan kedua tangan mungilnya. Tampak tubuhnya sedikit condong ke belakang karena beban yang ditarik cukup berat. Namun, melihat Pak Junet mendekati, Jingga melepas kantung jenazah itu, lalu berlari seorang diri ke dalam gelap meninggalkan kantung jenazah."Hei, berhenti!" Pak Junet sedikit meneriaki sambil mengarahkan cahaya headlamp ke arah jingga berlari.Bocah perempuan itu berlari dalam gelap tak tentu arah. Jejak langkahnya terdengar begitu jelas.Bang Ochi, Pak Najam, dan Alit menyusul ke arah jenazah."Masa iya itu anaknya Bang Ipul?" tanya Bang Ochi pada Pak Junet yang masih mengarahkan cahaya ke arah gelap."Pak Junet, di sini dari awal memang banyak kejadian aneh. Anaknya Bang Ipul itu kemarin malam juga sempat hilang, lalu balik sendiri dari arah sini," tutur Alit menceritakan."Ayo kita temui bapaknya, mungkin saja bap
Kayu bakar semalam telah habis menjadi abu, ia berserah kepada api, menyisakan asap tipis yang masih mengudara. Di timur sana, sinar matahari mulai membersit dari balik puncak gunung setinggi 3726 meter di atas permukaan air laut. Lansekap yang terhampar pagi itu begitu megah dengan tebing raksasa setinggi ribuan meter menjulang di arah timur.Embusan dingin angin gunung menerpa wajahnya dengan lembut, membawa bau khas asap kayu yang terbakar. Bang Ochi membuka mata, lalu menggeliat merenggangkan badan. Pandangan matanya langsung menghadap ke arah langit yang mulai membiru. Dari tempatnya berbaring, jalur menuju puncak tampak serupa anak tangga menuju negeri di atas awan. Di pinggir danau, tenda-tenda berjejer dengan warna-warni cemerlang.Di tepi danau, seorang bocah perempuan cantik melempar kerikil kecil ke tengah danau, menciptakan riak air berbentuk lingkaran kecil, lalu membesar.Tiga orang berseragam oranye tampak mengitari api unggun. Mereka mendekatkan kedua telapak tangann
Waktu menunjukkan pukul 08.45 WITA. Proses evakuasi akan segera dilakukan. "Rekan-rekan sekalian, kalau semua sudah sarapan, mohon agar segera berkumpul!" perintah Pak Junet kepada seluruh petugas evakuasi.Semua penyintas berkumpul, termasuk tim Bang Ipul. Walaupun dia bukan bagian dari rombongan Bang Ron, tetapi timnya akan ikut pulang bersama para penyintas melalui jalur Senaru."Baik ... Alit, silahkan maju ke depan. Kemarin kamu menawarkan diri untuk membantu proses evakuasi melalui tebing, saya tanya sekali lagi, apa kamu yakin dan siap?" tanya Pak Junet dengan nada serius memastikan kembali kesiapan Alit.Alit maju ke arah Pak Junet. "Saya yakin dan saya siap, Pak!" jawab Alit tegas.Mereka yang tergabung dalam Komunitas Pencinta Alam, biasanya telah familiar dengan rappelling, tebing, dan alat-alat yang berkaitan dengan itu. Selama mengutamakan keselamatan, semua akan baik-baik saja."Untuk para penyintas, nanti, akan ikut bersama saya dan Bang Ochi. Lalu, untuk Alit akan iku
Ket.: Detik-detik menjelang gempa saat di puncak.PoV Citra_______________Ini kali pertama aku berada di puncak gunung. Merasai angin dingin menerpa tubuh dan menyentuh awan. Ingin rasanya berlama-lama di tempat tertinggi di Lombok ini. Kapan lagi aku bisa setinggi ini? Indah seluas mata memandang. Kusadari, betapa kecilnya aku. Mungkin, ini maksud Kakek, aku harus tumbuh dewasa dengan kesan yang berarti. Kuhirup udara dingin, hmm ... dinginnya terasa merasuk ke dalam rongga dada. Kurasa mulai saat ini, aku jatuh cinta pada gunung."Rinjani ... aku ingin menetap di sini saja ...!" Kulepas rasa bahagiaku dengan berteriak di ujung pasak bumi di pulau ini. Ada rasa bangga dan puas memenuhi dada.Lalu, aku menunggu giliran untuk dapat mengabadikan momen ini. Kapan lagi bisa ke puncak Rinjani?Ujung puncak Rinjani berupa sisa letusan Samalas beratus-ratus tahun silam dengan luas hanya beberapa meter saja. Jadi, tak ada cara lain selain harus menunggu giliran. Tak bisa kubayangkan berapa
#PJSR2_________________PoV Bang Ochi__________________Jeritan dan tangis pilu itu masih terdengar dari para pendaki asing maupun lokal. Mereka turun dari puncak dengan raut panik dan takut memenuhi wajah mereka, semua takut akan mati.Debu-debu mengangkasa dan mengurapi tubuh kami sampai terbaluri dari ujung kaki hingga ujung rambut. Tubuh kami pun berwarna senada dengan tanah. Gempa susulan berkali-kali terasa. Setiap datangnya gempa selalu disusul runtuhan tebing yang membuat debu semakin pekat. Gempa benar-benar mengubah wajah Rinjani. Tanah yang terpijak pecah menganga. Rinjani terkoyak."Ayo, Kek ... kita tunggu mereka di sana," ajakku sambil menuntun Kakek Mustafa untuk menunggu di tempat yang lebih teduh dan aman.Raut keberatan tampak jelas tergambar pada wajahnya yang keriput."Kakek duduk dulu di sini, biar aku yang pastiin kalau teman-teman semua baik-baik saja," saranku berusaha menenangkan.Kakek Mustafa tak menjawab dan hanya memadangi jalur puncak yang terselimuti
#PJSR2_____________PoV Opik_____________Dari dalam tenda, aku benar-benar mencemaskan matahari yang rasanya tak kunjung meninggi. Kupikir lebih baik aku diam saja sementara di dalam sambil packing barang bawaan. Begitu matahari terlihat, aku harus pergi bawa mereka turun. "Opik ...," panggil Alika dari luar tenda tiba-tiba. "Ya," jawabku dari dalam tenda."Sarapan pakai mie sama telur, gak apa-apa ya ... biar cepat kita berangkat," ucap Alika."Iya, apa aja yang penting cepat," balasku.Setelah beberapa menit menunggu, kuintip dari lubang tenda untuk memastikan kakek itu pergi. Karena kurasa aman, aku pun segera keluar setelah yakin dia benar-benar tidak di sana lagi. Aku bersyukur karena cuaca semakin cerah dan kabut sudah tak lagi melingkupi kami.Kulihat di atas karimat, empat piring mie kuah sudah tertata. Terlihat jelas uap hangat menari-nari di atas kuah mie yang panas. Aku pun makan dengan cepat agar segera habis dan dapat pergi dari sini sebelum Alit turun ke danau.Di p
#PJSR2____________PoV Opik____________"Opik ... Opik!" teriak Utari menunjuk ke arahku sambil menangis.Sontak beberapa orang pendaki melompat ke dalam air karena mengira aku tenggelam. Padahal, aku bisa berenang dan hanya sedang mencari keberadaan Mila yang ternyata tidak berada di sini. Mila berada di tepi bersama Utari dan Alika.Sambil tangan dan kakiku terus mengayuh berenang, aku terheran, siapa yang baru saja kulihat kalau Mila ada di sana? Tiba-tiba, dari dalam air danau yang dingin, kulihat sebentuk benda bulat besar menyembul berwarna kekuningan. Awalnya, kukira itu adalah alat bantu renang yang di bawa pendaki, tapi semakin kuperhatikan, ia semakin mendekat, lalu tiba-tiba berkedip. Aku pun panik dan berusaha menjauh secepat mungkin karena sepasang mata yang sangat besar itu semakin mendekat ke arahku. Ia seakan mengintai dari balik kabut pekat."Ahhh, tolong!" teriakku dengan suara bergetar.Sebisa mungkin aku berusaha berenang kembali ke tepian, tapi air yang tadinya
Ket: Tim danau sebelum gempa terjadi______________PoV Opik______________Malam lembab dengan kabut cukup tebal menyelimuti area perkemahan danau Segara Anak. Kulihat jam yang melingkar di tanganku baru saja menunjukkan pukul 7.30 malam. Suasana di danau cukup padat oleh tenda-tenda pendaki. Bulan ini memang bulan padat pengunjung mendaki Rinjani. "Masak apa, Pik? Wangi butter-nya enak banget," tanya Utari sambil sedikit mengangkat dagu membaui udara dari pintu tenda."Eh, ini ... aku bikin pancake, buat makan malam kita," jawabku sambil membalik adonan yang sudah mulai kering di bagian bawahnya.Mendengar jawabanku, Utari keluar dari tenda dan melangkah ke arahku."Mila mana?" tanyaku karena tak melihat adanya Mila di tenda perempuan."Tuh, dia jalan ke sana tadi, kayanya dia lagi pengen sendiri. Oh ya, Bang Ron itu siapa, terus Mila siapanya Bang Ron?" tanya Utari penasaran."Waduh, aku merinding bahas masalah itu, Tari. Kita omongin itu nanti aja ya kalau udah di bawah.""Dikit
#PJSR2__________________PoV Bang Ochi__________________Ternyata ini adalah moment yang dinanti Alit. Kupikir hanya rencanaku saja, tapi bagaimanapun juga laki-laki harus tetap kokoh. "Bang Ochi, mau ke mana? Aku ikut." Citra melangkah cepat membuntutiku di belakang."Gak ke mana-mana, anginnya kenceng banget, cuma mau ke sana," tunjukku ke balik batu besar bermaksud menghindari terpaan angin langsung. Dari tempatku yang agak rendah, drama katakan cinta itu tak terlihat, suaranya pun terbawa pergi bersama angin. Apapun jawabannya, tidak perlu aku tahu di gunung ini. "Ih, Abang ... jalannya cepet banget, sih," ucap Citra mencoba mendahului."Lagian kamu ngapain ikut? udah sana puas-puasin foto, ntar lagi kita turun," balasku sambil menyandarkan punggung pada permukaan batu yang tampak kecokelatan.Baru saja aku bersandar melepas lelah, kulihat ada sesuatu yang aneh terjadi pada Kakek Mustafa. Ia berjalan turun meninggalkan teman-teman yang sedang asyik berfoto. Tiba-tiba, ia terd
#PJSR2_______________PoV Bang Ochi_______________Di puncak, sudah ada teman-teman yang sedari tadi menunggu kedatangan kami. Bersamaan dengan udara yang semakin menghangat, kaki terus melangkah menapaki titik tertinggi pulau Lombok."Ra, itu lima langkah ke sana, itu puncak tertinggi Rinjani. Ayo sana!" suruhku sambil menunjuk sudut tempat bendera tertancap."Kata Abang tadi mau samaan," balas Zahra."Tugasku kan cuma ngedampingi kamu sama teman-teman yang lain, Ra," ucapku dengan senyum."Abaang, aku tu mau kita samaan ke sana," balas Zahra semakin menitikkan air mata.Melihatnya meminta seperti itu, tak tega rasanya kutolak. Aku pun mengangguk sebagai tanda menyetujui.Dari puncak tertinggi, pemandangan sungguh menakjubkan dengan birunya danau Segara Anak dan Gunung Baru Jari yang masih aktif mengeluarkan asap vulkanik. Diah yang sudah menunggu, berteriak memanggil nama Zahra dan mereka pun saling menghambur berpelukan.Ada tangis haru yang tak dapat lagi mereka bendung. Meliha
_____________Pov Bang Ochi_____________Engahan napas terdengar di mana-mana. Ratusan pendaki berjalan pelan pada jalur yang tak lebar. Jarak pandang kami terbatas hanya sejauh pendaran cahaya headlamp. Debu-debu tampak beterbangan menyesaki kami sepanjang jalur menuju punggungan. Kami terus berusaha mencapai punggungan walau sesekali terbatuk karena debu dan terpeleset karena kemiringan jalur. Jalur pendakian memang cukup sulit untuk dilewati karena butiran pasir sebesar biji ketumbar membuat pijakan kaki tidak menapak dengan baik pada permukaan tanah yang miring."Ayo semangat." Sambil menyeka keringat yang mengalir di kening, Alit terus memberi semangat untuk tim. Ratusan cahaya headlamp memenuhi jalur pendakian dan menciptakan suasana ramai pada jalur selebar kurang dua meter. Pendaki lokal dan mancanegara pun saling menyemangati untuk menaklukkan puncak di malam yang beku.Di posisi paling belakang, aku bersama Kakek Mustafa memantau pergerakan teman-teman agar tak salah arah.
________________PoV Bang Ochi_________________Waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Udara cukup tenang dan langit tampak bersih dari gumpalan awan, tak ada tanda-tanda akan datangnya badai angin ataupun hujan. Satu per satu cahaya headlamp terpendar dari para pendaki yang bersiap menaklukkan puncak setinggi 3.726 MDPL.Dari dalam tenda dengan pintu yang kubuka menganga, kulihat Alit sedang membangunkan teman-teman agar melakukan persiapan untuk summit attack malam ini. Sesuai kesepakatan, pendakian menuju puncak akan dilakukan pukul dua dini hari ini. Setelah membangunkan teman-teman, Alit melangkah ke arahku."Bang Ochi, bisa bantu kasih arahan ke teman-teman? Kita briefing dulu sebelum berangkat," ucap Alit dengan nada pelan."Apa gak kamu aja sekalian, Lit, kan kamu leadernya." Aku menolak dengan halus."Ayolah, Bang ... Abang punya pengalaman lebih ketimbang aku, jadi Abang bantu sekedar untuk kasih arahan aja," desak Alit."Tapi, yang mimpin sampai ke puncak tetap kamu, ya."