Salat Magrib telah ditunaikan, Pak Junet datang menghampiri, lalu duduk di samping Bang Ochi. Ia bersandar pada batu besar, lalu sedikit merosotkan badannya."Chi, terima kasih sudah membantu kami. Jujur saja, saya asli kaget liat kamu ikut turun," ujar Pak Junet dengan suara seraknya."Iya, sama-sama, Pak. Kebetulan udah pernah belajar dan ngisi materi rappelling di kampus. Jadi, udah paham gimana caranya." Bang Ochi menimpali."Oh gitu. Siapa yang sempat ajari rappelling dulu?" tanya Pak Junet."Senior, Bang Ogot namanya. Dia keras, Pak. Tapi ajarannya membekas.""Salam sama Ogot ya, saya seangkatan sama dia, tapi beda fakultas.""Oh, nggih, innsyaallah, Pak."Saat asik mengobrol, Pak Najam datang ke arah kami dengan gelas plastik di kedua tangannya."Pak Net, sebaiknya Bapak istirahat saja, biar saya yang ambil alih sementara." Pak Najam datang menyela pembicaraan dalam Bahasa Sasak."Ndak apa-apa. Saya masih bisa tahan, Pak." Pak Junet meyakinkan."Oh, nggih kalau gitu. Silaq kopi
Pak Junet berlari mengejar bocah perempuan yang semakin menarik kantung jenazah itu menuju gelap.Jingga tampak berusaha keras agar bisa menyeret jasad itu dengan kedua tangan mungilnya. Tampak tubuhnya sedikit condong ke belakang karena beban yang ditarik cukup berat. Namun, melihat Pak Junet mendekati, Jingga melepas kantung jenazah itu, lalu berlari seorang diri ke dalam gelap meninggalkan kantung jenazah."Hei, berhenti!" Pak Junet sedikit meneriaki sambil mengarahkan cahaya headlamp ke arah jingga berlari.Bocah perempuan itu berlari dalam gelap tak tentu arah. Jejak langkahnya terdengar begitu jelas.Bang Ochi, Pak Najam, dan Alit menyusul ke arah jenazah."Masa iya itu anaknya Bang Ipul?" tanya Bang Ochi pada Pak Junet yang masih mengarahkan cahaya ke arah gelap."Pak Junet, di sini dari awal memang banyak kejadian aneh. Anaknya Bang Ipul itu kemarin malam juga sempat hilang, lalu balik sendiri dari arah sini," tutur Alit menceritakan."Ayo kita temui bapaknya, mungkin saja bap
Kayu bakar semalam telah habis menjadi abu, ia berserah kepada api, menyisakan asap tipis yang masih mengudara. Di timur sana, sinar matahari mulai membersit dari balik puncak gunung setinggi 3726 meter di atas permukaan air laut. Lansekap yang terhampar pagi itu begitu megah dengan tebing raksasa setinggi ribuan meter menjulang di arah timur.Embusan dingin angin gunung menerpa wajahnya dengan lembut, membawa bau khas asap kayu yang terbakar. Bang Ochi membuka mata, lalu menggeliat merenggangkan badan. Pandangan matanya langsung menghadap ke arah langit yang mulai membiru. Dari tempatnya berbaring, jalur menuju puncak tampak serupa anak tangga menuju negeri di atas awan. Di pinggir danau, tenda-tenda berjejer dengan warna-warni cemerlang.Di tepi danau, seorang bocah perempuan cantik melempar kerikil kecil ke tengah danau, menciptakan riak air berbentuk lingkaran kecil, lalu membesar.Tiga orang berseragam oranye tampak mengitari api unggun. Mereka mendekatkan kedua telapak tangann
Waktu menunjukkan pukul 08.45 WITA. Proses evakuasi akan segera dilakukan. "Rekan-rekan sekalian, kalau semua sudah sarapan, mohon agar segera berkumpul!" perintah Pak Junet kepada seluruh petugas evakuasi.Semua penyintas berkumpul, termasuk tim Bang Ipul. Walaupun dia bukan bagian dari rombongan Bang Ron, tetapi timnya akan ikut pulang bersama para penyintas melalui jalur Senaru."Baik ... Alit, silahkan maju ke depan. Kemarin kamu menawarkan diri untuk membantu proses evakuasi melalui tebing, saya tanya sekali lagi, apa kamu yakin dan siap?" tanya Pak Junet dengan nada serius memastikan kembali kesiapan Alit.Alit maju ke arah Pak Junet. "Saya yakin dan saya siap, Pak!" jawab Alit tegas.Mereka yang tergabung dalam Komunitas Pencinta Alam, biasanya telah familiar dengan rappelling, tebing, dan alat-alat yang berkaitan dengan itu. Selama mengutamakan keselamatan, semua akan baik-baik saja."Untuk para penyintas, nanti, akan ikut bersama saya dan Bang Ochi. Lalu, untuk Alit akan iku
Lembah Gunung Baru Jari.Pak Junet dan Bang Ochi telah berangkat membawa Fadly dan para penyintas lainnya untuk keluar dari lembah Gunung Baru Jari. Mereka akan dievakuasi melalui jalur Senaru. Tinggal Alit bersama Tim SAR yang bersiap akan mengevakuasi jasad Bang Ron melalui jalur selatan.Alit tampak berusaha menenangkan diri. Ia berusaha menahan debaran jantungnya yang kian menendang tulang dada. Rasa trauma saat melihat tubuh Bang Ron terjatuh, lalu menghempas batu, masih membekas dan tergambar jelas dalam ingatannya. Semua terekam nyata.Ini adalah waktu persahabatan Alit dan Bang Ron diuji."Kenapa kamu nekat mengambil resiko untuk pulang lewat sini?" tanya Pak Najam."Bang Ron itu sahabat saya, dan kami mendaki bersama, Pak. Tidak mungkin saya biarkan dia pulang tanpa salah satu dari kami menemani," jawab Alit. Tiba-tiba, matanya memerah, lalu basah. "Saya ingat, bukankah saat ada yang tersesat kita tak boleh saling meninggalkan? Hati saya bener-bener nggak tega. Orang macam ap
"Tahan tarikan! Tahan tarikan!" Pak Najam terus berteriak ke arah HT yang tergenggam di tangannya.Petugas yang mengiringi jenazah tampak kewalahan menggeser sisi tandu yang tersangkut karena tali terus di tarik oleh tim base camp dari atas pelawangan. Pak Najam berteriak, "Sialaan! Tahan tarikannyaa ...!"Ternyata, HT tak berfungsi karena masalah sinyal. Tandu semakin terangkat dan kini berjarak sekitar dua puluh meter di atas Alit dan Pak Najam.Pak Najam terus berusaha mengontak base camp. "Tahan tarikan ... tim base camp tahan tarikan, mohon kurangi tarikan, segera! Jenazah tersangkut ... sekali lagi jenazah tersangkut, jenazah hampir jatuh!" perintah Pak Najam hampir putus asa. Kerikil-kerikil tampak berguguran karena gesekan sudut tandu dan tebing. Beruntung, bebatuan hanya membentur sisi depan helm yang terpasang di atas kepala mereka. Mereka bisa saja terluka jika tidak dengan sigap menempelkan tubuh pada permukaan tebing.Situasi semakin berubah genting. Posisi jenazah kini
Bang Ochi duduk pada batang cemara yang telah tumbang dan mengering. Ia berpikir sambil memperhatikan tenangnya air danau Segara Anak. Semua tampak tenang, datar, dan tak ada pusaran air ataupun riakan besar seperti yang baru saja ia lihat. Semua pendaki di camping ground tampak santai memancing, seolah tak pernah ada apa-apa. "Apakah mungkin tidak pernah terjadi apa-apa di tengah danau itu? Atau mungkin juga bangsa jin telah menipu pandangan kami?" Bang Ochi bergumam lirih. "Aneh," lanjutnya kemudian."Saya udah tanya, mereka nggak ada yang lihat rombongan kita, Bang," Fadly datang dengan raut wajah lelah, napasnya agak tersengal."Sebentar," tutur Bang Ochi. Ia berusaha keras memikirkan segala keanehan yang menimpa tim itu sejak awal ketika Bang Ron terjatuh."Kenapa, Bang?""Fadly ... tolong ceritakan saya, apa sebenarnya yang pernah tim kalian lakukan sejak awal berada di Rinjani?" tanya Bang Ochi penasaran. "Saya tidak meragukan hal-hal di luar nalar bisa terjadi dan dapat meni
Suara gemeretak dalam mulut Jingga terus terdengar. Beberapa patahan tulang dijatuhkan lagi dari mulutnya. Matanya menatap misterius ke arah Bang Ochi yang masih kebingungan di posisi paling belakang.Tim terus melangkah menuju camping ground tanpa menyadari apa yang dilakukan bocah perempuan itu atas gendongan ayahnya, kecuali Bang Ochi."Ayo buka carrier, keluarkan logistik. Bagi tugas untuk bikin makan siang. Keluarkan apa yang ada!" perintah Pak Junet setiba di camping ground Segara Anak."Di carrier saya masih cukup banyak logistik, dan tim saya juga masih lumayan, tapi lauk sepertinya nggak cukup banyak," ucap Bang Ipul sambil membuka carriernya."Di ransel saya ada mie instan, telur, sama sosis. Kita bisa masak ini jadi tambahan. Walaupun nggak cukup banyak, paling tidak perut kita terisi dulu," sambung Pak Junet.Mendengar uncapan Pak Junet, beberapa orang pendaki menghampiri."Abang-abang, rombongan kami mau turun, titip ini ya, lumayan untuk tambah-tambah," ucap salah seoran