Hantu itu menghilang tepat ketika istrinya bangun dan menanyakan apa yang sedang terjadi. Aryo tak langsung menjawab. Ia mengatur dulu napasnya sekaligus mengembalikan ketenangannya. Setelah ia tenang, barulah ia menjawab pertanyaan dari istrinya.
"Nggak apa-apa. Cuma mimpi buruk," jawabnya berbohong."Ya ampun. Emang mimpi apaan sampai teriak kayak gitu?" tanya istrinya sambil tertawa kecil.
"Mimpi buruk pokoknya. Udah, kamu tidur sana. Jangan sampai anak kita terbangun mendengar pembicaraan kita," ucap Aryo. Wanita itu mengangguk paham.
Malam ini Aryo benar-benar ketakutan. Ia mencoba tidur dengan membenamkan wajahnya ke bantal. Sekujur tubuhnya dibalut dengan selimut. Setidaknya dengan cara yang seperti itu, ia bisa sedikit meredam ketakutannya akibat kejadian barusan.***
Keesokan harinya, ramai diperbincangkan tentang penampakan hantu perempuan yang sangat menyeramkan. Ternyata bukan hanya Aryo saja yang melihat, tetapi juga hampir seluruh penduduk desa.
"Tadi malam suami saya ngelihat hantu.""Tunggu! Hantunya perempuan? Pakai daster putih? Rambutnya panjang? Wajahnya hancur mengerikan?" tebak yang lain.
"Kok Bu Ani bisa tahu?"
"Saya juga semalem ngelihat," katanya.
"Yang bener, Bu? Gimana ceritanya?"
"Waktu saya mau nutup gorden, dari jendela saya melihat hantu itu berjalan di sekitar rumah. Saya nggak terlalu memperhatikannya, karena saya takut jika hantu itu malah masuk ke rumah saya," ucap Bu Ani.
"Lah, masih mending, Bu. Tadi malam suami saya malah melihat hantu itu di kamar mandi. Parah banget, kan?"
Semua yang ada di sana bergidik ngeri. Namun sekali lagi, sebuah rasa penasaran selalu bisa mengalahkan rasa takut. Sehingga mereka tetap ingin mendengar kelanjutan ceritanya walaupun ketakutan."Apa? Di kamar mandi?"Bu Endang, si wanita bertubuh gemuk itu bertanya. Ia sangat penasaran dengan cerita seram dari temannya itu."Iya, Bu. Kejadiannya sekitar jam sebelas malam. Saat itu suami saya mau kencing. Eh habis kencing tiba-tiba dia lari. Saat saya tanya katanya dia habis ngelihat hantu di kamar mandi.""Terus gimana?"
"Ya saya takut lah."
"Nggak diperiksa kamar mandinya?"
"Enggak. Kalau beneran ada, bisa pingsan saya."
Pembicaraan mereka didengar oleh seorang anak remaja yang sedang berangkat ke sekolah. Dia lah Thomas, seorang lelaki yang bisa dibilang adalah tokoh utama dalam cerita ini. Ia yang sangat tertarik dengan gosip itu pun memutuskan untuk ikut walau cuma sebentar."Eh, Thomas. Mau berangkat sekolah?" tanya Bu Ani."Iya, Bu. Hehehe," jawabnya.
"Saya denger tadi Bu Ani habis ngelihat hantu, ya?" tanyanya setelahnya.
"Iya, di sekitar rumah saya," jawab Bu Ani.
"Kok bisa ya, tiba-tiba desa kita jadi angker?" ucap Thomas.
"Memangnya kamu juga ngelihat hantu itu, Thomas?"
"Enggak, Bu. Tapi semalem waktu aku begadang main game, aku kayak denger suara orang nangis. Tapi gak tahu siapa. Nggak aku pedulikan," kata Thomas.
"Positif. Pasti hantu itu," kata Bu Endang.
"Emm ... Gak tahu juga sih, Bu. Ya sudah kalau begitu aku mau berangkat sekolah dulu. Takut telat. Hehehe," kata Thomas.
Mereka mengangguk tanda menyetujui. Setelahnya, percakapan tentang hantu itupun kembali berlanjut. Namun tak ada yang menceritakan tentang sosok Marni yang masuk ke dalam rumah Aryo. Entah mereka belum mendengar berita itu ataupun karena mereka memang tidak ingin menceritakannya. Tidak ada yang tahu soal itu selain mereka saja.***
Cahaya jingga dari sang senja sudah mulai muncul. Indah sekali. Namun sayangnya, keindahan itu cuma bertahan sebentar sebelum akhirnya warna hitam menguasai semesta. Ya, warna hitam yang menandakan bahwa hari sudah berganti menjadi malam yang menakutkan.
Di depan rumah yang besar itu seorang lelaki sedang duduk. Dia adalah Thomas. Matanya yang tajam ia pergunakan untuk memandang langit yang semakin lama semakin menghitam tanda akan hadirnya sang malam. Di wajahnya, tersimpan sebuah gambaran atas kekhawatirannya pada datangnya malam. Sebuah ketakutan akan banyaknya rumor yang beredar tentang hantu yang gentayangan di desanya.
"Sebenarnya apa yang terjadi pada desa ini? Kenapa tiba-tiba jadi angker?" tanyanya pada diri sendiri sambil menghembuskan napas pelan."Ah, sial! Ada kerja kelompok pula nanti," lanjutnya.
Itulah yang menjadi ketakutan tersendiri buatnya. Mengingat keadaan desanya yang sedang diteror oleh hantu gentayangan, harusnya ia tidak boleh keluar pada malam hari. Namun sebuah keharusan memaksanya untuk keluar.Alhasil, malam harinya ia pun pergi ke rumah temannya yang kebetulan juga masih satu desa dengannya. Bersama Rio, temannya, ia berangkat berboncengan dengan naik motor. Tak jauh memang tempatnya, tapi untuk menuju ke sana harus melewati kebun pisang yang sangat gelap. Ya, karena di area itu tidak ada penerangan apapun selain lampu motor dan juga cahaya bulan.
"Thomas, cepatlah! Gelap banget, nih. Serem," kata Rio."Sabar lah. Jalannya jelek," kata Thomas.
Suasana sekitar yang gelap dan sepi membuat kedua manusia itu sedikit merasa takut. Di samping kanan dan kiri jalan terjejer pepohonan pisang yang jumlahnya tak dapat dihitung dengan jari. Berbagai cerita juga sudah banyak mereka dengar tentang kebun tersebut. Katanya, ada sosok hantu berbalut kain kafan di sana. Namun yang sekarang mereka takuti bukan hanya itu, melainkan juga hantu perempuan yang sedang bergentayangan.Hanya keheningan yang menghiasi perjalanan mereka. Tak ada sedikitpun pembicaraan yang tercipta. Jalanan yang buruk membuat laju motor mereka menjadi sangat pelan. Thomas mencoba untuk tenang. Sampai pada akhirnya, ia pun berhasil melewati area kebun pisang tersebut tanpa ada gangguan sedikitpun dari alam lain.
"Lama sekali kalian," ucap seorang perempuan yang sudah berada di sebuah teras rumah. Sebut saja namanya Miya."Huff ... Iya, maaf. Semuanya sudah datang, ya?" tanya Thomas.
"Iya. Ayolah masuk! Sebaiknya kita cepat-cepat selesaiin nih tugas. Jangan sampai kemalaman," kata Sendy, sang pemilik rumah.
Mereka mengangguk menyetujui. Selanjutnya, lima manusia itupun berkumpul di dalam rumah. Di depannya sudah ada berbagai alat untuk membuat sebuah prakarya. Tugas itu wajib untuk diselesaikan malam ini karena besok sudah harus dikumpulkan.Lumayan lama mereka mengerjakan, akhirnya tugas untuk membuat sebuah kotak pensil dari pelepah pisang itupun berhasil mereka selesaikan. Napas lega pun turut menghiasi suasana.
"Akhirnya selesai juga," kata Nana, gadis cantik berambut poni."Ngomong-ngomong, dari mana kamu dapat pelepah pisang sebanyak ini, Sen?" tanya Thomas.
"Oh ini? Ini dari kebun pisang Pak Mamat," jawab Sendy.
Thomas langsung membuka matanya lebar-lebar. Kebun pisang yang dimaksud itu bukankah kebun pisang yang tadi ia lalui? Teringat kembali cerita tentang penampakan pocong yang seringkali terjadi di area itu. Tak tahu mengapa, ia malah menjadi takut jika harus pulang melewati area sana lagi."Apa? Jangan bilang kalau kau mencurinya dari sana," ucap Thomas."Tepat," jawab Sendy. Sontak hal itu membuat suasana menjadi hening. Semua mata tertuju padanya."Hahaha ... Bercanda. Aku minta sama Pak Mamat, bukan nyuri," lanjutnya.Semuanya pun akhirnya bisa bernapas lega. Wajar saja kalau mereka khawatir. Sebelumnya pernah ada kejadian pencurian pisang di kebun tersebut. Pencurinya adalah seseorang dari desa lain. Anehnya, pencuri itu malah mengembalikan pisang yang telah ia curi kepada Pak Mamat. Katanya ia tak sanggup diteror oleh sosok hantu bungkus. Sampai sekarang pun tidak ada yang tahu apakah sosok hantu itu memang peliharaannya Pak Mamat yang ia suruh untuk menjaga kebunnya atau cuma hantu yang kebetulan menghuni daerah tersebut. Itu adalah misteri yang belum terpecahkan sampai saat ini, tapi juga tidak terlalu penting untuk dipecahkan."Daripada kita berdiam diri, mending kita bercerita tentang suatu hal," ucap Sendy."Cerita apa? tanya Miya penuh kebingungan."Sesuai dengan yang lagi viral di desa ini," jawab Sendy."Jangan bercanda k
Di saat itu juga lampu tiba-tiba menyala lagi diiringi dengan suara tawa yang sangat menyebalkan. Ternyata, suara itu datang dari teman-temannya yang sengaja ingin menjahilinya. "Parah kalian," ucap Thomas. Yang lainnya ketawa, sedangkan Sendy terlihat berjalan menuju ke arah semuanya. "Kalian pikir lucu? Kalau tiba-tiba aku kena serangan jantung bagaimana?" ucap Thomas lagi. "Ya mati. Tinggal ngubur," jawab Sendy dengan santainya. Thomas cuma mendecak. Ia kemudian ikut duduk bersama mereka lagi. Pastinya dengan rasa kesal yang belum bisa menghilang. Apa yang dilakukan oleh teman-temannya saat ini benar-benar tak bisa dimaafkan. Masalahnya, ia baru saja mendapatkan kenyataan tentang ia yang berada dalam satu kamar bersama hantu gentayangan, dan parahnya teman-temannya malah membuat ketakutan itu semakin menjadi-jadi. "Hahaha. Penakut kau," ejek Sendy. "Bukan takut. Cuma kaget aja," ucap Thomas. "Oh ya, ibu kamu lagi masak apaan itu? Tadi aku panggil malah gak direspon. Aku tanya
"Whoa ... Hantu!" teriak Rio.Tanpa peduli dengan Thomas, ia dengan cepat berlari dari tempat itu. Sementara Thomas masih terpaku di tempat semula. Tubuhnya kaku seperti sedang membeku. Di depannya, sosok wanita berwajah hancur dan penuh darah telah terlihat dengan sempurna.Tangannya yang masih setia memegang motor pun semakin lama semakin melemas. Rasa takutnya bertambah di kala sosok hantu itu menyeringai sembari perlahan mendekatinya. Sudah tidak ada pilihan lagi bagi dia selain lari. Namun, tubuhnya telah memberikan sebuah penolakan yang sangat mengesalkan."Hihihihi."Suara tawa itu terdengar menakutkan di telinganya. Ia terus berusaha untuk menggerakkan tubuhnya. Dan pada akhirnya ia bisa melakukannya. Tak peduli dengan keadaan motornya, ia pun langsung melarikan diri dari sana.Selama berlari, tak sedikitpun ia berani menoleh ke belakang. Sampai tiba saatnya ketika ia melihat seseorang yang berada di depan sana. Seseorang yang terlihat kelelahan. Dia adalah Rio."Rio," panggil
Sambil menunjuk, tangan kirinya terlihat gemetar hebat. Rio juga tak mampu menahan rasa penasarannya. Ia kemudian melihat ke arah yang ditunjuk oleh Thomas. Dan betapa terkejutnya ia ketika melihat sosok wanita berdaster putih yang tengah duduk di motor yang dikendarai oleh ayahnya Thomas."Itu seperti hantu yang tadi, Thomas," ucap Rio ketakutan."Dia kenapa ikut ayah?" tanya Thomas dengan bicaranya yang gagap."Mana kutahu," jawab Rio.Thomas berada dalam posisi yang kebingungan. Antara takut dan tidak mau kalau sampai hantu itu mencelakai ayahnya. Kini posisinya berada beberapa puluh meter jauhnya dari posisi motor ayahnya. Namun rasa takut dan ngeri tak bisa ia cegah untuk terjadi."Thomas, dia menghadap ke sini, Thomas," ucap Rio sambil menepuk bahu Thomas.Wajah hancur dan penuh darah itupun tersaji tepat di depan mata Thomas. Mulutnya tak mampu untuk mengeluarkan sepatah katapun. Sambil tetap fokus menyetir, ia mencoba untuk memunculkan keberaniannya kembali. Hantu itu menatapn
Rio hampir menjerit ketakutan. Sentuhan itu sungguh terasa di kakinya. Seperti tangan tanpa daging ataupun kulit, alias cuma tulang-tulangnya saja. Ditambah lagi dengan kuku-kuku tajam yang semakin menambah kengerian.Rio masih diam sembari berusaha untuk menghilangkan rasa takutnya. Ia sadar bahwa ia tidak sendirian. Ada Thomas yang sedang tidur di sampingnya. Jadi, tidak ada alasan baginya untuk takut.Ia mencoba untuk merapatkan tubuhnya ke Thomas. Dengan keadaan matanya yang terpejam, ia mencoba menggerakkan tangannya untuk menyentuh tubuh Thomas. Namun anehnya, posisi Thomas seperti tidak sedang terbaring, melainkan sedang duduk. Tidak, bukan itu saja letak keanehannya. Di saat dia menyentuh tangan itu, yang ia rasakan adalah tangan tersebut hanya berupa tulang-belulang saja.Entah keberanian dari mana yang ia dapatkan. Tiba-tiba ia membuka matanya. Seketika itu juga, ia melihat sesuatu yang sangat menyeramkan di depannya. Sesosok wanita dengan wajahnya yang sangat menyeramkan se
"Apa itu?" tanyanya pada diri sendiri.Takut? Tentu saja. Ia kembali ingat pada mimpinya semalam. Satu-satunya hal yang ia pikirkan tentang suara benda jatuh itu adalah hantu. Ya, hantu wanita yang sangat menyeramkan. Yang wajahnya hancur dan juga penuh darah, serta rambut panjang gimbalnya yang menakutkan. Jujur ia sangat ketakutan.Tapi, ini sudah pagi. Sudah tidak gelap lagi seperti tadi malam. Karena itulah, ia memutuskan untuk memeriksanya. Perlahan ia berjalan ke arah asal suara itu tercipta. Sepertinya dari dapur. Itulah yang ia pikirkan saat ini.Dengan seluruh keberanian yang ada, dirinya pun terus berjalan menuju dapur. Ia mengendap-endap bagai seorang maling. Dan apakah ada yang tahu apa yang ia lihat di dapur? Ternyata yang ia lihat adalah sosok wanita muda yang ia kenal sebagai ibunya Thomas. Tapi tunggu! Tentang mimpi tadi malam, bukankah hantu wanita itu juga sempat menyamar sebagai ibunya Thomas?"Tante, suara apa tadi?" tanyanya. Ia memberanikan diri untuk bertanya. T
"Kenapa aku harus bohong? Memangnya apa untungnya buatku?" tanya Thomas."Thomas," panggil Rio dengan suara yang gemetaran."Kenapa?""Kau tahu apa yang terjadi semalam?" tanya Rio."Tentu saja. Kau keluar kamar, entah mau apa," kata Thomas.Rio menampakkan wajah yang serius. Ia tidak ingin bercanda lagi untuk saat ini. Pikirannya sudah tertuju pada kejadian menyeramkan yang terjadi tadi malam. Ia ingin sahabatnya itu tahu bahwa telah terjadi sebuah kejadian yang sangat menyeramkan baginya."Awalnya aku mengira kalau aku memang keluar kamar dan menuju toilet untuk buang air kecil. Dan saat itu, ketika aku keluar dari toilet, aku melihatmu masuk ke toilet. Aku tidak peduli. Namun pada saat di kamar, aku melihatmu sedang tidur di atas ranjang. Itu yang membuatku terkejut," kata Rio."Kau pasti bohong. Aku tidak pergi ke toilet tadi malam," kata Thomas."Itulah permasalahannya. Aku juga mengira seperti itu. Makanya aku langsung tidur di sampingmu. Tapi, ternyata perkiraanku juga salah. K
Thomas cuma tidak ingin ibunya takut. Itu saja. Ia sadar bahwa untuk saat ini, ia adalah satu-satunya laki-laki yang berada di dalam rumah ini. Sudah menjadi tugasnya untuk bertindak layaknya seorang pemimpin. Ia tidak boleh ikut takut meskipun ia memang sedang takut. Ia harus berusaha terlihat berani di depan ibunya."Kucing sialan! Padahal tadi sudah aku usir. Malah balik lagi," ucap Thomas."Sebentar, Bu. Biar aku usir lagi kucing itu," lanjutnya.Thomas mengeluarkan seluruh keberaniannya untuk memeriksa kembali apa yang ada di dapur rumahnya. Meskipun langkah kakinya terlihat gemetar, keringat dinginnya bercucuran, serta raut wajahnya menandakan ketakutan, ia lebih mementingkan rasa penasarannya daripada itu semua.Ia rasa, penyebabnya bukanlah kucing. Pasti ada sesuatu yang tak bisa ia lihat di sana. Hantu? Ya, apalagi kalau bukan itu.Wush!Ketika Thomas mengintip dari balik dinding, ia merasakan seperti ada yang meniup leher bagian belakangnya. Refleks ia juga langsung memegang
Sendi berusaha untuk mengatur napasnya yang tak beraturan. Bayang-bayang tentang wajah mengerikan dari sang hantu masih terus singgah di kepalanya. Sangat menyeramkan memang.“Dia di sini,” ucap Sendi pelan.Thomas langsung paham dengan apa yang Sendi katakan. Ia tentunya terkejut sekaligus takut. Ia arahkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar, tapi tak ada apapun di sana. Ia tahu, hantu itu pasti hanya akan memunculkan diri di depan satu orang. Mungkin setelah ini, giliran dia yang akan didatangi.“Gak ada apa-apa, Sen. Udah, tenanglah!” pinta Thomas.“Dia di sini, Thomas.”Thomas bingung harus berbuat apa. Di satu sisi, ia memang takut. Tapi di sisi lain, ia juga ingin permasalahan ini cepat-cepat selesai. Ia tak mau ini jadi teror yang berkelanjutan tanpa ada ujungnya. Rasanya sudah lelah kalau tiap hari harus dihantui oleh hantu Marni. Ia ingin hidup dengan tenang seperti sedia kala.“Hufff ....” Thomas mengembuskan napas pelan.“Kalau kamu beneran Tante Marni, keluarlah! Kami i
"Udah, jangan banyak nanya. Lupakan saja! Intinya fokus nyetir supaya bisa cepat-cepat sampai," kata Rio."Oke, oke."Entah makhluk yang dimaksud Rio masih mengejar atau tidak, Thomas pun tak tahu. Rio pun mungkin juga sama tidak tahu. Akan tetapi hal itu sudah tak perlu dikhawatirkan lagi kala mereka sudah sampai di rumah Thomas."Cepetan Thom, buka garasimu. Biar aku yang masukin motornya.""Tam Tom. Aku bukan kucing.""Sudahlah, jangan protes! Cepat!" perintah Rio lagi."Iya, tunggu!"Thomas langsung berlari masuk ke dalam rumah dan segera membuka pintu garasi. Selepas itu ia pun langsung menyuruh kedua temannya itu untuk memasukkan motor ke garasi.***"Hufff. Emang kamu lihat apa tadi?" tanya Sendi sembari merebahkan tubuhnya di atas kasur kamar Thomas."Biasalah. Ya tahu sendiri, lah," jawab Rio."Kurasa kita memang harus cepat-cepat memecahkan misteri ini, deh. Kita gak bisa membiarkan hantu itu meneror kampung kita lebih lama lagi," ucap Thomas."Iya, emang. Makanya itu kita h
Sendy yang mendengar ucapan Thomas pun langsung terkejut dan melihat ke arah yang ditunjuk. Ternyata di sana tidak ada apa-apa."Mana?""Hahaha. Nggak, nggak. Aku cuma bercanda.""Sialan! Jangan kayak gitu!""Kenapa mendadak jadi penakut? Padahal tadi siang berani banget nyelidiki sampe toilet," ucap Thomas."Masalahnya ini baru aja habis ngelihat hantu. Ya kesan takutnya masih kerasa, lah. Entah kalau nanti. Mungkin akan hilang. Ya biasanya kayak gitu," ucap Sendy."Berarti berani pulang sendiri, entar?" Kali ini Rio yang bertanya."Mungkin.""Yeee. Ya jangan mungkin. Yang yakin, dong.""Hmm. Ya, ya. Aku berani. Aku laki-laki. Ngapain juga harus takut," ucap Sendi."Baguslah. Kita emang gak boleh takut," ucap Thomas.Setelah itu, ketiganya pun diam. Musik mulai menyala, dan sang penyanyi di cafe itupun mulai menyanyikan sebuah lagi. Thomas, Rio dan Sendi dapat melihat dengan jelas tentang bagaimana penyanyi cantik itu bernyanyi serta berjoget di sana. Namun itu bukan tujuan utama mer
"Gak, gak. Aku berani," ucap Sendy."Oh. Syukur deh. Kalau begitu tunggu di rumah dulu. Jangan berangkat dulu.""Kenapa?""Aku belum izin orang tua. Hahaha. Kalau gak diizinin ya gak jadi.""Lah. Parah banget.""Lha iya. Tapi akan tetap aku usahakan. Ya udah. Udah dulu. Aku mau bilang ke mereka.""Siap, deh."Thomas mematikan panggilan teleponnya. Ia pun kemudian berniat untuk menemui orang tuanya yang kini sedang menonton televisi. Entah diberi izin atau tidak, ia tetap harus mencoba untuk meminta izin."Eee ... Aku mau keluar, boleh nggak?" tanya Thomas ke keduanya."Keluar ke mana, sih? Harusnya kalau malam-malam di rumah aja," kata ibunya."Harusnya sih gitu, Bu. Tapi ini penting banget," kata Thomas."Penting apa?" Kali ini ayahnya yang bertanya."Ada tugas. Lagian entar aku juga sama Rio. Sama si Sendy juga. Aku gak sendiri, kok."Ada keraguan di hati kedua orang tuanya untuk memberikan izin kepada sang anak. Tentu itu disebabkan oleh teror hantu yang akhir-akhir ini ada di kamp
"Rumit, sih. Kalau aku hubungkan dengan yang difilm-film, kayaknya Tante Marni ini diperkosa seseorang. Mungkin sampai hamil. Lalu setelah mengetahui bahwa dirinya hamil, dia jadi malu dan memutuskan untuk pergi dari kampung sini," ucap Thomas."Terus soal teror hantu itu?""Kurasa itu emang hantunya Tante Marni. Ini mungkin, ya. Mungkin ketika perjalanan pergi, si pelaku itu membunuh Tante Marni dan membuangnya di suatu tempat yang kita tidak tahu di mana. Makanya itu arwahnya jadi tidak tenang dan menghantui kampung ini.""Nah, sekarang yang jadi pertanyaan, kenapa yang dihantui kampung ini. Maksudku, kenapa dia gak menghantui orang yang udah memerkosa dia?" tanya Nana.Thomas tersenyum meremehkan. Ia sudah menebak dari awal kalau bakalan ada yang bertanya seperti itu, dan ternyata benar, Nana bertanya seperti yang ia pikirkan."Itulah alasan kenapa aku tidak ingin siapapun tahu tentang penemuan test pack itu, tak terkecuali juga Pak RT. Hantu Tante Marni meneror kampung ini, kemung
Wajah makhluk itu tak nampak karena tertutup oleh rambut panjangnya. Namun tetap saja terlihat sangat menyeramkan.Thomas mengembalikan pensil alis itu ke tempat semula. Setelah itu ia memutuskan untuk mencari sesuatu yang lain. Di saat yang bersamaan, sosok hantu menyeramkan itu juga sudah menghilang dari sana."Ah, apa Tante Marni tidak meninggalkan sesuatu yang lain soal kepergiannya?" tanya Thomas pada dirinya sendiri.Ia mengembuskan napas pelan. Entah kenapa ia merasa bahwa penyelidikan ini pasti akan berakhir dengan sebuah kegagalan. Itu yang ada di pikiran Thomas saat ini.Thomas terus mencari sesuatu yang berada di kamar itu. Ia benar-benar mengesampingkan rasa takutnya, atau bahkan bisa dibilang menghilangkan rasa takutnya itu. Berada di dalam kamar yang gelap dan sepi tanpa ditemani oleh siapapun. Jelas itu terasa seperti uji nyali baginya. Namun ia seolah tak peduli dengan itu semua. Misinya jauh lebih penting daripada rasa takutnya."Seandainya aku punya indera ke-enam. A
“Salah dia bicara kayak gitu.”“Iya. Maksudku, mukulnya yang lebih kenceng lagi. Biar benjol tuh kepala,” ucap Rio.“Kawan sialan!” ucap Thomas.Rio pun tertawa. Puas sekali ketika dirinya melihat sahabatnya yang satu ini dipukul oleh Nana. Jujur, sebenarnya ia juga ingin ikut memukul. Hanya saja ia tidak tega.“Huff ... Oke, aku mengerti. Tak apalah kalau emang Cuma kalian saja yang masuk ke rumah itu. Tapi kalian harus benar-benar bisa mendapatkan petunjuk,” kata Nana.“Lha kok maksa.”“Gimana? Sanggup, nggak?”“Hadeh. Iya, iya,” jawab Thomas.“Bagus. Sebagai konsekuensinya, kalau kalian gagal, kalian harus mentaraktir aku makan selama seminggu,” kata Nana.“Lah. Malah mengambil kesempatan.”“Gimana? Mau, nggak?”“Hadeh. Ribet emang cewek yang satu ini. Iya, deh, iya.”“Nah, gitu dong.”Singkatnya, jam pulang sekolah pun tiba. Kelima anak muda itu benar-benar ingin memeriksa apa yang ada di dalam rumah Tante Marni. Thomas, yang seolah berperan sebagai sang ketua pun mendatangi rumah
Rio dan Nana mengangguk. Sejatinya mereka masih ragu tentang apakah rencana yang telah dibuat oleh Thomas ini akan berhasil atau tidak. Ya, mereka bahkan tidak yakin akannya. Namun seperti apa yang telah Thomas katakan, bahwa jika belum dicoba, maka belum tahu. Jadi, mereka pun akhirnya setuju.“Jadi kapan kita akan memeriksanya?”“Lebih cepat lebih baik,” jawab Thomas.“Bagaimana kalau besok?” tanya Rio.“Kelamaan. Kalau bisa nanti, kenapa harus besok?”“Bukannya apa-apa. Kau ini baru sembuh, Thomas,” ucap Rio.“Ya, aku tahu.”“Nah, itu. Lebih baik pulihkan dulu tubuhmu. Baru setelah itu kita lakukan rencana kita,” ucap Rio. Thomas menganngguk. Biar bagaimanapun juga, ia harus memikirkan kondisi tubuhnya. Tubuh yang lemah akan rentan untuk dirasuki makhluk tak kasat mata. Jika itu terjadi, maka akan sangat merepotkan.Malam harinya pun tetap seperti biasanya. Ada saja orang yang diteror oleh makhluk tak kasat mata itu. Sebenarnya, masalah tentang teror itu sudah dibicarakan ol
“Malah ketawa,” ucap ibunya Thomas.“Udahlah, Bu. Mending telepon ayah. Aku khawatir,” ucap Thomas.“Ibu juga khawatir.”“Makanya telepon ayah, Bu. Kalaupun emang ayah harus lembur, setidaknya kita udah tahu dan gak begitu khawatir lagi,” kata Thomas.Si ibu membenarkan ucapan Thomas. Ia pun segera mengambil ponselnya dan mencoba untuk menghubungi suaminya. Pertama menghubungi, gagal. Kedua juga gagal. Begitupun dengan yang ke-tiga. Hal itu membuat rasa khawatir keduanya semakin besar.“Nggak diangkat, Thomas.”“Coba sekali lagi, Bu,” ucap Thomas.Sang ibu pun mengiyakan apa yang Thomas minta. Ia langsung menelepon ke nomor sang suami lagi. Tapi apa yang didapatkan? Lagi dan lagi, suaminya ini tak dapat dihubungi. Sebuah perasaan khawatir pun semakin menjadi-jadi. Hingga beberapa saat setelah itu, mereka mendengar lagi ada yang mengetuk pintu rumah.“Siapa lagi tuh?” tanya Ibu Thomas.Thomas cuma diam. Ia teringat dengan peristiwa yang terjadi tadi. Tentang sang pengetuk pintu yang ta