Tony banyak mengabadikan foto bangunan itu selama dia berjalan. Beberapa kali dia juga memotret Emma dan dua temannya yang lain. Sesekali, dia minta gantian difoto. Semuanya berjalan lancar sesuai rencana. Mereka berempat tampak menikmati kunjungan.Keanehan baru terjadi saat mereka naik di lantai paling atas yang dekat dengan genteng dan suhu udaranya sedikit pengap. Saat mau diajak berfoto, Emma tidak menyahut. Gadis itu malah menghempaskan tangan Tony. Dalam hitungan detik, gadis itu lalu berteriak-teriak dan matanya melotot.Beberapa orang yang ada di sana tertu saja panik semua. Mereka berlari meninggalkan atap sambil berkata, “ada yang kesurupan,” pelan.Sebelum semuanya semakin parah, Tony dan dua orang yang lain berusaha mengendalikan Emma. Mereka memegangi tangan Emma agar gadis itu tidak berontak. Tapi tenaga mereka tak cukup kuat. Emma terus meronta, matanya melotot dan sesekali dia tertawa melengking.Dalam beberapa menit, reaksi Emma berubah. Dia seperti menjadi anak keci
Meski Emma mengalami kejadian yang tak mengenakkan selama berwisata, Namun Dia dan ketiga temannya sepakat untuk tidak memberi tahu Robin dan Lily. Mereka tak ada yang mau orang tua Emma berpikir yang aneh-aneh selama Emma tidak ada di rumah.“Kalau kamu mau cerita sama orang tua kamu, entar aja kalo udah nyampe di rumah, Emma,” kata Tony saat di pesawat.Emma mengangguk.Setelah berpisah di bandara, mereka akhirnya menuju rumah masing-masing. Tony memesan taksi online yang sama dengan Emma karena rumah mereka searah. Sementara Ethan dengan Jake.“Kamu mau beli kucing kapan?” tanya Ethan saat keduanya sudah berada di dalam taksi.Jake mengerutkan kening. “Nah itu dia yang aku nggak tahu,” katanya, “coba ku browsing ya,” katanya.Jake lalu mengetik di mesin pencarian online dengan kata kunci ‘jual kucing’. Rupanya ada banyak orang di sekitar tempat tinggalnya yang menjual kucing. Bahkan beberapa ada yang menyerahkan dengan cuma-cuma untuk diadopsi.“Gimana? Nemu nggak?” tanya Ethan.“N
Dada Sabrina panas saat melihat Tony cs lewat di dekat taman. Keinginannya untuk mendekati Emma dan menjambak gadis itu sangat besar. Namun, saat mau berdiri, dia malah ditahan Desy.“Mau ke mana kamu?” tanya Desy.“Nyamperin Emma lah. Ngapain lagi?” tanyanya.“Mau kamu apain?” tanya Desy.“Aku jambak!” sahut Sabrina.“Belum juga sebulan kamu berkomitmen buat menjaga sikap demi bisa masuk sirkel mereka dan bisa dekat terus dengan Jake,” kata Desy. ‘Sabrina menghembuskan napas panjang. “Sumpah ya, aku tuh gemes banget tahu nggak sama Emma,” katanya.“Ya terus? Bukan berarti itu bisa buat kamu ngehancurin image baik kamu yang sudah kamu bangun di depan Jake dong,” Kata Desy.“Iya, Sabrina. Sabar dikit kenapa sih?” sahut Anne.Sabrina lalu mencoba berdiri lagi. Namun sebelum dia berjalan, Desy berhasil menahan langkahnya lagi.“Mau ke mana?” Tanya Desy.“Mau nyamperin ke kelas Emma dan Tony,” sahut Sabrina, “tenang aja, aku ngak akan bikin onar kok. Aku mau nguping aja pembicaraan mere
Lily memandangi kandang kucing yang ada di dekat pintu dapur. Binatangitu lucu, tapi dia kurang setuju kalau Emma dibiarkan dekat dengan binatang itu tanpa pengawasan. Bagaimana ya caranya agar Emma jauh dari binatang itu? Apa diberikan kepada tetangga saja. Tapi bagaimana kalau Emma marah?“Kamu ngapain, Sayang?”Lily berbalik ketik mendengar suara Robin itu. Dia lalu tersenyum tipis. “Aku kok nggak sreg ya Emma dikasih kucing sama Jake,” katanya.“Bagus dong, itu artinya Jake perhatian sama Emma. Dia tahu apa binatang kesukaan Emma,” kata Robin.Lily lalu berjalan mendekati suaminya. Mereka berjalan menuju ruang tengah.“Tapi itu kan dulu sebelum Emma begini?” kata Lily.“Ya tapi kedaan dia nggak mengubah fakta kalau dia suka sama kucing kan? Lagian binatang itu bisa jadi hiburan buat Emma kalau dia lagi suntuk karena banyak tugas,” kata Robin.Lily menghembuskan napas kasar. “Masak kamu lupa sih kalau dulu Emma pernah mencelakai kucing pas diajak Tony ke taman?” tanya Lily.Robin m
Seharian Emma sangat suntuk karena ada dua kuis sekaligus. Setibanya di rumah, Emma melepas penat dengan kucing-kucingnya. Keempat kucing itu perempuan. Jadi Emma memberi nama kucing itu sesuai dengan nama bunga. Mereka masing-masing diberi nama: Tulip, Mawar, Anggrek dan Melati.Emma mengeluarkan Melati dari kandang. Kucing yang tubunya memiliki bulu warna dominan putih itu dia gendong. Beberapa kali dia mengendus-endus kucing itu. Melati tak berontak. Dia hanya mengeong beberapa kali sambil menatap mata Emma.“Melati, tadi aku kesel banget karena ada dua kuis sekaligus. Kepala aku rasanya panas,” kata Emma. Dia lalu duduk di kursi dapur.“Emma, taruh dulu kucingnya,” kata Lily yang baru muncul di dapur, “kita makan malam dulu.”“Nggak boleh aku bawa Melati?” tanya Emma.“Nanti aja main sama melati lagi. Kalo kamu bawa, terus bulunya masuk ke makanan gimana?” sahut Lily.Emma berdecak. Dia lalu memasukkan Melati ke kandang lagi.“Dada Melati, Mawar, Tulip dan Anggrek,” kata Emma. Dia
Akhirnya Tony bisa bernapas lega setelah mendengar pernyataan Emma. Ya, setidaknya kalau dia tidak bisa menjadi pacar Emma, Jake juga tidak akan bisa karena memang Emma tidak berminat pacaran.***Sabrina cs mengawasi kelas Emma. Mereka ingin menghasut Tony agar menyatakan perasannya kepada gadis itu sehingga mereka bisa berpacaran dan Sabrina tak akan takut lagi Jake akan dekat dengan Emma.“Eh, itu ada Tony, Guys,” kata Anne. Dia melihat Tony yang baru datang dengan Emma mereka berjalan bersama di koridor.“Aduh, mereka berbarengan lagi. Gimana cara ngomongnya ya?” kata Sabrina.“Kita nyuruh orang aja gimana?” tanya Desy, “bilangin Tony dipanggil dosen kek apa kek. Terus kita cegat dia dan kita ajak ngobrol.”Sabrina menjentikkan jari. “Ide bagus,” katanya.Sabrina lalu melihat sekeliling. Dia lalu memanggil seorang anak laki-laki yang akan masuk ke ruangan.“Hey, Mas yang rambutnya keriting,” kata Sabrina.Laki-laki berambut keriting yang memakai kemejakotak-kotak itu menoleh. “Kam
Di luar hujan, tapi tidak terlalu deras. Emma sedang menonton televisi di ruang tamu. Matanya tertuju ke layar, tapi pikirannya melayang ke mana-mana. Dia memikirkan Jake yang banyak memberinya hadiah. Entah mengapa dia yakin kalau Jake ada maunya.“Ini ada cokelat hangat,” kata Lily. Wanita itu meletakkan tatakan cangkir di atas meja.Robin membantu Lily mengambil cangkir untuknya dan untuk Emma. Tapi Emma bukannya menghabiskan waktu lebih lama di ruang keluarga setelah Lily mambuatkannya minuman hangat. Gadis itu malah beranjak pergi.“Mau ke mana kamu, Sayang?” tanya Lily, “baru juga jam sembilan malam.”Emma tersenyum tipis. “Aku lupa kalau masih ada tugas,” katanya.Sebenarnya, Emma tak seratus persen berbohong. Dia memang ada tugas. Tapi hanya sedikit. Sekitar satu jam juga bisa dia menyelesaikan tugas itu. Itu pun juga bukan besok deadline-nya.Setelah masuk ke dalam kamar dan menutup pintu, Emma meletakkan cangkirnya di meja belajar. Dia lalu membuka lagi kado dari Jake. Kalau
Di luar hujan, tapi tidak terlalu deras. Emma sedang menonton televisi di ruang tamu. Matanya tertuju ke layar, tapi pikirannya melayang ke mana-mana. Dia memikirkan Jake yang banyak memberinya hadiah. Entah mengapa dia yakin kalau Jake ada maunya. “Ini ada cokelat hangat,” kata Lily. Wanita itu meletakkan tatakan cangkir di atas meja. Robin membantu Lily mengambil cangkir untuknya dan untuk Emma. Tapi Emma bukannya menghabiskan waktu lebih lama di ruang keluarga setelah Lily mambuatkannya minuman hangat. Gadis itu malah beranjak pergi. “Mau ke mana kamu, Sayang?” tanya Lily, “baru juga jam sembilan malam.” Emma tersenyum tipis. “Aku lupa kalau masih ada tugas,” katanya. Sebenarnya, Emma tak seratus persen berbohong. Dia memang ada tugas. Tapi hanya sedikit. Sekitar satu jam juga bisa dia menyelesaikan tugas itu. Itu pun juga bukan besok deadline-nya. Setelah masuk ke dalam kamar dan menutup pintu, Emma meletakkan cangkirnya di meja belajar. Dia lalu membuka lagi kado dari Jake.
Hari pertama menjalani kegiatan di kampus Emma merasa sangat tidak nyaman. Dia tidak mudah berkenalan dengan orang baru karena tidak semua orang bisa memahaminya. Akibatnya, Emma jadi sering menyendiri. Baik di kelas, perpustakaan atau di kantin, dia jarang terlihat berbaur dan mengobrol dengan mahasiswa lain. Keadaan itu membuat banyak mahasiswa di kampus yang menganggap Emma sombong. Sehingga akhirnya ada banyak mahasiswa di kampus yang membenci Emma. Banyak yang memusuhi Emma secara diam-diam. Tapi tak sedikit juga yang memusuhi Emma secara terang-terangan. Akibatnya, hampir setiap hari ada saja yang membuat Emma marah dan mengamuk karena selalu ada yang mengganggunya. Puncaknya adalah saat ada yang menganggu Emma saat gadis itu makan siang sendirian di kantin.“Sombong banget sih ke mana-mana sendiri terus,” kata seorang gadis berambut sebahu.“Mungkin dia ngerasa paling cantik kali di sekolah ini. Atau dia kayak gini biar banyak yang ngedeketin. Ala-ala misterius,” kata gadis y
Karena tak ada respon setelah mengetuk pintu beberapa kali, Anne memutuskan untuk menelepon Desy. Setelah panggilan keempat baru teleponnya direspon.“Ada apa, Anne?” tanya Desy dari seberang. Suaranya terdengar sangat pelan.“Kamu ada di rumah?” tanya Anne.“Iya,” sahut Desy.“Kok ...,” Anne menghentikan kalimatnya karena dia melihat seorang bapak-bapak keluar dari rumah Desy. Sebatas yang dia ingat, itu bukan Ayah Desy. Apakah orang itu kerabatnya Desy yang dia tidak kenal sebelumnya?“Kamu masuk aja,” kata Desy.Anne seketika memutuskan sambungan telepon dan masuk ke melewati pintu yang terbuka. Setelah menutup pintu, dia berjalan ke tengah bagian rumah. Tempat yang dia tuju tentu saja kamar Desy.Anne mengerutkan kening saat masuk ke kamar Desy dan melihat ranjang gadis itu berantakan. Dia takut terjadi apa-apa dengan Desy.“Desy, kamu di mana?” tanya Anne. Dia menghembuskan napas lega saat mendegar suara keran dari kamar mandi.“Orang laki-laki yang tadi keluar dari rumah kamu si
Tiga hari setelah demo terakhir dilakukan, kedua orang tua Emma dipanggil ke kampus. Mereka berdua diminta untuk bertemu dengan Bu Marta langsung di ruangannya. “Selamat pagi,” kata Tony sambil mengetuk pintu ruangan Bu Marta ketika langkahnya terhenti di depan ruangan kepala sekolah itu.Bu Marta menatap ke arah pintu. “Selamat pagi,” katanya, “silakan masuk.”Bu Marta mengambil napas dalam sebelum berbicara dengan Robin dan Lily. “Sebelumnya saya mewakili pihak sekolah ingin mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya,” kata Bu Marta.“Apa tidak bisa dinegosiasikan lagi, Bu?” tanya Robin, “kita semua sama-sama tahu kan kalau semua kekacauan yang Emma perbuat bukan murni keinginan Emma. Ada mahluk astral yang mengendalikannya.”Bu Marta mengangguk. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin menjelaskan kepada para orangtua mahasiswa itu. Tapi mereka tak ada yang mau peduli. Alasan mereka, mereka tidak mau kekacauan itu terulang terus. Mereka tidak mau kalau nanti anak mereka dan yang lainny
Orang tua Yosi dan Burhan kompak mengajak puluhan orang tua mahasiswa lain untuk melakukan demo ke kampus. Mereka semua menuntut agar Emma dikeluarkan karena tingkahnya yang sangat meresahkan. Mereka tak hanya melakukan demo sekali, tetapi sebanyak tiga kali dalam seminggu.Fakta itu tentu saja membuat pihak sekolah bimbang. Di satu sisi, mereka tidak bisa mengabaikan permintaan wali murid. Tapi, di sisi lain, mengeluarkan Emma dari kampu begitu saja juga bukan pilihan yang paling tepat. Bagaimana pun juga, Emma adalah salah satu mahasiswa yang cukup berprestasi. Mereka bahkan mempunya beberapa rencana untuk mengikuti lomba dalam kurun waktu beberapa bulan ke depan. Dan salah satu mahasiswa yang akan mereka ikutkan untuk lomba itu adalah Emma.Tak hanya pihak sekolah yang dibuat pusing oleh demo yang dilakukan para orang tua mahasiswa itu. Emma dan orang tuanya juga dibuat pusing. Yang paling tertekan dengan kedaan itu tentu saja Emma. Hampir setiap hari dia menangis karena lelah meng
Sabrina tak peduli jika pada akhirnya Desy muak dengan sikapnya dan gadis itu meninggalkannya. Dia tetap fokus pada niatnya untuk membuat Emma dikeluarkan dari sekolah. Maka dia mencari tahu dua mahasiswa yang kemarin menjadi korban amukan Emma di kantin. Dari informasi yang berhasil Sabrina himpun dari orang-orang suruhannya. Dia menemukan nama dan kelas dua mahasiswa itu. Bahkan Sabrina juga tahu alamat rumah mereka. Tapi sebelum memutuskan untuk mendatangi orang tua mereka di rumah mereka, Sabrina memutuskan untuk menghampiri mereka di kelasnya terlebih dahulu. Yang pertama Sabrina datangi adalah Yosi. Laki-laki berpostur jangkung itu tengah duduk di kursi yang ada di depan kelas ketika Sabrina datang. “Hei, gimana kabarnya?” kata Sabrina. Dia duduk di samping Yosi, “luka kamu yang kena amukan Emma kemarin masih sakit?” “Lumayan sih. Ada beberapa luka gosong kebiruan dan luka goresan karena kena lantai dan bangku kantin,” kata Yosi, “ini masih mendingan. Si Burhan malah hari ini
Emma pikir, Sabrina memang akan benar-benar berubah. Dia pikir gadis itu akan menepati janjinya. Tapi ternyata tidak. Pada akhirnya gadis itu berulang lagi. Entah disengaja atau tidak, saat berad di kantin, tiba-tiba saja Sabrina menjatuhkan minuman yang masih agak panas dari belakang. Cairan kopi itu mengenai punggung Emma, mengenai kemejanya dan tembus hingga ke kulitnya.Emma merasakan rasa skit dan panas doi punggungnya. Seharusnya dia pergi ke toilet. Dan memang sebenarnya dia berniat pergi ke toilet. Namun, Emosinya lebih dulu meledak. Seperti biasa, mahluk astral itu menguasainya lagi. Membuatnya lepas kendali.Sadar berhasil memancing Emma, Sabrina pun tersenyum-senyum. Tetapi sebisa mungkin dia berusaha meminta maaf agar segalanya tak terlihat mencolok.“Maaf ya, Emma,” katanya kepada Emma.Emma tak menyahut. Dia mengerang dan mencengkeram pergelangan tangan Sabrina. Matanya melotot dan bola matanya berputar-putar. Dia mengerang. Lalu kuku-kukunya yang panjang mencakar kulit
Emma masuk kuliah lagi, tiga hari dari hari pertama dia di rumah sakit. Sebelum masuk ke dalam kelas, Ethan dan Jake menyambutnya di ambang pintu. Mereka mengulurkan tangan dan agak sedikit membungkuk seperti mempersilakan otang penting. Emma tersenyum melihatnya.“Kalian ini kayak aku siapa saja,” kata Emma.Baru duduk sebentar, Tony lalu berdiri lagi. Dia lalu mengajak Ethan dan Jake keluar kelas.“Aku nggak diajak nih?” tanya Emma.“Aku mau ngobrol sebentar sama mereka,” kata Tony. Dia lalu tersenyum, “ini urusan laki-laki.”Emma menghembuskan napas kasar. “Males banget deh kalo bawa-bawa gender,” katanya.“Bentar doang kok,” kata Tony.Tony, Ethan dan Jake lalu berjalan keluar kela. Mereka menghentikan langkahnya di taman. Tony lalu memilih bangku yang ada di sudut taman untuk duduk. Tempat itu lumayan jah dari jangkauan orang-orang karena kanan dan kirinya adalah barisan tembok ruang dekan.“Kamu ngapain sih ngajak kita ke sini?” tanya Jake setelah dia duduk.“Aku mau ngomong ser
Saat Sabrina masuk, Jake sedang mengobrol dengan Emma. Laki-laki itu berdiri di dekat ranjang sambil agak membungkuk, mendengarkan suara Emma yang mungkin masih terdengar pelan. Dia membelakangi Sabrina. Di sampingnya ada Ethan. Sementara itu, Tony berdiri di sisi ranjang yang lain sehingga dia menjadi orang yang lebih dulu mengetahui kehadiran Sabrina.Karena menyadari arah pandang Tony, Jake akhirnya menoleh.“S ... sore semua,” kata Sabrina.Tony tak menyahut. Emma juga. Yang menyahut adalah Jake. “Sore,” ujarnya pelan. Dia lalu menghadap Emma lagi.“Emma sakit apa? Habis jatuh kah?” tanya Sabrina karena dia melihat ada bekas jahitan di kening Emma sebelah kanan.“Iya,” sahut Sabrina pelan.“Sekarang udah mendingan apa masih sakit?” tanya Sabrina.“Udah mendingan kok,” sahut Emma.“Maaf ya, aku nggak sempet beliin apa-apa,” kata Sabrina.“Nggak apa-apa,” sahut Emma.Sejujurnya, Emma tidak yakin Sabrina tulus. Dia sebenarnya malas menanggapi gadis itu. Rasanya mustahil seorang Sabri
Saat jam istirahat siang, Jake dan Ethan kelimpungan mencari Tony dan Emma di kelasnya. Mereka bertanya-tanya ke mana perginya dua orang itu. Jake yang paling penasaran. Tentu saja. Setelah duduk di meja kantin, Jake lalu menelfon Emma. Karena tak ada tanggapan dari gadis itu, dia lalu menelfon Tony. “Aku yakin sih ini mereka pasti pergi berdua,” kata Jake selagi menunggu panggilannya mendapat respon dari Tony. “Kayaknya sih,” sahut Ethan sambil menyendok basonya. “Kamu bolos bareng Emma ya?” kata Jake setelah mendengar suara Tony dari seberang. “Bolos ... bolos kepalamu? Aku lagi jenguk Emma di rumah sakit,” sahut Tony. “Rumah sakit?” ulang Tony, “Emangnya Emma sakit apa?” “Ceritanya panjang. Entar juga kamu tahu sendiri kalo ke rumah sakit,” sahut Tony. “Di rumah sakit mana?” tanya Jake. “Biasa. Yang deket sama rumah Emma,” sahut Tony. “Siapa yang sakit?” tanya Ethan setelah Jake meletakan ponselnya di atas meja. “Emma,” jawab Jake. “Sakit apa?” sahut Ethan. Dia membelala