Setelah kehadiran bisikan dari penglihatan Peramal itu, tak ada yang tenang. Sampai salah seorang berseru dan menyampaikan bahwa jika mereka ingin selamat, maka ingin tidak ingin apa yang disampaikan Peramal barusan harus dilakukan. Pro dan kontra tidak luput mengambil posisi di antara mereka semua.Ada yang berpikir Luther-lah si pelaku, tetapi ada yang berpendapat orang yang bersikeras menuduh Luther inilah yang telah membunuh Petunia dan kedua orang tuanya. Karena hal itu pula, mereka justru terbagi-bagi menjadi dua regu.Semula mereka berpencar, masih ada di benak bahwa pelakunya tengah bersembunyi dan mengintai. “Aku nggak peduli, siapa pun dia harus kubunuh. Aku masih ingin pulang dari sini hidup-hidup.”Di antara mereka yang menolak bahwa pelakunya Luther, sedang membuat rencana. Mereka takkan berpencar, tetap bersama, tetapi mencoba memahami lokasi yang mungkin saja dijadikan sebagai tempat persembunyian berdasarkan tempat Petunia di bunuh.Akia bersuara, “Bagaimana kalau tern
“Nggak, jangan dulu,” sambut Luther tiba-tiba. “Jangan tembak aku sekarang, tahan senjatamu sampai seenggaknya pagi datang … Sayang. Dengan begini aku masih bisa memastikan kamu selamat sampai meninggalkan tanah terkutuk ini. Aku nggak mungkin meninggalkanmu sebelum semuanya berakhir, tapi … aku pun nggak bisa menghadapi apa yang kamu pikirkan tentangku.”Yonna menangis tersedu-sedu, dia terduduk di tangan sambil menutupi wajahnya yang basah oleh air mata. Dapat dipastikan bahwa malam telah melewati tengah, mungkin sudah hendak mencapai pagi. Mata mereka, hati mereka, kaki, semuanya telah lelah, tak sanggup menahan teror yang semakin menjadi dan menyisakan mereka.Sekonyong-konyong sebuah tepuk tangan tiba-tiba muncul dari belakang sana. Yonna mengangkat wajah dengan bingung, sedangkan Luther membeliakkan mata menatap sosok di belakang Yonna. Laki-laki itu langsung berlari dan menarik Yonna berada di belakangnya.“Kau?” kaget Luther diiringi keterkejutan Yonna.Terkekeh, Petunia terse
Di dalam sebuah kamar bernuansa klasik, duduklah seorang perempuan yang tengah memetik senar ukulele. Dari bibirnya terlantunkan kemerduan suara bersama lirik lagu penuh kebahagiaan, karya dari salah satu penyanyi pop terkemuka dunia. Meski apa yang ia nyanyikan sangat bertolak belakang dengan keadaannya saat ini, hatinya tetap berusaha tegar. Satu hal yang Yonna percaya, kebahagiaannya pasti datang suatu hari nanti. Yang harus ia lakukan adalah bertahan hingga pintu kebahagiaan itu terbuka dan mengundangnya untuk menetap atau sekadar bertamu.Menghapus bulir mutiara yang mengalir keluar, Yonna masih melanjutkan konser tunggalnya. Semua benda mati di sekitar merupakan penonton setia juga pendukungnya. Saat ingin berganti lagu, ponsel pintarnya berdering, memanggil untuk diangkat."Halo," sapanya."Ada apa dengan suaramu?" tanya seseorang di seberang dengan suara maskulin."Tidak ada apa-apa, Luther," kilah Yonna."Aku tahu kau berbohong. Masa
Sebelum Yonna memasuki kelas, Luther menyempatkan mengacak rambut hitam gadisnya. "Ish, rambutku berantakan." Yonna mencubit kecil pinggang lelaki di depannya."Sudah, masuk sana!"Perempuan itu mengangguk lalu masuk ke kelas 12-IPA 2, meninggalkan Luther yang menduduki kelas 12-IPA 1. Sampai di dalam, Yonna disambut oleh sahabatnya—Akia, yang duduk bersebelahan dengan Yonna. Gadis berkepribadian tenang itu sepertinya mengganti gaya rambut."Selamat pagi, Yonna," sapa Akia."Pagi, Ki. Udah ganti gaya rambut, nih?" tanya Yonna sambil mengaitkan tas di samping meja."Hehe, cocok tidak? Saya merasa aneh." Akia menyentuh rambut gelombangnya."Sangat cocok, kau terlihat lebih dewasa.""Dewasa atau tua?"Mendengar ucapan Akia barusan, mereka berdua tertawa singkat. "Kamu sudah menyelesaikan makalah biologi?" tanya Akia mengganti pembahasan."Sudah, untung aku tidak lupa membawanya tadi." Yon
Keesokannya, Yonna terbangun dini hari karena mimpi yang selalu menggerayanginya selama tidur. Sungguh, ia merasa lelah, tak tahu harus berbuat apa, ia hanya ingin mimpi aneh itu berhenti datang."Apa arti semua ini?" Helaaan napas panjang terbit dari bibirnya.Merasakan serak di tenggorokan, Yonna pergi ke dapur. Dahinya mengernyit saat matanya menangkap cahaya terang dari sana, biasanya lampu dapur sengaja dibuat redup ketika mereka tidur."Mama?"Yuliisa tersentak di tempat, kaget mendengar suara dari belakang tubuhnya."Yonna? Kamu mengejutkan Mama.""Maaf, Ma. Mama sedang apa di dapur Jam segini?" Bunyi air yang mengisi gelas terdengar."Mama tidak bisa tidur, kamu kenapa bangun sepagi ini?""Tiba-tiba kebangun aja, Ma."Yulissa membuang napasnya kasar. "Kamu sudah dengar kabar penembakan malam tadi?"Pupil mata Yonna melebar mendengar ucapan Mamanya."Iya, aku
"Ayo, ke parkiran!" Luther mengait tangan Yonna.Sebelum itu, Akia izin memisahkan diri. "Saya ke luar duluan, ya, sampai jumpa besok!""Tunggu, Ki. Kau hari ini dapat jam kerja sore lagi?""Tidak, Lil. Ada apa?""Pas! Sore ini belanja, yok? Bertiga!" Malilah menekankan kata 'bertiga' saat ia melihat Dovis ingin bicara."Yah, paham aja kalau aku mau ikut. Ther, kau nggak cemburu lihat pacarmu pergi bareng teman-temannya terus?" pancing Dovis."Nggak, kami kan pergi-pulang sekolah bareng. Kalau Yonna mau pergi sama teman-temannya aku nggak pernah permasalahkan, asal tujuannya jelas dan dia aman," jawab Luther santai. Tidak lupa Luther menarik kecil hidung pacarnya, mendadak membuat kedua pipi gadisnya itu bersemu malu."Aduh, sudah aku bilang jangan tebar kemesraan di depanku. Bikin sesak aja," protes Malilah."Kau bisa, kan, Ki?""Iya, bisa. Kabarin aja waktu dan tempatnya.""Nanti kalian berdua aku je
“Halo, Petunia, saya Akia Baqiya. Salam kenal, ya,” sapa Akia.Bertepatan dengan guru yang keluar, Malilah langsung meminta kedua sahabatnya mendekati Petunia, berkenalan.“Aku Yonna.”“Se-senang bertemu ka-kalian.” Petunia memerhatikan tiga orang yang mengelilinginya.“Kami juga. Em, Kau mau bareng kami ke kantin, ‘kan?” Malilah menunggu jawaban Petunia. Dengan pelan, murid pindahan tersebut mengangguk.“Ayo!” ajak Yonna.“Cie, ada personil baru,” seru Rasia.“Iya, dong. Biar pas.” Malilah memasang nada sombong.“Hati-hati, biasanya yang pendiam itu menghanyutkan,” tambah Poli.“Yon, jaga Luther, siapa tahu cewek pindahan itu peletnya kuat.”Rasia dan Poli tertawa terbahak-bahak mendengar kalimat Gisel barusan. Yonna melihat wajah Petunia berubah murung. “Sudah, mereka memang gitu, a
“Kenapa kamu belum tidur?”Yonna terkekeh mendengar kalimat pertama di panggilan suara mereka.“Kenapa ketawa?”“Aku masih belum terbiasa kau sebut pakai kamu.”“Mulai sekarang kamu harus membiasakan diri.”“Lebay, ah.”“Ck, kalau kamu nggak mau, biar aku aja.”“Hehe, nggak. Besok jadi, kan?”“Pasar malam?”“Iya, aku mau naik kapal bajak laut.”“Nanti kita duduk paling belakang.”“Yeay! Jangan muntah, ya?!”“Kamu itu yang muntah.”“Nggak!”“Iya, deh, cantikku.”“Okay! Sudah, aku mau tidur.”“Jangan ngomongnya tidur, tapi malah asik main hp.”“Nggak kebalik, pacar?”“Nggak, tidur! Satu, dua, tiga!”Yonna terkekeh, lalu mengucapka
“Nggak, jangan dulu,” sambut Luther tiba-tiba. “Jangan tembak aku sekarang, tahan senjatamu sampai seenggaknya pagi datang … Sayang. Dengan begini aku masih bisa memastikan kamu selamat sampai meninggalkan tanah terkutuk ini. Aku nggak mungkin meninggalkanmu sebelum semuanya berakhir, tapi … aku pun nggak bisa menghadapi apa yang kamu pikirkan tentangku.”Yonna menangis tersedu-sedu, dia terduduk di tangan sambil menutupi wajahnya yang basah oleh air mata. Dapat dipastikan bahwa malam telah melewati tengah, mungkin sudah hendak mencapai pagi. Mata mereka, hati mereka, kaki, semuanya telah lelah, tak sanggup menahan teror yang semakin menjadi dan menyisakan mereka.Sekonyong-konyong sebuah tepuk tangan tiba-tiba muncul dari belakang sana. Yonna mengangkat wajah dengan bingung, sedangkan Luther membeliakkan mata menatap sosok di belakang Yonna. Laki-laki itu langsung berlari dan menarik Yonna berada di belakangnya.“Kau?” kaget Luther diiringi keterkejutan Yonna.Terkekeh, Petunia terse
Setelah kehadiran bisikan dari penglihatan Peramal itu, tak ada yang tenang. Sampai salah seorang berseru dan menyampaikan bahwa jika mereka ingin selamat, maka ingin tidak ingin apa yang disampaikan Peramal barusan harus dilakukan. Pro dan kontra tidak luput mengambil posisi di antara mereka semua.Ada yang berpikir Luther-lah si pelaku, tetapi ada yang berpendapat orang yang bersikeras menuduh Luther inilah yang telah membunuh Petunia dan kedua orang tuanya. Karena hal itu pula, mereka justru terbagi-bagi menjadi dua regu.Semula mereka berpencar, masih ada di benak bahwa pelakunya tengah bersembunyi dan mengintai. “Aku nggak peduli, siapa pun dia harus kubunuh. Aku masih ingin pulang dari sini hidup-hidup.”Di antara mereka yang menolak bahwa pelakunya Luther, sedang membuat rencana. Mereka takkan berpencar, tetap bersama, tetapi mencoba memahami lokasi yang mungkin saja dijadikan sebagai tempat persembunyian berdasarkan tempat Petunia di bunuh.Akia bersuara, “Bagaimana kalau tern
Siapa yang menyangka bahwa pada hari itu garis takdir mereka berubah drastis. Apa yang sebenarnya hendak ditinggalkan, justru mengejar mereka dari belakang hingga tiba di tempat persinggahan. Yonna, Luther, Malilah, Dovis, Akia, Clovis, dan peserta lain telah ditunggu kehadirannya oleh sebuah teror berdarah.Begitu sampai di tempat yang dimaksud, mereka berbondong-bondong turun menyaksikan pemandangan yang dipenuhi oleh hutan. Terdapat sebuah perumahan kayu yang memuat sejumlah kamar, dan sebuah bangunan tunggal yang disebutkan sebagai gudang. Masing-masing mereka membawa tas memasuki kamar yang sudah dipersiapkan, para perempuan sendiri dan laki-laki sendiri. Sementara di sana, Petunia mengatakan bahwa dia mungkin akan bersama ibu dan ayahnya. Sedang perempuan itu pikirkan.Baik Yonna, Malilah, maupun Akia sebenarnya tak mempermasalahkan, begitupun yang lainnya. Bagaimanapun mereka ikut di bawah ajakan Petunia dan keluarganya.“Aku sudah nggak sabar!”“Sama!”“Pasti akan sangat seru!
Memerlukan waktu cukup lama bagi Yulissa untuk pada akhirnya memberikan izin kepada sang anak, Yonna. Dalam sekali gerakan, perempuan itu mengangguk seraya berdeham. “Kamu bersungguh-sungguh bahwa bukan hanya kalian berdua, benar?” Secepatnya Yonna mengangguk mantap, ini adalah lampu hijau baginya. Mengangkat dua jari telunjuk dari tengahnya, Yonna berkata, “Sungguh, Ma. Yonna berani bersumpah, ini tuh perjalanan regu. Merayakan Hallowen.” Yulissa kembali diam, dia melirik sejenak kepada Bibi. Dia teringat akan percakapan mereka sebelumnya, di mana kabar akan teror yang hanya terjadi di kota ini, sedangkan pada cakupan luar hampir tidak pernah terusik. Mereka berdua sempat kebingungan akan apa yang pelaku teror itu inginkan sehingga mengincar benar penduduk kota ini. Sehingga kini, Yulissa berpendapat di dalam hati, “Jika anakku berada di luar dari kota ini, tidakkah itu memberinya perlindungan secara tidak langsung? Ah, aku berharap begitu. Sungguh, aku takut jika anakku berkelia
"Beneran, Petunia?" Yonna menatap Petunia dengan terkejut, dahinya sampai mengerut, tetapi sorotnya justru ceria. Petunia tersenyum seraya mengangguk. "Be-benar, Yon. Sa-saya mengajak kalian se-semua ikut serta. Papi j-juga sudah setuju, d-dia yakin kalian ad-adalah teman baik saya." Malilah menyeringai senang. "Wih, biaya perjalanan ditanggung atau sendiri-sendiri ini?" Akia yang duduk di sebelah Malilah langsung menyenggol lengan perempuan itu sebagai teguran. Dia tersenyum meringis ke arah Petunia, Akia ingin teman baru mereka tersebut tak memikirkan serius apa yang barusan Malilah katakan. "Malilah hanya bercanda, Petunia. Kamu tidak perlu memikirkannya dengan benar-benar." "Ti-tidak masalah, Kiya. Sa-saya Juga ingin mengatakan i-itu. Papi y-yang akan menanggung semua ke-kebutuhan kalian, kita a-akan tinggal di se-sebuah villa besar. Pa-papi saya sudah me-memesannya khusus re-rencana ini
"Mungkin di dianya kali yang gangguan," balas Malilah acuh tak acuh. Yonna mengangguk mencoba memahami, bisa saja masalah sambungan sebenarnya terdapat pada ponsel Petunia. "Oke, deh. Jadi, fix ini ya, mereka sudah urus?" tanyanya sekali lagi ingin meyakinkan. Mendengar itu, Malilah mengangguk mantap. "Iya, jadi nggak usah lagi pikirin. Kita tinggal tunggu hasil, semoga aja bisa selesai secepatnya." "Semoga. Terus, liburan sekolah gimana?" Yonna berbaring di atas ranjangnya, punggung perempuan itu terasa penat. Malilah mengedikkan bahu, dia juga belum mendengar kabar terbaru mengenai masa libur sekolah. "Nggak tahu, Yon. Kalau diminta sekolah lagi, kayaknya banyak yang belum setuju. Menurutku ya, ini." Mengangguk, Yonna setuju. "Setuju, sih. Soalnya terornya cuma di kota kita. Sedangkan di kota-kota lain, nggak ada kabarnya. Aku jadi heran sendiri, punya dendam apa sih,
Yonna baru selesai membersihkan diri, dia tidak tahan dengan rasa gerah di badan. Luther sudah pulang beberapa menit yang lalu. Beruntung masalah tadi tidak berakhir panjang, dia tidak ingin bila harus bertengkar lagi dengan Luther. Kini, pertengkaran adalah hal yang paling dia hindari.Mengeringkan rambut, Yonna melirik jam di dinding. Pukul setengah tujuh. Dia kembali memandang pantulan wajahnya di cermin. Selama mengarahkan pengering rambut, tanpa sengaja mata Yonna tertuju pada ukulele kecil di belakang. Tampak kaku dan berdebu. Warna asli tidak begitu kelihatan, menampakkan dengan jelas kalau benda tersebut sudah lama tidak tersentuh.Mematikan pengering rambut, Yoona melangkah dan bergerak mengambil ukulele kesayangannya."Aish, aku suda
Memperdalam ciuman, Yonna menggigit kecil bibir Luther. Dari posisi itu, Yonna dapat merasakan senyuman terbit dari bibir kekasihnya.Melepaskan diri, keduanya meraih udara sebanyak mungkin. Dada bergerak naik dan turun. Keringat juga mengalir di pelipisnya masing-masing.Sama-sama menetralkan tatapan yang sayu, Yonna menopangkan dagunya pada pundak Luther. "Kamu beneran sudah nggak marah lagi, 'kan? Nanti sampai di rumah, tahu-tahu diemin aku lagi besoknya.""Nggak. Kenapa mikir gitu?""Kan, siapa tahu." Yonna mencari posisi yang nyaman, tetapi memberi efek yang berbeda terhadap Luther."Shh… Jangan gerak yang aneh-aneh, Cantik. Kalau bangun, gimana?"Terkekeh, Yonna akhirnya diam. "Nggak sengaja."Mengelus punggung Yonna dengan lembut, Luther mengambil remote televisi. Menghidupkan layar besar yang menem
Keluar dari restoran, mereka berencana langsung menuju kantor polisi. "Tu-tunggu, apa tidak m-masalah bila kita me-melaporkan hal ini langsung?" "Kenapa, Ki? Biasanya kan, orang-orang langsung laporan ke sana," ujar Malilah bingung. "Ho-oh, memangnya mau ke mana lagi?" tanya Dovis. "S-saya takut ki-kita dianggap mempermainkan m-mereka." "Jangan takut, Petunia. Maka dari itu bagusnya kita langsung laporan sama mereka, kita kan bawa barang bukti. Kalau tadi lewat telepon, baru deh, mereka berhak curiga." Malilah membenarkan ucapan Yonna. "Betul, tuh. Kalau kita langsung ngomong empat mata, polisi di sana bisa aja nilai sendiri kita ini bohong apa nggak." Petunia mengangguk paham, sebenarnya ia ingin menawarkan untuk menghubungi salah satu aparat yang Papinya kenal. Agar lebih mudah dan nyaman. "Memangnya kamu ingin menggunakan cara apa selain yang tadi, Petunia?" Akia membenarkan letak tas selempangnya. "Sa-