Di dalam sebuah kamar bernuansa klasik, duduklah seorang perempuan yang tengah memetik senar ukulele. Dari bibirnya terlantunkan kemerduan suara bersama lirik lagu penuh kebahagiaan, karya dari salah satu penyanyi pop terkemuka dunia. Meski apa yang ia nyanyikan sangat bertolak belakang dengan keadaannya saat ini, hatinya tetap berusaha tegar. Satu hal yang Yonna percaya, kebahagiaannya pasti datang suatu hari nanti. Yang harus ia lakukan adalah bertahan hingga pintu kebahagiaan itu terbuka dan mengundangnya untuk menetap atau sekadar bertamu.
Menghapus bulir mutiara yang mengalir keluar, Yonna masih melanjutkan konser tunggalnya. Semua benda mati di sekitar merupakan penonton setia juga pendukungnya. Saat ingin berganti lagu, ponsel pintarnya berdering, memanggil untuk diangkat.
"Halo," sapanya.
"Ada apa dengan suaramu?" tanya seseorang di seberang dengan suara maskulin.
"Tidak ada apa-apa, Luther," kilah Yonna.
"Aku tahu kau berbohong. Masalah itu lagi?" ucap Luther dengan nada melembut penuh perhatian.
"Iya, biarkan saja. Ada apa jam segini menelepon?" Yonna meletakkan ukulelenya di atas meja belajar, kemudian berjalan menuju tempat tidur.
"Hm? Adakah larangan menghubungi pacar di jam sebelas malam?" ujar Luther yang justru mendapati decakan dari Yonna—pacarnya.
"Apaan!" Yonna menduduki kasurnya dengan wajah memerah.
Terdengar kekehan dari pengeras suara. "Bisakah kau kirimkan foto wajahmu saat ini?"
"Tidak."
"Kenapa? Karena pipimu bersemu merah?" tebak Luther yang semakin membuat pipi pacarnya memerah. Yonna dapat merasakan seringaian Luther dari sini.
"Luther! Jika kau menelepon hanya untuk menggodaku, pergilah."
Percayalah, Yonna tidak bermaksud mengusir. Lelaki yang sudah berpacaran dengannya selama enam bulan itu tertawa mendapati balasan ketus Yonna.
"Jangan marah, cantik. Aku takut tukang kebun melihat wajahmu."
"Tukang kebun? Pak Gading? Kenapa?" Dahi Yonna terlipat mendengarnya.
"Nanti dia pingsan karena kau terlalu imut, kasihan istrinya."
"Apaan, Luther! Itu sama sekali tidak bekerja. Pak Gading bahkan pasti sedang tertidur sekarang."
"Bagaimana kau tahu? Apa kau baru saja memeriksanya? Beraninya kau."
"He, tidak."
"Benarkah?"
"Iya, apa gunanya aku memeriksa."
"Hm."
"Ck, kenapa jadi bahas Pak Gading?"
"Entah."
Yonna menghela napas dan bertanya, "Kenapa kau belum tidur?"
"Karena kau belum tidur, cantik. Apa saja yang kau lakukan?"
"Tidak ada, hanya duduk."
"Kalau begitu berbaringlah sekarang dan tutup matamu," titah Luther.
"Sudah," ucap Yonna setelah berbaring. Sebelum menutup mata, ia mematikan lampu tidur terlebih dahulu.
"Yakin?"
"Hm," gumam Yonna.
"Tidur!" pinta Luther tanpa penolakan.
Tidak terdengar respon dari pacarnya, Luther mendekatkan ponsel ke telinga. Tak lama, dia mendapati deru napas yang teratur. Menandakan bahwa gadisnya baru saja tertidur. Membiarkan keadaan itu berlangsung setengah jam, akhirnya lelaki tampan itu menutup panggilan.
Dalam hubungan mereka, Luther merasa bersyukur menjadikan Yonna sebagai gadisnya. Luther memiliki kekuatan yang juga sekaligus menjadi kekuatan bagi gadis rapuhnya itu.
Luther berjalan menuju balkon kamar, merogoh bungkus rokok dari saku celana. Selepas membakar ujung rokok dengan pemantik, Luther menghisap dalam-dalam gulungan tembakau. Inilah salah satu dari caranya menghangatkan tubuh, membaui asap mentol, menikmati malam yang sunyi.
/////
Yonna bergerak gelisah dalam tidur, mimpi buruk terus saja menghantui setiap malamnya. Peluh bertebaran di seluruh wajah tirusnya, dahinya pun ikut memanas. Yonna mulai menggumamkan beragam kata, samar-samar, dan tidak jelas. Ia tersentak dari tidur, napasnya tersengal-sengal. Sayang sekali, ketika bangun ia sulit mengingat rekaman dari mimpinya selain satu warna, merah.
"Merah, merah, merah! Sebenarnya mimpi apa itu?!" Yonna berteriak kesal.
"Sulit sekali mengingatnya!"
Satu tangan Yonna menyeka peluh, melirik jendela yang menangkap cahaya matahari pagi dari luar. Ia menoleh menatap nakas, di sana tergeletak sebuah jam yang sedang menunjuk angka enam. Seperti biasa, untuk menghapus kekesalannya, Yonna akan pergi ke kamar mandi guna menyegarkan diri. Harap-harap teror dari sang mimpi ikut luruh bersama air dan memasuki pembuangan.
Selesai bersiap dengan seragam sekolah, Yonna turun ke ruang makan. Ia mengambil roti lapis isi selai kacang, kemudian duduk. Mama Yonna—Yulissa—datang membawa segelas susu hangat.
"Mama pulang telat malam ini, jadi Mama sudah pesankan ke Bibi agar masak untuk kamu saja." Yulissa tersenyum ke anak semata wayangnya itu.
"Ayah juga pulang telat?"
"Tentu saja, Ayahmu selalu pulang larut malam, kan?" Terselip nada ketus dalam kalimat yang terlontar barusan.
"Baiklah."
"Kamu bisa mengundang teman-temanmu kemari atau pergi berbelanja, asal jangan sampai lupa waktu."
"Iya, Ma. Jangan khawatir."
Yulissa mengelus puncak kepala Yonna, rambutnya lurus turunan dari Yulissa sendiri. Mata lentik dan hidung yang mancung juga menuruti Yulissa, sedangkan tinggi dan bentuk tubuh yang kurus merupakan turunan ayahnya.
"Mama berangkat dulu, ya? Kamu yang benar sekolahnya!"
"Iya, Ma. Hati-hati di jalan!"
Yonna memandangi mamanya yang meninggalkan meja makan. Saat hendak meminum tegukan terakhir, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Luther baru saja masuk, tertera dia sudah menunggu di depan rumah. Dengan berlari kecil, Yonna sampai di luar gerbang depan rumah. Menyadari kehadiran Yonna, Luther membuka kaca helm, tangan kanannya mengambil helm lain yang biasa dia bawa khusus untuk gadisnya.
"Maaf, lama." Yonna menerima helm dari Luther.
"Santai. Ayo, naik!" titah lelaki pemilik kepopuleran di SMA Wondrous—sekolah mereka. Setelah Luther merasakan Yonna menggenggam kedua sisi jaketnya, barulah dia memacu motor.
Sebelum Yonna memasuki kelas, Luther menyempatkan mengacak rambut hitam gadisnya. "Ish, rambutku berantakan." Yonna mencubit kecil pinggang lelaki di depannya."Sudah, masuk sana!"Perempuan itu mengangguk lalu masuk ke kelas 12-IPA 2, meninggalkan Luther yang menduduki kelas 12-IPA 1. Sampai di dalam, Yonna disambut oleh sahabatnya—Akia, yang duduk bersebelahan dengan Yonna. Gadis berkepribadian tenang itu sepertinya mengganti gaya rambut."Selamat pagi, Yonna," sapa Akia."Pagi, Ki. Udah ganti gaya rambut, nih?" tanya Yonna sambil mengaitkan tas di samping meja."Hehe, cocok tidak? Saya merasa aneh." Akia menyentuh rambut gelombangnya."Sangat cocok, kau terlihat lebih dewasa.""Dewasa atau tua?"Mendengar ucapan Akia barusan, mereka berdua tertawa singkat. "Kamu sudah menyelesaikan makalah biologi?" tanya Akia mengganti pembahasan."Sudah, untung aku tidak lupa membawanya tadi." Yon
Keesokannya, Yonna terbangun dini hari karena mimpi yang selalu menggerayanginya selama tidur. Sungguh, ia merasa lelah, tak tahu harus berbuat apa, ia hanya ingin mimpi aneh itu berhenti datang."Apa arti semua ini?" Helaaan napas panjang terbit dari bibirnya.Merasakan serak di tenggorokan, Yonna pergi ke dapur. Dahinya mengernyit saat matanya menangkap cahaya terang dari sana, biasanya lampu dapur sengaja dibuat redup ketika mereka tidur."Mama?"Yuliisa tersentak di tempat, kaget mendengar suara dari belakang tubuhnya."Yonna? Kamu mengejutkan Mama.""Maaf, Ma. Mama sedang apa di dapur Jam segini?" Bunyi air yang mengisi gelas terdengar."Mama tidak bisa tidur, kamu kenapa bangun sepagi ini?""Tiba-tiba kebangun aja, Ma."Yulissa membuang napasnya kasar. "Kamu sudah dengar kabar penembakan malam tadi?"Pupil mata Yonna melebar mendengar ucapan Mamanya."Iya, aku
"Ayo, ke parkiran!" Luther mengait tangan Yonna.Sebelum itu, Akia izin memisahkan diri. "Saya ke luar duluan, ya, sampai jumpa besok!""Tunggu, Ki. Kau hari ini dapat jam kerja sore lagi?""Tidak, Lil. Ada apa?""Pas! Sore ini belanja, yok? Bertiga!" Malilah menekankan kata 'bertiga' saat ia melihat Dovis ingin bicara."Yah, paham aja kalau aku mau ikut. Ther, kau nggak cemburu lihat pacarmu pergi bareng teman-temannya terus?" pancing Dovis."Nggak, kami kan pergi-pulang sekolah bareng. Kalau Yonna mau pergi sama teman-temannya aku nggak pernah permasalahkan, asal tujuannya jelas dan dia aman," jawab Luther santai. Tidak lupa Luther menarik kecil hidung pacarnya, mendadak membuat kedua pipi gadisnya itu bersemu malu."Aduh, sudah aku bilang jangan tebar kemesraan di depanku. Bikin sesak aja," protes Malilah."Kau bisa, kan, Ki?""Iya, bisa. Kabarin aja waktu dan tempatnya.""Nanti kalian berdua aku je
“Halo, Petunia, saya Akia Baqiya. Salam kenal, ya,” sapa Akia.Bertepatan dengan guru yang keluar, Malilah langsung meminta kedua sahabatnya mendekati Petunia, berkenalan.“Aku Yonna.”“Se-senang bertemu ka-kalian.” Petunia memerhatikan tiga orang yang mengelilinginya.“Kami juga. Em, Kau mau bareng kami ke kantin, ‘kan?” Malilah menunggu jawaban Petunia. Dengan pelan, murid pindahan tersebut mengangguk.“Ayo!” ajak Yonna.“Cie, ada personil baru,” seru Rasia.“Iya, dong. Biar pas.” Malilah memasang nada sombong.“Hati-hati, biasanya yang pendiam itu menghanyutkan,” tambah Poli.“Yon, jaga Luther, siapa tahu cewek pindahan itu peletnya kuat.”Rasia dan Poli tertawa terbahak-bahak mendengar kalimat Gisel barusan. Yonna melihat wajah Petunia berubah murung. “Sudah, mereka memang gitu, a
“Kenapa kamu belum tidur?”Yonna terkekeh mendengar kalimat pertama di panggilan suara mereka.“Kenapa ketawa?”“Aku masih belum terbiasa kau sebut pakai kamu.”“Mulai sekarang kamu harus membiasakan diri.”“Lebay, ah.”“Ck, kalau kamu nggak mau, biar aku aja.”“Hehe, nggak. Besok jadi, kan?”“Pasar malam?”“Iya, aku mau naik kapal bajak laut.”“Nanti kita duduk paling belakang.”“Yeay! Jangan muntah, ya?!”“Kamu itu yang muntah.”“Nggak!”“Iya, deh, cantikku.”“Okay! Sudah, aku mau tidur.”“Jangan ngomongnya tidur, tapi malah asik main hp.”“Nggak kebalik, pacar?”“Nggak, tidur! Satu, dua, tiga!”Yonna terkekeh, lalu mengucapka
“Lilah! Gimana caranya bawa bonekamu yang sebesar ini?” tanya Kak Maya—kakak Malilah—ketika menyusul adek satu-satunya itu.“Bonceng tiga,” sahut Yonna.“Bonceng tiga gimana? Si Lilah mau ditaruh di mana? Roda?” Kak Maya tertawa kecil membayangkan adeknya berputar-putar di ban motor.“Tega banget jadi Kakak, masa adeknya yang mau disimpan di ban,” ucap Malilah kesal.“Tenang, kakak ipar. Nanti bonekanya aku yang bawa.”“Kakak ipar, apanya? Masih kecil juga, masih SMA! Main sebut kakak ipar aja,” cerocos Kak Maya galak.“Aduh, adek kakak sama aja galaknya,” gumam Dovis.“Bercanda, kok, Kak Maya. Jangan dibawa serius, lah,” sambungnya.“Kak May, ikut makan bareng kita, yok. Bakso beranak,” ajak Yonna.“Wih, bakso beranak, nggak sekalian cucunya, nih? Hayuk, lah,” terima Kak M
"Bagaimana ini?" gumam Yonna kebingungan sembari kakinya terus berlari. Tanpa pertimbangan apa pun, Yonna menarik lengan Petunia yang mengambang di udara, menggapai tangannya. Karena merasa tarikan semakin memberat, wanita berkapak tersebut menoleh ke belakang. Ia menggeram, tapi kemudian senyum iblis tercetak di wajahnya. Kenapa tidak? Tidak perlu melempar umpan ke-dua, sasaran datang dengan sendirinya. "Lepaskan dia, monster!" seru Yonna sambil terus menarik Petunia terlepas dari pegangan yang ia sebut monster. Meskipun si wanita berkapak tidak bergerak sedikitpun, tawa darinya seakan menekan diri Yonna ke permukaan tanah. Meneror melalui tawa. Dengan kepala terangkat ke atas, muka yang dipenuhi darah korban itu tak berhenti menampakkan kesenangan, gelakannya semakin mengeras. "Kenapa kau peduli?" tanya wanita itu dengan pancaran yang lebih menyeramkan. "A
Mengendalikan setang motor, gas ditarik kuat, membawa pengendaranya menjauh dari lokasi semula. Memacu kendaraan secepat mungkin, meninggalkan kejadian yang mengait habis ketenangan. Di belakang Luther, Yonna melakukan panggilan suara ke Yulissa—mamanya, melaporkan bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja. Ternyata berita menyebar dengan cepat, Mama Yonna yang mengetahui ke mana anaknya itu pergi, melakukan banyak sekali panggilan suara yang tentu saja tidak mendapat respons dari Yonna. Setelah menyimpan ponsel ke dalam tas, ia kembali memeluk tubuh Luther, erat. Yonna masih bisa merasakan amarah yang meredam di dalam tubuh Luther. Tentu saja pemuda itu khawatir dengan kondisi kekasihnya. Beruntung setelah menelepon pihak kepolisian, Luther menemukan senjata api di pos pengamanan. Meski Luther sempat kesulitan menemukan keberadaan Yonna, dia beruntung berhasil muncul di waktu yang tepat. Sangat tidak bisa dibayangkan bagaimana jika Luther ter
“Nggak, jangan dulu,” sambut Luther tiba-tiba. “Jangan tembak aku sekarang, tahan senjatamu sampai seenggaknya pagi datang … Sayang. Dengan begini aku masih bisa memastikan kamu selamat sampai meninggalkan tanah terkutuk ini. Aku nggak mungkin meninggalkanmu sebelum semuanya berakhir, tapi … aku pun nggak bisa menghadapi apa yang kamu pikirkan tentangku.”Yonna menangis tersedu-sedu, dia terduduk di tangan sambil menutupi wajahnya yang basah oleh air mata. Dapat dipastikan bahwa malam telah melewati tengah, mungkin sudah hendak mencapai pagi. Mata mereka, hati mereka, kaki, semuanya telah lelah, tak sanggup menahan teror yang semakin menjadi dan menyisakan mereka.Sekonyong-konyong sebuah tepuk tangan tiba-tiba muncul dari belakang sana. Yonna mengangkat wajah dengan bingung, sedangkan Luther membeliakkan mata menatap sosok di belakang Yonna. Laki-laki itu langsung berlari dan menarik Yonna berada di belakangnya.“Kau?” kaget Luther diiringi keterkejutan Yonna.Terkekeh, Petunia terse
Setelah kehadiran bisikan dari penglihatan Peramal itu, tak ada yang tenang. Sampai salah seorang berseru dan menyampaikan bahwa jika mereka ingin selamat, maka ingin tidak ingin apa yang disampaikan Peramal barusan harus dilakukan. Pro dan kontra tidak luput mengambil posisi di antara mereka semua.Ada yang berpikir Luther-lah si pelaku, tetapi ada yang berpendapat orang yang bersikeras menuduh Luther inilah yang telah membunuh Petunia dan kedua orang tuanya. Karena hal itu pula, mereka justru terbagi-bagi menjadi dua regu.Semula mereka berpencar, masih ada di benak bahwa pelakunya tengah bersembunyi dan mengintai. “Aku nggak peduli, siapa pun dia harus kubunuh. Aku masih ingin pulang dari sini hidup-hidup.”Di antara mereka yang menolak bahwa pelakunya Luther, sedang membuat rencana. Mereka takkan berpencar, tetap bersama, tetapi mencoba memahami lokasi yang mungkin saja dijadikan sebagai tempat persembunyian berdasarkan tempat Petunia di bunuh.Akia bersuara, “Bagaimana kalau tern
Siapa yang menyangka bahwa pada hari itu garis takdir mereka berubah drastis. Apa yang sebenarnya hendak ditinggalkan, justru mengejar mereka dari belakang hingga tiba di tempat persinggahan. Yonna, Luther, Malilah, Dovis, Akia, Clovis, dan peserta lain telah ditunggu kehadirannya oleh sebuah teror berdarah.Begitu sampai di tempat yang dimaksud, mereka berbondong-bondong turun menyaksikan pemandangan yang dipenuhi oleh hutan. Terdapat sebuah perumahan kayu yang memuat sejumlah kamar, dan sebuah bangunan tunggal yang disebutkan sebagai gudang. Masing-masing mereka membawa tas memasuki kamar yang sudah dipersiapkan, para perempuan sendiri dan laki-laki sendiri. Sementara di sana, Petunia mengatakan bahwa dia mungkin akan bersama ibu dan ayahnya. Sedang perempuan itu pikirkan.Baik Yonna, Malilah, maupun Akia sebenarnya tak mempermasalahkan, begitupun yang lainnya. Bagaimanapun mereka ikut di bawah ajakan Petunia dan keluarganya.“Aku sudah nggak sabar!”“Sama!”“Pasti akan sangat seru!
Memerlukan waktu cukup lama bagi Yulissa untuk pada akhirnya memberikan izin kepada sang anak, Yonna. Dalam sekali gerakan, perempuan itu mengangguk seraya berdeham. “Kamu bersungguh-sungguh bahwa bukan hanya kalian berdua, benar?” Secepatnya Yonna mengangguk mantap, ini adalah lampu hijau baginya. Mengangkat dua jari telunjuk dari tengahnya, Yonna berkata, “Sungguh, Ma. Yonna berani bersumpah, ini tuh perjalanan regu. Merayakan Hallowen.” Yulissa kembali diam, dia melirik sejenak kepada Bibi. Dia teringat akan percakapan mereka sebelumnya, di mana kabar akan teror yang hanya terjadi di kota ini, sedangkan pada cakupan luar hampir tidak pernah terusik. Mereka berdua sempat kebingungan akan apa yang pelaku teror itu inginkan sehingga mengincar benar penduduk kota ini. Sehingga kini, Yulissa berpendapat di dalam hati, “Jika anakku berada di luar dari kota ini, tidakkah itu memberinya perlindungan secara tidak langsung? Ah, aku berharap begitu. Sungguh, aku takut jika anakku berkelia
"Beneran, Petunia?" Yonna menatap Petunia dengan terkejut, dahinya sampai mengerut, tetapi sorotnya justru ceria. Petunia tersenyum seraya mengangguk. "Be-benar, Yon. Sa-saya mengajak kalian se-semua ikut serta. Papi j-juga sudah setuju, d-dia yakin kalian ad-adalah teman baik saya." Malilah menyeringai senang. "Wih, biaya perjalanan ditanggung atau sendiri-sendiri ini?" Akia yang duduk di sebelah Malilah langsung menyenggol lengan perempuan itu sebagai teguran. Dia tersenyum meringis ke arah Petunia, Akia ingin teman baru mereka tersebut tak memikirkan serius apa yang barusan Malilah katakan. "Malilah hanya bercanda, Petunia. Kamu tidak perlu memikirkannya dengan benar-benar." "Ti-tidak masalah, Kiya. Sa-saya Juga ingin mengatakan i-itu. Papi y-yang akan menanggung semua ke-kebutuhan kalian, kita a-akan tinggal di se-sebuah villa besar. Pa-papi saya sudah me-memesannya khusus re-rencana ini
"Mungkin di dianya kali yang gangguan," balas Malilah acuh tak acuh. Yonna mengangguk mencoba memahami, bisa saja masalah sambungan sebenarnya terdapat pada ponsel Petunia. "Oke, deh. Jadi, fix ini ya, mereka sudah urus?" tanyanya sekali lagi ingin meyakinkan. Mendengar itu, Malilah mengangguk mantap. "Iya, jadi nggak usah lagi pikirin. Kita tinggal tunggu hasil, semoga aja bisa selesai secepatnya." "Semoga. Terus, liburan sekolah gimana?" Yonna berbaring di atas ranjangnya, punggung perempuan itu terasa penat. Malilah mengedikkan bahu, dia juga belum mendengar kabar terbaru mengenai masa libur sekolah. "Nggak tahu, Yon. Kalau diminta sekolah lagi, kayaknya banyak yang belum setuju. Menurutku ya, ini." Mengangguk, Yonna setuju. "Setuju, sih. Soalnya terornya cuma di kota kita. Sedangkan di kota-kota lain, nggak ada kabarnya. Aku jadi heran sendiri, punya dendam apa sih,
Yonna baru selesai membersihkan diri, dia tidak tahan dengan rasa gerah di badan. Luther sudah pulang beberapa menit yang lalu. Beruntung masalah tadi tidak berakhir panjang, dia tidak ingin bila harus bertengkar lagi dengan Luther. Kini, pertengkaran adalah hal yang paling dia hindari.Mengeringkan rambut, Yonna melirik jam di dinding. Pukul setengah tujuh. Dia kembali memandang pantulan wajahnya di cermin. Selama mengarahkan pengering rambut, tanpa sengaja mata Yonna tertuju pada ukulele kecil di belakang. Tampak kaku dan berdebu. Warna asli tidak begitu kelihatan, menampakkan dengan jelas kalau benda tersebut sudah lama tidak tersentuh.Mematikan pengering rambut, Yoona melangkah dan bergerak mengambil ukulele kesayangannya."Aish, aku suda
Memperdalam ciuman, Yonna menggigit kecil bibir Luther. Dari posisi itu, Yonna dapat merasakan senyuman terbit dari bibir kekasihnya.Melepaskan diri, keduanya meraih udara sebanyak mungkin. Dada bergerak naik dan turun. Keringat juga mengalir di pelipisnya masing-masing.Sama-sama menetralkan tatapan yang sayu, Yonna menopangkan dagunya pada pundak Luther. "Kamu beneran sudah nggak marah lagi, 'kan? Nanti sampai di rumah, tahu-tahu diemin aku lagi besoknya.""Nggak. Kenapa mikir gitu?""Kan, siapa tahu." Yonna mencari posisi yang nyaman, tetapi memberi efek yang berbeda terhadap Luther."Shh… Jangan gerak yang aneh-aneh, Cantik. Kalau bangun, gimana?"Terkekeh, Yonna akhirnya diam. "Nggak sengaja."Mengelus punggung Yonna dengan lembut, Luther mengambil remote televisi. Menghidupkan layar besar yang menem
Keluar dari restoran, mereka berencana langsung menuju kantor polisi. "Tu-tunggu, apa tidak m-masalah bila kita me-melaporkan hal ini langsung?" "Kenapa, Ki? Biasanya kan, orang-orang langsung laporan ke sana," ujar Malilah bingung. "Ho-oh, memangnya mau ke mana lagi?" tanya Dovis. "S-saya takut ki-kita dianggap mempermainkan m-mereka." "Jangan takut, Petunia. Maka dari itu bagusnya kita langsung laporan sama mereka, kita kan bawa barang bukti. Kalau tadi lewat telepon, baru deh, mereka berhak curiga." Malilah membenarkan ucapan Yonna. "Betul, tuh. Kalau kita langsung ngomong empat mata, polisi di sana bisa aja nilai sendiri kita ini bohong apa nggak." Petunia mengangguk paham, sebenarnya ia ingin menawarkan untuk menghubungi salah satu aparat yang Papinya kenal. Agar lebih mudah dan nyaman. "Memangnya kamu ingin menggunakan cara apa selain yang tadi, Petunia?" Akia membenarkan letak tas selempangnya. "Sa-