"Ayo, ke parkiran!" Luther mengait tangan Yonna.
Sebelum itu, Akia izin memisahkan diri. "Saya ke luar duluan, ya, sampai jumpa besok!"
"Tunggu, Ki. Kau hari ini dapat jam kerja sore lagi?"
"Tidak, Lil. Ada apa?"
"Pas! Sore ini belanja, yok? Bertiga!" Malilah menekankan kata 'bertiga' saat ia melihat Dovis ingin bicara.
"Yah, paham aja kalau aku mau ikut. Ther, kau nggak cemburu lihat pacarmu pergi bareng teman-temannya terus?" pancing Dovis.
"Nggak, kami kan pergi-pulang sekolah bareng. Kalau Yonna mau pergi sama teman-temannya aku nggak pernah permasalahkan, asal tujuannya jelas dan dia aman," jawab Luther santai. Tidak lupa Luther menarik kecil hidung pacarnya, mendadak membuat kedua pipi gadisnya itu bersemu malu.
"Aduh, sudah aku bilang jangan tebar kemesraan di depanku. Bikin sesak aja," protes Malilah.
"Kau bisa, kan, Ki?"
"Iya, bisa. Kabarin aja waktu dan tempatnya."
"Nanti kalian berdua aku jemput!" Malilah mengeluarkan kunci mobilnya.
"Wah, sip!"
Setelah menyetujui rencana, mereka berpisah.
/////
“Yep, sudah sampai sahabatku.” Malilah menarik rem tangan mobilnya.
“Mau ke mana dulu, nih? Atasan, bawahan, kakian?” tawar Yonna bercanda.
“Tidak jadi menonton?”
“Astaga, lupa! Ayo, cepat. Keburu mulai filmnya.” Malilah menarik dua sahabatnya memasuki pusat perbelanjaan.
“Permisi, Mbak. Kami mau beli tiket film The Protectors,” ucap Malilah sembari merogoh tasnya, mengambil uang.
“Mohon maaf, Kakak sekalian, penayangan film tersebut sudah usai dua jam yang lalu.”
“Apa?” Yonna menatap Akia bingung.
“Loh? Bukannya baru mau mulai, ya, Mbak?”
“The Protectors dijadwalkan tayang pukul 14:00 siang tadi, Kak.”
“Lil, gimana, sih?”
“Jam dua siang, Mbak?” tanya Malilah memastikan.
“Benar, Kak.”
“A-aduh, kayaknya aku salah baca jadwalnya, deh.”
“Bisa-bisanya kau salah baca.” Yonna tertawa.
“Ya, maaf.”
“Nggak apa-apa, santai. Jadi kau mau nonton yang lain atau gimana?”
“Jalan aja, yok? Aku Cuma pengen film tadi, mangkanya ajak kemari. Eh, salah jadwal.” Malilah menggaruk belakang telinganya.
“Lain kali, kamu harus lebih berhati-hati,” peringat Akia.
“Iya, Ki. Sekarang ke toko baju aja, mau?”
Akia dan Yonna mengangguk pertanda setuju.
“Kami permisi dulu, Kak. Maaf merepotkan,” ujar Yonna sebelum akhirnya mereka bertiga menelusuri setiap toko yang memikat pandangan.
“Berhenti,” pinta Malilah, “itu Siri, kan?” sambungnya.
“Masa? Kok, peluk om-om?”
“Nah itu dia, katanya Siri nggak punya keluarga lagi.”
“Perasaan, pagi tadi Siri izin libur karena sakit,” ujar Akia.
“Tapi dilihat dari tingkahnya, nggak mirip Siri.”
“Kebetulan serupa fisik, mungkin?” Akia berpikir positif.
“Iya, kembar tak serupa, kali. Lagian suratnya langsung dari rumah sakit, bakal rawat inap selama tiga hari. Nggak mungkin beberapa jam dirawat langsung keliling mal.”
Keduanya membenarkan ucapan Yonna, lalu memilih untuk mengabaikan kejadian barusan dan melanjutkan acara belanja yang sempat tertunda.
/////
Yonna memasuki ruangan kelas, ternyata kelompok penggosip—Rasia, Poli, dan Gisel—membawa kabar terbaru.
“Dari sekolah mana?” tanya Malika, cowok yang memiliki suara emas dan juga menguasai banyak alat musik.
“SMA Merah Putih,” jawab Rasia. Bulu matanya yang panjang karena maskara, naik turun melambai-lambai.
“Kayaknya, dia takut jadi korban berikutnya,” duga Gisel.
“Oi, korban apa nih?” Malilah yang baru datang langsung menyerobot masuk pembicaraan mereka.
“Apaan, sih. Ikut-ikut, aja,” kesal Poli.
“Ye, jangan marah. Kan, aku juga mau tahu,” ujar Malilah setelah menyimpan tasnya.
“Aku juga penasaran, korban apa?” tanya Dovis tiba-tiba.
“Hari ini, kita bakal kedatangan murid baru dari SMA Merah Putih.”
“Oh, ya? Kalian tahu dari mana?”
“Kami kan, punya banyak narasumber,” sombong Rasia.
“Hm. Iyalah, narasumber.”
“Terus hubungannya sama takut jadi korban apa?” tanya Dovis melipat kedua tangannya.
“Kayaknya kalian belum tahu berita terbaru dari sana.”
Malilah menatap Poli bingung. “Berita apa memangnya?”
“Bunuh diri.” Poli mencoba menebarkan kesan horor.
Yonna yang semula tidak begitu tertarik, langsung menajamkan pendengaran.
“Hah?! Ada lagi?” tanya Dovis histeris.
“Jam sepuluh malam tadi, ada anak kelas 12 yang lompat dari lantai empat sekolah.”
“Terus, dia dikenal sebagai anak penyakitan. Dalam seminggu dia nggak pernah nggak sakit, kalau bukan anak orang kaya pasti sudah didepak. Banyak banget liburnya,” Gisel melanjutkan penjelasan Rasia.
“Nyolot lagi,” Poli berucap agak kesal.
“Nyolot gimana?” tanya Malika.
“Iya. Kalau dia ngomong nggak pernah disaring dulu, sudah tahu salah masih aja ngeyel. Jelek lagi, wajar banyak yang benci sama dia.”
“Tidak baik berbicara seperti itu, Rasia,” timpal Akia memperingati.
“Kesel aku,” ujar Rasia.
“Bubar! Ibu Grase sudah di kelas sebelah,” pinta ketua kelas.
Semua murid yang tidak berada di tempatnya, mulai berlari kembali ke kursi masing-masing. Sesaat kemudian, ibu Grase yang juga wali kelas masuk bersama gadis yang tampak seumuran dengan mereka.
“Selamat pagi, anak-anak.”
“Selama pagi, Bu!”
“Hari ini kelas kita kedatangan murid pindahan. Nak, silakan perkenalkan diri kamu,” ucap ibu Grase mempersilahkan.
“Ha-hai!” sapanya canggung.
“Halo!”
“Pe-perkenalkan, nama say-ya Petunia Martin-nez. Saya pindahan da-dari SMA Me-merah Putih,” ujarnya kaku dan terbata-bata.
“Santai, jangan gugup!” teriak Dovis dari belakang.
“Kenapa kau pindah sekolah?” celetuk Poli.
“E-em, saya han-nya mengikuti u-ucapan Papi, demi ke-keselamatan sa-saya.”
“Halo, Petunia, saya Akia Baqiya. Salam kenal, ya,” sapa Akia.Bertepatan dengan guru yang keluar, Malilah langsung meminta kedua sahabatnya mendekati Petunia, berkenalan.“Aku Yonna.”“Se-senang bertemu ka-kalian.” Petunia memerhatikan tiga orang yang mengelilinginya.“Kami juga. Em, Kau mau bareng kami ke kantin, ‘kan?” Malilah menunggu jawaban Petunia. Dengan pelan, murid pindahan tersebut mengangguk.“Ayo!” ajak Yonna.“Cie, ada personil baru,” seru Rasia.“Iya, dong. Biar pas.” Malilah memasang nada sombong.“Hati-hati, biasanya yang pendiam itu menghanyutkan,” tambah Poli.“Yon, jaga Luther, siapa tahu cewek pindahan itu peletnya kuat.”Rasia dan Poli tertawa terbahak-bahak mendengar kalimat Gisel barusan. Yonna melihat wajah Petunia berubah murung. “Sudah, mereka memang gitu, a
“Kenapa kamu belum tidur?”Yonna terkekeh mendengar kalimat pertama di panggilan suara mereka.“Kenapa ketawa?”“Aku masih belum terbiasa kau sebut pakai kamu.”“Mulai sekarang kamu harus membiasakan diri.”“Lebay, ah.”“Ck, kalau kamu nggak mau, biar aku aja.”“Hehe, nggak. Besok jadi, kan?”“Pasar malam?”“Iya, aku mau naik kapal bajak laut.”“Nanti kita duduk paling belakang.”“Yeay! Jangan muntah, ya?!”“Kamu itu yang muntah.”“Nggak!”“Iya, deh, cantikku.”“Okay! Sudah, aku mau tidur.”“Jangan ngomongnya tidur, tapi malah asik main hp.”“Nggak kebalik, pacar?”“Nggak, tidur! Satu, dua, tiga!”Yonna terkekeh, lalu mengucapka
“Lilah! Gimana caranya bawa bonekamu yang sebesar ini?” tanya Kak Maya—kakak Malilah—ketika menyusul adek satu-satunya itu.“Bonceng tiga,” sahut Yonna.“Bonceng tiga gimana? Si Lilah mau ditaruh di mana? Roda?” Kak Maya tertawa kecil membayangkan adeknya berputar-putar di ban motor.“Tega banget jadi Kakak, masa adeknya yang mau disimpan di ban,” ucap Malilah kesal.“Tenang, kakak ipar. Nanti bonekanya aku yang bawa.”“Kakak ipar, apanya? Masih kecil juga, masih SMA! Main sebut kakak ipar aja,” cerocos Kak Maya galak.“Aduh, adek kakak sama aja galaknya,” gumam Dovis.“Bercanda, kok, Kak Maya. Jangan dibawa serius, lah,” sambungnya.“Kak May, ikut makan bareng kita, yok. Bakso beranak,” ajak Yonna.“Wih, bakso beranak, nggak sekalian cucunya, nih? Hayuk, lah,” terima Kak M
"Bagaimana ini?" gumam Yonna kebingungan sembari kakinya terus berlari. Tanpa pertimbangan apa pun, Yonna menarik lengan Petunia yang mengambang di udara, menggapai tangannya. Karena merasa tarikan semakin memberat, wanita berkapak tersebut menoleh ke belakang. Ia menggeram, tapi kemudian senyum iblis tercetak di wajahnya. Kenapa tidak? Tidak perlu melempar umpan ke-dua, sasaran datang dengan sendirinya. "Lepaskan dia, monster!" seru Yonna sambil terus menarik Petunia terlepas dari pegangan yang ia sebut monster. Meskipun si wanita berkapak tidak bergerak sedikitpun, tawa darinya seakan menekan diri Yonna ke permukaan tanah. Meneror melalui tawa. Dengan kepala terangkat ke atas, muka yang dipenuhi darah korban itu tak berhenti menampakkan kesenangan, gelakannya semakin mengeras. "Kenapa kau peduli?" tanya wanita itu dengan pancaran yang lebih menyeramkan. "A
Mengendalikan setang motor, gas ditarik kuat, membawa pengendaranya menjauh dari lokasi semula. Memacu kendaraan secepat mungkin, meninggalkan kejadian yang mengait habis ketenangan. Di belakang Luther, Yonna melakukan panggilan suara ke Yulissa—mamanya, melaporkan bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja. Ternyata berita menyebar dengan cepat, Mama Yonna yang mengetahui ke mana anaknya itu pergi, melakukan banyak sekali panggilan suara yang tentu saja tidak mendapat respons dari Yonna. Setelah menyimpan ponsel ke dalam tas, ia kembali memeluk tubuh Luther, erat. Yonna masih bisa merasakan amarah yang meredam di dalam tubuh Luther. Tentu saja pemuda itu khawatir dengan kondisi kekasihnya. Beruntung setelah menelepon pihak kepolisian, Luther menemukan senjata api di pos pengamanan. Meski Luther sempat kesulitan menemukan keberadaan Yonna, dia beruntung berhasil muncul di waktu yang tepat. Sangat tidak bisa dibayangkan bagaimana jika Luther ter
Seisi penghuni sekolah menjadi sangat heboh mengenai kabar penyerangan wanita berkapak yang tiba-tiba muncul di pasar malam. Tak ayal, kepala sekolah meminta seluruh murid berkumpul di aula sekolah sembari membagikan bunga lily untuk menyampaikan duka kepada siswa dan siswi yang menjadi korban penyerangan tadi malam. Tidak sedikit yang menjadi korban, terhitung dua dari murid kelas 12 dan empat dari kelas 10. Pagi tadi, kepala sekolah langsung mendapat konfirmasi dari kepolisian sekitar mengenai muridnya yang turut menjadi korban penyerangan. Untuk menghormati setiap hal yang telah diberikan oleh korban untuk sekolah ini, juga sebagai bentuk kekeluargaan, mereka memberikan salam perpisahan dan doa-doa agar mencapai ketenangan. Tangis pun tak bisa dihindarkan. "Kalau aja Luther terlambat, aku nggak bisa membayangkan apa yang akan terjadi sama kalian berdua." Malilah menatap sendu sepatu yang ia kenakan. "Demi
"Mas! Kenapa setiap aku ngomong kamu nggak pernah turutin?!" tanya Yulissa meninggikan suaranya. "Arghh! Kamu bisa tidak, sekali saja berhenti membicarakan ini? Saya capek. Baru sekarang saya bisa pulang awal, bukannya nawarin minum atau makan, malah teriak-teriak tidak jelas." "Alasan kamu, Mas! Palingan juga kamu habis senang-senang, kan? Giliran perayu itu minta ini, mobil, rumah, ATM, langsung kamu kasih. Sedangkan ketika aku minta pengertian kamu sedikit saja, nggak pernah kamu lakuin, Mas!" "Lissa! Jaga bicara kamu! Pengertian apa yang kamu mau?! Dari dulu sampai sekarang, pengertian, pengertian terus yang kamu minta. Kurang pengertian apa saya? Hah?!" "Mas! Kalau selama ini Mas pengertian seperti yang kamu bilang, kenapa masih berhubungan sama perayu itu? Tinggalin dia sekarang! Aku nggak mau tahu! Kita semua tahu tindakan kamu itu salah, Mas!" "Oh? Jadi sa
Di atas motor, Luther merasa risih. Terutama saat merasakan tangan Petunia menggenggam kedua sisi pinggang seragamnya, sangat erat. Seakan, bergeser sedikit saja, ia bisa terlempar ke tengah jalan. Sekitar sepuluh menit melaju, akhirnya Luther menghentikan motor saat Petunia menepuk-nepuk pundaknya. "Ke-kelewatan, Luther. Ru-rumah saya ya-yang gerbang e-emas," ujar Petunia masih duduk di jok belakang. Dengan malas, Luther melirik ke belakang, jarak rumah yang dimaksud Petunia terlewat dua rumah saja. "Cuma kelewatan dua rumah aja, kali. Jalan kaki kan, bisa," ucap Luther bernada ketus. "Sini helmnya, aku nggak mau biarin pacarku menunggu lama." Mendengar nada tak bersahabat Luther, Petunia pun turun dari motor. Setelah menerima helm tersebut, Luther langsung memacu motornya secepat mungkin. Bagaimana mungkin dia membiarkan pacarnya menunggu untuk
“Nggak, jangan dulu,” sambut Luther tiba-tiba. “Jangan tembak aku sekarang, tahan senjatamu sampai seenggaknya pagi datang … Sayang. Dengan begini aku masih bisa memastikan kamu selamat sampai meninggalkan tanah terkutuk ini. Aku nggak mungkin meninggalkanmu sebelum semuanya berakhir, tapi … aku pun nggak bisa menghadapi apa yang kamu pikirkan tentangku.”Yonna menangis tersedu-sedu, dia terduduk di tangan sambil menutupi wajahnya yang basah oleh air mata. Dapat dipastikan bahwa malam telah melewati tengah, mungkin sudah hendak mencapai pagi. Mata mereka, hati mereka, kaki, semuanya telah lelah, tak sanggup menahan teror yang semakin menjadi dan menyisakan mereka.Sekonyong-konyong sebuah tepuk tangan tiba-tiba muncul dari belakang sana. Yonna mengangkat wajah dengan bingung, sedangkan Luther membeliakkan mata menatap sosok di belakang Yonna. Laki-laki itu langsung berlari dan menarik Yonna berada di belakangnya.“Kau?” kaget Luther diiringi keterkejutan Yonna.Terkekeh, Petunia terse
Setelah kehadiran bisikan dari penglihatan Peramal itu, tak ada yang tenang. Sampai salah seorang berseru dan menyampaikan bahwa jika mereka ingin selamat, maka ingin tidak ingin apa yang disampaikan Peramal barusan harus dilakukan. Pro dan kontra tidak luput mengambil posisi di antara mereka semua.Ada yang berpikir Luther-lah si pelaku, tetapi ada yang berpendapat orang yang bersikeras menuduh Luther inilah yang telah membunuh Petunia dan kedua orang tuanya. Karena hal itu pula, mereka justru terbagi-bagi menjadi dua regu.Semula mereka berpencar, masih ada di benak bahwa pelakunya tengah bersembunyi dan mengintai. “Aku nggak peduli, siapa pun dia harus kubunuh. Aku masih ingin pulang dari sini hidup-hidup.”Di antara mereka yang menolak bahwa pelakunya Luther, sedang membuat rencana. Mereka takkan berpencar, tetap bersama, tetapi mencoba memahami lokasi yang mungkin saja dijadikan sebagai tempat persembunyian berdasarkan tempat Petunia di bunuh.Akia bersuara, “Bagaimana kalau tern
Siapa yang menyangka bahwa pada hari itu garis takdir mereka berubah drastis. Apa yang sebenarnya hendak ditinggalkan, justru mengejar mereka dari belakang hingga tiba di tempat persinggahan. Yonna, Luther, Malilah, Dovis, Akia, Clovis, dan peserta lain telah ditunggu kehadirannya oleh sebuah teror berdarah.Begitu sampai di tempat yang dimaksud, mereka berbondong-bondong turun menyaksikan pemandangan yang dipenuhi oleh hutan. Terdapat sebuah perumahan kayu yang memuat sejumlah kamar, dan sebuah bangunan tunggal yang disebutkan sebagai gudang. Masing-masing mereka membawa tas memasuki kamar yang sudah dipersiapkan, para perempuan sendiri dan laki-laki sendiri. Sementara di sana, Petunia mengatakan bahwa dia mungkin akan bersama ibu dan ayahnya. Sedang perempuan itu pikirkan.Baik Yonna, Malilah, maupun Akia sebenarnya tak mempermasalahkan, begitupun yang lainnya. Bagaimanapun mereka ikut di bawah ajakan Petunia dan keluarganya.“Aku sudah nggak sabar!”“Sama!”“Pasti akan sangat seru!
Memerlukan waktu cukup lama bagi Yulissa untuk pada akhirnya memberikan izin kepada sang anak, Yonna. Dalam sekali gerakan, perempuan itu mengangguk seraya berdeham. “Kamu bersungguh-sungguh bahwa bukan hanya kalian berdua, benar?” Secepatnya Yonna mengangguk mantap, ini adalah lampu hijau baginya. Mengangkat dua jari telunjuk dari tengahnya, Yonna berkata, “Sungguh, Ma. Yonna berani bersumpah, ini tuh perjalanan regu. Merayakan Hallowen.” Yulissa kembali diam, dia melirik sejenak kepada Bibi. Dia teringat akan percakapan mereka sebelumnya, di mana kabar akan teror yang hanya terjadi di kota ini, sedangkan pada cakupan luar hampir tidak pernah terusik. Mereka berdua sempat kebingungan akan apa yang pelaku teror itu inginkan sehingga mengincar benar penduduk kota ini. Sehingga kini, Yulissa berpendapat di dalam hati, “Jika anakku berada di luar dari kota ini, tidakkah itu memberinya perlindungan secara tidak langsung? Ah, aku berharap begitu. Sungguh, aku takut jika anakku berkelia
"Beneran, Petunia?" Yonna menatap Petunia dengan terkejut, dahinya sampai mengerut, tetapi sorotnya justru ceria. Petunia tersenyum seraya mengangguk. "Be-benar, Yon. Sa-saya mengajak kalian se-semua ikut serta. Papi j-juga sudah setuju, d-dia yakin kalian ad-adalah teman baik saya." Malilah menyeringai senang. "Wih, biaya perjalanan ditanggung atau sendiri-sendiri ini?" Akia yang duduk di sebelah Malilah langsung menyenggol lengan perempuan itu sebagai teguran. Dia tersenyum meringis ke arah Petunia, Akia ingin teman baru mereka tersebut tak memikirkan serius apa yang barusan Malilah katakan. "Malilah hanya bercanda, Petunia. Kamu tidak perlu memikirkannya dengan benar-benar." "Ti-tidak masalah, Kiya. Sa-saya Juga ingin mengatakan i-itu. Papi y-yang akan menanggung semua ke-kebutuhan kalian, kita a-akan tinggal di se-sebuah villa besar. Pa-papi saya sudah me-memesannya khusus re-rencana ini
"Mungkin di dianya kali yang gangguan," balas Malilah acuh tak acuh. Yonna mengangguk mencoba memahami, bisa saja masalah sambungan sebenarnya terdapat pada ponsel Petunia. "Oke, deh. Jadi, fix ini ya, mereka sudah urus?" tanyanya sekali lagi ingin meyakinkan. Mendengar itu, Malilah mengangguk mantap. "Iya, jadi nggak usah lagi pikirin. Kita tinggal tunggu hasil, semoga aja bisa selesai secepatnya." "Semoga. Terus, liburan sekolah gimana?" Yonna berbaring di atas ranjangnya, punggung perempuan itu terasa penat. Malilah mengedikkan bahu, dia juga belum mendengar kabar terbaru mengenai masa libur sekolah. "Nggak tahu, Yon. Kalau diminta sekolah lagi, kayaknya banyak yang belum setuju. Menurutku ya, ini." Mengangguk, Yonna setuju. "Setuju, sih. Soalnya terornya cuma di kota kita. Sedangkan di kota-kota lain, nggak ada kabarnya. Aku jadi heran sendiri, punya dendam apa sih,
Yonna baru selesai membersihkan diri, dia tidak tahan dengan rasa gerah di badan. Luther sudah pulang beberapa menit yang lalu. Beruntung masalah tadi tidak berakhir panjang, dia tidak ingin bila harus bertengkar lagi dengan Luther. Kini, pertengkaran adalah hal yang paling dia hindari.Mengeringkan rambut, Yonna melirik jam di dinding. Pukul setengah tujuh. Dia kembali memandang pantulan wajahnya di cermin. Selama mengarahkan pengering rambut, tanpa sengaja mata Yonna tertuju pada ukulele kecil di belakang. Tampak kaku dan berdebu. Warna asli tidak begitu kelihatan, menampakkan dengan jelas kalau benda tersebut sudah lama tidak tersentuh.Mematikan pengering rambut, Yoona melangkah dan bergerak mengambil ukulele kesayangannya."Aish, aku suda
Memperdalam ciuman, Yonna menggigit kecil bibir Luther. Dari posisi itu, Yonna dapat merasakan senyuman terbit dari bibir kekasihnya.Melepaskan diri, keduanya meraih udara sebanyak mungkin. Dada bergerak naik dan turun. Keringat juga mengalir di pelipisnya masing-masing.Sama-sama menetralkan tatapan yang sayu, Yonna menopangkan dagunya pada pundak Luther. "Kamu beneran sudah nggak marah lagi, 'kan? Nanti sampai di rumah, tahu-tahu diemin aku lagi besoknya.""Nggak. Kenapa mikir gitu?""Kan, siapa tahu." Yonna mencari posisi yang nyaman, tetapi memberi efek yang berbeda terhadap Luther."Shh… Jangan gerak yang aneh-aneh, Cantik. Kalau bangun, gimana?"Terkekeh, Yonna akhirnya diam. "Nggak sengaja."Mengelus punggung Yonna dengan lembut, Luther mengambil remote televisi. Menghidupkan layar besar yang menem
Keluar dari restoran, mereka berencana langsung menuju kantor polisi. "Tu-tunggu, apa tidak m-masalah bila kita me-melaporkan hal ini langsung?" "Kenapa, Ki? Biasanya kan, orang-orang langsung laporan ke sana," ujar Malilah bingung. "Ho-oh, memangnya mau ke mana lagi?" tanya Dovis. "S-saya takut ki-kita dianggap mempermainkan m-mereka." "Jangan takut, Petunia. Maka dari itu bagusnya kita langsung laporan sama mereka, kita kan bawa barang bukti. Kalau tadi lewat telepon, baru deh, mereka berhak curiga." Malilah membenarkan ucapan Yonna. "Betul, tuh. Kalau kita langsung ngomong empat mata, polisi di sana bisa aja nilai sendiri kita ini bohong apa nggak." Petunia mengangguk paham, sebenarnya ia ingin menawarkan untuk menghubungi salah satu aparat yang Papinya kenal. Agar lebih mudah dan nyaman. "Memangnya kamu ingin menggunakan cara apa selain yang tadi, Petunia?" Akia membenarkan letak tas selempangnya. "Sa-