“Lilah! Gimana caranya bawa bonekamu yang sebesar ini?” tanya Kak Maya—kakak Malilah—ketika menyusul adek satu-satunya itu.
“Bonceng tiga,” sahut Yonna.
“Bonceng tiga gimana? Si Lilah mau ditaruh di mana? Roda?” Kak Maya tertawa kecil membayangkan adeknya berputar-putar di ban motor.
“Tega banget jadi Kakak, masa adeknya yang mau disimpan di ban,” ucap Malilah kesal.
“Tenang, kakak ipar. Nanti bonekanya aku yang bawa.”
“Kakak ipar, apanya? Masih kecil juga, masih SMA! Main sebut kakak ipar aja,” cerocos Kak Maya galak.
“Aduh, adek kakak sama aja galaknya,” gumam Dovis.
“Bercanda, kok, Kak Maya. Jangan dibawa serius, lah,” sambungnya.
“Kak May, ikut makan bareng kita, yok. Bakso beranak,” ajak Yonna.
“Wih, bakso beranak, nggak sekalian cucunya, nih? Hayuk, lah,” terima Kak Maya.
Tiba di stan makanan, mereka menyatukan dua meja sekaligus agar semuanya bisa duduk bersamaan. Mengabaikan tatapan tak suka dari pendatang lain, mereka mulai memesan makanan dan minuman yang diinginkan. Semua perempuan memesan makanan yang sama, yaitu bakso beranak yang menjadi sorotan di stan tersebut. Sedangkan bagian lelaki, memesan makanan yang lebih bervariasi.
Saat menunggu datangnya pesanan, Petunia izin ke toilet yang kebetulan berada tak jauh dari stan makanan. Luther menahan tangan Yonna saat gadisnya itu hendak menambah satu sambal lagi, dan justru mengarahkan satu sendok penuh sambal itu ke dalam mangkoknya. Membuat sang empu tangan, cemberut tak terima.
“Jangan kebanyakan, nanti perut kamu sakit.”
“Sedikit lagi,” pinta Yonna penuh harap, tetapi mendapat penolakan tidak terbantahkan dari Luther.
“Nurut aja dulu, Yon. Nanti kamu bisa bungkus satu, buat dimakan di rumah. Nah, habis itu, kamu bisa tambah sambal banyak-banyak tanpa doi tahu,” tutur Kak Maya seraya mengedipkan mata kirinya.
Yonna tertawa kecil lalu menganggukkan kepalanya setuju, sambil melirik Luther yang berakting seolah tidak mendengar saran nakal Kak Maya. Luther tahu pasti gadisnya tidak akan melakukan hal tersebut. Lagi pun, dia melarang Yonna mengonsumsi banyak cabai demi kesehatan lambungnya.
“Eh, teman kalian yang tadi kenapa lama sekali di toilet? Ini kuah baksonya sampai dingin, loh,” tanya Kak Maya mengarah pada mereka semua.
“Kyaaaa!!! Tolong!!”
Teriakan cempreng tersebut langsung menarik perhatian seluruh pengunjung pasar malam yang berada di sekitar lokasi itu. Nampak seorang gadis dengan gaun berwarna kuning berlari panik keluar dari arah toilet.
“Itu Siri, kan?” Malilah menoleh menatap Yonna yang berdiri dari posisi duduknya.
“Dia kenapa?” tanya Akia membiarkan dahinya mengernyit heran.
Tanpa menjawab satu pertanyaan pun, Yonna berjalan tergesa mendekati Siri. Ditangkapnya tubuh perempuan itu sebelum terjatuh akibat tersandung oleh kakinya sendiri.
“Siri? Apa yang terjadi?”
“I-itu! Di sana! Di dalam toilet ada-“
“Kyaaaa!!!”
Teriakan segerombolan wanita lagi-lagi terdengar hampir memecahkan gendang telinga. Semuanya berlarian panik sambil mengangkat sisi bawah rok agar lebih mudah berlari. Seketika mata Yonna membeliak kaget menyaksikan di belakang gerombolan wanita itu ada seorang perempuan bertubuh tinggi besar sedang mengejar entah siapa, sambil mengangkat tinggi kapak dalam genggaman kedua tangannya.
Naas, Yonna menyaksikan perempuan bertubuh besar itu berhasil memenggal kepala seorang perempuan yang jatuh tersungkur. Teriakan perempuan malang itu terhenti bersamaan dengan darah segar yang menyembur sangat deras, menciptakan genangan merah, membasahi sepatu pantofel pemilik kapak.
Menyadari keadaan yang menggila, Yonna membantu Siri berdiri, mengajaknya berlari untuk memanggil teman-temannya yang menatap kejadian tadi dengan horor. Tidak ingin membuang waktu, Luther menarik Yonna menuju luar arena pasar dilaksanakan, diikuti yang lain.
“Apa-apaan ini?!” teriak Malilah ketakutan. Matanya melirik ke arah belakang, di mana perempuan berkapak itu berlari seraya mengayunkan kapak tak tentu arah, mengikuti jalur pelarian mereka.
“Aku belum mau mati, oi! Jadian sama Mak Lilah kesayangan saja belum,” pekik Clovis tak terima dengan keadaan yang dia alami.
Terlihat jelas, satu persatu pengunjung yang tidak diberkati oleh Dewi Fortuna berjatuhan bersama aliran darah juga sekaligus menjadi pertanda nyawa sudah melayang tinggi ke udara lepas. Seolah tidak melihat siapa yang berada di hadapan, tangan kejam itu terus saja mengayunkan kapak, mengoyak setiap senti daging yang tersentuh termasuk tubuh lemah anak kecil tak berdosa.
Bahkan, saat ini gagang kapak sudah berubah warna, seakan baru diwarnai dengan cairan merah. Tangisan tak ayal mengikuti setiap bertambahnya nyawa yang meninggalkan raga.
“Tunggu! Petunia mana? Dia tadi ke toilet itu, kan?” Yonna menahan Luther untuk berhenti berlari.
“Kenapa berhenti?! Ayo, kamu nggak perlu mikirin dia. Kalau sudah takdirnya, kamu bisa melihat dia besok.” Luther kembali menarik gadisnya berlari ke arah parkiran.
“Tapi-“
“Yonna! To-tolong saya!!!” pekik seseorang dari jauh.
Menoleh ke arah pekikan penuh kepanikan, Yonna terkejut melihat ternyata Petunia berusaha melepaskan diri dari genggaman wanita berkapak tersebut.
“Luther! Bagaimana ini?! Aku harus membantunya!”
“Jangan bodoh! Kamu bisa jadi sasaran selanjutnya!”
“Tapi aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja!” Yonna melepaskan secara paksa genggaman Luther, berlari secepat mungkin untuk membantu Petunia.
“God! Yonna!!” teriak Luther menyusul dari belakang.
“Yo-yonna, to-tolong!” Segala kekuatan sudah dikerahkan Petunia agar bisa terlepas dari seretan wanita itu, di tangan kirinya kapak berdarah masih menggantung menunggu waktu untuk memotong.
"Bagaimana ini?" gumam Yonna kebingungan sembari kakinya terus berlari. Tanpa pertimbangan apa pun, Yonna menarik lengan Petunia yang mengambang di udara, menggapai tangannya. Karena merasa tarikan semakin memberat, wanita berkapak tersebut menoleh ke belakang. Ia menggeram, tapi kemudian senyum iblis tercetak di wajahnya. Kenapa tidak? Tidak perlu melempar umpan ke-dua, sasaran datang dengan sendirinya. "Lepaskan dia, monster!" seru Yonna sambil terus menarik Petunia terlepas dari pegangan yang ia sebut monster. Meskipun si wanita berkapak tidak bergerak sedikitpun, tawa darinya seakan menekan diri Yonna ke permukaan tanah. Meneror melalui tawa. Dengan kepala terangkat ke atas, muka yang dipenuhi darah korban itu tak berhenti menampakkan kesenangan, gelakannya semakin mengeras. "Kenapa kau peduli?" tanya wanita itu dengan pancaran yang lebih menyeramkan. "A
Mengendalikan setang motor, gas ditarik kuat, membawa pengendaranya menjauh dari lokasi semula. Memacu kendaraan secepat mungkin, meninggalkan kejadian yang mengait habis ketenangan. Di belakang Luther, Yonna melakukan panggilan suara ke Yulissa—mamanya, melaporkan bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja. Ternyata berita menyebar dengan cepat, Mama Yonna yang mengetahui ke mana anaknya itu pergi, melakukan banyak sekali panggilan suara yang tentu saja tidak mendapat respons dari Yonna. Setelah menyimpan ponsel ke dalam tas, ia kembali memeluk tubuh Luther, erat. Yonna masih bisa merasakan amarah yang meredam di dalam tubuh Luther. Tentu saja pemuda itu khawatir dengan kondisi kekasihnya. Beruntung setelah menelepon pihak kepolisian, Luther menemukan senjata api di pos pengamanan. Meski Luther sempat kesulitan menemukan keberadaan Yonna, dia beruntung berhasil muncul di waktu yang tepat. Sangat tidak bisa dibayangkan bagaimana jika Luther ter
Seisi penghuni sekolah menjadi sangat heboh mengenai kabar penyerangan wanita berkapak yang tiba-tiba muncul di pasar malam. Tak ayal, kepala sekolah meminta seluruh murid berkumpul di aula sekolah sembari membagikan bunga lily untuk menyampaikan duka kepada siswa dan siswi yang menjadi korban penyerangan tadi malam. Tidak sedikit yang menjadi korban, terhitung dua dari murid kelas 12 dan empat dari kelas 10. Pagi tadi, kepala sekolah langsung mendapat konfirmasi dari kepolisian sekitar mengenai muridnya yang turut menjadi korban penyerangan. Untuk menghormati setiap hal yang telah diberikan oleh korban untuk sekolah ini, juga sebagai bentuk kekeluargaan, mereka memberikan salam perpisahan dan doa-doa agar mencapai ketenangan. Tangis pun tak bisa dihindarkan. "Kalau aja Luther terlambat, aku nggak bisa membayangkan apa yang akan terjadi sama kalian berdua." Malilah menatap sendu sepatu yang ia kenakan. "Demi
"Mas! Kenapa setiap aku ngomong kamu nggak pernah turutin?!" tanya Yulissa meninggikan suaranya. "Arghh! Kamu bisa tidak, sekali saja berhenti membicarakan ini? Saya capek. Baru sekarang saya bisa pulang awal, bukannya nawarin minum atau makan, malah teriak-teriak tidak jelas." "Alasan kamu, Mas! Palingan juga kamu habis senang-senang, kan? Giliran perayu itu minta ini, mobil, rumah, ATM, langsung kamu kasih. Sedangkan ketika aku minta pengertian kamu sedikit saja, nggak pernah kamu lakuin, Mas!" "Lissa! Jaga bicara kamu! Pengertian apa yang kamu mau?! Dari dulu sampai sekarang, pengertian, pengertian terus yang kamu minta. Kurang pengertian apa saya? Hah?!" "Mas! Kalau selama ini Mas pengertian seperti yang kamu bilang, kenapa masih berhubungan sama perayu itu? Tinggalin dia sekarang! Aku nggak mau tahu! Kita semua tahu tindakan kamu itu salah, Mas!" "Oh? Jadi sa
Di atas motor, Luther merasa risih. Terutama saat merasakan tangan Petunia menggenggam kedua sisi pinggang seragamnya, sangat erat. Seakan, bergeser sedikit saja, ia bisa terlempar ke tengah jalan. Sekitar sepuluh menit melaju, akhirnya Luther menghentikan motor saat Petunia menepuk-nepuk pundaknya. "Ke-kelewatan, Luther. Ru-rumah saya ya-yang gerbang e-emas," ujar Petunia masih duduk di jok belakang. Dengan malas, Luther melirik ke belakang, jarak rumah yang dimaksud Petunia terlewat dua rumah saja. "Cuma kelewatan dua rumah aja, kali. Jalan kaki kan, bisa," ucap Luther bernada ketus. "Sini helmnya, aku nggak mau biarin pacarku menunggu lama." Mendengar nada tak bersahabat Luther, Petunia pun turun dari motor. Setelah menerima helm tersebut, Luther langsung memacu motornya secepat mungkin. Bagaimana mungkin dia membiarkan pacarnya menunggu untuk
"Dasar curang, pakai senjata. Dikeluarkan, kan, dari geng! Huu!" kesal Yonna saat laki-laki yang menusuk Gun baru saja dikeluarkan dari gengnya, ditinggalkan oleh ketua. Meski geng itu adalah musuh dari Geng SP*RM—geng Gun dan kawannya—tetapi Yonna senang karena penusuk itu tidak mendapat dukungan dari mana pun. "Kalau aku jadi Song, sudah kutusuk-tusuk itu dada si pecundang. Selalu aja pakai senjata." "Beruntung Song masih ingat pesan Gun, kalau laki-laki berkelahi sampai ada yang menang bukan membunuh." "Oh, iya! Ngomong-ngomong soal membunuh, pas pulang dari toko roti, kau sempat nggak lihat ada yang saling bacok?" tanya Malilah mengingat pembicaraan Ayahnya di telepon. Yonna mendesah berat, "Nggak lihat aksinya, cuman sisanya. Asli, Lil, sampai muntah aku lihatnya." "Aku juga sempat mual waktu lihat postingan di media sosial,
Luther mengobrak-abrik isi tas pinggangnya, mengambil obat pereda pusing yang selalu dia bawa. Menyerahkan satu butir obat ke Yonna, lalu dibiarkannya gadis itu meneguk bersama air mineral yang tersedia di meja. Luther selalu berusaha menjadi pacar yang baik juga siaga, jangan terkejut bila suatu saat nanti akan ada adegan di mana Luther mengeluarkan pembalut wanita dari dalam tasnya. Bahkan Luther juga menyiapkan obat pereda nyeri haid, apabila dia mendapati Yonna kesakitan karena haid saat berada di luar. Karena jika Yonna merasakan nyeri ketika di rumah, Luther lebih menyarankan untuk mengompresnya dengan air hangat, dan banyak meminum air putih. "Aku nggak bisa meminta kamu buat berhenti memikirkan masalah ini, bagaimanapun semua itu berada di sekeliling mu. Aku juga nggak bisa bantu menyelesaikan, karena ini terjadi di dalam keluarga kalian. Aku orang luar, yang beruntung menjadi pacar kamu, hanya bisa membantu menenangkan. Se
Helaan napas lolos dari bibir kecil Yonna. "Luther," panggil Yonna dengan suara kecil. "Iya?" Luther memindahkan segala atensinya kepada Yonna. "Kapan masalah Mama sama Ayah selesai?" Mengerti arah pembahasan tersebut, Luther menggeser tubuhnya agar semakin dekat dengan pacarnya. "Aku nggak yakin kapan, yang pasti secepatnya. Tante sama Om juga nggak pernah mau menyentuh keadaan ini, 'kan?" "Secepatnya, ya? Kapan itu secepatnya? Enam bulan lagi? Satu tahun? Atau sampai hubungan mereka benar-benar berakhir?" "Sstt... Jangan ngomong kaya gitu, doakan aja semoga cepat ditemukan jalannya." "Aku capek, Luther. Aku kangen ngobrol bareng mereka, nonton tv ramai-ramai, kursi meja makan lengkap terisi, liburan bersama. Aku kangen semua itu, Luther. Suasana sekarang jauh lebih sesak. Iya, Mama masih peduli, Ayah kadang nanya kab
“Nggak, jangan dulu,” sambut Luther tiba-tiba. “Jangan tembak aku sekarang, tahan senjatamu sampai seenggaknya pagi datang … Sayang. Dengan begini aku masih bisa memastikan kamu selamat sampai meninggalkan tanah terkutuk ini. Aku nggak mungkin meninggalkanmu sebelum semuanya berakhir, tapi … aku pun nggak bisa menghadapi apa yang kamu pikirkan tentangku.”Yonna menangis tersedu-sedu, dia terduduk di tangan sambil menutupi wajahnya yang basah oleh air mata. Dapat dipastikan bahwa malam telah melewati tengah, mungkin sudah hendak mencapai pagi. Mata mereka, hati mereka, kaki, semuanya telah lelah, tak sanggup menahan teror yang semakin menjadi dan menyisakan mereka.Sekonyong-konyong sebuah tepuk tangan tiba-tiba muncul dari belakang sana. Yonna mengangkat wajah dengan bingung, sedangkan Luther membeliakkan mata menatap sosok di belakang Yonna. Laki-laki itu langsung berlari dan menarik Yonna berada di belakangnya.“Kau?” kaget Luther diiringi keterkejutan Yonna.Terkekeh, Petunia terse
Setelah kehadiran bisikan dari penglihatan Peramal itu, tak ada yang tenang. Sampai salah seorang berseru dan menyampaikan bahwa jika mereka ingin selamat, maka ingin tidak ingin apa yang disampaikan Peramal barusan harus dilakukan. Pro dan kontra tidak luput mengambil posisi di antara mereka semua.Ada yang berpikir Luther-lah si pelaku, tetapi ada yang berpendapat orang yang bersikeras menuduh Luther inilah yang telah membunuh Petunia dan kedua orang tuanya. Karena hal itu pula, mereka justru terbagi-bagi menjadi dua regu.Semula mereka berpencar, masih ada di benak bahwa pelakunya tengah bersembunyi dan mengintai. “Aku nggak peduli, siapa pun dia harus kubunuh. Aku masih ingin pulang dari sini hidup-hidup.”Di antara mereka yang menolak bahwa pelakunya Luther, sedang membuat rencana. Mereka takkan berpencar, tetap bersama, tetapi mencoba memahami lokasi yang mungkin saja dijadikan sebagai tempat persembunyian berdasarkan tempat Petunia di bunuh.Akia bersuara, “Bagaimana kalau tern
Siapa yang menyangka bahwa pada hari itu garis takdir mereka berubah drastis. Apa yang sebenarnya hendak ditinggalkan, justru mengejar mereka dari belakang hingga tiba di tempat persinggahan. Yonna, Luther, Malilah, Dovis, Akia, Clovis, dan peserta lain telah ditunggu kehadirannya oleh sebuah teror berdarah.Begitu sampai di tempat yang dimaksud, mereka berbondong-bondong turun menyaksikan pemandangan yang dipenuhi oleh hutan. Terdapat sebuah perumahan kayu yang memuat sejumlah kamar, dan sebuah bangunan tunggal yang disebutkan sebagai gudang. Masing-masing mereka membawa tas memasuki kamar yang sudah dipersiapkan, para perempuan sendiri dan laki-laki sendiri. Sementara di sana, Petunia mengatakan bahwa dia mungkin akan bersama ibu dan ayahnya. Sedang perempuan itu pikirkan.Baik Yonna, Malilah, maupun Akia sebenarnya tak mempermasalahkan, begitupun yang lainnya. Bagaimanapun mereka ikut di bawah ajakan Petunia dan keluarganya.“Aku sudah nggak sabar!”“Sama!”“Pasti akan sangat seru!
Memerlukan waktu cukup lama bagi Yulissa untuk pada akhirnya memberikan izin kepada sang anak, Yonna. Dalam sekali gerakan, perempuan itu mengangguk seraya berdeham. “Kamu bersungguh-sungguh bahwa bukan hanya kalian berdua, benar?” Secepatnya Yonna mengangguk mantap, ini adalah lampu hijau baginya. Mengangkat dua jari telunjuk dari tengahnya, Yonna berkata, “Sungguh, Ma. Yonna berani bersumpah, ini tuh perjalanan regu. Merayakan Hallowen.” Yulissa kembali diam, dia melirik sejenak kepada Bibi. Dia teringat akan percakapan mereka sebelumnya, di mana kabar akan teror yang hanya terjadi di kota ini, sedangkan pada cakupan luar hampir tidak pernah terusik. Mereka berdua sempat kebingungan akan apa yang pelaku teror itu inginkan sehingga mengincar benar penduduk kota ini. Sehingga kini, Yulissa berpendapat di dalam hati, “Jika anakku berada di luar dari kota ini, tidakkah itu memberinya perlindungan secara tidak langsung? Ah, aku berharap begitu. Sungguh, aku takut jika anakku berkelia
"Beneran, Petunia?" Yonna menatap Petunia dengan terkejut, dahinya sampai mengerut, tetapi sorotnya justru ceria. Petunia tersenyum seraya mengangguk. "Be-benar, Yon. Sa-saya mengajak kalian se-semua ikut serta. Papi j-juga sudah setuju, d-dia yakin kalian ad-adalah teman baik saya." Malilah menyeringai senang. "Wih, biaya perjalanan ditanggung atau sendiri-sendiri ini?" Akia yang duduk di sebelah Malilah langsung menyenggol lengan perempuan itu sebagai teguran. Dia tersenyum meringis ke arah Petunia, Akia ingin teman baru mereka tersebut tak memikirkan serius apa yang barusan Malilah katakan. "Malilah hanya bercanda, Petunia. Kamu tidak perlu memikirkannya dengan benar-benar." "Ti-tidak masalah, Kiya. Sa-saya Juga ingin mengatakan i-itu. Papi y-yang akan menanggung semua ke-kebutuhan kalian, kita a-akan tinggal di se-sebuah villa besar. Pa-papi saya sudah me-memesannya khusus re-rencana ini
"Mungkin di dianya kali yang gangguan," balas Malilah acuh tak acuh. Yonna mengangguk mencoba memahami, bisa saja masalah sambungan sebenarnya terdapat pada ponsel Petunia. "Oke, deh. Jadi, fix ini ya, mereka sudah urus?" tanyanya sekali lagi ingin meyakinkan. Mendengar itu, Malilah mengangguk mantap. "Iya, jadi nggak usah lagi pikirin. Kita tinggal tunggu hasil, semoga aja bisa selesai secepatnya." "Semoga. Terus, liburan sekolah gimana?" Yonna berbaring di atas ranjangnya, punggung perempuan itu terasa penat. Malilah mengedikkan bahu, dia juga belum mendengar kabar terbaru mengenai masa libur sekolah. "Nggak tahu, Yon. Kalau diminta sekolah lagi, kayaknya banyak yang belum setuju. Menurutku ya, ini." Mengangguk, Yonna setuju. "Setuju, sih. Soalnya terornya cuma di kota kita. Sedangkan di kota-kota lain, nggak ada kabarnya. Aku jadi heran sendiri, punya dendam apa sih,
Yonna baru selesai membersihkan diri, dia tidak tahan dengan rasa gerah di badan. Luther sudah pulang beberapa menit yang lalu. Beruntung masalah tadi tidak berakhir panjang, dia tidak ingin bila harus bertengkar lagi dengan Luther. Kini, pertengkaran adalah hal yang paling dia hindari.Mengeringkan rambut, Yonna melirik jam di dinding. Pukul setengah tujuh. Dia kembali memandang pantulan wajahnya di cermin. Selama mengarahkan pengering rambut, tanpa sengaja mata Yonna tertuju pada ukulele kecil di belakang. Tampak kaku dan berdebu. Warna asli tidak begitu kelihatan, menampakkan dengan jelas kalau benda tersebut sudah lama tidak tersentuh.Mematikan pengering rambut, Yoona melangkah dan bergerak mengambil ukulele kesayangannya."Aish, aku suda
Memperdalam ciuman, Yonna menggigit kecil bibir Luther. Dari posisi itu, Yonna dapat merasakan senyuman terbit dari bibir kekasihnya.Melepaskan diri, keduanya meraih udara sebanyak mungkin. Dada bergerak naik dan turun. Keringat juga mengalir di pelipisnya masing-masing.Sama-sama menetralkan tatapan yang sayu, Yonna menopangkan dagunya pada pundak Luther. "Kamu beneran sudah nggak marah lagi, 'kan? Nanti sampai di rumah, tahu-tahu diemin aku lagi besoknya.""Nggak. Kenapa mikir gitu?""Kan, siapa tahu." Yonna mencari posisi yang nyaman, tetapi memberi efek yang berbeda terhadap Luther."Shh… Jangan gerak yang aneh-aneh, Cantik. Kalau bangun, gimana?"Terkekeh, Yonna akhirnya diam. "Nggak sengaja."Mengelus punggung Yonna dengan lembut, Luther mengambil remote televisi. Menghidupkan layar besar yang menem
Keluar dari restoran, mereka berencana langsung menuju kantor polisi. "Tu-tunggu, apa tidak m-masalah bila kita me-melaporkan hal ini langsung?" "Kenapa, Ki? Biasanya kan, orang-orang langsung laporan ke sana," ujar Malilah bingung. "Ho-oh, memangnya mau ke mana lagi?" tanya Dovis. "S-saya takut ki-kita dianggap mempermainkan m-mereka." "Jangan takut, Petunia. Maka dari itu bagusnya kita langsung laporan sama mereka, kita kan bawa barang bukti. Kalau tadi lewat telepon, baru deh, mereka berhak curiga." Malilah membenarkan ucapan Yonna. "Betul, tuh. Kalau kita langsung ngomong empat mata, polisi di sana bisa aja nilai sendiri kita ini bohong apa nggak." Petunia mengangguk paham, sebenarnya ia ingin menawarkan untuk menghubungi salah satu aparat yang Papinya kenal. Agar lebih mudah dan nyaman. "Memangnya kamu ingin menggunakan cara apa selain yang tadi, Petunia?" Akia membenarkan letak tas selempangnya. "Sa-