Helaan napas lolos dari bibir kecil Yonna.
"Luther," panggil Yonna dengan suara kecil.
"Iya?" Luther memindahkan segala atensinya kepada Yonna.
"Kapan masalah Mama sama Ayah selesai?"
Mengerti arah pembahasan tersebut, Luther menggeser tubuhnya agar semakin dekat dengan pacarnya. "Aku nggak yakin kapan, yang pasti secepatnya. Tante sama Om juga nggak pernah mau menyentuh keadaan ini, 'kan?"
"Secepatnya, ya? Kapan itu secepatnya? Enam bulan lagi? Satu tahun? Atau sampai hubungan mereka benar-benar berakhir?"
"Sstt... Jangan ngomong kaya gitu, doakan aja semoga cepat ditemukan jalannya."
"Aku capek, Luther. Aku kangen ngobrol bareng mereka, nonton tv ramai-ramai, kursi meja makan lengkap terisi, liburan bersama. Aku kangen semua itu, Luther. Suasana sekarang jauh lebih sesak. Iya, Mama masih peduli, Ayah kadang nanya kab
Semua murid di kelas Yonna sedang sibuk dengan urusan bersama lingkaran pertemanan mereka masing-masing, guru yang seharusnya mengajar tidak dapat hadir. Akia yang rajin dan berbakat, sedang membuat sketsa dalam buku miliknya, Malilah terlelap di sebelahnya dan Yonna bersenandung sembari menuliskan lirik-lirik dari lagu yang ia nyanyikan. "I-itu lagu dari You-youtub-tuber, 'kan? Na-namanya Bee, ya?" Pertanyaan Petunia membuat Yonna berhenti bersenandung. "Kau tahu Bee juga?" tanya Yonna kaget. "Te-tentu! Sa-saya pengge-penggemarnya!" balas Petunia ceria. "Wah! Kita sama, nih! Tapi kenapa Bee sudah nggak pernah membagikan video terbaru, bahkan dia nggak pernah aktif di akun pribadinya. Aku kangen banget tahu, kalau mengerjakan tugas sekolah, aku selalu memutar video cover-nya." "Sa-saya juga rin-ndu. Apa-kah benar go-gosip yang sempat bere-be
Malilah bersorak gembira, pasalnya sudah dua hari ini mereka tidak perlu melakukan kegiatan belajar mengajar seperti biasanya. Acara amal Sumbang Olahraga akan dilanjutkan hari ini, dan semua pihak sekolah yang bersangkutan tentu datang ke sekolah mereka. Acara utama pun, sedang dimulai. Seluruh pendukung dari regu masing-masing sibuk memberi teriakan semangat. Tidak terkecuali bagi para siswi yang pasangannya tengah bertanding di bidang olahraga futsal sekarang. "Ayo! Luther!! Kalahkan mereka! Semangat!" sorakan Malilah yang paling heboh. Bahkan Yonna yang notabene pacar Luther tidak seheboh itu. Tetapi Yonna tidak juga mempermasalahkan, setidaknya Yonna tak perlu mengeluarkan suara sekeras itu juga untuk dapat didengar Luther. "Woahh!! Gol!! Hahah!" "Gol!!" "Yeah!!" "Mampus!"
"Yonna," tegur Akia mendapati Yonna duduk di luar pagar sekolah menahan tangis. "Aku nggak tahu kenapa aku lari, Ki. Aku percaya sama Luther, tapi kenapa rasanya sakit banget?!" curah Yonna tak sanggup menahan air matanya. "Wajar, kok. Itu reflek dari emosi kamu, saya juga pasti akan melakukan hal yang sama." "Aku nggak tahu harus bersikap bagaimana, Ki." "Yonna!" Luther berteriak ketika melihat keberadaan Yonna. Akia membantu Yonna berdiri, terlihat jelas Yonna masih ingin menjaga jarak dengan pacarnya. "Kamu jangan salah paham tentang apa pun yang kamu lihat, tadi." "Iya." "Yonna, tolong. Aku nggak mau kita jadi renggang karena salah paham yang konyol ini." "Kamu bilang ini konyol?" "Aku nggak terima kue itu." Luther meraih pergelangan tangan Yonna.
"Ma?" Yonna menuang segelas air putih. "Iya, sayang?" balas Yulissa mengalihkan tatapannya dari laptop. "Ayah ada kerja di luar kota? Sudah tiga hari ini nggak pulang ke rumah." Yonna mempertanyakan apa yang membuat ayahnya pergi selama ini. Yulissa menurunkan bahunya. Tanpa menatap Yonna, Yuliisa menjawab, "Tidak tahu, Nak. Ayahmu tidak dapat dihubungi." Menahan kesedihan di dalam dirinya, Yonna duduk di kursi yang bersebelahan dengan Yulissa. "Sampai kapan kalian akan bertengkar? Yonna merindukan kebersamaan kita seperti dulu, Ma." Jujur, perkataan anaknya membuat hati Yulissa teriris, ia sungguh merasa bersalah. "Maafkan Mama dan Ayah. Sudah hampir belasan tahun ini kami melalui lika-liku kehidupan berumah tangga, Mama merasa masalah kali ini adalah yang lebih rumit. Mama benar-benar minta maaf, sayang." "Maaf, Ma. Tapi Yonna tidak kuat melihat
Keesokan harinya, hubungan pertemanan antara Petunia dan yang lainnya sudah membaik. Walau masih ada murid lain yang berbisik dan menggiring opini yang berkembang, mereka tidak ambil pusing. Termasuk kelompok yang suka menggosip, Rasia dan teman-temannya. Bahkan, Gisel kembali mengingatkan Yonna agar langsung menjauhi Petunia, sebelum Petunia berhasil menggoda Luther lebih jauh. Tetapi Yonna tidak acuh, ia tetap ingin menjaga pertemanannya dengan Petunia. "Hari ini, kalian tanding?" Malilah bertanya pada Dovis. "Nggak, kami besok baru tanding. Hari ini antar SMA Garuda dan Merah Putih," jawab Dovis. "Jadi, kita nonton apa hari ini?" "Basket ajalah." Clovis yang terus menatap Yonna, beralih memandang Petunia. Dia masih memikirkan kejadian kemarin. Clovis begitu khawatir dengan perasaan Yonna, ia pasti sangat terluka. Bahkan keik yang ingin Yo
Polisi yang datang meminta Yonna dan teman sekelasnya agar berkumpul di satu ruangan, untuk melakukan interogasi terkait tindakan bunuh diri Gisel. "Jadi, tidak ada kaitannya dengan tragedi yang baru saja terjadi?" "Tidak ada, Pak. Walaupun sejujurnya kami terkadang kesal dengan omongan Gisel, kami tidak pernah berniat membalasnya apalagi hingga menghasutnya untuk melakukan itu." "Betul, Pak! Mungkin Gisel punya masalah pribadi." Malilah menghadap Rasia, "Gisel nggak ada ngomong apa-apa soal ini, Ras?" "Nggak ada sama sekali, Lil! Gisel nggak pernah cerita kalau dia punya masalah sama orang tuanya, palingan cuma debat-debat kecil aja. Itupun nggak sampai dua hari, sudah selesai." "Mungkin dia nggak cerita ke kau." Malika menatap iba Rasia. "Sumpah! Aku nggak habis pikir dengan jalan pikirannya. Kenapa tiba-tiba s
"Ma? Ada apa ini? Siapa wanita di luar itu?" Yonna menetralkan wajahnya yang terlihat sendu. "Be-begini, Nak. Itu, dia adalah-" "Dia pacar Ayah," Karlo—Ayah Yonna—mengatakan hal yang sebenarnya. "Mas!" Yulissa menghentakkan kakinya. "Maksud Ayah? Ayah nggak lagi bercanda, 'kan?" Yonna melirik wanita di luar, yang kini tengah tersenyum puas ke arahnya. "Apa wajah Ayah terlihat sedang bercanda? Apa keadaan ini terlihat seperti permainan?" Karlo menghempaskan genggaman Yulissa pada lengan jasnya. "A-ayah selingkuh?" tanya Yonna yang tak dapat menahan air matanya keluar. "Iya, dan dia lebih bisa membahagiakan Ayah daripada Mamamu ini!" "Ayah! Kenapa Ayah bisa setega ini?! Mama kurang apa, Yah?!" "Banyak, Nak! Banyak yang kurang dari dia." "Mas! Ayo, kita bahas
"Ma?" panggil Yonna dengan suara seraknya. Saat ini, mereka masih terduduk lemas di tempat semula, teras depan rumah. "Maafkan Mama, Nak. Mama kira semua ini masih bisa diperbaiki, ternyata tidak." Yulissa bangkit, dan berjalan tergontai-gontai memasuki rumah. Tidak ingin berdiam diri di luar terlalu lama, Yonna pun memilih ikut masuk ke dalam. Tetapi saat sedang memungut tas yang tadi ia lemparkan, Yonna menangkap tubuh Yulissa keluar dari kamarnya sembari membawa koper besar. "Ma? Mama mau ke mana?" tanya Yonna mulai panik. "Mama perlu menenangkan diri dulu, Nak. Maaf." "Kenapa Mama harus tinggalin Yonna juga? Ayah aja nggak cukup?" Air mata Yonna kembali mengalir. "Mama tidak meninggalkan kamu, Nak! Mama hanya perlu waktu sendiri untuk menenangkan pikiran. Apa yang Mama alami hari ini, sangat berat, Nak." &n
“Nggak, jangan dulu,” sambut Luther tiba-tiba. “Jangan tembak aku sekarang, tahan senjatamu sampai seenggaknya pagi datang … Sayang. Dengan begini aku masih bisa memastikan kamu selamat sampai meninggalkan tanah terkutuk ini. Aku nggak mungkin meninggalkanmu sebelum semuanya berakhir, tapi … aku pun nggak bisa menghadapi apa yang kamu pikirkan tentangku.”Yonna menangis tersedu-sedu, dia terduduk di tangan sambil menutupi wajahnya yang basah oleh air mata. Dapat dipastikan bahwa malam telah melewati tengah, mungkin sudah hendak mencapai pagi. Mata mereka, hati mereka, kaki, semuanya telah lelah, tak sanggup menahan teror yang semakin menjadi dan menyisakan mereka.Sekonyong-konyong sebuah tepuk tangan tiba-tiba muncul dari belakang sana. Yonna mengangkat wajah dengan bingung, sedangkan Luther membeliakkan mata menatap sosok di belakang Yonna. Laki-laki itu langsung berlari dan menarik Yonna berada di belakangnya.“Kau?” kaget Luther diiringi keterkejutan Yonna.Terkekeh, Petunia terse
Setelah kehadiran bisikan dari penglihatan Peramal itu, tak ada yang tenang. Sampai salah seorang berseru dan menyampaikan bahwa jika mereka ingin selamat, maka ingin tidak ingin apa yang disampaikan Peramal barusan harus dilakukan. Pro dan kontra tidak luput mengambil posisi di antara mereka semua.Ada yang berpikir Luther-lah si pelaku, tetapi ada yang berpendapat orang yang bersikeras menuduh Luther inilah yang telah membunuh Petunia dan kedua orang tuanya. Karena hal itu pula, mereka justru terbagi-bagi menjadi dua regu.Semula mereka berpencar, masih ada di benak bahwa pelakunya tengah bersembunyi dan mengintai. “Aku nggak peduli, siapa pun dia harus kubunuh. Aku masih ingin pulang dari sini hidup-hidup.”Di antara mereka yang menolak bahwa pelakunya Luther, sedang membuat rencana. Mereka takkan berpencar, tetap bersama, tetapi mencoba memahami lokasi yang mungkin saja dijadikan sebagai tempat persembunyian berdasarkan tempat Petunia di bunuh.Akia bersuara, “Bagaimana kalau tern
Siapa yang menyangka bahwa pada hari itu garis takdir mereka berubah drastis. Apa yang sebenarnya hendak ditinggalkan, justru mengejar mereka dari belakang hingga tiba di tempat persinggahan. Yonna, Luther, Malilah, Dovis, Akia, Clovis, dan peserta lain telah ditunggu kehadirannya oleh sebuah teror berdarah.Begitu sampai di tempat yang dimaksud, mereka berbondong-bondong turun menyaksikan pemandangan yang dipenuhi oleh hutan. Terdapat sebuah perumahan kayu yang memuat sejumlah kamar, dan sebuah bangunan tunggal yang disebutkan sebagai gudang. Masing-masing mereka membawa tas memasuki kamar yang sudah dipersiapkan, para perempuan sendiri dan laki-laki sendiri. Sementara di sana, Petunia mengatakan bahwa dia mungkin akan bersama ibu dan ayahnya. Sedang perempuan itu pikirkan.Baik Yonna, Malilah, maupun Akia sebenarnya tak mempermasalahkan, begitupun yang lainnya. Bagaimanapun mereka ikut di bawah ajakan Petunia dan keluarganya.“Aku sudah nggak sabar!”“Sama!”“Pasti akan sangat seru!
Memerlukan waktu cukup lama bagi Yulissa untuk pada akhirnya memberikan izin kepada sang anak, Yonna. Dalam sekali gerakan, perempuan itu mengangguk seraya berdeham. “Kamu bersungguh-sungguh bahwa bukan hanya kalian berdua, benar?” Secepatnya Yonna mengangguk mantap, ini adalah lampu hijau baginya. Mengangkat dua jari telunjuk dari tengahnya, Yonna berkata, “Sungguh, Ma. Yonna berani bersumpah, ini tuh perjalanan regu. Merayakan Hallowen.” Yulissa kembali diam, dia melirik sejenak kepada Bibi. Dia teringat akan percakapan mereka sebelumnya, di mana kabar akan teror yang hanya terjadi di kota ini, sedangkan pada cakupan luar hampir tidak pernah terusik. Mereka berdua sempat kebingungan akan apa yang pelaku teror itu inginkan sehingga mengincar benar penduduk kota ini. Sehingga kini, Yulissa berpendapat di dalam hati, “Jika anakku berada di luar dari kota ini, tidakkah itu memberinya perlindungan secara tidak langsung? Ah, aku berharap begitu. Sungguh, aku takut jika anakku berkelia
"Beneran, Petunia?" Yonna menatap Petunia dengan terkejut, dahinya sampai mengerut, tetapi sorotnya justru ceria. Petunia tersenyum seraya mengangguk. "Be-benar, Yon. Sa-saya mengajak kalian se-semua ikut serta. Papi j-juga sudah setuju, d-dia yakin kalian ad-adalah teman baik saya." Malilah menyeringai senang. "Wih, biaya perjalanan ditanggung atau sendiri-sendiri ini?" Akia yang duduk di sebelah Malilah langsung menyenggol lengan perempuan itu sebagai teguran. Dia tersenyum meringis ke arah Petunia, Akia ingin teman baru mereka tersebut tak memikirkan serius apa yang barusan Malilah katakan. "Malilah hanya bercanda, Petunia. Kamu tidak perlu memikirkannya dengan benar-benar." "Ti-tidak masalah, Kiya. Sa-saya Juga ingin mengatakan i-itu. Papi y-yang akan menanggung semua ke-kebutuhan kalian, kita a-akan tinggal di se-sebuah villa besar. Pa-papi saya sudah me-memesannya khusus re-rencana ini
"Mungkin di dianya kali yang gangguan," balas Malilah acuh tak acuh. Yonna mengangguk mencoba memahami, bisa saja masalah sambungan sebenarnya terdapat pada ponsel Petunia. "Oke, deh. Jadi, fix ini ya, mereka sudah urus?" tanyanya sekali lagi ingin meyakinkan. Mendengar itu, Malilah mengangguk mantap. "Iya, jadi nggak usah lagi pikirin. Kita tinggal tunggu hasil, semoga aja bisa selesai secepatnya." "Semoga. Terus, liburan sekolah gimana?" Yonna berbaring di atas ranjangnya, punggung perempuan itu terasa penat. Malilah mengedikkan bahu, dia juga belum mendengar kabar terbaru mengenai masa libur sekolah. "Nggak tahu, Yon. Kalau diminta sekolah lagi, kayaknya banyak yang belum setuju. Menurutku ya, ini." Mengangguk, Yonna setuju. "Setuju, sih. Soalnya terornya cuma di kota kita. Sedangkan di kota-kota lain, nggak ada kabarnya. Aku jadi heran sendiri, punya dendam apa sih,
Yonna baru selesai membersihkan diri, dia tidak tahan dengan rasa gerah di badan. Luther sudah pulang beberapa menit yang lalu. Beruntung masalah tadi tidak berakhir panjang, dia tidak ingin bila harus bertengkar lagi dengan Luther. Kini, pertengkaran adalah hal yang paling dia hindari.Mengeringkan rambut, Yonna melirik jam di dinding. Pukul setengah tujuh. Dia kembali memandang pantulan wajahnya di cermin. Selama mengarahkan pengering rambut, tanpa sengaja mata Yonna tertuju pada ukulele kecil di belakang. Tampak kaku dan berdebu. Warna asli tidak begitu kelihatan, menampakkan dengan jelas kalau benda tersebut sudah lama tidak tersentuh.Mematikan pengering rambut, Yoona melangkah dan bergerak mengambil ukulele kesayangannya."Aish, aku suda
Memperdalam ciuman, Yonna menggigit kecil bibir Luther. Dari posisi itu, Yonna dapat merasakan senyuman terbit dari bibir kekasihnya.Melepaskan diri, keduanya meraih udara sebanyak mungkin. Dada bergerak naik dan turun. Keringat juga mengalir di pelipisnya masing-masing.Sama-sama menetralkan tatapan yang sayu, Yonna menopangkan dagunya pada pundak Luther. "Kamu beneran sudah nggak marah lagi, 'kan? Nanti sampai di rumah, tahu-tahu diemin aku lagi besoknya.""Nggak. Kenapa mikir gitu?""Kan, siapa tahu." Yonna mencari posisi yang nyaman, tetapi memberi efek yang berbeda terhadap Luther."Shh… Jangan gerak yang aneh-aneh, Cantik. Kalau bangun, gimana?"Terkekeh, Yonna akhirnya diam. "Nggak sengaja."Mengelus punggung Yonna dengan lembut, Luther mengambil remote televisi. Menghidupkan layar besar yang menem
Keluar dari restoran, mereka berencana langsung menuju kantor polisi. "Tu-tunggu, apa tidak m-masalah bila kita me-melaporkan hal ini langsung?" "Kenapa, Ki? Biasanya kan, orang-orang langsung laporan ke sana," ujar Malilah bingung. "Ho-oh, memangnya mau ke mana lagi?" tanya Dovis. "S-saya takut ki-kita dianggap mempermainkan m-mereka." "Jangan takut, Petunia. Maka dari itu bagusnya kita langsung laporan sama mereka, kita kan bawa barang bukti. Kalau tadi lewat telepon, baru deh, mereka berhak curiga." Malilah membenarkan ucapan Yonna. "Betul, tuh. Kalau kita langsung ngomong empat mata, polisi di sana bisa aja nilai sendiri kita ini bohong apa nggak." Petunia mengangguk paham, sebenarnya ia ingin menawarkan untuk menghubungi salah satu aparat yang Papinya kenal. Agar lebih mudah dan nyaman. "Memangnya kamu ingin menggunakan cara apa selain yang tadi, Petunia?" Akia membenarkan letak tas selempangnya. "Sa-