Tiba-tiba Dante kembali menarik kepalaku dan menciumku lagi namun kali ini dengan cara yang lebih rakus.
Aku memukul-mukul dadanya mencoba melepaskan diri. Aku tak ingin diriku terlihat sedang melakukan hal tak senonoh ini di depan Hans.
“Dante lepaskan!” ucapku di sela-sela ciuman.
Bukannya melepaskan, Dante justru memperdalam ciumannya dan berbisik ke telingaku.
“Kamu sudah berjanji akan putus hubungan dengannya. Lalu kamu juga berkata akan memutuskannya dengan cara yang kejam. Sekarang aku akan membantumu,” bisiknya lalu kembali menciumku.
Aku terdiam dan membiarkan Dante menciumku tanpa balasan.
Dante benar, aku tidak perlu menjelaskan apapun kepada Hans. Justru cara ini akan membuat Hans bisa melupakanku dengan mudah karena menjadikanku sebagai orang jahat di pikirannya.
Menyadari hal itu, aku membalas ciuman Dante dan dapat dirasakan bahwa Dante tersenyum dibalik ciuman yang dilakukannya.
‘Maafkan aku Hans. Aku harus melakukannya agar kamu tidak perlu pergi ke neraka ini bersamaku.’
Ketika aku sibuk dengan pikiranku, manikku seketika membulat ketika merasakan sentuhan dari telapak tangan Dante di balik bajuku. Apa yang dia lakukan? Apa dia gila?
Dalam hati, ingin sekali aku menghajar wajah tampan Dante saat itu juga. Namun, aku sudah terlanjur memulai sandiwara. Tak peduli seberapa besar aku membencinya, aku tak bisa menghentikan sandiwara ini.
Terlalu fokus dengan lumatan bibir Dante, aku tak sadar jika Hans melangkah cepat ke arahku.
Dengan wajahnya yang memerah, tiba-tiba Hans menarik kerah Dante dan melayangkan satu pukulan pada wajahnya hingga sudut bibir Dante pecah.
Bug!
Aku bisa melihat manik Hans yang menggelap, membuatku terkejut karena ini adalah pertama kalinya aku melihat Hans benar-benar marah.
Berbanding terbalik dengan Hans yang dipenuhi dengan emosi, Dante justru memamerkan giginya yang kini berwarna merah pekat. Pria itu… tertawa?
Melihat itu, Hans kembali meraih kerah Dante dan mengangkat tinggi kepalan tangannya.
Tidak. Pria itu tak boleh mati sekarang. Jika Dante mati, maka dia harus mati di tanganku!
Dengan cepat aku meraih kepalan tangan Hans, “Tolong hentikan, Hans!”
Hans pun menoleh ke arahku dengan wajah sayu seolah meminta penjelasan kepadaku.
“Jelaskan padaku apa yang terjadi, Alice?” tanya Hans.
‘Maafkan aku, Hans. Sekarang semuanya sudah berbeda. Aku sudah tidak bisa bersikap egois dan mengharapkan kebahagiaan lalu melupakan kematian Ayahku. Aku harus mencari tahu penyebab kematian Ayah dan membalaskan dendam Ayah agar dia bisa hidup tenang di sana.’ batinku.
Aku bisa melihat dengan jelas tatapan kebingungan Hans. Dia terlihat marah sekaligus sedih.
“Maaf, Hans. Tapi aku sudah muak berpacaran denganmu. Aku butuh pria kaya raya yang bisa menjamin masa depanku. Dulu aku berpacaran denganmu karena kamu putra dari pemilik perusahaan. Siapa sangka, justru Dante sepupumu yang menjadi CEO di sana. Jadi sekarang aku lebih memilih Dante dibandingkan kamu yang baru saja merintis usaha dan belum tentu berhasil,” ucapku dengan lugas. Padahal sebenarnya perasaanku sangat hancur mengingat orang yang selalu ada untukku saat suka dan duka hanyalah Hans.
Mata Hans berkaca-kaca mendengar ucapanku. Dia pasti sangat kecewa sekarang.
“Kamu pasti sedang berpura-pura kan, Alice? Aku tidak percaya mendengar kata-kata ini darimu, kamu pasti hanya bersandiwara,” ucap Hans meraih lenganku.
Dengan terpaksa aku menghempaskan tangan Hans dan meninggalkan Hans di ruangan itu bersama Dante.
Aku tidak bisa berpura-pura dalam waktu yang lama karena ini benar-benar menyesakkan. Aku benar-benar tidak bisa menahan air mataku untuk terjatuh.
Aku berlari ke kamar dan menangis sejadi-jadinya hingga aku kelelahan dan tanpa sadar aku tertidur dalam kondisi mata sembab.
***
Paginya aku terbangun dan mataku sepertinya bengkak. Aku memandangi seluruh ruangan kamarku. Ah tidak, maksudku kamar yang disediakan untukku. Ruangan ini kosong dan hanya menyisakan makanan di atas nakas.
Dengan segera aku menghabiskan makanan yang tersedia dan berjalan keluar dari rumah besar milik Dante ini.
Aku harus membuat strategi yang matang untuk menyusun rencana selanjutnya. Jadi aku harus tahu rute di rumah ini.
Jujur saja perasaanku masih sangat sakit mengingat aku tadi malam harus melukai perasaan orang yang benar-benar sangat aku cintai. Namun walau bagaimana, aku harus terus melangkah maju dan berpikir maju. Aku tidak boleh terjebak oleh perasaanku.
Saat berkeliling aku menemukan sebuah gerbang yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Gerbang itu sangat besar dan banyak penjaga di depannya. Aku juga melihat ada beberapa pelayan yang hendak masuk namun dicegat dan hanya satu pelayan setengah baya yang keluar lalu mengambil barang yang dibawa pelayan lainnya.
“Mengapa hanya dia seorang yang boleh masuk?”
Aku mengenal jelas pelayan yang baru saja masuk ke gerbang tadi. Pelayan itu adalah pelayan yang kutemui saat pertama kali ke rumah ini.
Dia pasti menyimpan rahasia.
Dengan cepat, aku kembali ke kamarku dan mencari cara untuk melihat ada apa di balik gerbang besar itu.
Bermodalkan nekat aku naik ke atas atap. Untungnya ada pipa besar tempat saluran air di pinggir atap rumah Dante. Jadi aku bisa bergelantungan sejenak lalu berhasil naik ke atas atap.
Sepertinya sekarang cara panjatku sudah jauh lebih baik dari monyet.
Aku melihat sekeliling dan siapa sangka ada rumah besar lain di seberang rumah ini. Jaraknya juga tidak jauh. Dengan cepat aku melompat ke rumah berikutnya.
“Dante?”
Aku bisa melihat Dante di sana. Tapi, mengapa ada yang aneh dengan suami kontrakku itu?
Dante mengenakan pakaian sweater berwarna baby blue! Sejak kapan dia menyukai warna-warna pastel?
Dia juga tersenyum seraya menyirami bunga-bunga yang tumbuh dengan subur. Berbeda dengan rumah yang aku tempati, tempat rumah yang kutinggali tampak gersang. Hal ini seperti perbedaan yang kontras antara rumah setan dan malaikat, antara gelap dan terang. Suasananya benar-benar sangat berbeda.
Aku mengendap-ngendap lebih dekat lagi saat pelayan paruh baya yang membawa beberapa cemilan keluar dari gerbang.
Namun siapa sangka atap ini ternyata begitu licin dan membuat kakiku salah melangkah.
“Ah!”
Aku memejamkan mataku siap kalau punggungku akan mencium tanah yang keras. Namun aku justru merasakan sebuah tangan kekar yang menangkapku.
Sial.
Aku pasti ketahuan dan Dante akan membunuhku.
Jantungku berdetak kencang dengan sedikit memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan Dante lakukan padaku.
Tempat ini sepertinya sangat rahasia dan pasti hal itu terjadi bukan tanpa alasan. Pasti ada yang disembunyikan di sini.
Dengan hati-hati aku membuka kelopak mataku.
“Kamu baik-baik saja?” ucap suara dengan nada lembut yang belum pernah aku dengar sebelumnya.
Mengapa … pria ini berbeda 180 derajat dari Dante? Aku yakin, pria ini bukanlah Dante. Meskipun mirip, tak mungkin pria itu berkata lembut kepadaku seperti ini.
Atau jangan-jangan… dia kembaran Dante seperti yang bibi pelayan katakan sebelumnya?
Mungkin saja benar, itu alasannya dia mengurungnya di sini karena keluarga biasanya merupakan kelemahan seseorang.
Orang yang mirip Dante itu menurunkanku dan membantuku berdiri tegak.
“Siapa namamu? Entah kenapa wajahmu sangat tidak asing. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” tanyanya.
Jika pria itu tidak mengenaliku, maka dugaanku benar. Dia pasti kembaran Dante!
“Namaku Alice, apa kamu pernah mendengarnya? Namamu siapa?” tanyaku.
“Namaku Daren, namamu sama seperti nama gadis yang aku sukai saat masih TK,” jawabnya membuatku terkekeh.
Anak TK hanya tahu bermain, bagaimana bisa dia menceletukkan kalimat tidak masuk akal seperti itu?
“Bagaimana mungkin? Aku tidak pernah memiliki teman bernama Daren saat masih TK,” jawabku.
“Jadi begitu, berarti kamu bukan orang yang aku sukai itu,” balasnya mengangguk-angguk.
“Ayo duduk, aku akan membantumu,” ajaknya mengambilkan kursi dan meletakkannya di belakangku.
Dia sangat manis, berbeda dengan Dante yang selalu menatapku dingin, dan menyentuhku dengan tidak senonoh. Pria itu justru memperlakukanku dengan hati-hati.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Daren.
Seketika aku terdiam mendengar pertanyaannya. Aku bingung harus menjawabnya apa.
“Kalau kamu tidak nyaman menjawabnya, tidak usah dijawab. Aku cukup senang memiliki teman baru disini,” jawabnya duduk di hadapanku.
“Kalau boleh tau, kamu kembaran Dante?” tanyaku terus terang.
Mendengar pertanyaanku, Daren tertawa terbahak-bahak hingga air mata keluar dari sudut matanya.
“Kamu akan menemukan jawabannya nanti. Tenang saja, aku akan memberimu petunjuk,” jawabnya benar-benar terdengar seperti teka teki.
“Pertama, aku memiliki tanda lahir di sini,” ucap Daren membuka kancing kemejanya dan menunjukkan tanda lahir berbentuk bulat di tengah-tengah dadanya.
Melihat itu aku menutup mataku dengan tangan.
“Maafkan aku, aku terlalu bersemangat untuk memberimu petunjuk,” ujar Daren terdengar jelas suara kekehannya.
“Sekarang ayo masuk ke dalam rumah, aku akan memberikan petunjuk lain,” ajaknya.
Aku pun berdiri ketika Daren berjalan mendahuluiku. Namun siapa sangka ternyata kakiku sangat sakit ketika aku mengambil langkah.
“Ah,” pekikku.
Seketika Daren menoleh dan melihatku yang kesakitan.
“Jangan bergerak, sepertinya kamu terkilir ketika terpeleset tadi,” ucap Daren berjalan mendekatiku.
Siapa sangka Daren tiba-tiba meraih tanganku dan menyilangkannya pada lehernya lalu membopong tubuhku.
“Daren, apa yang kamu lakukan?”
“Ah!”Aku meringis kesakitan kala Daren memijat kakiku yang terkilir karena terjatuh dari atap. Meskipun pria itu menyentuhku dengan lembut, tetap saja, kakiku terasa nyeri.“Bisakah kamu melakukannya dengan lebih lembut lagi?” tanyaku setengah memohon.Daren tersenyum mendengar permintaanku. Seketika, aku terdiam, karena aku hampir tak pernak melihat senyuman di wajah suamiku sendiri. Senyum tulus yang menggemaskan, bukan seringai yang membuatku bergidik ngeri. “Kali ini akan lebih sakit dari yang tadi, tapi setelah ini kakimu akan sembuh, bersiaplah,” tutur Daren memegang pergelangan kakiku dan membuatku seketika menahan nafas.Daren kembali terkekeh, “Jangan tegang, ini tidak terlalu sakit. Kalau kamu takut, pejamkan saja matamu dan serahkan sisanya padaku,” tutur Daren yang dengan cepat kuturuti.Aku dengan cepat menutup mataku dan mencoba menggigit tanganku sendiri ketika Daren mulai menggerakkan kakiku.“Argh!”Aku berteriak dengan sangat nyaring karena kakiku terasa dipatahkan
Setelah tidak sengaja bertemu dengan bibi pelayan pada akhirnya aku diminta untuk kembali ke kamar tanpa mengucapkan sepatah kata pun bahkan tanpa berpamitan kepada Daren. Kalau dipikir-pikir, aku bisa mati kalau bibi pelayan itu melaporkan semuanya kepada Dante.Aku pun berjalan keluar kamar. Mataku menyapu seluruh ruangan mencari keberadaan Dante ataupun bibi pelayan. Aku melihat keduanya sedang berbicara serius di ruang tamu, sampai sang pelayan mengeryitkan dahinya. Dengan hati-hati, aku bersembunyi, berusaha melebarkan telingaku untuk mendengar inti pembicaraan mereka.“Tuan Dante, tapi Nona Alice–” Sial! Manikku dan juga sang pelayan bertemu, membuat pelayan itu tiba-tiba menghentikan pembicaraannya dan terdiam. Spontan, detak jantungku meningkat. Aku merasa panik, takut jika emosi Dante kembali membuncah dan melepaskan amarahnya padaku.Namun, aku tetap berusaha fokus. Kuarahkan mataku pada pergelangan tangan Dante yang sedang memegang ponsel. Ada gelang yang sama dengan m
Karena terlalu panik aku melupakan waktu terbaikku untuk melihat tanda lahir di dada Dante. Aku menarik tanganku dari dada bidang Dante dan sekarang semuanya terlambat karena Dante menjauhkan dirinya dariku.“Aku beri waktu 10 detik, kalau kamu pergi dari sini, aku tidak akan menganggapmu ingin memintaku memuaskan hasratmu dan kalau kalau kamu tidak pergi, aku akan menganggap dirimulah yang memintaku untuk bertindak lebih,” ujar Dante berkacak pinggang seraya mengibas-ngibaskan rambut basahnya dengan satu tangannya.Mendengar itu aku segera mengambil langkah cepat untuk keluar dari kamar mandi. Namun Dante menghitungnya dengan sangat cepat. Aku yakin dia hanya membutuhkan waktu dua detik untuk menghitung sampai sepuluh saking cepatnya dia menghitung.Bahkan aku baru saja mengambil dua langkah kaki dan baru saja memutar knop pintu yang ternyata dikunci sehingga memperlambat langkahku untuk keluar.Kapan ini dikunci?Brak.Sebuah tangan menghalangi pintu untuk dibuka.“Mampus,” gumamku m
Cahaya matahari mulai menembus tirai putih di kamar Dante dan sangat menyilaukan hingga membuat mataku tergerak untuk terbuka.Siapa sangka aku juga ikut tertidur di kamar Dante.Aku menunduk melihat Dante yang masih tidur di pangkuanku.Sungguh lututku keram karena semalaman dengan posisi duduk sambil memangku Dante.Di waktu singkat yang tersisa ini aku memandangi wajah Dante yang tidur terlentang di pangkuanku.Bulu matanya panjang, tebal dan lurus. Bibirnya merah ranum, rahangnya yang tegas, hidungnya yang mancung. Semuanya tampak sempurna di wajah Dante.Tanpa sadar aku tersenyum memandangi wajah Dante. Siapa sangka wajah sebaik ini ternyata adalah sosok yang kejam dan tak bisa ditebak.Jika hanya melihat wajahnya saja, semua orang pasti tertipu.Ting ting.Suara alarm dari gawai Dante berdenting membuatku tersadar untuk cepat pergi dari kamar Dante atau nanti Dante mungkin saja marah besar ketika melihatku ada di kamarnya.Dante menggeliat dan pada saat itu aku mengangkat kepal
“Selamat datang Tuan Dante yang tampan dan tak ada duanya di rumah ini,” ucapku menyambut kedatangan Dante yang baru saja datang dari kantor dengan ekspresi datar andalannya.Aku memamerkan senyum selebar lautan dan menyambut Dante sehangat mungkin.Namun bisa dilihat Dante melengos membuang muka.Dia tidak terlalu merespon sambutan dariku.Mungkin dia lelah.Tidak apa, aku tidak akan menyerah untuk menunjukkan hal baik kepadanya.Aku pun segera mengambilkan sandal bersih untuk Dante dan meletakkannya di depan kaki Dante.“Kamu aneh, sejak kapan kamu mau melakukan hal rendahan seperti ini?” tanya Dante yang tak butuh jawaban karena Dante langsung mengenakan sandal tersebut dan melenggang menjauh meninggalkanku yang masih di tempat dengan penuh tanda tanya.Ada apa dengan pola pikir Dante.Bisa-bisanya perhatianku ternyata Dante anggap sebagai hal rendahan.Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Sekarang bukan waktunya aku memikirkan sesuatu yang tidak-tidak.Aku harus mengambil langkah se
Setelah mendapat persetujuan dari Dante untuk menunjukkan bahwa masih ada banyak hal baik di dunia ini. Aku sangat bersemangat untuk menyambut kedatangan Dante dari kantor. Apalagi hari ini adalah ulang tahunku. Aku semakin bersemangat untuk membuatkan makanan enak untuk Dante. Seharian aku gunakan untuk menyiapkan makanan untuk Dante sampai tiba waktunya Dante datang saat menjelang malam.Dengan cepat aku bergegas ke pintu depan untuk menyambut kedatangan Dante serta tak lupa mengambilkan sandal bersih untuk Dante.Tak lupa pula aku menarik kedua ujung bibirku ke atas untuk menyunggingkan senyum saat Dante membuka pintu nanti.Klek.Dante membuka pintu dan menatapku sejenak sebelum akhirnya melepas sepatunya dan menggantinya dengan sandal bersih yang aku siapkan.Bisa dilihat Dante menyunggingkan sedikit senyuman yang sangat tipis nyaris tak terlihat.Ahhh senangnya.Dengan sumringah aku menoleh ke arah bibi pelayan yang ikut menyambut kedatangan Dante bersamaku, “Bibi, bibi barusa
“Bibi fotokan aku di sini,” pintaku kepada bibi pelayan yang ikut serta bersamaku atas izin Dante.Tidak mungkin aku hanya berjalan sendiri plonga-plongo tak tahu ingin berbicara dengan siapa.Aku pun menyerahkan ponselku kepada Bibi pelayan tapi Bibi pelayan tampak kebingungan menggunakan ponsel untuk mengambil fotoku.Sepertinya Dante memang merekrut orang yang benar-benar kuno untuk menghindari kebocoran informasi.“Nona, saya tidak tahu cara menggunakannya,” keluh bibi pelayan mengerutkan kening.“Pencet ini berkali-kali,” tuturku menunjuk gambar lingkaran merah di ponsel yang Dante berikan.“Alice.”Panggilan itu bukan berasal dari bibi. Lantas siapa yang memanggilku?Aku mencari sumber suara di tengah keramaian taman bermain.Aku tidak melihat orang yang kukenali di hadapanku.Semuanya hanya orang berlalu lalang dengan wajah baru.Tiba-tiba seseorang menyentuh bahuku dan saat aku menoleh.“Aku Hans.”Mataku membulat sempurna saat melihat Hans di belakangku.Jujur saja aku ingin
Dengan histeris aku melompat kegirangan karena aku berhasil mendapatkan boneka kelinci jumbo yang aku inginkan berkat bantuan Daren.Pemilik permainan itu pun memberikan boneka jumbo itu kepadaku.Setelah mendapatkannya, aku mengingat bahwa Darren ingin naik bianglala. Jadi kami pergi untuk membeli tiket. Tapi sayangnya terdapat masalah di bianglalanya sehingga masih membutuhkan perbaikan.“Yahh,” keluh Daren tampak murung.“Bagaimana kalau kita naik perahu? Pemandangannya di sana kan indah,” ajakku meraih tangan Daren.Daren yang tadinya murung mendadak kembali bersemangat dan kali ini dia yang menarik balik tanganku mendahuluiku untuk pergi membeli tiket naik perahu.“Ayo,” ajak Daren setelah kami membeli tiket naik perahu.Dia mengulurkan tangan ke arahku yang ragu-ragu untuk naik perahu yang bergoyang.“Aku takut perahu ini akan membuatku tenggelam,” keluhku khawatir.Perahunya tampak akan berguling dan aku khawatir kami akan tenggelam.“Tidak apa-apa, Alice. Aku bisa menjamin kes
“Terima kasih.”Mendengar pernyataan itu keluar dari mulut Dante. Aku merasa tubuhku seakan dihantam palu saking terkejutnya.Aku melepaskan pelukanku dari tubuh Dante dan aku bisa melihat dari belakang bahwa Dante mengusap air matanya.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Dante berdiri terlihat akan meninggalkanku.Namun siapa sangka tampaknya Dante tak sanggup menopang tubuhnya sendiri.Dante sempoyongan dan dengan segera aku meraih bahu Dante untuk menangkapnya.Bukannya berhasil. Dante justru berbalik dan aku tak sanggup menahan tubuhnya yang jauh lebih besar dariku.Ah aku memang terlalu percaya diri untuk menangkapnya.Aku pun berakhir berada di bawah Dante. Untungnya Dante masih menopang dirinya dengan kedua tangannya.Dia menyunggingkan senyum, ini senyuman yang kulihat di wajah Daren.“Kamu mencoba menangkapku dengan tubuh kecilmu itu?” ejeknya kemudian.Ah aku tidak jadi memuji senyumnya.Aku memalingkan wajahku dan mendengus kesal.Dante menyingkir dari atasku dan berbaring
Setelah aku memastikan bahwa Daren hanya menyisakan pakaian saja di kamar hotel ini, aku keluar.Ternyata sudah ada orang suruhan Dante yang menungguku di depan hotel.Tanpa harus bertanya atau permisi mereka segera membawaku ke dalam mobil dan kembali ke tengah hutan rumah Dante.Aku melihat arah perjalanan ke rumah Dante dan itu benar-benar menyeramkan. Semuanya hutan rimbun dan bahkan ada banyak hewan buas yang berkeliaran.Pantas saja Dante memiliki pagar yang cukup tinggi. Kalau tidak, mungkin dia akan menjadi santapan singa.Tapi yang lebih aneh lagi kenapa dia mau membuat rumah di tengah hutan? Bukankah itu gila?Dalam kurun waktu 1 jam kami pun sampai di Mansion Dante dan satu hal yang aku lihat saat masuk mansion.Wajah khawatir semua orang.“Ada apa?” tanyaku.“Sepertinya Tuan sakit, dia batuk-batuk namun pintu kamarnya dikunci dan Tuan melarang siapapun untuk masuk. Kami khawatir kondisinya memburuk karena Tuan bahkan menolak makan pagi ini,” terang Bibi pelayan.“Gampang,”
Dengan histeris aku melompat kegirangan karena aku berhasil mendapatkan boneka kelinci jumbo yang aku inginkan berkat bantuan Daren.Pemilik permainan itu pun memberikan boneka jumbo itu kepadaku.Setelah mendapatkannya, aku mengingat bahwa Darren ingin naik bianglala. Jadi kami pergi untuk membeli tiket. Tapi sayangnya terdapat masalah di bianglalanya sehingga masih membutuhkan perbaikan.“Yahh,” keluh Daren tampak murung.“Bagaimana kalau kita naik perahu? Pemandangannya di sana kan indah,” ajakku meraih tangan Daren.Daren yang tadinya murung mendadak kembali bersemangat dan kali ini dia yang menarik balik tanganku mendahuluiku untuk pergi membeli tiket naik perahu.“Ayo,” ajak Daren setelah kami membeli tiket naik perahu.Dia mengulurkan tangan ke arahku yang ragu-ragu untuk naik perahu yang bergoyang.“Aku takut perahu ini akan membuatku tenggelam,” keluhku khawatir.Perahunya tampak akan berguling dan aku khawatir kami akan tenggelam.“Tidak apa-apa, Alice. Aku bisa menjamin kes
“Bibi fotokan aku di sini,” pintaku kepada bibi pelayan yang ikut serta bersamaku atas izin Dante.Tidak mungkin aku hanya berjalan sendiri plonga-plongo tak tahu ingin berbicara dengan siapa.Aku pun menyerahkan ponselku kepada Bibi pelayan tapi Bibi pelayan tampak kebingungan menggunakan ponsel untuk mengambil fotoku.Sepertinya Dante memang merekrut orang yang benar-benar kuno untuk menghindari kebocoran informasi.“Nona, saya tidak tahu cara menggunakannya,” keluh bibi pelayan mengerutkan kening.“Pencet ini berkali-kali,” tuturku menunjuk gambar lingkaran merah di ponsel yang Dante berikan.“Alice.”Panggilan itu bukan berasal dari bibi. Lantas siapa yang memanggilku?Aku mencari sumber suara di tengah keramaian taman bermain.Aku tidak melihat orang yang kukenali di hadapanku.Semuanya hanya orang berlalu lalang dengan wajah baru.Tiba-tiba seseorang menyentuh bahuku dan saat aku menoleh.“Aku Hans.”Mataku membulat sempurna saat melihat Hans di belakangku.Jujur saja aku ingin
Setelah mendapat persetujuan dari Dante untuk menunjukkan bahwa masih ada banyak hal baik di dunia ini. Aku sangat bersemangat untuk menyambut kedatangan Dante dari kantor. Apalagi hari ini adalah ulang tahunku. Aku semakin bersemangat untuk membuatkan makanan enak untuk Dante. Seharian aku gunakan untuk menyiapkan makanan untuk Dante sampai tiba waktunya Dante datang saat menjelang malam.Dengan cepat aku bergegas ke pintu depan untuk menyambut kedatangan Dante serta tak lupa mengambilkan sandal bersih untuk Dante.Tak lupa pula aku menarik kedua ujung bibirku ke atas untuk menyunggingkan senyum saat Dante membuka pintu nanti.Klek.Dante membuka pintu dan menatapku sejenak sebelum akhirnya melepas sepatunya dan menggantinya dengan sandal bersih yang aku siapkan.Bisa dilihat Dante menyunggingkan sedikit senyuman yang sangat tipis nyaris tak terlihat.Ahhh senangnya.Dengan sumringah aku menoleh ke arah bibi pelayan yang ikut menyambut kedatangan Dante bersamaku, “Bibi, bibi barusa
“Selamat datang Tuan Dante yang tampan dan tak ada duanya di rumah ini,” ucapku menyambut kedatangan Dante yang baru saja datang dari kantor dengan ekspresi datar andalannya.Aku memamerkan senyum selebar lautan dan menyambut Dante sehangat mungkin.Namun bisa dilihat Dante melengos membuang muka.Dia tidak terlalu merespon sambutan dariku.Mungkin dia lelah.Tidak apa, aku tidak akan menyerah untuk menunjukkan hal baik kepadanya.Aku pun segera mengambilkan sandal bersih untuk Dante dan meletakkannya di depan kaki Dante.“Kamu aneh, sejak kapan kamu mau melakukan hal rendahan seperti ini?” tanya Dante yang tak butuh jawaban karena Dante langsung mengenakan sandal tersebut dan melenggang menjauh meninggalkanku yang masih di tempat dengan penuh tanda tanya.Ada apa dengan pola pikir Dante.Bisa-bisanya perhatianku ternyata Dante anggap sebagai hal rendahan.Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Sekarang bukan waktunya aku memikirkan sesuatu yang tidak-tidak.Aku harus mengambil langkah se
Cahaya matahari mulai menembus tirai putih di kamar Dante dan sangat menyilaukan hingga membuat mataku tergerak untuk terbuka.Siapa sangka aku juga ikut tertidur di kamar Dante.Aku menunduk melihat Dante yang masih tidur di pangkuanku.Sungguh lututku keram karena semalaman dengan posisi duduk sambil memangku Dante.Di waktu singkat yang tersisa ini aku memandangi wajah Dante yang tidur terlentang di pangkuanku.Bulu matanya panjang, tebal dan lurus. Bibirnya merah ranum, rahangnya yang tegas, hidungnya yang mancung. Semuanya tampak sempurna di wajah Dante.Tanpa sadar aku tersenyum memandangi wajah Dante. Siapa sangka wajah sebaik ini ternyata adalah sosok yang kejam dan tak bisa ditebak.Jika hanya melihat wajahnya saja, semua orang pasti tertipu.Ting ting.Suara alarm dari gawai Dante berdenting membuatku tersadar untuk cepat pergi dari kamar Dante atau nanti Dante mungkin saja marah besar ketika melihatku ada di kamarnya.Dante menggeliat dan pada saat itu aku mengangkat kepal
Karena terlalu panik aku melupakan waktu terbaikku untuk melihat tanda lahir di dada Dante. Aku menarik tanganku dari dada bidang Dante dan sekarang semuanya terlambat karena Dante menjauhkan dirinya dariku.“Aku beri waktu 10 detik, kalau kamu pergi dari sini, aku tidak akan menganggapmu ingin memintaku memuaskan hasratmu dan kalau kalau kamu tidak pergi, aku akan menganggap dirimulah yang memintaku untuk bertindak lebih,” ujar Dante berkacak pinggang seraya mengibas-ngibaskan rambut basahnya dengan satu tangannya.Mendengar itu aku segera mengambil langkah cepat untuk keluar dari kamar mandi. Namun Dante menghitungnya dengan sangat cepat. Aku yakin dia hanya membutuhkan waktu dua detik untuk menghitung sampai sepuluh saking cepatnya dia menghitung.Bahkan aku baru saja mengambil dua langkah kaki dan baru saja memutar knop pintu yang ternyata dikunci sehingga memperlambat langkahku untuk keluar.Kapan ini dikunci?Brak.Sebuah tangan menghalangi pintu untuk dibuka.“Mampus,” gumamku m
Setelah tidak sengaja bertemu dengan bibi pelayan pada akhirnya aku diminta untuk kembali ke kamar tanpa mengucapkan sepatah kata pun bahkan tanpa berpamitan kepada Daren. Kalau dipikir-pikir, aku bisa mati kalau bibi pelayan itu melaporkan semuanya kepada Dante.Aku pun berjalan keluar kamar. Mataku menyapu seluruh ruangan mencari keberadaan Dante ataupun bibi pelayan. Aku melihat keduanya sedang berbicara serius di ruang tamu, sampai sang pelayan mengeryitkan dahinya. Dengan hati-hati, aku bersembunyi, berusaha melebarkan telingaku untuk mendengar inti pembicaraan mereka.“Tuan Dante, tapi Nona Alice–” Sial! Manikku dan juga sang pelayan bertemu, membuat pelayan itu tiba-tiba menghentikan pembicaraannya dan terdiam. Spontan, detak jantungku meningkat. Aku merasa panik, takut jika emosi Dante kembali membuncah dan melepaskan amarahnya padaku.Namun, aku tetap berusaha fokus. Kuarahkan mataku pada pergelangan tangan Dante yang sedang memegang ponsel. Ada gelang yang sama dengan m