“Mengapa kamu berubah drastis dan memilih melayaniku?” tanya Dante saat aku mengantarkan makan malam untuknya. Dia menatapku dengan penuh selidik seolah mencari jawaban melalui gerak gerikku.
Memang benar, sejak aku menyaksikan sendiri dengan mataku bagaimana jasad ayahku diambil, dan dibawa entah kemana, duniaku seakan runtuh. Detik itu juga, aku mulai memiliki keinginan untuk menghabisi Dante dan juga orang-orang yang telah membuat hidup keluargaku sengsara dengan tanganku sendiri.
Aku memutuskan untuk mengikuti semua perintah Dante, tak peduli tentang betapa arogan dan buruk emosi pria itu. Aku tetap berlutut di hadapannya demi mendapatkan kepercayaan dari Dante.
“Sekarang aku tidak memiliki sandaran lagi. Aku juga tidak memiliki pekerjaan dan semua keluargaku sudah meninggal. Jadi aku akan melakukan yang terbaik agar kamu tidak mengusirku saat kamu bosan dengan keberadaanku, aku melakukan ini hanya untuk bertahan hidup,” jawabku menunduk.
“Benarkah? Bukannya karena kamu menyimpan dendam padaku?” tanya Dante menyipitkan mata dan menatapku.
Entah mengapa, tatapan Dante seolah sedang membaca gerak gerikku. Aku pun reflek menelan air ludahku, mencoba menghilangkan rasa panik yang mulai muncul.
Dengan perlahan, aku melangkahkan kakiku menuju Dante. Dengan keberanian yang entah dari mana muncul, aku menyentuh tangan Dante dengan perlahan, dan menatapnya nanar. “Aku tak punya nyali untuk melawanmu, Dante. Tak peduli apa yang kamu katakan, mulai sekarang aku akan mengabdikan diri kepadamu.”
Saat itu juga, ujung bibir Dante terangkat, membentuk seringai yang sarat makna. Pria itu bahkan menyentuh jari jemarik dengan lembut.
“Jika Hans mendengar ucapanmu, dia pasti akan sangat kecewa,” ujar Dante mengambil gelas berisikan teh yang sudah aku tuangkan sebelumnya.
“Sekarang aku sudah tidak peduli dengan keberadaan Hans lagi karena kamulah yang menjadi suamiku,” jawabku sambil mengepalkan tangan mencoba menekan semua gejolak emosi dibalik diriku.
Sekarang dia mungkin memang mencurigaiku tapi jika aku mampu bertahan dalam waktu yang cukup lama, aku yakin dia akan mempercayaiku.
Dante menyeringai mendengar penuturan dariku.
“Kemarilah!” pinta Dante menepuk sofa di sampingnya.
Dengan patuh aku duduk di sampingnya.
Dante merangkul bahuku dan berbisik, “Rupanya kamu mencoba menipuku.”
Aku berdiri dari duduk ku, “Aku bersungguh-sungguh, dia bukan pacarku lagi sejak aku menikah denganmu.”
Dante mengangguk-angguk, “Baiklah, kalau begitu bagaimana kamu bisa membuktikan padaku kalau kamu benar-benar menganggapku Tuanmu?” tanya Dante.
Aku sudah menunggu pertanyaan ini sejak tadi.
“Bawa aku ke kota dan aku akan memutuskan hubunganku dengan Hans tepat di hadapanmu,” jawabku cepat.
Dante mengangguk-angguk lalu menyentuh dagunya. Aku hanya bisa menunggu jawaban pasti dari Dante. Semoga dia setuju. Jika dia setuju, aku bisa menyiapkan banyak hal untuk menyempurnakan rencanaku.
“Jadi bagaimana?” tanyaku mencoba memastikan.
“Baiklah, tapi sebelum itu kamu harus membuktikan sesuatu padaku,” jawab Dante.
“Bukti apa?” tanyaku.
Apapun syaratnya akan aku lakukan asalkan dia setuju membawaku ke kota.
“Cium aku! aku harus melihatnya sendiri melalui ciumanmu,” jawabnya.
Astaga, kenapa dia begitu terobsesi dengan ciuman.
Walau begitu, apapun yang terjadi aku tidak boleh membiarkannya sampai mengambil keperawananku karena jika dia sudah mengambilnya. Aku yakin dia akan membuangku.
Begitulah pria. Ini satu-satunya senjataku.
“Apa yang kamu tunggu? Ayo cium aku!” pinta Dante.
Alice ini hanyalah ciuman, tidak lebih. Aku hanya menyentuh kulit. HANYA KULIT!
Aku menarik nafas panjang lalu membuangnya perlahan. Aku mendekatkan wajahku perlahan sedangkan Dante hanya menungguku melakukan tugasku tanpa bereaksi apapun.
Siapa sangka jantungku berdetak kencang saat wajah Dante sudah berjarak sangat dekat dengan wajahku.
Aku bisa melihat dengan jelas bulu mata panjangnya dengan mata yang menatapku tanpa gentar walau aku terus mendekatkan wajahku ke arahnya. Aku juga bisa melihat dengan jelas ujung bibirnya yang terangkat dengan bibir merah ranumnya. Aku baru saja menyadari bahwa ternyata Dante cukup tampan dilihat dari dekat.
Dante tiba-tiba menarik pinggangku dan memiringkan kepalanya agar aku hanya perlu memajukan sedikit wajahku untuk menciumnya.
“Jantungmu berdetak kencang,” ucap Dante setengah berbisik.
Tanpa sadar tubuhku menempel pada dada bidang Dante dan mendengar ucapannya itu refleks aku menjauhkan diri.
“Sudah terlambat untuk melarikan diri,” ujar Dante lalu menarik tubuhku lebih dekat dan meraih kepalaku.
Dengan cepat Dante menciumku dan melumat bibirku dengan lembut.
Jantungku semakin berdetak kencang.
Astaga.
Ini hanya kulit Alice!
Ciuman Dante kali ini benar-benar sangat lembut hingga tanpa sadar aku memejamkan mata dan menikmatinya.
Oh tidak!
Siapapun tolong buat aku sadar!
“Apa yang kamu lakukan Alice?”
Suara itu membuat jantungku terasa akan melompat dari tempatnya. Refleks aku melompat menjauh dari dekat Dante dan melihat ke arah sumber suara.
Mataku terbelalak saat melihat orang yang menegurku. Jantungku berdetak semakin kencang dan kalau boleh aku ingin pingsan saja sekarang.
“Hans, kenapa kamu di sini?”
Tiba-tiba Dante kembali menarik kepalaku dan menciumku lagi namun kali ini dengan cara yang lebih rakus. Aku memukul-mukul dadanya mencoba melepaskan diri. Aku tak ingin diriku terlihat sedang melakukan hal tak senonoh ini di depan Hans. “Dante lepaskan!” ucapku di sela-sela ciuman.Bukannya melepaskan, Dante justru memperdalam ciumannya dan berbisik ke telingaku.“Kamu sudah berjanji akan putus hubungan dengannya. Lalu kamu juga berkata akan memutuskannya dengan cara yang kejam. Sekarang aku akan membantumu,” bisiknya lalu kembali menciumku.Aku terdiam dan membiarkan Dante menciumku tanpa balasan.Dante benar, aku tidak perlu menjelaskan apapun kepada Hans. Justru cara ini akan membuat Hans bisa melupakanku dengan mudah karena menjadikanku sebagai orang jahat di pikirannya.Menyadari hal itu, aku membalas ciuman Dante dan dapat dirasakan bahwa Dante tersenyum dibalik ciuman yang dilakukannya.‘Maafkan aku Hans. Aku harus melakukannya agar kamu tidak perlu pergi ke neraka ini bersa
“Ah!”Aku meringis kesakitan kala Daren memijat kakiku yang terkilir karena terjatuh dari atap. Meskipun pria itu menyentuhku dengan lembut, tetap saja, kakiku terasa nyeri.“Bisakah kamu melakukannya dengan lebih lembut lagi?” tanyaku setengah memohon.Daren tersenyum mendengar permintaanku. Seketika, aku terdiam, karena aku hampir tak pernak melihat senyuman di wajah suamiku sendiri. Senyum tulus yang menggemaskan, bukan seringai yang membuatku bergidik ngeri. “Kali ini akan lebih sakit dari yang tadi, tapi setelah ini kakimu akan sembuh, bersiaplah,” tutur Daren memegang pergelangan kakiku dan membuatku seketika menahan nafas.Daren kembali terkekeh, “Jangan tegang, ini tidak terlalu sakit. Kalau kamu takut, pejamkan saja matamu dan serahkan sisanya padaku,” tutur Daren yang dengan cepat kuturuti.Aku dengan cepat menutup mataku dan mencoba menggigit tanganku sendiri ketika Daren mulai menggerakkan kakiku.“Argh!”Aku berteriak dengan sangat nyaring karena kakiku terasa dipatahkan
Setelah tidak sengaja bertemu dengan bibi pelayan pada akhirnya aku diminta untuk kembali ke kamar tanpa mengucapkan sepatah kata pun bahkan tanpa berpamitan kepada Daren. Kalau dipikir-pikir, aku bisa mati kalau bibi pelayan itu melaporkan semuanya kepada Dante.Aku pun berjalan keluar kamar. Mataku menyapu seluruh ruangan mencari keberadaan Dante ataupun bibi pelayan. Aku melihat keduanya sedang berbicara serius di ruang tamu, sampai sang pelayan mengeryitkan dahinya. Dengan hati-hati, aku bersembunyi, berusaha melebarkan telingaku untuk mendengar inti pembicaraan mereka.“Tuan Dante, tapi Nona Alice–” Sial! Manikku dan juga sang pelayan bertemu, membuat pelayan itu tiba-tiba menghentikan pembicaraannya dan terdiam. Spontan, detak jantungku meningkat. Aku merasa panik, takut jika emosi Dante kembali membuncah dan melepaskan amarahnya padaku.Namun, aku tetap berusaha fokus. Kuarahkan mataku pada pergelangan tangan Dante yang sedang memegang ponsel. Ada gelang yang sama dengan m
Karena terlalu panik aku melupakan waktu terbaikku untuk melihat tanda lahir di dada Dante. Aku menarik tanganku dari dada bidang Dante dan sekarang semuanya terlambat karena Dante menjauhkan dirinya dariku.“Aku beri waktu 10 detik, kalau kamu pergi dari sini, aku tidak akan menganggapmu ingin memintaku memuaskan hasratmu dan kalau kalau kamu tidak pergi, aku akan menganggap dirimulah yang memintaku untuk bertindak lebih,” ujar Dante berkacak pinggang seraya mengibas-ngibaskan rambut basahnya dengan satu tangannya.Mendengar itu aku segera mengambil langkah cepat untuk keluar dari kamar mandi. Namun Dante menghitungnya dengan sangat cepat. Aku yakin dia hanya membutuhkan waktu dua detik untuk menghitung sampai sepuluh saking cepatnya dia menghitung.Bahkan aku baru saja mengambil dua langkah kaki dan baru saja memutar knop pintu yang ternyata dikunci sehingga memperlambat langkahku untuk keluar.Kapan ini dikunci?Brak.Sebuah tangan menghalangi pintu untuk dibuka.“Mampus,” gumamku m
Cahaya matahari mulai menembus tirai putih di kamar Dante dan sangat menyilaukan hingga membuat mataku tergerak untuk terbuka.Siapa sangka aku juga ikut tertidur di kamar Dante.Aku menunduk melihat Dante yang masih tidur di pangkuanku.Sungguh lututku keram karena semalaman dengan posisi duduk sambil memangku Dante.Di waktu singkat yang tersisa ini aku memandangi wajah Dante yang tidur terlentang di pangkuanku.Bulu matanya panjang, tebal dan lurus. Bibirnya merah ranum, rahangnya yang tegas, hidungnya yang mancung. Semuanya tampak sempurna di wajah Dante.Tanpa sadar aku tersenyum memandangi wajah Dante. Siapa sangka wajah sebaik ini ternyata adalah sosok yang kejam dan tak bisa ditebak.Jika hanya melihat wajahnya saja, semua orang pasti tertipu.Ting ting.Suara alarm dari gawai Dante berdenting membuatku tersadar untuk cepat pergi dari kamar Dante atau nanti Dante mungkin saja marah besar ketika melihatku ada di kamarnya.Dante menggeliat dan pada saat itu aku mengangkat kepal
“Selamat datang Tuan Dante yang tampan dan tak ada duanya di rumah ini,” ucapku menyambut kedatangan Dante yang baru saja datang dari kantor dengan ekspresi datar andalannya.Aku memamerkan senyum selebar lautan dan menyambut Dante sehangat mungkin.Namun bisa dilihat Dante melengos membuang muka.Dia tidak terlalu merespon sambutan dariku.Mungkin dia lelah.Tidak apa, aku tidak akan menyerah untuk menunjukkan hal baik kepadanya.Aku pun segera mengambilkan sandal bersih untuk Dante dan meletakkannya di depan kaki Dante.“Kamu aneh, sejak kapan kamu mau melakukan hal rendahan seperti ini?” tanya Dante yang tak butuh jawaban karena Dante langsung mengenakan sandal tersebut dan melenggang menjauh meninggalkanku yang masih di tempat dengan penuh tanda tanya.Ada apa dengan pola pikir Dante.Bisa-bisanya perhatianku ternyata Dante anggap sebagai hal rendahan.Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Sekarang bukan waktunya aku memikirkan sesuatu yang tidak-tidak.Aku harus mengambil langkah se
Setelah mendapat persetujuan dari Dante untuk menunjukkan bahwa masih ada banyak hal baik di dunia ini. Aku sangat bersemangat untuk menyambut kedatangan Dante dari kantor. Apalagi hari ini adalah ulang tahunku. Aku semakin bersemangat untuk membuatkan makanan enak untuk Dante. Seharian aku gunakan untuk menyiapkan makanan untuk Dante sampai tiba waktunya Dante datang saat menjelang malam.Dengan cepat aku bergegas ke pintu depan untuk menyambut kedatangan Dante serta tak lupa mengambilkan sandal bersih untuk Dante.Tak lupa pula aku menarik kedua ujung bibirku ke atas untuk menyunggingkan senyum saat Dante membuka pintu nanti.Klek.Dante membuka pintu dan menatapku sejenak sebelum akhirnya melepas sepatunya dan menggantinya dengan sandal bersih yang aku siapkan.Bisa dilihat Dante menyunggingkan sedikit senyuman yang sangat tipis nyaris tak terlihat.Ahhh senangnya.Dengan sumringah aku menoleh ke arah bibi pelayan yang ikut menyambut kedatangan Dante bersamaku, “Bibi, bibi barusa
“Bibi fotokan aku di sini,” pintaku kepada bibi pelayan yang ikut serta bersamaku atas izin Dante.Tidak mungkin aku hanya berjalan sendiri plonga-plongo tak tahu ingin berbicara dengan siapa.Aku pun menyerahkan ponselku kepada Bibi pelayan tapi Bibi pelayan tampak kebingungan menggunakan ponsel untuk mengambil fotoku.Sepertinya Dante memang merekrut orang yang benar-benar kuno untuk menghindari kebocoran informasi.“Nona, saya tidak tahu cara menggunakannya,” keluh bibi pelayan mengerutkan kening.“Pencet ini berkali-kali,” tuturku menunjuk gambar lingkaran merah di ponsel yang Dante berikan.“Alice.”Panggilan itu bukan berasal dari bibi. Lantas siapa yang memanggilku?Aku mencari sumber suara di tengah keramaian taman bermain.Aku tidak melihat orang yang kukenali di hadapanku.Semuanya hanya orang berlalu lalang dengan wajah baru.Tiba-tiba seseorang menyentuh bahuku dan saat aku menoleh.“Aku Hans.”Mataku membulat sempurna saat melihat Hans di belakangku.Jujur saja aku ingin
“Terima kasih.”Mendengar pernyataan itu keluar dari mulut Dante. Aku merasa tubuhku seakan dihantam palu saking terkejutnya.Aku melepaskan pelukanku dari tubuh Dante dan aku bisa melihat dari belakang bahwa Dante mengusap air matanya.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Dante berdiri terlihat akan meninggalkanku.Namun siapa sangka tampaknya Dante tak sanggup menopang tubuhnya sendiri.Dante sempoyongan dan dengan segera aku meraih bahu Dante untuk menangkapnya.Bukannya berhasil. Dante justru berbalik dan aku tak sanggup menahan tubuhnya yang jauh lebih besar dariku.Ah aku memang terlalu percaya diri untuk menangkapnya.Aku pun berakhir berada di bawah Dante. Untungnya Dante masih menopang dirinya dengan kedua tangannya.Dia menyunggingkan senyum, ini senyuman yang kulihat di wajah Daren.“Kamu mencoba menangkapku dengan tubuh kecilmu itu?” ejeknya kemudian.Ah aku tidak jadi memuji senyumnya.Aku memalingkan wajahku dan mendengus kesal.Dante menyingkir dari atasku dan berbaring
Setelah aku memastikan bahwa Daren hanya menyisakan pakaian saja di kamar hotel ini, aku keluar.Ternyata sudah ada orang suruhan Dante yang menungguku di depan hotel.Tanpa harus bertanya atau permisi mereka segera membawaku ke dalam mobil dan kembali ke tengah hutan rumah Dante.Aku melihat arah perjalanan ke rumah Dante dan itu benar-benar menyeramkan. Semuanya hutan rimbun dan bahkan ada banyak hewan buas yang berkeliaran.Pantas saja Dante memiliki pagar yang cukup tinggi. Kalau tidak, mungkin dia akan menjadi santapan singa.Tapi yang lebih aneh lagi kenapa dia mau membuat rumah di tengah hutan? Bukankah itu gila?Dalam kurun waktu 1 jam kami pun sampai di Mansion Dante dan satu hal yang aku lihat saat masuk mansion.Wajah khawatir semua orang.“Ada apa?” tanyaku.“Sepertinya Tuan sakit, dia batuk-batuk namun pintu kamarnya dikunci dan Tuan melarang siapapun untuk masuk. Kami khawatir kondisinya memburuk karena Tuan bahkan menolak makan pagi ini,” terang Bibi pelayan.“Gampang,”
Dengan histeris aku melompat kegirangan karena aku berhasil mendapatkan boneka kelinci jumbo yang aku inginkan berkat bantuan Daren.Pemilik permainan itu pun memberikan boneka jumbo itu kepadaku.Setelah mendapatkannya, aku mengingat bahwa Darren ingin naik bianglala. Jadi kami pergi untuk membeli tiket. Tapi sayangnya terdapat masalah di bianglalanya sehingga masih membutuhkan perbaikan.“Yahh,” keluh Daren tampak murung.“Bagaimana kalau kita naik perahu? Pemandangannya di sana kan indah,” ajakku meraih tangan Daren.Daren yang tadinya murung mendadak kembali bersemangat dan kali ini dia yang menarik balik tanganku mendahuluiku untuk pergi membeli tiket naik perahu.“Ayo,” ajak Daren setelah kami membeli tiket naik perahu.Dia mengulurkan tangan ke arahku yang ragu-ragu untuk naik perahu yang bergoyang.“Aku takut perahu ini akan membuatku tenggelam,” keluhku khawatir.Perahunya tampak akan berguling dan aku khawatir kami akan tenggelam.“Tidak apa-apa, Alice. Aku bisa menjamin kes
“Bibi fotokan aku di sini,” pintaku kepada bibi pelayan yang ikut serta bersamaku atas izin Dante.Tidak mungkin aku hanya berjalan sendiri plonga-plongo tak tahu ingin berbicara dengan siapa.Aku pun menyerahkan ponselku kepada Bibi pelayan tapi Bibi pelayan tampak kebingungan menggunakan ponsel untuk mengambil fotoku.Sepertinya Dante memang merekrut orang yang benar-benar kuno untuk menghindari kebocoran informasi.“Nona, saya tidak tahu cara menggunakannya,” keluh bibi pelayan mengerutkan kening.“Pencet ini berkali-kali,” tuturku menunjuk gambar lingkaran merah di ponsel yang Dante berikan.“Alice.”Panggilan itu bukan berasal dari bibi. Lantas siapa yang memanggilku?Aku mencari sumber suara di tengah keramaian taman bermain.Aku tidak melihat orang yang kukenali di hadapanku.Semuanya hanya orang berlalu lalang dengan wajah baru.Tiba-tiba seseorang menyentuh bahuku dan saat aku menoleh.“Aku Hans.”Mataku membulat sempurna saat melihat Hans di belakangku.Jujur saja aku ingin
Setelah mendapat persetujuan dari Dante untuk menunjukkan bahwa masih ada banyak hal baik di dunia ini. Aku sangat bersemangat untuk menyambut kedatangan Dante dari kantor. Apalagi hari ini adalah ulang tahunku. Aku semakin bersemangat untuk membuatkan makanan enak untuk Dante. Seharian aku gunakan untuk menyiapkan makanan untuk Dante sampai tiba waktunya Dante datang saat menjelang malam.Dengan cepat aku bergegas ke pintu depan untuk menyambut kedatangan Dante serta tak lupa mengambilkan sandal bersih untuk Dante.Tak lupa pula aku menarik kedua ujung bibirku ke atas untuk menyunggingkan senyum saat Dante membuka pintu nanti.Klek.Dante membuka pintu dan menatapku sejenak sebelum akhirnya melepas sepatunya dan menggantinya dengan sandal bersih yang aku siapkan.Bisa dilihat Dante menyunggingkan sedikit senyuman yang sangat tipis nyaris tak terlihat.Ahhh senangnya.Dengan sumringah aku menoleh ke arah bibi pelayan yang ikut menyambut kedatangan Dante bersamaku, “Bibi, bibi barusa
“Selamat datang Tuan Dante yang tampan dan tak ada duanya di rumah ini,” ucapku menyambut kedatangan Dante yang baru saja datang dari kantor dengan ekspresi datar andalannya.Aku memamerkan senyum selebar lautan dan menyambut Dante sehangat mungkin.Namun bisa dilihat Dante melengos membuang muka.Dia tidak terlalu merespon sambutan dariku.Mungkin dia lelah.Tidak apa, aku tidak akan menyerah untuk menunjukkan hal baik kepadanya.Aku pun segera mengambilkan sandal bersih untuk Dante dan meletakkannya di depan kaki Dante.“Kamu aneh, sejak kapan kamu mau melakukan hal rendahan seperti ini?” tanya Dante yang tak butuh jawaban karena Dante langsung mengenakan sandal tersebut dan melenggang menjauh meninggalkanku yang masih di tempat dengan penuh tanda tanya.Ada apa dengan pola pikir Dante.Bisa-bisanya perhatianku ternyata Dante anggap sebagai hal rendahan.Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Sekarang bukan waktunya aku memikirkan sesuatu yang tidak-tidak.Aku harus mengambil langkah se
Cahaya matahari mulai menembus tirai putih di kamar Dante dan sangat menyilaukan hingga membuat mataku tergerak untuk terbuka.Siapa sangka aku juga ikut tertidur di kamar Dante.Aku menunduk melihat Dante yang masih tidur di pangkuanku.Sungguh lututku keram karena semalaman dengan posisi duduk sambil memangku Dante.Di waktu singkat yang tersisa ini aku memandangi wajah Dante yang tidur terlentang di pangkuanku.Bulu matanya panjang, tebal dan lurus. Bibirnya merah ranum, rahangnya yang tegas, hidungnya yang mancung. Semuanya tampak sempurna di wajah Dante.Tanpa sadar aku tersenyum memandangi wajah Dante. Siapa sangka wajah sebaik ini ternyata adalah sosok yang kejam dan tak bisa ditebak.Jika hanya melihat wajahnya saja, semua orang pasti tertipu.Ting ting.Suara alarm dari gawai Dante berdenting membuatku tersadar untuk cepat pergi dari kamar Dante atau nanti Dante mungkin saja marah besar ketika melihatku ada di kamarnya.Dante menggeliat dan pada saat itu aku mengangkat kepal
Karena terlalu panik aku melupakan waktu terbaikku untuk melihat tanda lahir di dada Dante. Aku menarik tanganku dari dada bidang Dante dan sekarang semuanya terlambat karena Dante menjauhkan dirinya dariku.“Aku beri waktu 10 detik, kalau kamu pergi dari sini, aku tidak akan menganggapmu ingin memintaku memuaskan hasratmu dan kalau kalau kamu tidak pergi, aku akan menganggap dirimulah yang memintaku untuk bertindak lebih,” ujar Dante berkacak pinggang seraya mengibas-ngibaskan rambut basahnya dengan satu tangannya.Mendengar itu aku segera mengambil langkah cepat untuk keluar dari kamar mandi. Namun Dante menghitungnya dengan sangat cepat. Aku yakin dia hanya membutuhkan waktu dua detik untuk menghitung sampai sepuluh saking cepatnya dia menghitung.Bahkan aku baru saja mengambil dua langkah kaki dan baru saja memutar knop pintu yang ternyata dikunci sehingga memperlambat langkahku untuk keluar.Kapan ini dikunci?Brak.Sebuah tangan menghalangi pintu untuk dibuka.“Mampus,” gumamku m
Setelah tidak sengaja bertemu dengan bibi pelayan pada akhirnya aku diminta untuk kembali ke kamar tanpa mengucapkan sepatah kata pun bahkan tanpa berpamitan kepada Daren. Kalau dipikir-pikir, aku bisa mati kalau bibi pelayan itu melaporkan semuanya kepada Dante.Aku pun berjalan keluar kamar. Mataku menyapu seluruh ruangan mencari keberadaan Dante ataupun bibi pelayan. Aku melihat keduanya sedang berbicara serius di ruang tamu, sampai sang pelayan mengeryitkan dahinya. Dengan hati-hati, aku bersembunyi, berusaha melebarkan telingaku untuk mendengar inti pembicaraan mereka.“Tuan Dante, tapi Nona Alice–” Sial! Manikku dan juga sang pelayan bertemu, membuat pelayan itu tiba-tiba menghentikan pembicaraannya dan terdiam. Spontan, detak jantungku meningkat. Aku merasa panik, takut jika emosi Dante kembali membuncah dan melepaskan amarahnya padaku.Namun, aku tetap berusaha fokus. Kuarahkan mataku pada pergelangan tangan Dante yang sedang memegang ponsel. Ada gelang yang sama dengan m