Karena terlalu panik aku melupakan waktu terbaikku untuk melihat tanda lahir di dada Dante. Aku menarik tanganku dari dada bidang Dante dan sekarang semuanya terlambat karena Dante menjauhkan dirinya dariku.
“Aku beri waktu 10 detik, kalau kamu pergi dari sini, aku tidak akan menganggapmu ingin memintaku memuaskan hasratmu dan kalau kalau kamu tidak pergi, aku akan menganggap dirimulah yang memintaku untuk bertindak lebih,” ujar Dante berkacak pinggang seraya mengibas-ngibaskan rambut basahnya dengan satu tangannya.Mendengar itu aku segera mengambil langkah cepat untuk keluar dari kamar mandi. Namun Dante menghitungnya dengan sangat cepat. Aku yakin dia hanya membutuhkan waktu dua detik untuk menghitung sampai sepuluh saking cepatnya dia menghitung.Bahkan aku baru saja mengambil dua langkah kaki dan baru saja memutar knop pintu yang ternyata dikunci sehingga memperlambat langkahku untuk keluar.Kapan ini dikunci?Brak.Sebuah tangan menghalangi pintu untuk dibuka.“Mampus,” gumamku membeku.Aku harap Dante masih mau memberiku toleransi.Dengan sangat lambat dan hati-hati aku menoleh ke arah Dante yang sedang berkacak pinggang disertai senyuman miring yang terlihat horor.Tatapannya benar-benar menunjukkan hasrat yang berbahaya.“Beri aku waktu tambahan,” ucapku nyengir kuda.“Baiklah, tapi untuk waktu tambahan, kamu perlu membayarku,” ucapnya mengambil satu langkah lebih dekat denganku.Astaga.Aku tidak bisa mundur lagi karena punggungku sudah membentur pintu kamar mandi.Aku meneguk saliva.Jantungku berdegup kencang hingga menimbulkan guncangan naik turun pada pundakku.Aku harap Dante tidak berpikiran yang tidak-tidak.“Jadi sebenarnya apa tujuanmu mencariku?” tanya Dante.Aku mengerjapkan mataku bingung akan menjawab apa. Tidak mungkin aku mengatakan bahwa aku ingin melihat dadanya.“A-a-aku hanya ingin bertanya malam ini kamu ingin makan apa?” jawabku ngasal.“Cih,” desis Dante menarik tangannya dari belakangku lalu tertawa mengejekku.Pada saat itu aku bisa melihat sedikit tanda lahir di dada Dante. Namun aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Yang pasti letaknya sama dengan tanda lahir milik Daren.Sangat aneh karena tanda lahir mereka bahkan terletak di tempat yang sama. Namun sejauh ini tak ada petunjuk lain yang bisa aku lihat.Sebenarnya apa yang ingin Daren sampaikan? Andai saja Bibi pelayan tidak datang lebih cepat. Aku pasti akan mendapatkan petunjuk lebih banyak yang mungkin bisa membantuku untuk melawan Dante nantinya.Melihat Dante tampak lengah aku segera membuka kunci kamar mandi dan melarikan diri dari Dante.Dan untunglah.Aku selamat.***Keesokan harinya.saat malam tiba aku keluar dari kamar setelah seharian aku mendekam di kamar dan juga sempat ke rumah sebelah untuk melihat Daren yang tak kunjung terlihat batang hidungnya. Di rumah sebelah bahkan tidak ada seorang pun dan tidak ada tanda-tanda kehidupan.Prang.Suara itu mengalihkan perhatianku dan dengan segera aku melangkahkah kaki ke arah sumber suara.“Haha aku sudah sampai di rumahku yang sepi ini,” ucap suara yang berasal dari Dante yang sudah terkapar di lantai dengan gelas kaca pecah di sampingnya.“Astaga,” pekikku segera beranjak mendekati Dante dan ternyata lengan Dante tergores oleh pecahan gelas kaca yang berserakan. Untungnya lukanya tidak terlalu dalam dan hanya berupa goresan.“Dante ayo bangun,” pintaku meraih lengannya dan mengaitkan tangannya ke leherku.Untungnya Dante mau bangun.Lantas dia meraih anggur di meja dan memegang botol anggur lalu meneguknya beberapa kali.“Aku baru ingat. Sekarang ada kamu di rumahku. Kamu adalah manusia pertama yang mau tinggal di sini bersamaku,” ucap Dante mengoceh seperti burung.“Aku juga terpaksa tinggal di sini,” balasku meraih botol Dante untuk mengalihkan perhatiannya dan meletakkannya di meja.Tak berselang lama tiba-tiba Dante berdiri tegak dan meraih wajahku lalu menangkup wajahku.“Orang ini mabuknya sangat aneh,” gumamku menurunkan tangan Dante dari wajahku namun Dante menolak dan kembali menangkup wajahku.Dante tiba-tiba mendekatkan wajahnya padaku.Cup.“Aku menyukaimu, Alice,” ucapnya setelah memberi kecupan singkat di bibirku.Aku tertegun dan membeku di tempat.Apa yang aku dengar barusan?Apa dia bukan Dante?Atau ini Daren bukan Dante?Tapi pakaian serba gelap ini adalah cara berpakaian Dante.Dante mengguncang tubuhku hingga pikiranku kembali ke tempat.Mendadak dia tertawa terbahak-bahak seperti orang gila.“Aku tidak punya siapa-siapa, Alice. Maukah kamu bersamaku selamanya?” tukas Dante.Mendengar ucapan-ucapan konyolnya itu aku kembali mengaitkan tangan Dante dan membawanya ke kamarnya.Dante kembali tertawa terbahak-bahak yang tak kuhiraukan.Aku tidak bisa meminta bantuan siapapun karena para pelayan Dante tentunya sudah tidur karena malam sudah larut.Dengan cepat aku membuka sepatu Dante dan kaos kakinya.Tiba-tiba aku teringat.“Tanda lahir,” gumamku.Dengan cepat aku membuka kemeja hitam Dante dan melihat tanda lahir Dante yang bentuknya benar-benar sangat mirip dengan milik Daren.“Ada apa ini? Kenapa sangat mirip?”“Kamu Dante atau Daren?” tanyaku mengguncang tubuh Dante.Bukannya menjawab Dante justru meraih tubuhku dan mendekap tubuhku.Aku mencoba melepaskan diri namun tenaganya jauh lebih kuat dariku.“Aku Dante, Daren? Lupakan dia dan tetaplah seperti ini sebentar,” pintanya.Tubuhnya sangat hangat dan bau alkohol sangat menyengat di tubuhnya.Aku yang merasa tidak tahan dengan baunya menggigit dada Dante hingga dia melepaskan dekapannya.Hiks hiks.Tiba-tiba Dante menangis dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya lalu terjatuh membasahi pipinya.Wajahnya benar-benar terlihat menggemaskan jika seperti ini.Aku tidak pernah menduga akan melihat sosok Dante yang seperti ini.Dan Dante adalah satu-satunya manusia yang sangat sulit ku mengerti.Sikapnya yang berubah-ubah seperti cuaca yang tak bisa ditebak kapan hujan.Kadang dia hanya terlihat seperti pria batu, kadang dia seperti singa yang menyeramkan, kadang dia juga seperti pria cabul yang ingin dipenuhi hasratnya.Haha.Siapa sangka aku mulai sedikit mengenalnya.Aku tersenyum dan kembali melihat Dante yang merengek seperti anak kecil, “Oh tidak, maafkan aku, Dante,” ucapku meraih kepalanya dan memangkunya di pahaku.Seandainya Dante seperti ini terus bahkan saat sadar, pasti akan menyenangkan.Mungkin aku akan berpikir dua kali untuk balas dendam walau aku akan tetap balas dendam.“Kamu juga berpikir untuk meninggalkanku?” tanyanya.“Tidak, aku hanya mau mengambilkan air untukmu,” jawabku memberi alasan.Tanpa balasan, Dante memejamkan wajahnya.“Sebenarnya dulu kita sekolah di TK yang sama dan namaku bukan Dante,” ucapnya tiba-tiba.Mataku membulat sempurna setelah Dante mengatakan itu.“Lalu siapa kamu sebenarnya?” tanyaku cepat.Ini informasi yang bisa mengulas balik masa lalu Dante yang tidak aku ketahui dan tentunya ini informasi yang sangat penting untuk diketahui jika ingin membalaskan dendam Ayahku.Dante tak menjawab. Dia justru menyatukan kedua tangannya di pinggangku lalu menenggelamkan wajahnya pada perutku.“Dante, jawab aku. Lalu dimana Daren?” tanyaku menarik bahu Dante menjauhi perutku namun dia tetap kembali menenggelamkan wajahnya pada perutku.“Daren?” tanya Dante.“Iya, dimana dia?”“Dia kadang ada dan kadang tidak ada,” jawabnya membuatku mengernyitkan kening tak mengerti.Jawaban konyol macam apa itu?Begitu banyak pertanyaan yang muncul di kepalaku. Mulai dari kenapa tanda lahir Dante dan Daren semirip itu? Kemana perginya Daren?Besok aku harus bertanya kepada bibi pelayan.Tak peduli dia akan menjawab atau tidak, aku akan tetap mencobanya.Cahaya matahari mulai menembus tirai putih di kamar Dante dan sangat menyilaukan hingga membuat mataku tergerak untuk terbuka.Siapa sangka aku juga ikut tertidur di kamar Dante.Aku menunduk melihat Dante yang masih tidur di pangkuanku.Sungguh lututku keram karena semalaman dengan posisi duduk sambil memangku Dante.Di waktu singkat yang tersisa ini aku memandangi wajah Dante yang tidur terlentang di pangkuanku.Bulu matanya panjang, tebal dan lurus. Bibirnya merah ranum, rahangnya yang tegas, hidungnya yang mancung. Semuanya tampak sempurna di wajah Dante.Tanpa sadar aku tersenyum memandangi wajah Dante. Siapa sangka wajah sebaik ini ternyata adalah sosok yang kejam dan tak bisa ditebak.Jika hanya melihat wajahnya saja, semua orang pasti tertipu.Ting ting.Suara alarm dari gawai Dante berdenting membuatku tersadar untuk cepat pergi dari kamar Dante atau nanti Dante mungkin saja marah besar ketika melihatku ada di kamarnya.Dante menggeliat dan pada saat itu aku mengangkat kepal
“Selamat datang Tuan Dante yang tampan dan tak ada duanya di rumah ini,” ucapku menyambut kedatangan Dante yang baru saja datang dari kantor dengan ekspresi datar andalannya.Aku memamerkan senyum selebar lautan dan menyambut Dante sehangat mungkin.Namun bisa dilihat Dante melengos membuang muka.Dia tidak terlalu merespon sambutan dariku.Mungkin dia lelah.Tidak apa, aku tidak akan menyerah untuk menunjukkan hal baik kepadanya.Aku pun segera mengambilkan sandal bersih untuk Dante dan meletakkannya di depan kaki Dante.“Kamu aneh, sejak kapan kamu mau melakukan hal rendahan seperti ini?” tanya Dante yang tak butuh jawaban karena Dante langsung mengenakan sandal tersebut dan melenggang menjauh meninggalkanku yang masih di tempat dengan penuh tanda tanya.Ada apa dengan pola pikir Dante.Bisa-bisanya perhatianku ternyata Dante anggap sebagai hal rendahan.Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Sekarang bukan waktunya aku memikirkan sesuatu yang tidak-tidak.Aku harus mengambil langkah se
Setelah mendapat persetujuan dari Dante untuk menunjukkan bahwa masih ada banyak hal baik di dunia ini. Aku sangat bersemangat untuk menyambut kedatangan Dante dari kantor. Apalagi hari ini adalah ulang tahunku. Aku semakin bersemangat untuk membuatkan makanan enak untuk Dante. Seharian aku gunakan untuk menyiapkan makanan untuk Dante sampai tiba waktunya Dante datang saat menjelang malam.Dengan cepat aku bergegas ke pintu depan untuk menyambut kedatangan Dante serta tak lupa mengambilkan sandal bersih untuk Dante.Tak lupa pula aku menarik kedua ujung bibirku ke atas untuk menyunggingkan senyum saat Dante membuka pintu nanti.Klek.Dante membuka pintu dan menatapku sejenak sebelum akhirnya melepas sepatunya dan menggantinya dengan sandal bersih yang aku siapkan.Bisa dilihat Dante menyunggingkan sedikit senyuman yang sangat tipis nyaris tak terlihat.Ahhh senangnya.Dengan sumringah aku menoleh ke arah bibi pelayan yang ikut menyambut kedatangan Dante bersamaku, “Bibi, bibi barusa
“Bibi fotokan aku di sini,” pintaku kepada bibi pelayan yang ikut serta bersamaku atas izin Dante.Tidak mungkin aku hanya berjalan sendiri plonga-plongo tak tahu ingin berbicara dengan siapa.Aku pun menyerahkan ponselku kepada Bibi pelayan tapi Bibi pelayan tampak kebingungan menggunakan ponsel untuk mengambil fotoku.Sepertinya Dante memang merekrut orang yang benar-benar kuno untuk menghindari kebocoran informasi.“Nona, saya tidak tahu cara menggunakannya,” keluh bibi pelayan mengerutkan kening.“Pencet ini berkali-kali,” tuturku menunjuk gambar lingkaran merah di ponsel yang Dante berikan.“Alice.”Panggilan itu bukan berasal dari bibi. Lantas siapa yang memanggilku?Aku mencari sumber suara di tengah keramaian taman bermain.Aku tidak melihat orang yang kukenali di hadapanku.Semuanya hanya orang berlalu lalang dengan wajah baru.Tiba-tiba seseorang menyentuh bahuku dan saat aku menoleh.“Aku Hans.”Mataku membulat sempurna saat melihat Hans di belakangku.Jujur saja aku ingin
Dengan histeris aku melompat kegirangan karena aku berhasil mendapatkan boneka kelinci jumbo yang aku inginkan berkat bantuan Daren.Pemilik permainan itu pun memberikan boneka jumbo itu kepadaku.Setelah mendapatkannya, aku mengingat bahwa Darren ingin naik bianglala. Jadi kami pergi untuk membeli tiket. Tapi sayangnya terdapat masalah di bianglalanya sehingga masih membutuhkan perbaikan.“Yahh,” keluh Daren tampak murung.“Bagaimana kalau kita naik perahu? Pemandangannya di sana kan indah,” ajakku meraih tangan Daren.Daren yang tadinya murung mendadak kembali bersemangat dan kali ini dia yang menarik balik tanganku mendahuluiku untuk pergi membeli tiket naik perahu.“Ayo,” ajak Daren setelah kami membeli tiket naik perahu.Dia mengulurkan tangan ke arahku yang ragu-ragu untuk naik perahu yang bergoyang.“Aku takut perahu ini akan membuatku tenggelam,” keluhku khawatir.Perahunya tampak akan berguling dan aku khawatir kami akan tenggelam.“Tidak apa-apa, Alice. Aku bisa menjamin kes
Setelah aku memastikan bahwa Daren hanya menyisakan pakaian saja di kamar hotel ini, aku keluar.Ternyata sudah ada orang suruhan Dante yang menungguku di depan hotel.Tanpa harus bertanya atau permisi mereka segera membawaku ke dalam mobil dan kembali ke tengah hutan rumah Dante.Aku melihat arah perjalanan ke rumah Dante dan itu benar-benar menyeramkan. Semuanya hutan rimbun dan bahkan ada banyak hewan buas yang berkeliaran.Pantas saja Dante memiliki pagar yang cukup tinggi. Kalau tidak, mungkin dia akan menjadi santapan singa.Tapi yang lebih aneh lagi kenapa dia mau membuat rumah di tengah hutan? Bukankah itu gila?Dalam kurun waktu 1 jam kami pun sampai di Mansion Dante dan satu hal yang aku lihat saat masuk mansion.Wajah khawatir semua orang.“Ada apa?” tanyaku.“Sepertinya Tuan sakit, dia batuk-batuk namun pintu kamarnya dikunci dan Tuan melarang siapapun untuk masuk. Kami khawatir kondisinya memburuk karena Tuan bahkan menolak makan pagi ini,” terang Bibi pelayan.“Gampang,”
“Terima kasih.”Mendengar pernyataan itu keluar dari mulut Dante. Aku merasa tubuhku seakan dihantam palu saking terkejutnya.Aku melepaskan pelukanku dari tubuh Dante dan aku bisa melihat dari belakang bahwa Dante mengusap air matanya.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Dante berdiri terlihat akan meninggalkanku.Namun siapa sangka tampaknya Dante tak sanggup menopang tubuhnya sendiri.Dante sempoyongan dan dengan segera aku meraih bahu Dante untuk menangkapnya.Bukannya berhasil. Dante justru berbalik dan aku tak sanggup menahan tubuhnya yang jauh lebih besar dariku.Ah aku memang terlalu percaya diri untuk menangkapnya.Aku pun berakhir berada di bawah Dante. Untungnya Dante masih menopang dirinya dengan kedua tangannya.Dia menyunggingkan senyum, ini senyuman yang kulihat di wajah Daren.“Kamu mencoba menangkapku dengan tubuh kecilmu itu?” ejeknya kemudian.Ah aku tidak jadi memuji senyumnya.Aku memalingkan wajahku dan mendengus kesal.Dante menyingkir dari atasku dan berbaring
"Berani-beraninya kamu mencuri istriku di malam pertama pernikahanku!"Suara itu samar-samar terdengar di telingaku namun aku mengabaikannya.Bug.Tiba-tiba aku merasakan pergerakan di ranjang dan suara pukulan. Dengan cepat aku segera membuka mataku dan terperanjat saat melihat wajah Hans –kekasihku, yang sudah lebam.Jantungku berdetak kencang saat melihat Dante, suami kontrakku, berada tepat di hadapanku dengan wajah memerah dan mata yang terlihat siap membunuhku sekarang juga.Kenapa dia bisa ada di sini? Kenapa dia terlihat sangat marah? Bukankah kita menikah hanya karena kontrak saja?Sebelumnya kita sudah sepakat untuk hidup masing-masing setelah menikah. Lalu kenapa sekarang dia seperti ini?Mata Dante teralih ke arah Hans dan dia mengangkat tinggi tangannya siap melayangkan satu pukulan lagi ke arah Hans.Melihat itu tentu aku tak bisa tinggal diam. Dengan cepat aku beranjak dari ranjang lalu berlari ke hadapan Hans dan merentangkan kedua tanganku.“Berhenti, Dante! Jangan lu
“Terima kasih.”Mendengar pernyataan itu keluar dari mulut Dante. Aku merasa tubuhku seakan dihantam palu saking terkejutnya.Aku melepaskan pelukanku dari tubuh Dante dan aku bisa melihat dari belakang bahwa Dante mengusap air matanya.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Dante berdiri terlihat akan meninggalkanku.Namun siapa sangka tampaknya Dante tak sanggup menopang tubuhnya sendiri.Dante sempoyongan dan dengan segera aku meraih bahu Dante untuk menangkapnya.Bukannya berhasil. Dante justru berbalik dan aku tak sanggup menahan tubuhnya yang jauh lebih besar dariku.Ah aku memang terlalu percaya diri untuk menangkapnya.Aku pun berakhir berada di bawah Dante. Untungnya Dante masih menopang dirinya dengan kedua tangannya.Dia menyunggingkan senyum, ini senyuman yang kulihat di wajah Daren.“Kamu mencoba menangkapku dengan tubuh kecilmu itu?” ejeknya kemudian.Ah aku tidak jadi memuji senyumnya.Aku memalingkan wajahku dan mendengus kesal.Dante menyingkir dari atasku dan berbaring
Setelah aku memastikan bahwa Daren hanya menyisakan pakaian saja di kamar hotel ini, aku keluar.Ternyata sudah ada orang suruhan Dante yang menungguku di depan hotel.Tanpa harus bertanya atau permisi mereka segera membawaku ke dalam mobil dan kembali ke tengah hutan rumah Dante.Aku melihat arah perjalanan ke rumah Dante dan itu benar-benar menyeramkan. Semuanya hutan rimbun dan bahkan ada banyak hewan buas yang berkeliaran.Pantas saja Dante memiliki pagar yang cukup tinggi. Kalau tidak, mungkin dia akan menjadi santapan singa.Tapi yang lebih aneh lagi kenapa dia mau membuat rumah di tengah hutan? Bukankah itu gila?Dalam kurun waktu 1 jam kami pun sampai di Mansion Dante dan satu hal yang aku lihat saat masuk mansion.Wajah khawatir semua orang.“Ada apa?” tanyaku.“Sepertinya Tuan sakit, dia batuk-batuk namun pintu kamarnya dikunci dan Tuan melarang siapapun untuk masuk. Kami khawatir kondisinya memburuk karena Tuan bahkan menolak makan pagi ini,” terang Bibi pelayan.“Gampang,”
Dengan histeris aku melompat kegirangan karena aku berhasil mendapatkan boneka kelinci jumbo yang aku inginkan berkat bantuan Daren.Pemilik permainan itu pun memberikan boneka jumbo itu kepadaku.Setelah mendapatkannya, aku mengingat bahwa Darren ingin naik bianglala. Jadi kami pergi untuk membeli tiket. Tapi sayangnya terdapat masalah di bianglalanya sehingga masih membutuhkan perbaikan.“Yahh,” keluh Daren tampak murung.“Bagaimana kalau kita naik perahu? Pemandangannya di sana kan indah,” ajakku meraih tangan Daren.Daren yang tadinya murung mendadak kembali bersemangat dan kali ini dia yang menarik balik tanganku mendahuluiku untuk pergi membeli tiket naik perahu.“Ayo,” ajak Daren setelah kami membeli tiket naik perahu.Dia mengulurkan tangan ke arahku yang ragu-ragu untuk naik perahu yang bergoyang.“Aku takut perahu ini akan membuatku tenggelam,” keluhku khawatir.Perahunya tampak akan berguling dan aku khawatir kami akan tenggelam.“Tidak apa-apa, Alice. Aku bisa menjamin kes
“Bibi fotokan aku di sini,” pintaku kepada bibi pelayan yang ikut serta bersamaku atas izin Dante.Tidak mungkin aku hanya berjalan sendiri plonga-plongo tak tahu ingin berbicara dengan siapa.Aku pun menyerahkan ponselku kepada Bibi pelayan tapi Bibi pelayan tampak kebingungan menggunakan ponsel untuk mengambil fotoku.Sepertinya Dante memang merekrut orang yang benar-benar kuno untuk menghindari kebocoran informasi.“Nona, saya tidak tahu cara menggunakannya,” keluh bibi pelayan mengerutkan kening.“Pencet ini berkali-kali,” tuturku menunjuk gambar lingkaran merah di ponsel yang Dante berikan.“Alice.”Panggilan itu bukan berasal dari bibi. Lantas siapa yang memanggilku?Aku mencari sumber suara di tengah keramaian taman bermain.Aku tidak melihat orang yang kukenali di hadapanku.Semuanya hanya orang berlalu lalang dengan wajah baru.Tiba-tiba seseorang menyentuh bahuku dan saat aku menoleh.“Aku Hans.”Mataku membulat sempurna saat melihat Hans di belakangku.Jujur saja aku ingin
Setelah mendapat persetujuan dari Dante untuk menunjukkan bahwa masih ada banyak hal baik di dunia ini. Aku sangat bersemangat untuk menyambut kedatangan Dante dari kantor. Apalagi hari ini adalah ulang tahunku. Aku semakin bersemangat untuk membuatkan makanan enak untuk Dante. Seharian aku gunakan untuk menyiapkan makanan untuk Dante sampai tiba waktunya Dante datang saat menjelang malam.Dengan cepat aku bergegas ke pintu depan untuk menyambut kedatangan Dante serta tak lupa mengambilkan sandal bersih untuk Dante.Tak lupa pula aku menarik kedua ujung bibirku ke atas untuk menyunggingkan senyum saat Dante membuka pintu nanti.Klek.Dante membuka pintu dan menatapku sejenak sebelum akhirnya melepas sepatunya dan menggantinya dengan sandal bersih yang aku siapkan.Bisa dilihat Dante menyunggingkan sedikit senyuman yang sangat tipis nyaris tak terlihat.Ahhh senangnya.Dengan sumringah aku menoleh ke arah bibi pelayan yang ikut menyambut kedatangan Dante bersamaku, “Bibi, bibi barusa
“Selamat datang Tuan Dante yang tampan dan tak ada duanya di rumah ini,” ucapku menyambut kedatangan Dante yang baru saja datang dari kantor dengan ekspresi datar andalannya.Aku memamerkan senyum selebar lautan dan menyambut Dante sehangat mungkin.Namun bisa dilihat Dante melengos membuang muka.Dia tidak terlalu merespon sambutan dariku.Mungkin dia lelah.Tidak apa, aku tidak akan menyerah untuk menunjukkan hal baik kepadanya.Aku pun segera mengambilkan sandal bersih untuk Dante dan meletakkannya di depan kaki Dante.“Kamu aneh, sejak kapan kamu mau melakukan hal rendahan seperti ini?” tanya Dante yang tak butuh jawaban karena Dante langsung mengenakan sandal tersebut dan melenggang menjauh meninggalkanku yang masih di tempat dengan penuh tanda tanya.Ada apa dengan pola pikir Dante.Bisa-bisanya perhatianku ternyata Dante anggap sebagai hal rendahan.Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Sekarang bukan waktunya aku memikirkan sesuatu yang tidak-tidak.Aku harus mengambil langkah se
Cahaya matahari mulai menembus tirai putih di kamar Dante dan sangat menyilaukan hingga membuat mataku tergerak untuk terbuka.Siapa sangka aku juga ikut tertidur di kamar Dante.Aku menunduk melihat Dante yang masih tidur di pangkuanku.Sungguh lututku keram karena semalaman dengan posisi duduk sambil memangku Dante.Di waktu singkat yang tersisa ini aku memandangi wajah Dante yang tidur terlentang di pangkuanku.Bulu matanya panjang, tebal dan lurus. Bibirnya merah ranum, rahangnya yang tegas, hidungnya yang mancung. Semuanya tampak sempurna di wajah Dante.Tanpa sadar aku tersenyum memandangi wajah Dante. Siapa sangka wajah sebaik ini ternyata adalah sosok yang kejam dan tak bisa ditebak.Jika hanya melihat wajahnya saja, semua orang pasti tertipu.Ting ting.Suara alarm dari gawai Dante berdenting membuatku tersadar untuk cepat pergi dari kamar Dante atau nanti Dante mungkin saja marah besar ketika melihatku ada di kamarnya.Dante menggeliat dan pada saat itu aku mengangkat kepal
Karena terlalu panik aku melupakan waktu terbaikku untuk melihat tanda lahir di dada Dante. Aku menarik tanganku dari dada bidang Dante dan sekarang semuanya terlambat karena Dante menjauhkan dirinya dariku.“Aku beri waktu 10 detik, kalau kamu pergi dari sini, aku tidak akan menganggapmu ingin memintaku memuaskan hasratmu dan kalau kalau kamu tidak pergi, aku akan menganggap dirimulah yang memintaku untuk bertindak lebih,” ujar Dante berkacak pinggang seraya mengibas-ngibaskan rambut basahnya dengan satu tangannya.Mendengar itu aku segera mengambil langkah cepat untuk keluar dari kamar mandi. Namun Dante menghitungnya dengan sangat cepat. Aku yakin dia hanya membutuhkan waktu dua detik untuk menghitung sampai sepuluh saking cepatnya dia menghitung.Bahkan aku baru saja mengambil dua langkah kaki dan baru saja memutar knop pintu yang ternyata dikunci sehingga memperlambat langkahku untuk keluar.Kapan ini dikunci?Brak.Sebuah tangan menghalangi pintu untuk dibuka.“Mampus,” gumamku m
Setelah tidak sengaja bertemu dengan bibi pelayan pada akhirnya aku diminta untuk kembali ke kamar tanpa mengucapkan sepatah kata pun bahkan tanpa berpamitan kepada Daren. Kalau dipikir-pikir, aku bisa mati kalau bibi pelayan itu melaporkan semuanya kepada Dante.Aku pun berjalan keluar kamar. Mataku menyapu seluruh ruangan mencari keberadaan Dante ataupun bibi pelayan. Aku melihat keduanya sedang berbicara serius di ruang tamu, sampai sang pelayan mengeryitkan dahinya. Dengan hati-hati, aku bersembunyi, berusaha melebarkan telingaku untuk mendengar inti pembicaraan mereka.“Tuan Dante, tapi Nona Alice–” Sial! Manikku dan juga sang pelayan bertemu, membuat pelayan itu tiba-tiba menghentikan pembicaraannya dan terdiam. Spontan, detak jantungku meningkat. Aku merasa panik, takut jika emosi Dante kembali membuncah dan melepaskan amarahnya padaku.Namun, aku tetap berusaha fokus. Kuarahkan mataku pada pergelangan tangan Dante yang sedang memegang ponsel. Ada gelang yang sama dengan m