Malam itu, Elara dan Ethan kembali ke vila Arion di Pacific Heights sekitar pukul sembilan malam.Sepanjang perjalanan, suasana hati Elara mulai membaik, terhibur oleh candaan Ethan selama mereka berburu vila di Presidio Heights.Namun, begitu melangkah masuk ke dalam vila, suasana hatinya langsung berubah kelam.Arion sudah berada di area bar, duduk santai, seolah telah menunggu Elara sejak lama.Elara tertegun sejenak, mata muramnya memandang Arion.Ia langsung teringat kejadian di siang tadi, saat ia melihat Arion berduaan dengan seorang wanita di toko perhiasan di Rodeo Drive.Melihat ekspresi itu, Ethan segera menyadari apa yang terjadi. Ternyata Arion lah penyebab sepupunya itu terlihat linglung dan semuram senja saat ia pulang petang tadi."Kau pulang?" sapanya pada Arion, mencoba mencairkan suasana.Namun, Arion tidak merespon.Manik kelabunya tertuju hanya pada Elara.Menyadari ketegangan yang tak terelakkan, Ethan memutuskan untuk memberikan mereka ruang."Aku naik dulu," uca
Elara melangkah masuk ke dalam bar Zhenzhen dengan ekspresi yang sulit disembunyikan.Kakinya terasa berat, dan perasaannya campur aduk.Sejenak ia berhenti di depan pintu, menarik napas dalam, mencoba menenangkan hatinya yang kacau.Bar itu cukup ramai malam ini, tetapi Elara langsung mendapati sosok Zhenzhen yang sedang sibuk di balik meja bar.Zhenzhen yang memperhatikan kedatangan Elara, cepat-cepat melirik ke sekeliling, memastikan keadaan aman.Pati dan Susie, dua dari tim elit Arion, tampak berjaga tak jauh dari Elara --berbaur dengan pengunjung lainnya.Melihat mereka di sana membuat Zhenzhen sedikit lega.“Syukurlah, mereka ada di sini,” bisiknya, meski ia masih menyimpan kekhawatiran.Sebagai sahabat dekat Arion, Zhenzhen tahu kalau Max, pengawal nomor satu yang menjadi pusat komando saat Arion tak ada, tidak sedang berada di San Francisco.Tugas baru apa yang diberikan Arion kepada Max, Zhenzhen tidak tahu pasti.Elara mendekat dengan langkah lambat, lalu duduk di salah sat
Ruangan yang tertutup rapat itu terasa sesak, dindingnya tebal dan kedap suara, hanya ada satu pintu yang dijaga oleh dua pria bertubuh besar.Lampu gantung kristal di atas meja kayu panjang yang terbuat dari mahoni memberikan cahaya temaram, menciptakan suasana yang mencekam.Arion, yang saat ini tengah menjadi The Draven, duduk di ujung meja dengan sikap tenang namun mengintimidasi.Di sampingnya berdiri Meiranda, seorang wanita berambut hitam panjang dengan gaun hitam ketat. Wajah cantiknya tanpa ekspresi, tetapi matanya memantau setiap gerakan di ruangan itu.Di sisi lain meja, Viktor terlihat gelisah.Keringat dingin membasahi dahinya meskipun suhu ruangan cukup sejuk. Ia menatap Arion dengan tatapan takut, tangannya gemetar di atas meja."The Draven, kumohon, Bos Besar tidak bisa datang ke sini. Dia sibuk dengan urusan yang sangat penting. Tapi percayalah, aku bisa mengurus semua kebutuhan Anda. Apa pun yang Anda inginkan," ujar Viktor, suaranya terdengar bergetar.Arion tidak me
Elara meletakkan ponselnya dengan kasar di meja, wajahnya memerah oleh kemarahan yang membara.Hatinya dipenuhi rasa cemburu yang menyakitkan.Ia baru saja membaca salinan percakapan antara Arion dan seorang wanita yang menurut suaminya, bernama Meiranda.Elara tidak tahu bagaimana Meiranda bisa begitu akrab dengan suaminya. Percakapan mereka dipenuhi kalimat ambigu yang seolah-olah menyiratkan hubungan lebih dari sekadar rekan kerja.[Angin malam terlalu dingin][Aku harus mencari penghangat malam ini][Ingin mengulang waktu bersama]Kalimat-kalimat itu terus terngiang di kepala Elara, membuatnya semakin gelisah.Tanpa sepengetahuan Arion, Elara kemarin telah mencari seorang hacker untuk menyadap nomor ponsel Arion.Awalnya ia tidak berniat untuk melakukan hal rendahan ini, tapi sikap Arion yang ambigu dan juga kalimat Meiranda di telepon kemarin lusa saat menelepon Arion, membuat dirinya merasa terpaksa melakukan ini.Tak disangka, ia menemukan pesan-pesan serupa itu, yang kini menyu
Pati dan Susie berdiri kaku di depan Elara, yang memegang ponsel mereka dengan tatapan tajam.Wajah Elara tampak penuh amarah dan frustrasi.Pati, yang tak terbiasa menghadapi Elara dalam keadaan seperti ini, berusaha tetap tenang sambil melirik ponselnya yang ada di tangan Nyonya Muda mereka.“Elara,” kata Pati hati-hati, memilih setiap kata dengan teliti. “Kumohon, kembalikan ponsel kami. Kalau ada sesuatu yang penting, aku harus—”Elara memelototi Pati dengan pandangan galak, membuatnya terdiam. “Kau itu temanku atau apa, Pati?”Pati menggaruk kepalanya, merasa serba salah.Dia adalah pengawal pribadi Elara, ditugaskan oleh Arion dari tim elit untuk menjaga keselamatan Nyonya Muda itu.Semuanya berawal saat Elara memanggil mereka di vila Arion sebelum mereka mengikuti Elara ke sini.“Apakah kalian temanku?” tanya Elara saat itu dengan suara datar, namun mata yang penuh pertanyaan.Pati dan Susie tentu saja mengangguk tanpa ragu.“Kami selalu menganggapmu sebagai teman yang sangat ba
Arion tertawa pelan, merasakan betapa Elara tetap keras kepala dan menolak menyerah, meskipun pipinya sudah bersemu merah.Dengan gerakan halus, dia memutar tubuh Elara, menangkap kedua lengannya dan memeluknya erat dari belakang.Tubuh Elara kini terkunci dalam dekapan Arion, yang semakin erat merapatkan tubuhnya ke punggung Elara."Sudah cukup berkelahi?" Arion membisikkan kata-kata itu di telinga Elara, suaranya penuh dengan kehangatan dan hasrat yang tidak bisa ia sembunyikan."Atau kau ingin lanjut dengan cara lain?" Bisikannya rendah dan dalam, napasnya hangat di tengkuk Elara, membuat bulu kuduk wanita itu meremang.Elara berusaha menenangkan dirinya, tapi napasnya semakin cepat. Meski tubuhnya terkunci, pikirannya terus berputar."Arion," gumamnya pelan, mencoba mencari kendali dalam situasi yang memanas ini, "Jangan bermain-main denganku."Arion tersenyum miring, semakin mengeratkan pelukannya. "Aku tidak bermain-main, Ara."Pria itu mencium pelan telinga Elara, membuat wanita
Di gedung megah AE Group di Sacramento, suasana ruangan rapat mencerminkan kemewahan dan kecanggihan yang hanya dimiliki oleh perusahaan terbesar di negara bagian California itu.Dindingnya berlapis marmer putih dengan aksen emas, sementara lantainya terbuat dari kayu ek halus yang mengkilap di bawah cahaya lampu kristal besar yang tergantung di tengah-tengah.Meja rapat berbentuk oval terbuat dari kaca hitam, dikelilingi oleh kursi kulit berwarna hitam pekat yang memberikan kesan profesional dan elegan.Setiap sudut ruangan dilengkapi dengan teknologi canggih—dari layar interaktif di dinding hingga sistem suara surround yang memungkinkan setiap pembicara terdengar jelas tanpa perlu meninggikan suara.Di salah satu kursi paling ujung, sosok di posisi CEO duduk diam, mendengarkan bawahannya yang melaporkan perkembangan terakhir perusahaan.Pria tampan itu hampir tidak berbicara sepanjang rapat, hanya mendengarkan dengan ekspresi datar namun penuh wibawa, mencerminkan otoritas yang tak
Namun pria itu, dengan ketenangan yang tak tergoyahkan, terus menembak. Tak ada rasa panik, hanya determinasi dingin yang tercermin dari tatapannya.“Bantuan akan datang dalam sepuluh menit,” ujar salah satu pengawal dengan napas tersengal, suaranya penuh kekhawatiran.Pria bermata kelabu itu hanya mengangguk singkat, lalu kembali fokus pada serangan yang datang.Peluru dari senjatanya habis.Tanpa tergesa-gesa, ia mengganti magasin dengan gerakan cepat. Di saat yang sama, pengawal di sebelah kirinya tiba-tiba terhuyung.Peluru menembus dadanya, menjatuhkannya seketika. Tanpa waktu untuk merespon, tubuh pengawal itu tersungkur di tanah, darah mengalir membasahi aspal.Pria bermanik kelabu itu mendesah pelan, peluh menitik di dahinya, namun tetap tak menunjukkan ekspresi marah atau cemas.Ketenangannya tetap utuh meski situasi semakin kritis.Ia mengambil posisi di belakang mobil yang sudah hancur, sesekali mengintip untuk mengatur tembakan berikutnya. Setiap tembakan yang ia lepaskan t