Ruangan yang tertutup rapat itu terasa sesak, dindingnya tebal dan kedap suara, hanya ada satu pintu yang dijaga oleh dua pria bertubuh besar.Lampu gantung kristal di atas meja kayu panjang yang terbuat dari mahoni memberikan cahaya temaram, menciptakan suasana yang mencekam.Arion, yang saat ini tengah menjadi The Draven, duduk di ujung meja dengan sikap tenang namun mengintimidasi.Di sampingnya berdiri Meiranda, seorang wanita berambut hitam panjang dengan gaun hitam ketat. Wajah cantiknya tanpa ekspresi, tetapi matanya memantau setiap gerakan di ruangan itu.Di sisi lain meja, Viktor terlihat gelisah.Keringat dingin membasahi dahinya meskipun suhu ruangan cukup sejuk. Ia menatap Arion dengan tatapan takut, tangannya gemetar di atas meja."The Draven, kumohon, Bos Besar tidak bisa datang ke sini. Dia sibuk dengan urusan yang sangat penting. Tapi percayalah, aku bisa mengurus semua kebutuhan Anda. Apa pun yang Anda inginkan," ujar Viktor, suaranya terdengar bergetar.Arion tidak me
Elara meletakkan ponselnya dengan kasar di meja, wajahnya memerah oleh kemarahan yang membara.Hatinya dipenuhi rasa cemburu yang menyakitkan.Ia baru saja membaca salinan percakapan antara Arion dan seorang wanita yang menurut suaminya, bernama Meiranda.Elara tidak tahu bagaimana Meiranda bisa begitu akrab dengan suaminya. Percakapan mereka dipenuhi kalimat ambigu yang seolah-olah menyiratkan hubungan lebih dari sekadar rekan kerja.[Angin malam terlalu dingin][Aku harus mencari penghangat malam ini][Ingin mengulang waktu bersama]Kalimat-kalimat itu terus terngiang di kepala Elara, membuatnya semakin gelisah.Tanpa sepengetahuan Arion, Elara kemarin telah mencari seorang hacker untuk menyadap nomor ponsel Arion.Awalnya ia tidak berniat untuk melakukan hal rendahan ini, tapi sikap Arion yang ambigu dan juga kalimat Meiranda di telepon kemarin lusa saat menelepon Arion, membuat dirinya merasa terpaksa melakukan ini.Tak disangka, ia menemukan pesan-pesan serupa itu, yang kini menyu
Pati dan Susie berdiri kaku di depan Elara, yang memegang ponsel mereka dengan tatapan tajam.Wajah Elara tampak penuh amarah dan frustrasi.Pati, yang tak terbiasa menghadapi Elara dalam keadaan seperti ini, berusaha tetap tenang sambil melirik ponselnya yang ada di tangan Nyonya Muda mereka.“Elara,” kata Pati hati-hati, memilih setiap kata dengan teliti. “Kumohon, kembalikan ponsel kami. Kalau ada sesuatu yang penting, aku harus—”Elara memelototi Pati dengan pandangan galak, membuatnya terdiam. “Kau itu temanku atau apa, Pati?”Pati menggaruk kepalanya, merasa serba salah.Dia adalah pengawal pribadi Elara, ditugaskan oleh Arion dari tim elit untuk menjaga keselamatan Nyonya Muda itu.Semuanya berawal saat Elara memanggil mereka di vila Arion sebelum mereka mengikuti Elara ke sini.“Apakah kalian temanku?” tanya Elara saat itu dengan suara datar, namun mata yang penuh pertanyaan.Pati dan Susie tentu saja mengangguk tanpa ragu.“Kami selalu menganggapmu sebagai teman yang sangat ba
Arion tertawa pelan, merasakan betapa Elara tetap keras kepala dan menolak menyerah, meskipun pipinya sudah bersemu merah.Dengan gerakan halus, dia memutar tubuh Elara, menangkap kedua lengannya dan memeluknya erat dari belakang.Tubuh Elara kini terkunci dalam dekapan Arion, yang semakin erat merapatkan tubuhnya ke punggung Elara."Sudah cukup berkelahi?" Arion membisikkan kata-kata itu di telinga Elara, suaranya penuh dengan kehangatan dan hasrat yang tidak bisa ia sembunyikan."Atau kau ingin lanjut dengan cara lain?" Bisikannya rendah dan dalam, napasnya hangat di tengkuk Elara, membuat bulu kuduk wanita itu meremang.Elara berusaha menenangkan dirinya, tapi napasnya semakin cepat. Meski tubuhnya terkunci, pikirannya terus berputar."Arion," gumamnya pelan, mencoba mencari kendali dalam situasi yang memanas ini, "Jangan bermain-main denganku."Arion tersenyum miring, semakin mengeratkan pelukannya. "Aku tidak bermain-main, Ara."Pria itu mencium pelan telinga Elara, membuat wanita
Di gedung megah AE Group di Sacramento, suasana ruangan rapat mencerminkan kemewahan dan kecanggihan yang hanya dimiliki oleh perusahaan terbesar di negara bagian California itu.Dindingnya berlapis marmer putih dengan aksen emas, sementara lantainya terbuat dari kayu ek halus yang mengkilap di bawah cahaya lampu kristal besar yang tergantung di tengah-tengah.Meja rapat berbentuk oval terbuat dari kaca hitam, dikelilingi oleh kursi kulit berwarna hitam pekat yang memberikan kesan profesional dan elegan.Setiap sudut ruangan dilengkapi dengan teknologi canggih—dari layar interaktif di dinding hingga sistem suara surround yang memungkinkan setiap pembicara terdengar jelas tanpa perlu meninggikan suara.Di salah satu kursi paling ujung, sosok di posisi CEO duduk diam, mendengarkan bawahannya yang melaporkan perkembangan terakhir perusahaan.Pria tampan itu hampir tidak berbicara sepanjang rapat, hanya mendengarkan dengan ekspresi datar namun penuh wibawa, mencerminkan otoritas yang tak
Namun pria itu, dengan ketenangan yang tak tergoyahkan, terus menembak. Tak ada rasa panik, hanya determinasi dingin yang tercermin dari tatapannya.“Bantuan akan datang dalam sepuluh menit,” ujar salah satu pengawal dengan napas tersengal, suaranya penuh kekhawatiran.Pria bermata kelabu itu hanya mengangguk singkat, lalu kembali fokus pada serangan yang datang.Peluru dari senjatanya habis.Tanpa tergesa-gesa, ia mengganti magasin dengan gerakan cepat. Di saat yang sama, pengawal di sebelah kirinya tiba-tiba terhuyung.Peluru menembus dadanya, menjatuhkannya seketika. Tanpa waktu untuk merespon, tubuh pengawal itu tersungkur di tanah, darah mengalir membasahi aspal.Pria bermanik kelabu itu mendesah pelan, peluh menitik di dahinya, namun tetap tak menunjukkan ekspresi marah atau cemas.Ketenangannya tetap utuh meski situasi semakin kritis.Ia mengambil posisi di belakang mobil yang sudah hancur, sesekali mengintip untuk mengatur tembakan berikutnya. Setiap tembakan yang ia lepaskan t
Di mansion megah milik James Wayne yang berlokasi di Madison, suasana sore yang tenang tiba-tiba terguncang oleh suara lantang dari televisi.Liliana Wayne sedang duduk di ruang keluarga, menikmati secangkir teh hangat ketika berita yang muncul di layar membuatnya terdiam.Wajahnya yang biasanya tenang, kini berubah menjadi pucat saat membaca headline yang terpampang besar di layar: Kecelakaan Maut di Calaveras, Sunol, Melibatkan Keluarga Konglomerat Ternama.Matanya terpaku pada layar, dan jantungnya berdegup lebih cepat seiring dengan penjelasan yang diberikan oleh para presenter.Berita ini terasa begitu mendadak, menyisakan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.Di televisi, dua presenter tampak berbicara dengan penuh ketegangan.Seorang pria berkemeja biru gelap dengan rambut hitam rapi, berbicara dengan nada meyakinkan, "Kecelakaan yang melibatkan salah satu keluarga terkaya di Amerika ini telah membuat Calaveras Road ditutup sepenuhnya. Sementara ini, belum ada konfirmasi dar
ReeFellows! Mohon maaf kemarin absen, karena Author sempat drop alias sakit. Hari ini juga agak telat. Maaf yaa...Silakan lanjut baca! Enjoy....=== * * * ===Elara dengan cepat keluar dari vila barunya di Presidio Heights, wajahnya masih memancarkan kepanikan dan kesedihan setelah melihat berita kecelakaan yang diduga melibatkan Arion.Hatinya berdebar kencang, rasa takut merayap di setiap langkahnya.Pati dan Susie langsung meminta Elara bergegas kembali ke Pacific Heights, di mana vila megah Arion itu telah dirancang dengan keamanan tinggi dan memiliki bunker tersembunyi di dalamnya.Meski belum mendapat konfirmasi apapun, Pati dan Susie tahu harus bergerak cepat untuk mengamankan Elara, meski mereka yakin, penyerangan yang terjadi di Sunol memang mengincar bos besar mereka. Arion Ellworth.Saat membuka pintu, Porsche Panamera berwarna midnight blue sudah menunggu di depan, mesin mobil menderu halus siap melaju.Susie langsung mengambil tempat di kursi kemudi. Ia telah mengubah mod
Aveline menjerit keras, suaranya memenuhi lorong sempit yang hanya diterangi lampu jalanan buram.Tubuhnya gemetar saat sebuah tangan kuat tiba-tiba meraih pinggangnya."Apa maksudnya ini?!" Aveline berteriak lagi, mencoba melawan, tapi tak ada yang mendengarnya.Udara malam yang dingin membuatnya semakin waspada, namun pria di depannya begitu cepat.Sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, bibirnya langsung tertutup oleh sesuatu yang hangat dan mendesak—bibir pria yang kini mencengkeramnya erat.Aveline meronta-ronta, hatinya dipenuhi kepanikan.Tubuhnya kaku saat pria itu memeluknya dengan kuat, membuka jaket kulit hitamnya seolah bersiap melakukan sesuatu yang lebih buruk.Mata Aveline melebar ketakutan.‘Tidak mungkin,’ pikirnya, ‘Apakah dia akan memperkosaku?’Ia semakin panik, berusaha membebaskan diri dari genggaman pria itu.Namun, pria itu begitu kuat.Semua tenaga Aveline seolah menguap, terjebak dalam dekapannya yang erat.Lalu, suara langkah kaki terdengar dari kejauhan.Sekelo
Langit sore yang kemerahan menyelimuti San Francisco Bay, tempat di mana sebagian besar kehidupan cinta sepasang insan berkisah.Suara ombak yang berdeburan pelan di pantai menciptakan melodi yang damai, selaras dengan angin sepoi-sepoi yang menyapu lembut permukaan laut.Elara berdiri di ujung dermaga kayu, menatap cakrawala yang tampak tanpa batas, tempat di mana langit bertemu lautan.Matanya menerawang, namun wajahnya kini memancarkan ketenangan yang baru.Dalam dekapan hangatnya, bayi kecil mereka terlelap, wajahnya damai seperti ibunya.Sudah lama sejak pertarungan hidup dan mati di acara peresmian Imera Sky Tower, dan sejak saat itu, kehidupan Elara dan Arion berubah drastis.Banyak hal yang telah dilalui—pengkhianatan, luka, cinta yang terlupakan dan kemudian dipulihkan.Namun hari ini, di bawah cahaya senja yang lembut, semuanya terasa sempurna.Tiba-tiba, langkah kaki yang berat namun mantap terdengar dari belakangnya.Elara tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.A
Arion duduk di ujung ranjang, pandangannya terpaku pada sosok mungil yang ada dalam dekapannya.Bayi perempuan itu terlelap dengan tenang, tubuhnya begitu kecil dan lembut seperti boneka porselen.Pipinya yang kemerahan tampak menggemaskan, kulitnya sehalus sutra dengan bulu-bulu halus yang masih tersisa di atas kepalanya.Mata bayi itu masih tertutup, namun ketika sempat terbuka sesaat, Arion melihat dengan jelas iris matanya yang kelabu, warna yang sama seperti miliknya—sebuah tanda tak terbantahkan bahwa bayi itu adalah darah dagingnya.Bibir kecilnya bergerak perlahan, seakan sedang menghisap udara, dan tangannya yang mungil mengepal erat, menggenggam sepotong kain selimut.Arion tersenyum kecil, hatinya penuh dengan rasa takjub yang tak pernah ia sanggup perkirakan sebelumnya.Di dalam ruangan itu, hanya suara napas lembut bayi perempuannya yang terdengar, membuatnya seperti terhanyut dalam keajaiban kecil yang ia pegang.Sudah lebih dari setengah jam, namun Arion tak bisa melepa
Arion mengangguk pelan, melanjutkan penjelasannya. “Selama aku menjalankan peranku sebagai The Draven, orang itu mengambil peran menjadi diriku, Arion Ellworth. Sehingga tidak ada yang curiga. Kecelakaan di Sunol itu terjadi pada doppelganger-ku.”Elara terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi yang baru saja diterimanya. “Jadi... orang itu? Apakah dia tewas dalam kecelakaan itu? Bagaimana aku bisa membedakan kalian? Bagaimana jika suatu saat aku salah mengenali orang itu sebagai dirimu?”Arion tersenyum melihat kepanikan sang istri. “Jangan khawatir, Honey. Orang itu berhasil selamat oleh orang-orangku. Wajahnya tidak sepenuhnya mirip denganku. Hanya postur tubuh dan perilakunya yang serupa. Aku membuatnya menjalani operasi plastik untuk mengubah beberapa bagian, seperti rahang dan hidung saja. Namun, saat dia menjalankan peran sebagai aku, dia menggunakan prosthetic mask yang dibuat menyerupai wajahku.”Elara memandang Arion, dengan sorot kompleks. “Astaga… sampai seperti itu kau m
Elara dan Arion berdiri di tengah keheningan, menghadap sebuah makam dengan batu nisan marmer yang megah. Di atasnya terukir dengan indah: Imelda Ellworth. Satu buket mawar putih mewah yang segar ditempatkan rapi di atas pusara, memberikan sentuhan penuh penghormatan. Pemakaman ini, yang terletak di Cypress Lawn Memorial Park, San Francisco—tempat peristirahatan terakhir para keluarga kaya dan terpandang—dikelilingi oleh pohon-pohon ek yang menjulang tinggi. Jalanan berkerikil putih menghubungkan setiap makam, dan di kejauhan terlihat pemandangan laut yang tenang, menambah suasana damai nan elegan. Udara pagi terasa sejuk, disertai suara angin yang membelai lembut pepohonan. Elara memandang ke sekeliling area pemakaman yang tampak megah, penuh dengan nisan-nisan yang terbuat dari batu marmer putih dan hitam. Di antara semua itu, nisan Imelda berdiri sebagai salah satu yang paling indah, seperti sebuah karya seni yang mencerminkan kehidupan seseorang yang telah meninggalkan jejak
Arthur Ellworth, atau Clay Mallory, kini duduk di sudut sel gelap penjara federal, matanya kosong menatap dinding dingin yang tak lagi bergema dengan wibawa yang pernah ia miliki.Hanya bayangan suram yang tersisa, menggantung di antara kesadaran dan kehancuran. Di penjara ini, waktu seolah-olah melambat, setiap detik menjadi siksaan yang tidak berujung.Hari ini, seorang penjaga penjara menghampiri pintu selnya.Wajah penjaga itu datar, tidak ada belas kasihan, tidak ada penghormatan.Hanya secarik kertas yang dilempar ke lantai di depan Arthur, yang langsung mengenal lambang Ellworth di atasnya.Tangannya yang dulu perkasa sekarang gemetar ketika meraih kertas itu.Di dalamnya, satu pesan singkat yang menghantamnya dengan kejam: "Semua aset, kekayaan, dan perusahaan yang pernah kau curi telah dikembalikan kepada pemiliknya yang sah—Aiden Ellworth."Arthur meremas kertas itu dengan tangannya yang gemetar, rasa panas menjalar da
Markas utama di San Bernardino tampak penuh ketegangan. Di ruang pertemuan besar, cahaya lampu gantung memantul di atas meja panjang tempat para eksekutif utama The Draven berkumpul. Ketiga Executor—Albert, Isaac, dan Samuel—duduk di posisi masing-masing, menatap sosok Arion Ellworth, pria yang selama ini mereka kenal sebagai The Draven, pemimpin mereka yang tak terbantahkan. Samuel, Executor wilayah San Jose, adalah pria bertubuh tegap dengan garis wajah tegas. Rambutnya mulai memutih, namun sorot matanya masih tajam, mencerminkan kekuatan dan ketenangan yang ia bawa selama bertahun-tahun memimpin wilayahnya. Isaac, Executor wilayah Mount Horeb, Wisconsin, berbeda. Tubuhnya ramping, wajahnya lebih halus, tetapi matanya menyiratkan kejeniusan yang sering kali tersembunyi di balik sikapnya yang tenang. Ia terkenal sebagai ‘otak cadangan’ di balik banyak rencana besar yang berhasil dijalankan The Draven. Albert, Executor wilayah San Bernardino, adalah yang termuda. Dengan rahang pers
Aiden tersenyum tipis, sebuah senyuman yang mengandung ketegasan, bahkan ancaman halus di baliknya.“The Orcus bukan ancaman bagi pemerintah. Kami tidak pernah bergerak melawan kalian, Donovan. Jika ada yang perlu kau pahami, ketahuilah ini: The Orcus hanya berurusan dengan mereka yang mengincar kami atau mereka yang berada dalam wilayah kami. Kami adalah perisai, bukan pedang.”Donovan menatapnya, tak sepenuhnya yakin apakah pernyataan itu adalah bentuk pembelaan atau manipulasi.Aiden melanjutkan, kali ini dengan suara yang lebih dalam dan penuh makna. “The Orcus tidak akan pernah menjadi ancaman bagi pemerintah Amerika Serikat… kecuali, jika pemerintah membuat kami tidak punya pilihan lain.”Kalimat itu menggantung di udara, begitu dingin dan tajam seperti bilah pedang yang tersembunyi di balik kata-kata.Donovan tahu, ini bukan ancaman langsung, tapi sebuah peringatan yang tak bisa diabaikan.Aiden sangat c
Matahari pagi yang hangat menyinari kamar tidur mewah di mana Elara sedang berdiri, merapikan dasi Arion dengan penuh perhatian.Arion Ellworth, dengan tubuh tegapnya dan postur sempurna, tampak gagah dalam setelan formal berwarna gelap yang membingkai fisiknya dengan sempurna.Mata kelabu pria itu berkilauan, menambah kesan misterius sekaligus memikat.Ketampanannya terasa tak terbantahkan, membuat Elara sejenak terpana, seperti kembali mengenang saat pertama kali bertemu dengannya.Arion telah kembali ke wujud lamanya—kuat, berwibawa, dan penuh energi—setelah beberapa bulan melemah akibat Couvade Syndrome.Selama sekitar 4 bulan, pria yang biasanya tegas dan tak tergoyahkan ini harus terkapar karena gejala kehamilan palsu yang dialaminya.Namun, kini di bulan kelima kehamilan Elara, semua gejala itu telah sirna.Tidak ada lagi mual, muntah, atau kelelahan yang membebani Arion. Dia kembali pada dirinya yang dulu, dengan e