Dari balik sudut jalan, semakin banyak mobil muncul, seolah mereka sudah menyiapkan serangan ini dengan sangat matang.Jumlah mereka jauh lebih banyak daripada yang diharapkan, dan Toba tahu bahwa meskipun dia terus melawan, jumlah mereka terlalu besar.Motor Toba meliuk-liuk di antara mobil-mobil itu, melaju dengan gesit sambil sesekali menembak penghadang yang mencoba mendekat.Salah satu mobil di depannya mencoba memotong jalur, tapi Toba dengan cepat melompat dari sisi kiri ke kanan, menghindari jebakan itu dan melepaskan tembakan ke arah kaca samping, memecahkan kaca mobil lawan.Namun, saat ia mencoba menghalangi satu mobil, dua lainnya muncul di sisi lain.Jumlah mereka terus bertambah, membuat situasi semakin sulit dikendalikan. Sambil mengendalikan motornya dengan lincah, Toba merasakan desakan waktu.Ia harus segera melindungi Elara dan menghentikan laju penghadang, tapi tak ada tanda-tanda bahwa mereka akan berhenti.Di dalam Porsche, Tauristy terus mengemudi dengan cepat, m
Malam di jalan Divisadero itu begitu sunyi dan mencekam.Elara menatap sekeliling dengan jantung yang berdetak keras. Ia, Tauristy dan Toba terjebak dikelilingi oleh belasan pria bertubuh kekar, bersenjata dan berpenutup kepala.Elara dan Tauristy pada akhirnya keluar saat satu SUV dengan RCWS (Remote Controlled Weapon Station) berhenti di dekat mereka.Ancaman mobil bermuatan autocannon seperti itu, tidak bisa mereka hadapi.Tembakan dari M230 Chain Gun, yang menggunakan amunisi kaliber 30mm, memiliki daya hancur yang sangat tinggi dan mampu menembus banyak jenis perlindungan, termasuk kendaraan lapis baja ringan atau kendaraan dengan perlindungan anti peluru standar.Porsche Elara yang dimodifikasi dengan sistem anti peluru dan keamanan tinggi, meskipun dirancang untuk menahan serangan dari senjata api kecil atau senapan serbu, tidak akan mampu bertahan dari tembakan langsung dari M230.Elara lalu memutuskan keluar dari dalam mobil diikuti Tauristy.Kini, Toba dan Tauristy, dua penga
Grand Haven, mansion megah milik keluarga Ellworth, kini dikepung oleh lautan wartawan yang berbaris sepanjang jalan di depan gerbang.Sorotan kamera dan mikrofon dari berbagai media massa tak henti-hentinya diarahkan ke arah pintu utama.Kilauan lampu blitz berkedip dan itu terlihat menyinari malam yang gelap, setiap kali salah satu dari mereka berpikir ada pergerakan di balik pagar tinggi mansion.Wartawan dari berbagai stasiun berita, surat kabar, dan blog online berebut posisi terdepan, berharap mendapatkan pernyataan atau sekadar pandangan sekilas dari dalam.Namun, tidak ada satu pun anggota keluarga atau perwakilan yang keluar untuk memberikan klarifikasi atas insiden yang mengguncang dunia bisnis itu.Di Sacramento, gedung pusat AE Group menghadapi situasi serupa.Depan gedung dipenuhi wartawan yang menunggu dengan penuh harap.Mereka terus mengajukan pertanyaan dan spekulasi kepada setiap orang yang melintas.Kabar tentang kecelakaan besar yang menimpa Arion Ellworth, CEO AE
Satu sosok tegap berdiri di ruangan yang sunyi, cahaya dari jendela kaca besar hanya menyinari sebagian tubuhnya.Rahangnya mengeras, otot-otot di tangannya menegang saat matanya terpaku pada layar ponsel.Pesan yang baru saja diterimanya membuat darahnya mendidih.Tanpa berpikir panjang, ia menggenggam ponsel itu erat, hingga buku-buku jarinya memutih.Dengan gerakan cepat dan penuh emosi, ia membanting ponselnya ke lantai.Suara dentuman keras menggema di seluruh ruangan, membuat beberapa benda di atas meja bergetar. Namun, dentuman itu tak cukup untuk melampiaskan kemarahan yang berkecamuk dalam dirinya.Tanpa sepatah kata pun, sosok itu berbalik, wajahnya gelap dan tegang.Ia melangkah keluar dengan langkah panjang, pintu terbuka lebar seolah takut pada kehadirannya.Di luar, mobil hitam yang megah sudah menunggunya. Ia membuka pintu dengan gerakan kasar, duduk di baik kemudi dan menutup pintu dengan dentuman yang sama kerasnya seperti sebelumnya.Mesin mobil meraung hidup seiring
Di dalam mobil hitamnya yang melaju kencang melalui jalanan malam Los Angeles, Arion duduk diam, namun di dalam dirinya, bara amarah itu terus menyala.Cahaya lampu kota yang berkelebat di luar kaca jendela tak mampu meredakan kegelisahan di dadanya. Pikirannya terus berputar—Elara.Istrinya diculik, dan ini bukan hanya sekadar ancaman pribadi. Ini adalah deklarasi perang.Ia mengambil ponselnya, tangannya bergetar halus akibat getaran emosi yang pekat, lalu menekan nomor yang sudah sangat dikenalnya.Panggilan tersambung setelah hanya satu dering."Max," suara Arion terdengar dingin dan tajam. “Tunda pengejaranmu. Tugas itu, aku nyatakan hentikan untuk sekarang.”Ada keheningan singkat di ujung telepon sebelum Max menjawab, suaranya terdengar ragu. ‘Kita hampir berhasil, Tuan.’“Max,” potong Arion dengan nada yang tak bisa dibantah.Matanya memandang kosong ke depan, namun dalam kepalanya, hanya ada satu wajah yang membayang. “Elara adalah prioritasku.”Di ujung telepon, Max tak bisa
"Keperawananmu untukku, atau.. kau menyerah atas nyawa nenekmu." Pria bermata kelabu itu menatap tanpa sorot emosi dan segera setelahnya udara dingin menyeruak dalam ruangan di mana ia dan seorang gadis berkacamata bulat berada."A-apa?""Kau tidur denganku, atau kau biarkan wanita tua itu mati. Pilihanmu.""Kau! Kau memang pria brengsek! Manusia kejam!!" Gadis itu memekik marah.Tangannya yang memegang berkas dari Rumah Sakit tempat neneknya dirawat, gemetar hebat.Saat ini neneknya membutuhkan transfusi darah Rh-Null dengan segera, atau ia akan tidak tertolong.Dan pria di hadapannya ini, satu-satunya orang yang ia ketahui saat ini --detik ini, memiliki darah dengan golongan yang sama.Sekitar satu jam setengah yang lalu, Elara menerima kabar dari pihak rumah sakit, bahwa neneknya mengalami kecelakaan.Elara yang saat itu tengah berada di kampus, bergegas datang ke rumah sakit tempat neneknya dilarikan.“Bagaimana nenek saya, Dok?” tanya Elara panik ketika tiba di ruang IGD dan bert
Elara berdiri di depan rumah besar berlantai dua di hadapannya. Tidak ada pilihan lain bagi Elara saat ini, selain meminta bantuan dari ayah tirinya, Tony White. Ia masuk dan tepat di depan sana, di ruang keluarga, ia bisa melihat Tony dan Tina --adiknya, duduk bersantai. “Kamu baru pulang heh?!” Suara lengkingan memekakkan telinga, langsung menggema seantero ruangan. Elara menghentikan langkah dan menoleh pada wanita yang mengeluarkan suara melengking, Tina Palmer --bibi tiri Elara. Wanita paruh baya itu memang tidak pernah menyukai kehadiran Elara dalam keluarga White. Elara hanya menatap datar sang bibi, ia tidak bisa menghabiskan waktu berdebat dengan Tina, sementara neneknya memerlukan penanganan segera. Ia pun memutar langkah, mendekati ayah tirinya. “Ayah…” Elara berhenti di samping Tony duduk. “Aku butuh bantuan ayah.” “Hah! Benar-benar anak tak tahu diri!” umpat Tina. “Dari kecil sudah merepotkan, sekarang pun masih ingin merepotkan!” “Bantuan apa?” Suara dalam Tony
04:55 sore. Rasa sesak itu benar-benar terasa menghimpit di dada Elara. Ia baru saja menemukan dirinya memang berada di jalan buntu. Setelah penandatanganan satu berkas, Elara mendapatkan sejumlah uang --cukup banyak, dari ayah tirinya. Namun saat ia mengutarakan maksudnya pada pihak Rumah Sakit, ia tidak mendapatkan jawaban sesuai harapannya. Meskipun tadi Elara mengatakan bersedia membayar mahal pada pihak Rumah Sakit untuk darah neneknya, pihak Rumah Sakit menolak mentah-mentah. Mereka mengatakan tidak mampu mencari atau mendapatkan darah Rh-Null dalam waktu sesingkat itu. Itu darah yang langka. Bahkan jika pun ditemukan, pihak lain telah lebih dulu membelinya dengan harga sangat tinggi. Elara membuang napas beratnya. Ia kini berdiri di depan pintu ruangan yang sama. Kamar dengan angka 707 di atasnya. Itu bangsal di Rumah Sakit tempat nenek-nya dirawat. Tapi bukan bangsal milik sang nenek. Melainkan milik pria yang memiliki golongan darah langka, yang sama seperti nenek nya.