Ethan duduk di dalam mobil Bentley-nya yang bergerak perlahan menuju vila megah Arion di Pacific Heights.Pemandangan yang indah di luar jendela tidak bisa mengalihkan pikirannya yang dipenuhi kegelisahan.Ketika mobil mulai mendekati pelataran depan vila, Ethan memperhatikan sesuatu yang aneh.Tim keamanan pribadinya, yang sudah berada di sana lebih dulu, tampak sedang berbicara serius dengan kepala pelayan Arion di dekat pintu masuk.Wajah kepala pelayan itu pucat, matanya gelisah, dan ekspresinya dipenuhi ketakutan.Kegelisahan Ethan semakin meningkat. Nalurinya langsung menerka ada yang tidak beres.Tanpa mematikan mesin, Ethan langsung turun dari mobil, bahkan tak sempat menutup pintu Bentley-nya itu.Langkahnya cepat dan penuh determinasi, sepatu kulitnya menginjak kerikil di pelataran dengan suara tegas.“Ada apa?” tanyanya langsung, suaranya dalam dan penuh kekhawatiran. “Elara mana?”Kepala pelayan itu menelan ludah, jelas sangat ketakutan. Ia tampak sulit berbicara, tapi akh
Sausalito, sebuah kota kecil di seberang Golden Gate Bridge dari San Francisco, tersembunyi di balik bukit-bukit hijau yang menjorok ke teluk.Kota ini tenang dan terpencil, dikelilingi perairan yang tenang dan pegunungan terjal, menjadikannya lokasi ideal bagi para pelarian, persembunyian, atau bahkan pertempuran yang tidak akan cepat diketahui oleh publik.Dini hari yang sunyi itu hendak berganti menjelang pagi.Sebuah rumah besar, tampak terbengkalai di pinggiran kota Sausalito, berdiri seperti hantu di antara pepohonan dan kabut tipis yang merambat dari laut. Namun, kesunyian dini hari itu segera pecah.Di kejauhan, deru baling-baling helikopter mulai terdengar, pertama samar-samar, lalu semakin keras,memecah ketenangan.Tak lama, tujuh helikopter menghantam langit di atas Sausalito.Lampu-lampu mereka menyorot ke bawah, mencari tanda-tanda kehidupan di sekitar rumah besar yang menjadi sarang para penculik Elara. Ketegangan memuncak ketika gemuruh senjata mulai terdengar.Di tengah
Sheriff Graham dan Deputi Walker sedang berpatroli pada dini hari di wilayah Oroville, tepatnya di sekitar area gedung tinggi yang terbengkalai di sudut Industrial Avenue.Lokasi itu sudah lama ditinggalkan sejak terjadi resesi beberapa tahun lalu, dan sejak itu menjadi tempat rawan untuk berbagai aktivitas kriminal.Mata Deputi Walker yang tajam melihat ada dua pria yang bertingkah mencurigakan di belakang sebuah mobil hitam tua—Chevrolet Impala dengan jendela buram.Mereka tampak mengintip ke dalam bagasi, lalu buru-buru menutupnya saat mobil patroli mendekat.“Graham, lihat itu,” kata Walker sambil menunjuk ke arah pria-pria tersebut.Sheriff Graham langsung merespon dengan menurunkan kecepatan mobil patroli mereka."Ada yang tidak beres di sana," gumam Sheriff Graham.Saat mobil patroli berhenti beberapa meter dari mereka, kedua pria itu saling berpandangan sejenak sebelum tiba-tiba melarikan diri, berlari ke arah gang sempit di antara gedung-gedung yang terbengkalai.“Walker, kej
Lucas duduk di tepi ranjang di dalam kamar mewah di mansion Grand Haven.Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, kelelahan melanda, namun pikirannya tidak bisa tenang.Arion menghilang secara misterius, dan di luar mansion, puluhan wartawan masih berkerumun, menunggu berita besar.Lucas terjebak di sini, di mansion Arthur Ellworth, sementara bibinya, Lenora, berusaha tegar menghadapi tekanan dari media."Sepertinya aku harus bermalam di sini," gumam Lucas, menatap langit-langit kamar dengan lelah.Namun, saat ia hendak berbaring di ranjang, ponselnya tiba-tiba berdering, memecah keheningan malam.Lucas melirik layar ponselnya, mengernyit heran melihat nomor yang tak dikenalnya. Nomor asing dengan kode area yang tidak familiar baginya—(530), area Oroville."Dini hari seperti ini? Siapa yang meneleponku dari Oroville?" Lucas bertanya pada dirinya sendiri.Ragu sejenak, akhirnya ia mengangkat telepon itu. "Halo,” sapanya, suaranya tenang meski perasaannya penuh rasa curiga.Suara di seb
Sacramento, 43 tahun yang lalu.Mansion Grand Haven berdiri megah di tengah-tengah lahan hijau yang luas.Dinding-dinding batu megah berwarna putih gading bersinar diterpa sinar matahari sore, memberikan kesan kemewahan dan kejayaan yang seolah abadi.Pilar-pilar tinggi menjulang di sepanjang beranda depan, sementara jendela-jendela besar dengan bingkai hitam berderet rapi, menampilkan nuansa arsitektur klasik yang tak lekang oleh waktu.Di halaman belakang yang penuh dengan pohon oak tua dan taman yang terawat sempurna, seorang anak lelaki berusia sebelas tahun bermain riang dengan mobil-mobilan kayunya.Anak itu memiliki rambut hitam legam yang berkilau dan mata kelabu yang begitu khas, memikat siapa saja yang melihatnya.Ketampanannya sudah terlihat jelas, bahkan di usia belia. Iris matanya seolah menyimpan rahasia, memantulkan cahaya alami dengan lembut, menarik perhatian dengan cara yang hanya bisa dilakukan oleh sedikit orang.Di kejauhan, seorang pria berwibawa, Anthony Ellwort
Arion terdiam, pikirannya bagaikan badai yang mengamuk.Tidak mungkin.Pria di depannya—Aiden—adalah ayah kandungnya?The Orcus, sosok yang selama ini ia buru sebagai pembunuh ibunya?Tangannya yang memegang pistol terus terarah ke wajah pria itu, meski sekarang gemetar, penuh dengan kekalutan.Aiden melangkah maju dengan perlahan, memberikan isyarat kepada anak buahnya yang mengepung ruangan untuk menurunkan senjata mereka.Di sisi lain, Arion refleks melangkah mundur, tanpa sadar mempertahankan jarak dari pria itu.“Kau... pembunuh…” Suara Arion tercekat, terdengar dingin dan penuh kebencian.Aiden menggeleng pelan, menatap Arion dengan tatapan sedih. “Aku tidak membunuh Imelda,” ujarnya. “Ibumu... Imelda adalah wanita yang paling kucintai, seperti kau mencintai Elara. Aku tidak mungkin menyakitinya.”Arion mencengkeram gagang pistol lebih erat.Trauma yang terpendam selama bertahun-tahun, sejak melihat pembunuhan ibunya di masa kecil, kini berbenturan dengan kenyataan yang Aiden cob
Tiga pengawal Arthur langsung menahan Arion dan memukul Arion dengan kasar hingga pria tampan bermanik kelabu itu jatuh berlutut satu kaki.“Rion!!” pekikan histeris Elara menyerbu udara. Ia hendak maju, namun tubuhnya pun tertahan oleh anak buah Arthur.Arion mendengkus marah, matanya berkobar seakan hendak mengoyak anak buah Arthur yang menahan lengan Elara di depannya. “Jangan sentuh Elara dengan tangan kotormu itu, Bangsat!!”“Clay!! Lawanmu aku! Biarkan keduanya pergi!!” Aiden berseru marah. Kedua tangan pria itu masih ditahan di belakang punggung. “Apa kau masih belum puas dengan membunuh Imelda?!”Arthur menatap sinis Aiden.Kakinya bergerak pelan mendekati pria paruh baya yang masih sangat tampan itu.Tangannya terangkat dan menampar kuat pipi Aiden.“Puas?” Arthur meludah. “Kau memiliki segalanya, bahkan disaat kau menjadi tidak berguna dan terbuang ke luar negeri, ayah masih menempatkanmu sebagai pewaris sah AE Group!”“Aku yang bekerja keras membantu ayah untuk AE Group saat
Suasana semakin mencekam setelah Aiden tersungkur ke lantai, tubuhnya melindungi Arion dari tembakan mematikan Arthur.Bau anyir darah bercampur dengan udara dingin malam itu, seolah menjadi pertanda malapetaka yang lebih besar sedang menunggu.Arthur berdiri, senyum sinis terukir di wajahnya.Ia menatap dua orang di depannya—Aiden yang terluka parah dan Arion yang membeku. Tertawa dingin, suaranya terdengar menggema di ruangan yang senyap."Lucu sekali, bukan?" Arthur memulai dengan nada penuh ejekan. “Aku sudah menunggu saat ini terlalu lama. Kau dan anakmu di depanku. Dua orang yang paling kubenci di dunia ini.”Arion terhenyak mendengar kata-kata Arthur.Matanya yang semula penuh kekosongan kini beralih pada kebencian dan kemarahan.Aiden, meski terluka, mencoba bangkit, tetapi rasa sakit di tubuhnya membuatnya sulit bergerak.Arthur mendekat, langkahnya pelan namun penuh ancaman. "Kau pikir rasa benciku bisa terbayar hanya dengan darahmu, Aiden?" tanyanya dengan dingin. “Tidak. Ak
Aveline menjerit keras, suaranya memenuhi lorong sempit yang hanya diterangi lampu jalanan buram.Tubuhnya gemetar saat sebuah tangan kuat tiba-tiba meraih pinggangnya."Apa maksudnya ini?!" Aveline berteriak lagi, mencoba melawan, tapi tak ada yang mendengarnya.Udara malam yang dingin membuatnya semakin waspada, namun pria di depannya begitu cepat.Sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, bibirnya langsung tertutup oleh sesuatu yang hangat dan mendesak—bibir pria yang kini mencengkeramnya erat.Aveline meronta-ronta, hatinya dipenuhi kepanikan.Tubuhnya kaku saat pria itu memeluknya dengan kuat, membuka jaket kulit hitamnya seolah bersiap melakukan sesuatu yang lebih buruk.Mata Aveline melebar ketakutan.‘Tidak mungkin,’ pikirnya, ‘Apakah dia akan memperkosaku?’Ia semakin panik, berusaha membebaskan diri dari genggaman pria itu.Namun, pria itu begitu kuat.Semua tenaga Aveline seolah menguap, terjebak dalam dekapannya yang erat.Lalu, suara langkah kaki terdengar dari kejauhan.Sekelo
Langit sore yang kemerahan menyelimuti San Francisco Bay, tempat di mana sebagian besar kehidupan cinta sepasang insan berkisah.Suara ombak yang berdeburan pelan di pantai menciptakan melodi yang damai, selaras dengan angin sepoi-sepoi yang menyapu lembut permukaan laut.Elara berdiri di ujung dermaga kayu, menatap cakrawala yang tampak tanpa batas, tempat di mana langit bertemu lautan.Matanya menerawang, namun wajahnya kini memancarkan ketenangan yang baru.Dalam dekapan hangatnya, bayi kecil mereka terlelap, wajahnya damai seperti ibunya.Sudah lama sejak pertarungan hidup dan mati di acara peresmian Imera Sky Tower, dan sejak saat itu, kehidupan Elara dan Arion berubah drastis.Banyak hal yang telah dilalui—pengkhianatan, luka, cinta yang terlupakan dan kemudian dipulihkan.Namun hari ini, di bawah cahaya senja yang lembut, semuanya terasa sempurna.Tiba-tiba, langkah kaki yang berat namun mantap terdengar dari belakangnya.Elara tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.A
Arion duduk di ujung ranjang, pandangannya terpaku pada sosok mungil yang ada dalam dekapannya.Bayi perempuan itu terlelap dengan tenang, tubuhnya begitu kecil dan lembut seperti boneka porselen.Pipinya yang kemerahan tampak menggemaskan, kulitnya sehalus sutra dengan bulu-bulu halus yang masih tersisa di atas kepalanya.Mata bayi itu masih tertutup, namun ketika sempat terbuka sesaat, Arion melihat dengan jelas iris matanya yang kelabu, warna yang sama seperti miliknya—sebuah tanda tak terbantahkan bahwa bayi itu adalah darah dagingnya.Bibir kecilnya bergerak perlahan, seakan sedang menghisap udara, dan tangannya yang mungil mengepal erat, menggenggam sepotong kain selimut.Arion tersenyum kecil, hatinya penuh dengan rasa takjub yang tak pernah ia sanggup perkirakan sebelumnya.Di dalam ruangan itu, hanya suara napas lembut bayi perempuannya yang terdengar, membuatnya seperti terhanyut dalam keajaiban kecil yang ia pegang.Sudah lebih dari setengah jam, namun Arion tak bisa melepa
Arion mengangguk pelan, melanjutkan penjelasannya. “Selama aku menjalankan peranku sebagai The Draven, orang itu mengambil peran menjadi diriku, Arion Ellworth. Sehingga tidak ada yang curiga. Kecelakaan di Sunol itu terjadi pada doppelganger-ku.”Elara terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi yang baru saja diterimanya. “Jadi... orang itu? Apakah dia tewas dalam kecelakaan itu? Bagaimana aku bisa membedakan kalian? Bagaimana jika suatu saat aku salah mengenali orang itu sebagai dirimu?”Arion tersenyum melihat kepanikan sang istri. “Jangan khawatir, Honey. Orang itu berhasil selamat oleh orang-orangku. Wajahnya tidak sepenuhnya mirip denganku. Hanya postur tubuh dan perilakunya yang serupa. Aku membuatnya menjalani operasi plastik untuk mengubah beberapa bagian, seperti rahang dan hidung saja. Namun, saat dia menjalankan peran sebagai aku, dia menggunakan prosthetic mask yang dibuat menyerupai wajahku.”Elara memandang Arion, dengan sorot kompleks. “Astaga… sampai seperti itu kau m
Elara dan Arion berdiri di tengah keheningan, menghadap sebuah makam dengan batu nisan marmer yang megah. Di atasnya terukir dengan indah: Imelda Ellworth. Satu buket mawar putih mewah yang segar ditempatkan rapi di atas pusara, memberikan sentuhan penuh penghormatan. Pemakaman ini, yang terletak di Cypress Lawn Memorial Park, San Francisco—tempat peristirahatan terakhir para keluarga kaya dan terpandang—dikelilingi oleh pohon-pohon ek yang menjulang tinggi. Jalanan berkerikil putih menghubungkan setiap makam, dan di kejauhan terlihat pemandangan laut yang tenang, menambah suasana damai nan elegan. Udara pagi terasa sejuk, disertai suara angin yang membelai lembut pepohonan. Elara memandang ke sekeliling area pemakaman yang tampak megah, penuh dengan nisan-nisan yang terbuat dari batu marmer putih dan hitam. Di antara semua itu, nisan Imelda berdiri sebagai salah satu yang paling indah, seperti sebuah karya seni yang mencerminkan kehidupan seseorang yang telah meninggalkan jejak
Arthur Ellworth, atau Clay Mallory, kini duduk di sudut sel gelap penjara federal, matanya kosong menatap dinding dingin yang tak lagi bergema dengan wibawa yang pernah ia miliki.Hanya bayangan suram yang tersisa, menggantung di antara kesadaran dan kehancuran. Di penjara ini, waktu seolah-olah melambat, setiap detik menjadi siksaan yang tidak berujung.Hari ini, seorang penjaga penjara menghampiri pintu selnya.Wajah penjaga itu datar, tidak ada belas kasihan, tidak ada penghormatan.Hanya secarik kertas yang dilempar ke lantai di depan Arthur, yang langsung mengenal lambang Ellworth di atasnya.Tangannya yang dulu perkasa sekarang gemetar ketika meraih kertas itu.Di dalamnya, satu pesan singkat yang menghantamnya dengan kejam: "Semua aset, kekayaan, dan perusahaan yang pernah kau curi telah dikembalikan kepada pemiliknya yang sah—Aiden Ellworth."Arthur meremas kertas itu dengan tangannya yang gemetar, rasa panas menjalar da
Markas utama di San Bernardino tampak penuh ketegangan. Di ruang pertemuan besar, cahaya lampu gantung memantul di atas meja panjang tempat para eksekutif utama The Draven berkumpul. Ketiga Executor—Albert, Isaac, dan Samuel—duduk di posisi masing-masing, menatap sosok Arion Ellworth, pria yang selama ini mereka kenal sebagai The Draven, pemimpin mereka yang tak terbantahkan. Samuel, Executor wilayah San Jose, adalah pria bertubuh tegap dengan garis wajah tegas. Rambutnya mulai memutih, namun sorot matanya masih tajam, mencerminkan kekuatan dan ketenangan yang ia bawa selama bertahun-tahun memimpin wilayahnya. Isaac, Executor wilayah Mount Horeb, Wisconsin, berbeda. Tubuhnya ramping, wajahnya lebih halus, tetapi matanya menyiratkan kejeniusan yang sering kali tersembunyi di balik sikapnya yang tenang. Ia terkenal sebagai ‘otak cadangan’ di balik banyak rencana besar yang berhasil dijalankan The Draven. Albert, Executor wilayah San Bernardino, adalah yang termuda. Dengan rahang pers
Aiden tersenyum tipis, sebuah senyuman yang mengandung ketegasan, bahkan ancaman halus di baliknya.“The Orcus bukan ancaman bagi pemerintah. Kami tidak pernah bergerak melawan kalian, Donovan. Jika ada yang perlu kau pahami, ketahuilah ini: The Orcus hanya berurusan dengan mereka yang mengincar kami atau mereka yang berada dalam wilayah kami. Kami adalah perisai, bukan pedang.”Donovan menatapnya, tak sepenuhnya yakin apakah pernyataan itu adalah bentuk pembelaan atau manipulasi.Aiden melanjutkan, kali ini dengan suara yang lebih dalam dan penuh makna. “The Orcus tidak akan pernah menjadi ancaman bagi pemerintah Amerika Serikat… kecuali, jika pemerintah membuat kami tidak punya pilihan lain.”Kalimat itu menggantung di udara, begitu dingin dan tajam seperti bilah pedang yang tersembunyi di balik kata-kata.Donovan tahu, ini bukan ancaman langsung, tapi sebuah peringatan yang tak bisa diabaikan.Aiden sangat c
Matahari pagi yang hangat menyinari kamar tidur mewah di mana Elara sedang berdiri, merapikan dasi Arion dengan penuh perhatian.Arion Ellworth, dengan tubuh tegapnya dan postur sempurna, tampak gagah dalam setelan formal berwarna gelap yang membingkai fisiknya dengan sempurna.Mata kelabu pria itu berkilauan, menambah kesan misterius sekaligus memikat.Ketampanannya terasa tak terbantahkan, membuat Elara sejenak terpana, seperti kembali mengenang saat pertama kali bertemu dengannya.Arion telah kembali ke wujud lamanya—kuat, berwibawa, dan penuh energi—setelah beberapa bulan melemah akibat Couvade Syndrome.Selama sekitar 4 bulan, pria yang biasanya tegas dan tak tergoyahkan ini harus terkapar karena gejala kehamilan palsu yang dialaminya.Namun, kini di bulan kelima kehamilan Elara, semua gejala itu telah sirna.Tidak ada lagi mual, muntah, atau kelelahan yang membebani Arion. Dia kembali pada dirinya yang dulu, dengan e