Saat tangan Arion terangkat, seolah hendak mengakhiri hidup Aiden dengan belati yang gemetar di tangannya, waktu terasa berjalan lambat.Tapi, di balik tatapan sedih dan penuh rasa bersalah yang terlihat itu, terjadi gerakan cepat tak terduga.Dalam sekejap, Arion melemparkan belati dengan kecepatan luar biasa, mengarah tepat ke tangan Arthur yang sedang memegang pistol.Suara logam belati menembus kulit terdengar jelas saat Arthur menggeram kesakitan, senjatanya terlempar dari genggaman.Di saat yang sama, Toba, meskipun babak belur oleh pukulan sebelumnya, tiba-tiba bergerak dengan kecepatan kilat.Tangan dan kakinya bergerak dengan presisi mematikan, menghantam lawan-lawannya dengan pukulan keras.Satu demi satu, anak buah Arthur jatuh tak berdaya di lantai.Arion dan Toba bergerak dengan sinkron, memperlihatkan keduanya yang seakan sudah terlatih untuk momen ini.Lirikan singkat dari Arion sebelumnya adalah kode yang Toba pahami dengan cepat.Ini adalah saatnya untuk menyerang bali
Suara helikopter berputar di atas langit yang kelam, seolah menciptakan bayangan hitam yang menghantui rumah megah tak berpenghuni di pinggiran Sausalito.Sirene FBI meraung dari kejauhan, disertai derap langkah pasukan anti-teroris yang siap mengepung.Donovan memimpin barisan dengan wajah serius, memberi isyarat tangan untuk memerintahkan timnya bergerak maju.Pasukan anti-teroris berbaju serba hitam bergerak dengan cepat dan teratur, senapan otomatis terarah ke pintu utama yang tampak seperti monster menganga.“Tim Alpha, masuki dari pintu depan. Tim Bravo, masuk melalui jendela lantai tiga,” Donovan memberi instruksi dengan suara tegas.Pasukan bergerak dalam formasi, mata mereka tajam mengawasi setiap sudut.Ledakan kecil terdengar saat pintu depan didobrak dengan paksa.Tim Alpha langsung menyebar masuk, senapan teracung, jari-jari mereka siaga di pelatuk.Begitu masuk, pemandangan yang tak kalah mengerikan dengan pemandangan di halaman depan, menyambut mereka—tubuh-tubuh tak ber
Dini hari itu, hujan turun deras membasahi jalan-jalan yang sepi.Kilatan petir sesekali menerangi langit gelap, sementara bunyi gemuruh guntur menambah nuansa mencekam.Di sebuah gudang tua yang terletak di pinggiran kota, suasana mencekam menyelimuti setiap sudutnya.Gudang itu dipenuhi oleh bayangan-bayangan yang samar, lampu-lampu redup berkelap-kelip tak menentu, seakan menjadi saksi bisu dari sesuatu yang mengerikan.Arion berdiri di ambang pintu, napasnya terengah-engah setelah pertempuran sengit yang baru saja dilaluinya.Beberapa anak buah musuh tergeletak tak bernyawa di sekitar, tubuh mereka berserakan di atas lantai beton yang dingin.Pria tampan bermanik kelabu itu kini berjuang sendiri.Untuk menghalangi pengejaran dirinya, Arthur mengirimkan pasukan lainnya untuk menyerbu FBI di dalam bangunan di Sausalito.Arion berhasil keluar tepat sebelum serbuan itu datang.Ia kini datang ke lokasi yang sengaja diberikan langsung oleh Arthur padanya.Tangan Arion gemetar, bukan kare
“Ugh!”"James!" Liliana berseru, ketakutan, tubuhnya langsung berbalik menatap suaminya dengan cemas. "Ada apa denganmu? Apa yang kau rasakan?"Mereka berdua berada dalam limousine yang melaju meninggalkan Bandara San Francisco. Suasana menjadi terasa tegang.James Wayne duduk di kursi kulit mewah, terlihat letih setelah penerbangan yang seharusnya hanya 4 jam namun tertunda hingga 7 jam karena cuaca buruk di beberapa titik sepanjang rute penerbangan dari Madison.Hujan badai dan gangguan teknis pesawat memaksa mereka untuk transit sementara.Liliana, istrinya, duduk di sebelahnya, menghela napas lega akhirnya tiba di San Francisco. Namun, tadi tiba-tiba James tersentak sambil memegangi dada kirinya dengan raut wajah yang menegang.Wajahnya pucat, napasnya sedikit tersengal.James menggeleng pelan, berusaha tersenyum meski jelas terlihat kesakitan. "Aku... aku baik-baik saja," jawabnya dengan suara serak. "Ini hanya... kelelahan setelah penerbangan panjang.""James, tidak. Kita harus
Suara tembakan meletus, menggema di seluruh ruangan yang kini dipenuhi ketegangan.Sebuah erangan panjang terdengar.Namun bukan dari Elara yang menjadi sasaran tembak.Itu berasal dari Arthur sendiri, yang kini terhuyung-huyung ke belakang. Tangan kanannya berdarah, tertembak, dan pistol yang semula tergenggam kuat di tangannya terlempar jauh."Keparat kau!!"Seruan dan tembakan itu berasal dari Ethan, yang telah berlari masuk ke dalam ruangan dan langsung menerjang Arthur dengan kemarahan membara.Di belakangnya, tim Delta Force dengan wajah tertutup balaclava dan seragam taktis hitam, menyerbu masuk dengan senapan M4A1 terangkat. Lampu senter mereka menyapu seluruh ruangan yang nyaris temaram.“Senjata di tanah! Sekarang!” teriak sang komandan.Lebih dari lima belas anak buah Arthur yang berada di dalam ruangan itu tersentak, beberapa dari mereka langsung mengangkat senjata. Tembakan pertama dilepaskan, menggema di seluruh ruangan.Tim Delta Force sudah terlatih untuk situasi sepert
“Terima kasih,” Elara menyela. Kedua manik zamrudnya terlihat redup. “Terima kasih sudah kuat untukku, Rion..”“Tidak,” geleng Arion. “Aku yang terima kasih. Maafkan aku… Maafkan aku, gagal melindungimu sampai kau harus mengalami ini semua…”“Maafkan aku…” ulang Arion sungguh-sungguh.“Tidak. Maafkan aku…” Elara beringsut mendekat dan mengecup tepi rahang suaminya.Namun sebuah suara cukup keras, terdengar.“Oh ayolah! Situasi genting, dan kalian sempat-sempatnya bermesraan??”Keluhan Ethan terdengar dari belakang, sontak membuat Arion dan Elara yang dalam posisi berbaring dengan tubuh terikat, sama-sama menengok ke asal suara.“Ethan!” seru Elara. Meski bernada riang, getaran sisa shock masih terdengar di dalam suara wanita cantik itu.“Apa kabar sepupu?” sapa Ethan ramah dengan suaranya yang juga bergetar.Pria tampan itu jelas tak bisa menyembunyikan rasa takut dan cemas yang luar biasa menguasai dirinya saat tahu Elara hampir tidak tertolong.Mata birunya yang semula begitu garang
Arion berdiri di depan pintu kaca ruang rawat inap VIP rumah sakit yang dijaga ketat oleh anggota FBI.Mata kelabunya yang tajam, biasanya penuh kendali, kini dipenuhi oleh berbagai emosi yang bergejolak.Dada Arion terasa sesak, seolah-olah tak ada cukup udara untuk menenangkan ketegangan yang menumpuk sejak ia mengetahui kebenaran ini.Ayah kandungnya, Aiden Ellworth, yang selama ini ia pikir adalah penjahat keji yang telah membunuh ibunya, terbaring di dalam ruangan itu.Kenyataan yang selama ini tersembunyi terungkap dengan brutal, meruntuhkan tembok-tembok pertahanan di hatinya.Dengan tangan terkepal di sisi tubuhnya, Arion menatap lama kaca pintu itu, seolah mencoba menguatkan diri.Ia telah melalui banyak hal dalam hidup—pertempuran bisnis yang keras, pengkhianatan, kehilangan, pertumpahan darah. Namun, tidak ada yang bisa mempersiapkan dirinya untuk pertemuan ini.Pria yang terbaring di dalam, pria yang seharusnya menjadi pelindung dan pemandunya sejak ia kecil, baru ditemukan
Ethan dan James memilih keluar dari ruang rawat inap VVIP tempat Elara dirawat.Meskipun kekhawatiran terhadap kondisi Elara masih membayangi, mereka tahu percakapan ini tak bisa dilakukan di hadapannya.Keduanya berjalan menuju sebuah ruangan kecil di lantai yang sama, ruangan yang jauh dari keramaian, dengan enam orang pengawal yang berdiri agak jauh dari keduanya, membuat percakapan mereka tak akan terdengar siapa pun.Tempat itu memberi mereka ruang yang cukup aman untuk pembicaraan yang serius yang mungkin akan mengubah banyak hal.Di dalam ruangan itu, James duduk di kursi besar, wajahnya tampak tegang dan penuh kengerian.Baru saja mendengar apa yang disampaikan Ethan, ia masih tidak bisa percaya.“Jadi, yang kau katakan…” James menggeleng pelan, suaranya rendah namun penuh amarah yang tertahan. “Arthur Ellworth bukan ayah kandung Arion, dan... dia yang membunuh ibu kandung Arion? Istrinya sendiri?”Berita yang dulu ramai, adalah bahwa Imelda Ellworth terkena penyakit akut dan
Aveline menjerit keras, suaranya memenuhi lorong sempit yang hanya diterangi lampu jalanan buram.Tubuhnya gemetar saat sebuah tangan kuat tiba-tiba meraih pinggangnya."Apa maksudnya ini?!" Aveline berteriak lagi, mencoba melawan, tapi tak ada yang mendengarnya.Udara malam yang dingin membuatnya semakin waspada, namun pria di depannya begitu cepat.Sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, bibirnya langsung tertutup oleh sesuatu yang hangat dan mendesak—bibir pria yang kini mencengkeramnya erat.Aveline meronta-ronta, hatinya dipenuhi kepanikan.Tubuhnya kaku saat pria itu memeluknya dengan kuat, membuka jaket kulit hitamnya seolah bersiap melakukan sesuatu yang lebih buruk.Mata Aveline melebar ketakutan.‘Tidak mungkin,’ pikirnya, ‘Apakah dia akan memperkosaku?’Ia semakin panik, berusaha membebaskan diri dari genggaman pria itu.Namun, pria itu begitu kuat.Semua tenaga Aveline seolah menguap, terjebak dalam dekapannya yang erat.Lalu, suara langkah kaki terdengar dari kejauhan.Sekelo
Langit sore yang kemerahan menyelimuti San Francisco Bay, tempat di mana sebagian besar kehidupan cinta sepasang insan berkisah.Suara ombak yang berdeburan pelan di pantai menciptakan melodi yang damai, selaras dengan angin sepoi-sepoi yang menyapu lembut permukaan laut.Elara berdiri di ujung dermaga kayu, menatap cakrawala yang tampak tanpa batas, tempat di mana langit bertemu lautan.Matanya menerawang, namun wajahnya kini memancarkan ketenangan yang baru.Dalam dekapan hangatnya, bayi kecil mereka terlelap, wajahnya damai seperti ibunya.Sudah lama sejak pertarungan hidup dan mati di acara peresmian Imera Sky Tower, dan sejak saat itu, kehidupan Elara dan Arion berubah drastis.Banyak hal yang telah dilalui—pengkhianatan, luka, cinta yang terlupakan dan kemudian dipulihkan.Namun hari ini, di bawah cahaya senja yang lembut, semuanya terasa sempurna.Tiba-tiba, langkah kaki yang berat namun mantap terdengar dari belakangnya.Elara tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.A
Arion duduk di ujung ranjang, pandangannya terpaku pada sosok mungil yang ada dalam dekapannya.Bayi perempuan itu terlelap dengan tenang, tubuhnya begitu kecil dan lembut seperti boneka porselen.Pipinya yang kemerahan tampak menggemaskan, kulitnya sehalus sutra dengan bulu-bulu halus yang masih tersisa di atas kepalanya.Mata bayi itu masih tertutup, namun ketika sempat terbuka sesaat, Arion melihat dengan jelas iris matanya yang kelabu, warna yang sama seperti miliknya—sebuah tanda tak terbantahkan bahwa bayi itu adalah darah dagingnya.Bibir kecilnya bergerak perlahan, seakan sedang menghisap udara, dan tangannya yang mungil mengepal erat, menggenggam sepotong kain selimut.Arion tersenyum kecil, hatinya penuh dengan rasa takjub yang tak pernah ia sanggup perkirakan sebelumnya.Di dalam ruangan itu, hanya suara napas lembut bayi perempuannya yang terdengar, membuatnya seperti terhanyut dalam keajaiban kecil yang ia pegang.Sudah lebih dari setengah jam, namun Arion tak bisa melepa
Arion mengangguk pelan, melanjutkan penjelasannya. “Selama aku menjalankan peranku sebagai The Draven, orang itu mengambil peran menjadi diriku, Arion Ellworth. Sehingga tidak ada yang curiga. Kecelakaan di Sunol itu terjadi pada doppelganger-ku.”Elara terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi yang baru saja diterimanya. “Jadi... orang itu? Apakah dia tewas dalam kecelakaan itu? Bagaimana aku bisa membedakan kalian? Bagaimana jika suatu saat aku salah mengenali orang itu sebagai dirimu?”Arion tersenyum melihat kepanikan sang istri. “Jangan khawatir, Honey. Orang itu berhasil selamat oleh orang-orangku. Wajahnya tidak sepenuhnya mirip denganku. Hanya postur tubuh dan perilakunya yang serupa. Aku membuatnya menjalani operasi plastik untuk mengubah beberapa bagian, seperti rahang dan hidung saja. Namun, saat dia menjalankan peran sebagai aku, dia menggunakan prosthetic mask yang dibuat menyerupai wajahku.”Elara memandang Arion, dengan sorot kompleks. “Astaga… sampai seperti itu kau m
Elara dan Arion berdiri di tengah keheningan, menghadap sebuah makam dengan batu nisan marmer yang megah. Di atasnya terukir dengan indah: Imelda Ellworth. Satu buket mawar putih mewah yang segar ditempatkan rapi di atas pusara, memberikan sentuhan penuh penghormatan. Pemakaman ini, yang terletak di Cypress Lawn Memorial Park, San Francisco—tempat peristirahatan terakhir para keluarga kaya dan terpandang—dikelilingi oleh pohon-pohon ek yang menjulang tinggi. Jalanan berkerikil putih menghubungkan setiap makam, dan di kejauhan terlihat pemandangan laut yang tenang, menambah suasana damai nan elegan. Udara pagi terasa sejuk, disertai suara angin yang membelai lembut pepohonan. Elara memandang ke sekeliling area pemakaman yang tampak megah, penuh dengan nisan-nisan yang terbuat dari batu marmer putih dan hitam. Di antara semua itu, nisan Imelda berdiri sebagai salah satu yang paling indah, seperti sebuah karya seni yang mencerminkan kehidupan seseorang yang telah meninggalkan jejak
Arthur Ellworth, atau Clay Mallory, kini duduk di sudut sel gelap penjara federal, matanya kosong menatap dinding dingin yang tak lagi bergema dengan wibawa yang pernah ia miliki.Hanya bayangan suram yang tersisa, menggantung di antara kesadaran dan kehancuran. Di penjara ini, waktu seolah-olah melambat, setiap detik menjadi siksaan yang tidak berujung.Hari ini, seorang penjaga penjara menghampiri pintu selnya.Wajah penjaga itu datar, tidak ada belas kasihan, tidak ada penghormatan.Hanya secarik kertas yang dilempar ke lantai di depan Arthur, yang langsung mengenal lambang Ellworth di atasnya.Tangannya yang dulu perkasa sekarang gemetar ketika meraih kertas itu.Di dalamnya, satu pesan singkat yang menghantamnya dengan kejam: "Semua aset, kekayaan, dan perusahaan yang pernah kau curi telah dikembalikan kepada pemiliknya yang sah—Aiden Ellworth."Arthur meremas kertas itu dengan tangannya yang gemetar, rasa panas menjalar da
Markas utama di San Bernardino tampak penuh ketegangan. Di ruang pertemuan besar, cahaya lampu gantung memantul di atas meja panjang tempat para eksekutif utama The Draven berkumpul. Ketiga Executor—Albert, Isaac, dan Samuel—duduk di posisi masing-masing, menatap sosok Arion Ellworth, pria yang selama ini mereka kenal sebagai The Draven, pemimpin mereka yang tak terbantahkan. Samuel, Executor wilayah San Jose, adalah pria bertubuh tegap dengan garis wajah tegas. Rambutnya mulai memutih, namun sorot matanya masih tajam, mencerminkan kekuatan dan ketenangan yang ia bawa selama bertahun-tahun memimpin wilayahnya. Isaac, Executor wilayah Mount Horeb, Wisconsin, berbeda. Tubuhnya ramping, wajahnya lebih halus, tetapi matanya menyiratkan kejeniusan yang sering kali tersembunyi di balik sikapnya yang tenang. Ia terkenal sebagai ‘otak cadangan’ di balik banyak rencana besar yang berhasil dijalankan The Draven. Albert, Executor wilayah San Bernardino, adalah yang termuda. Dengan rahang pers
Aiden tersenyum tipis, sebuah senyuman yang mengandung ketegasan, bahkan ancaman halus di baliknya.“The Orcus bukan ancaman bagi pemerintah. Kami tidak pernah bergerak melawan kalian, Donovan. Jika ada yang perlu kau pahami, ketahuilah ini: The Orcus hanya berurusan dengan mereka yang mengincar kami atau mereka yang berada dalam wilayah kami. Kami adalah perisai, bukan pedang.”Donovan menatapnya, tak sepenuhnya yakin apakah pernyataan itu adalah bentuk pembelaan atau manipulasi.Aiden melanjutkan, kali ini dengan suara yang lebih dalam dan penuh makna. “The Orcus tidak akan pernah menjadi ancaman bagi pemerintah Amerika Serikat… kecuali, jika pemerintah membuat kami tidak punya pilihan lain.”Kalimat itu menggantung di udara, begitu dingin dan tajam seperti bilah pedang yang tersembunyi di balik kata-kata.Donovan tahu, ini bukan ancaman langsung, tapi sebuah peringatan yang tak bisa diabaikan.Aiden sangat c
Matahari pagi yang hangat menyinari kamar tidur mewah di mana Elara sedang berdiri, merapikan dasi Arion dengan penuh perhatian.Arion Ellworth, dengan tubuh tegapnya dan postur sempurna, tampak gagah dalam setelan formal berwarna gelap yang membingkai fisiknya dengan sempurna.Mata kelabu pria itu berkilauan, menambah kesan misterius sekaligus memikat.Ketampanannya terasa tak terbantahkan, membuat Elara sejenak terpana, seperti kembali mengenang saat pertama kali bertemu dengannya.Arion telah kembali ke wujud lamanya—kuat, berwibawa, dan penuh energi—setelah beberapa bulan melemah akibat Couvade Syndrome.Selama sekitar 4 bulan, pria yang biasanya tegas dan tak tergoyahkan ini harus terkapar karena gejala kehamilan palsu yang dialaminya.Namun, kini di bulan kelima kehamilan Elara, semua gejala itu telah sirna.Tidak ada lagi mual, muntah, atau kelelahan yang membebani Arion. Dia kembali pada dirinya yang dulu, dengan e