Di lorong remang-remang sebuah bar eksklusif yang tersembunyi, langkah kaki Arion yang tegas bergema, mengikuti wanita bergaun merah yang anggun namun memancarkan aura misterius.Gaun merah ketat yang dikenakannya berkilauan di bawah sorotan lampu neon redup, menonjolkan lekuk tubuhnya yang memikat.Wanita berambut hitam itu menoleh sesekali, memastikan Arion tetap di belakangnya.Mereka melewati para pengunjung yang sibuk, suara gelas yang berdenting, tawa bercampur dengan musik yang menggema, menambah suasana liar malam itu.Di ujung lorong, wanita bergaun merah itu berhenti di depan pintu kayu besar yang dijaga dua pria berotot dengan wajah tanpa ekspresi.Mereka tidak mengatakan apa-apa ketika wanita bergaun merah mengetuk pintu dengan ritme tertentu, kode yang tampaknya sudah dikenal baik.Pintu pun dibuka, mengungkapkan ruangan tersembunyi di baliknya.Ruangan itu besar namun pengap, diterangi lampu redup dengan aroma tembakau yang menyengat.Di dalamnya, Viktor, pria bertubuh be
Di dalam vila mewah milik Arion di San Francisco, suasana terasa tenang.Sore itu, Elara duduk santai di sofa ruang tamu yang luas, sambil menonton televisi. Ia mengenakan pakaian kasual—kaus longgar berwarna krem yang dipadukan dengan celana panjang linen berwarna khaki.Rambut cokelat madu panjangnya yang bergelombang diikat ekor kuda dengan asal --itu terlihat malas, namun menawan, terlihat pula kontras dengan warna soft dari kaus yang ia kenakan.Meskipun sedang bersantai, keanggunan isteri Arion itu selalu terpancar secara alami.Terdengar derit pintu ketika Ethan masuk ke dalam vila.Pria tampan bermata biru itu baru saja kembali dari pertemuannya yang panjang dan menatap sepupunya dengan senyum ringan.“Elara,” sapa Ethan dengan suara tenang, “Lagi nonton apa?”Elara tersenyum menyambut kedatangan Ethan.Ada kehangatan dalam senyumnya, senyum yang hanya ia perlihatkan pada orang-orang yang dekat dengannya.“Hanya nonton serial lama,” jawabnya santai, lalu mematikan televisi den
Di sebuah rumah di kota kecil Winters, tak jauh dari Sacramento, Byron sedang menikmati sore harinya dengan malas.Televisi besar di depannya menampilkan pertandingan tinju yang membuat adrenalinnya terpacu.Kaki kasarnya berselonjor di atas meja yang penuh dengan botol-botol bir kosong, sebagian bahkan tergeletak di lantai bersama remah-remah makanan cepat saji dan pakaian acak-acakan.Bau busuk bir basi menyengat di seluruh ruangan, namun Byron tampak tak peduli.Sisa bekas luka bakar di wajahnya membuat penampilannya lebih mengerikan, apalagi saat ia mengumpat setiap kali salah satu petinju di layar gagal memukul lawannya.“Tendang dia, brengsek! Ayolah!” Byron menggeram, matanya terpaku pada layar, tinjunya mengepal seolah ia sendiri yang bertarung.Tanpa ia sadari, pintu depan rumah itu terbuka perlahan, dan sosok gelap menyelinap masuk tanpa suara.Kakinya yang ringan melangkah mendekat dari belakang sofa tempat Byron duduk.Bayangan itu mendekat, mengintai, sementara Byron tetap
“Menaranya akan dibangun di sini?” Elara menatap takjub ke situs pembangunan menara.Ethan membawanya ke Transbay District, ini adalah salah satu kawasan mahal di San Francisco.Transbay District, terletak di jantung San Francisco, menawarkan suasana yang modern, dinamis, dan futuristik.Kawasan ini dikelilingi gedung-gedung pencakar langit yang menjulang, termasuk ikon Salesforce Tower dan sejumlah kondominium serta perkantoran mewah.Di sebuah site strategis di distrik ini, berdampingan dengan beberapa gedung perkantoran dan hunian elit, terhampar tanah kosong yang siap menjadi lokasi pembangunan menara tertinggi di San Francisco.Lokasinya yang dikelilingi oleh gedung-gedung mewah memberikan potensi besar bagi menara ini untuk menjadi pusat perhatian dan lambang kemegahan baru di kota.Pemandangan dari atas gedung yang akan dibangun akan mencakup panorama Teluk San Francisco, Jembatan Bay, dan cakrawala kota yang memukau.Suasana d
Di villa megah milik Arion di Pacific Heights, Elara duduk termenung di tepi ranjangnya, memandang jauh ke luar jendela yang terbuka.Angin laut yang sejuk berembus pelan, membawa aroma asin dan rasa ketenangan, namun pikirannya terselimuti oleh gelombang perasaan yang bercampur aduk.Sepulang dari site pembangunan menara, hatinya masih terhanyut dalam kekaguman yang tak terkatakan.Imera Sky Tower.Sebuah mahakarya yang dirancang dengan sempurna oleh suaminya, Arion, untuk menghormati dua wanita paling penting dalam hidupnya—ibunya, Imelda, dan dirinya sendiri, Elara.Nama itu, 'Imera', terasa begitu dalam dan bermakna.Arion tidak hanya membangun menara yang kelak akan menjadi ikon kota San Francisco dan seluruh benua Amerika, tapi juga memasukkan bagian dari dirinya, dari cinta dan penghormatan, ke dalam proyek besar itu.Elara tersentuh hingga ke lubuk hatinya.Betapa sempurna dan penuh perhatian suaminya itu.Meski hubungan mereka sebelumnya diwarnai konflik dan jarak, saat ini, E
Elara menghela napas panjang, ponselnya masih menempel di telinga saat ia mendengarkan suara tenang di ujung telepon."Kami mohon maaf, Miss Elara," suara perwakilan NexTech Ventures terdengar hati-hati. "Ada masalah internal yang mendesak di perusahaan kami. Kami terpaksa menunda pertemuan hari ini hingga minggu depan."Elara melirik ke jalanan yang padat di depannya.Porsche Panamera berwarna midnight blue metalik-nya melaju mulus di tengah keramaian kota.Elara sudah setengah perjalanan menuju kantor NexTech, dan sekarang tiba-tiba agenda pertemuan itu dibatalkan."Tidak masalah," Elara menjawab dengan nada tenang. "Terima kasih atas informasinya."Telepon ditutup, dan Elara menghela napas pelan.Rencananya untuk hari itu mendadak kosong, dan dia tidak suka dengan waktu luang yang tidak direncanakan.Ia segera menghubungi Susie, pengawalnya, yang berada di mobil lain di belakang."Susie," Elara memulai. "NexTech membatalkan pertemuan hari ini."‘Oh, benar? Jadi apa yang akan kita la
Ethan berdiri di tengah lokasi proyek Imera Sky Tower, memeriksa kemajuan pembangunan menara tertinggi dengan serius.Lokasi proyek Imera Sky Tower dipenuhi dengan aktivitas sibuk dan suara bising.Mesin-mesin berat seperti crane dan bulldozer bekerja tanpa henti, mengeluarkan deru yang menggelegar. Debu dan pasir terbang di udara, memberikan nuansa kesibukan yang konstan.Pekerja berpakaian pelindung berwarna cerah, seperti helm dan rompi reflektif, bergerak cepat dari satu tempat ke tempat lain, mengangkut bahan bangunan dan peralatan.Tali-temali dan alat berat menempel pada struktur yang sedang dibangun, sementara beberapa bagian menara sudah menjulang tinggi ke langit.Suara perbincangan singkat dan perintah dari supervisor bersaing dengan keributan mesin, menciptakan suasana kerja yang intens dan bersemangat.Di tengah-tengah hiruk-pikuk ini, Ethan berdiri dengan penuh perhatian, memastikan bahwa setiap detail proyek sesuai dengan rencana dan standar yang ditetapkan.Suara mesin
Elara terkesiap. Ia terbelalak kaget, matanya melebar ketika melihat sosok yang baru saja membekapnya.Tangannya refleks meraih tangan yang membekapnya, tapi genggaman itu begitu kuat.Jantungnya berdegup kencang, tubuhnya tegang.Sosok itu mendekatkan wajahnya ke telinga Elara, berbisik pelan namun tegas."Apa kabar Sayang..."Suara berat dan serak yang begitu dikenalnya membuat degup jantung Elara melambat sejenak, lalu kembali berdebar cepat—kali ini bukan karena kaget, tapi rasa senang.Arion.Ketika tubuhnya diputar oleh tangan kokoh Arion, punggungnya kini menghadap pria itu, dan mereka berdiri berhadapan dengan cermin besar di dalam fitting room.Kilauan gaun haute couture yang dikenakan Elara memantulkan sinar lembut dari lampu gantung, namun semua itu tak lagi menarik perhatiannya.Yang ada di pikirannya sekarang hanya satu -Arion, yang kini berada begitu dekat, terlalu dekat.Satu ketegangan tebal menggantung di udara.Arion perlahan melepaskan tangannya dari mulut Elara, nam