Elara berdiri di tengah ruangan dengan ekspresi terkejut diliputi cemas, melihat sepatu yang baru diberikan oleh Ethan.Sepatu itu adalah edisi terbatas yang terinspirasi oleh karya Michael Chabon, dengan desain yang unik dan berkualitas tinggi. Ethan tampak penuh antusiasme saat menunjukkan sepatu tersebut ke hadapan Elara.“Jadi kau kemari untuk--”“Bukankah ini bagus? Kau suka?”Elara tidak segera mengangguk, meskipun ia takjub dan langsung jatuh hati pada pandangan pertama, saat Ethan mengeluarkan sepatu boots yang ia tahu berharga puluhan ribu dolar tersebut.“Bagaimana kau mendapatkan barang ini? Bukankah ini dimiliki seorang kolektor dan--”“Aku berhasil membujuknya untuk menjual ini padaku. Kakimu, ayo kemarikan.” Ethan berlutut satu kaki dan menadahkan tangan --meminta Elara meletakkan tumit kanannya di tangan Ethan.“Ethan! Jangan seperti ini! Aku--”“Apakah kau akan menolak sepatu cantik ini?” Ethan menatap Elara dengan sorot yang ia buat sedih. Nada jenaka kemudian mengayun
Paula berdiri di sudut ruangan, matanya menatap keluar jendela dengan pandangan tajam.Dia mengangkat teleponnya, suaranya tenang namun penuh otoritas. “Ya, aku di sini,” katanya singkat.Suara di ujung sana terdengar samar, hanya Paula yang bisa mendengar dengan jelas.Wajahnya tidak menunjukkan emosi, tapi matanya yang biasanya dingin kini tampak serius, hampir seperti tegang.Dia mendengarkan dengan seksama, setiap kata yang keluar dari lawan bicaranya seolah-olah sangat penting.Sesekali dia mengangguk pelan, seolah-olah menimbang-nimbang sesuatu.Setelah beberapa saat, Paula akhirnya bicara, suaranya rendah namun penuh kekuatan. “Laksanakan segera. Cepat dan bersih. Ini kesempatan satu-satunya. Aku tidak ingin ada kesalahan.”Dia menunggu sebentar sebelum menutup telepon dengan pasti.Tangannya gemetar sedikit, namun tidak ada keraguan dalam gerakannya.Setelah telepon ditutup, Paula menarik napas dalam-dalam dan berbalik.Matanya kini tampak gelap, dipenuhi oleh kebencian yang di
Ruangan itu remang-remang dengan lampu-lampu gantung yang menyinari ring tinju di tengahnya.Dinding-dinding yang terbuat dari batu bata ekspos memberi kesan keras dan kasar, seakan mencerminkan atmosfer di dalam ruangan.Di sudut ring, seseorang yang berdiri dengan sikap tegapnya, berdiri sebagai wasit yang akan mengawasi sparring antara dua pria yang sama-sama penuh tekad—Arion dan Ethan.Arion, dengan tubuh tegap dan otot-otot yang terlatih, mengenakan sarung tinju hitam. Matanya menatap tajam ke arah Ethan, penuh dengan rasa percaya diri yang luar biasa. Di benaknya, dia yakin sparring ini hanyalah formalitas untuk menjatuhkan Ethan dengan mudah.Sebaliknya, Ethan, yang mengenakan sarung tinju berwarna merah, tampak tenang dan santai. Senyum kecil di wajahnya seolah mengejek Arion, menambah ketegangan di antara mereka.Meski tak memiliki fisik sekuat Arion, ada keyakinan tersirat dalam sikapnya yang tidak bisa diremehkan.Wasit melangkah ke tengah ring dan menatap keduanya. "Ingat,
“Kau suka berlagak sebagai pahlawan, Mr. Wayne,” desis Arion sambil terus menyerang, “Tapi jangan berpikir kau bisa mengambil tempatku. Elara adalah istriku.”“Apakah dia benar-benar istrimu? Aku rasa tidak ada cincin yang mengikatnya malam itu ketika kami di hotel bersama,” kata Ethan, sengaja memanas-manasi Arion lebih jauh. “Malam itu, kami berbagi momen intim. Kau tahu apa yang terjadi kan, Mr. Ellworth? Tapi tentu saja, itu bukan urusanmu.”Ethan mengucapkan kata-kata terakhirnya dengan nada yang penuh sindiran, mengetahui bahwa ini akan memancing kemarahan Arion yang lebih besar.Benar saja, Arion yang selama ini dikenal dingin dan tak mudah terprovokasi, kali ini kehilangan kendali.Dengan satu gerakan cepat, Arion melancarkan pukulan hook ke arah wajah Ethan, membuatnya terhuyung dan nyaris terjatuh.Ethan tidak siap dengan pukulan sekuat itu, dan untuk sesaat, ruangan terasa berputar. Namun, Ethan tidak jatuh—dia menahan diri dengan bertumpu pada tali ring.Wasit yang sejak ta
Mobil Dodge hitam dengan plat nomor SP-3487 berhenti terjepit di satu jalan yang sunyi, di pinggiran kota yang diterangi hanya oleh lampu jalan yang remang-remang.Sore itu sepi, seolah dunia meresapi ketenangan yang tidak wajar sebelum badai.Dalam keheningan itu, enam lelaki bersenjata dengan gerakan terlatih mengepung mobil tersebut dengan sigap dan disiplin.Seseorang di antaranya --pemimpin mereka, adalah seorang pria dengan sorot mata penuh kekejaman, mendekati mobil dan menggedor jendela dengan keras.“Keluar dari mobil sekarang!” perintahnya dengan suara lantang yang menggema di udara sore itu.Ada jeda sesaat.Ketegangan merambat di antara enam pengepung itu, namun mereka tetap fokus, memegang erat senjata mereka, siap menembak kapan saja.Mereka sudah dilatih untuk segala kemungkinan.Pintu pengemudi terbuka perlahan, dan seorang pria dengan tubuh tegap keluar dari dalam mobil.Dia mengenakan jaket
Di dalam mansion megah milik James Wayne, malam itu suasana terasa hening dan penuh ketenangan.Lampu kristal besar menggantung di langit-langit ruang makan yang luas, memancarkan kilau emas yang menyinari meja makan panjang dari kayu mahoni.Di ujung meja, James Wayne duduk di kursi utama dengan postur tegas. Di sebelah kirinya duduk Liliana, istrinya, wanita anggun dengan senyum yang selalu tampak tenang meski hatinya sering kali bergolak.Di seberang Liliana, ada Gerard, adik James, seorang pria dengan sorot mata teduh dan ramah. Di samping Gerard duduk Paula, istrinya, yang memancarkan aura dingin namun berkelas.Sementara di sebelah kanan James, Dianne, putri kesayangan James, duduk dengan anggun, sementara di sebelah Dianne, Ethan, putra Paula dan Gerard, terlihat pucat dan lebih pendiam dari biasanya.Mereka semua duduk dengan rapi di meja makan yang besar itu, menikmati makanan yang dihidangkan oleh para pelayan dengan penuh kesopanan.
Elara hampir tidak bisa percaya pada penglihatannya. "Ri-on...?"Arion Ellworth, pria yang selama ini memenuhi pikirannya, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi yang sulit dibaca.Garis wajahnya selalu terlihat tegas, namun ada sesuatu di matanya yang tidak bisa diabaikan oleh Elara."Ara," Arion memanggil namanya dengan suara rendah, mengunci tatapan mereka.Elara merasakan campuran antara kelegaan dan kekhawatiran. "Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa... kenapa kau ada di sini? Aku seharusnya berada di Deerfield. Ada apa dengan ini semua?"Arion tidak segera menjawab.Pria bermanik kelabu itu melangkah mendekat, manik kelabunya tetap terpaku pada Elara, seolah berusaha memberikan jawaban yang tersembunyi di balik ketenangan dan ketegasan yang terpancar dari wajahnya."Kita perlu bicara," jawab Arion akhirnya, suaranya serius namun mengandung kelembutan yang membuat hati Elara berdebar kencang.* * *James merasakan detak jantungnya meningkat, namun sebagai seseorang yang terbiasa
Ethan tetap tenang, meskipun ada kesedihan di matanya. “Aku hanya mengira kau adalah putri Paman James karena anting itu. Anting buatan mendiang Melanie yang ada di tanganmu… Ternyata itu bukan milikmu, Dianne. Itu milik Elara.”Dianne membeku di tempatnya. Begitu pula Paula.Kengerian menyelimuti wajah kedua wanita beda generasi tersebut, menyadari bahwa tipuan mereka sudah terbongkar.“Tidak… Tidak mungkin… Bagaimana kau bisa tahu?” desis Dianne.“E-Ethan… Nak, kau… kau tahu?”“Aku sangat kecewa padamu, Bu,” ucap Ethan dengan suara yang hampir berbisik, namun cukup jelas terdengar di ruangan itu.Paula membeku.Matanya melebar, dan menatap Ethan dengan sorot mata penuh keterkejutan dan rasa sakit. “Ethan, tidak, kau tidak boleh percaya pada omong kosong ini. Aku tidak bersalah! Mereka salah!”Namun, Ethan hanya menatap ibunya dengan mata yang penuh kekecewaan.Dia tidak mengatakan apa-apa lagi, tetapi ekspresi di wajahnya sudah cukup untuk membuat hati Paula teriris.Rasa percaya dir