Elara menutup tab pencarian mengenai Ethan dan mulai mengumpulkan semua informasi yang dia butuhkan untuk tugas survei tersebut.Kota kecil itu mungkin akan menjadi tantangan tersendiri, terutama jika akses data atau infrastruktur di sana terbatas. Tapi Elara selalu siap menghadapi apapun yang dihadapinya.“Baiklah, aku harus menyelesaikan ini dengan baik,” Elara berbicara pada dirinya sendiri, mencoba mengalihkan pikirannya dari rasa bersalah pada Arion.Wanita bermanik zamrud itu baru saja hendak kembali fokus bekerja di mejanya ketika telepon di meja depan ruangan berbunyi.Faye terlihat meraih gagang telepon dan menjawab, “Tim Business Analyst, Faye di sini.”Suara dari resepsionis terdengar, ‘ini Donna. Faye tolong sampaikan pada Elara Willow, ada tamu yang menunggunya di ruang pertemuan di bawah.’Faye melirik Elara di kubikel-nya dengan senyuman cemooh di wajah. “Siapa pula orang iseng yang mencari Elara, Donna? Mengapa pula tidak disuruh menunggu saja di lobi?”‘Tidak mungkin a
Elara berdiri di tengah ruangan dengan ekspresi terkejut diliputi cemas, melihat sepatu yang baru diberikan oleh Ethan.Sepatu itu adalah edisi terbatas yang terinspirasi oleh karya Michael Chabon, dengan desain yang unik dan berkualitas tinggi. Ethan tampak penuh antusiasme saat menunjukkan sepatu tersebut ke hadapan Elara.“Jadi kau kemari untuk--”“Bukankah ini bagus? Kau suka?”Elara tidak segera mengangguk, meskipun ia takjub dan langsung jatuh hati pada pandangan pertama, saat Ethan mengeluarkan sepatu boots yang ia tahu berharga puluhan ribu dolar tersebut.“Bagaimana kau mendapatkan barang ini? Bukankah ini dimiliki seorang kolektor dan--”“Aku berhasil membujuknya untuk menjual ini padaku. Kakimu, ayo kemarikan.” Ethan berlutut satu kaki dan menadahkan tangan --meminta Elara meletakkan tumit kanannya di tangan Ethan.“Ethan! Jangan seperti ini! Aku--”“Apakah kau akan menolak sepatu cantik ini?” Ethan menatap Elara dengan sorot yang ia buat sedih. Nada jenaka kemudian mengayun
Paula berdiri di sudut ruangan, matanya menatap keluar jendela dengan pandangan tajam.Dia mengangkat teleponnya, suaranya tenang namun penuh otoritas. “Ya, aku di sini,” katanya singkat.Suara di ujung sana terdengar samar, hanya Paula yang bisa mendengar dengan jelas.Wajahnya tidak menunjukkan emosi, tapi matanya yang biasanya dingin kini tampak serius, hampir seperti tegang.Dia mendengarkan dengan seksama, setiap kata yang keluar dari lawan bicaranya seolah-olah sangat penting.Sesekali dia mengangguk pelan, seolah-olah menimbang-nimbang sesuatu.Setelah beberapa saat, Paula akhirnya bicara, suaranya rendah namun penuh kekuatan. “Laksanakan segera. Cepat dan bersih. Ini kesempatan satu-satunya. Aku tidak ingin ada kesalahan.”Dia menunggu sebentar sebelum menutup telepon dengan pasti.Tangannya gemetar sedikit, namun tidak ada keraguan dalam gerakannya.Setelah telepon ditutup, Paula menarik napas dalam-dalam dan berbalik.Matanya kini tampak gelap, dipenuhi oleh kebencian yang di
Ruangan itu remang-remang dengan lampu-lampu gantung yang menyinari ring tinju di tengahnya.Dinding-dinding yang terbuat dari batu bata ekspos memberi kesan keras dan kasar, seakan mencerminkan atmosfer di dalam ruangan.Di sudut ring, seseorang yang berdiri dengan sikap tegapnya, berdiri sebagai wasit yang akan mengawasi sparring antara dua pria yang sama-sama penuh tekad—Arion dan Ethan.Arion, dengan tubuh tegap dan otot-otot yang terlatih, mengenakan sarung tinju hitam. Matanya menatap tajam ke arah Ethan, penuh dengan rasa percaya diri yang luar biasa. Di benaknya, dia yakin sparring ini hanyalah formalitas untuk menjatuhkan Ethan dengan mudah.Sebaliknya, Ethan, yang mengenakan sarung tinju berwarna merah, tampak tenang dan santai. Senyum kecil di wajahnya seolah mengejek Arion, menambah ketegangan di antara mereka.Meski tak memiliki fisik sekuat Arion, ada keyakinan tersirat dalam sikapnya yang tidak bisa diremehkan.Wasit melangkah ke tengah ring dan menatap keduanya. "Ingat,
“Kau suka berlagak sebagai pahlawan, Mr. Wayne,” desis Arion sambil terus menyerang, “Tapi jangan berpikir kau bisa mengambil tempatku. Elara adalah istriku.”“Apakah dia benar-benar istrimu? Aku rasa tidak ada cincin yang mengikatnya malam itu ketika kami di hotel bersama,” kata Ethan, sengaja memanas-manasi Arion lebih jauh. “Malam itu, kami berbagi momen intim. Kau tahu apa yang terjadi kan, Mr. Ellworth? Tapi tentu saja, itu bukan urusanmu.”Ethan mengucapkan kata-kata terakhirnya dengan nada yang penuh sindiran, mengetahui bahwa ini akan memancing kemarahan Arion yang lebih besar.Benar saja, Arion yang selama ini dikenal dingin dan tak mudah terprovokasi, kali ini kehilangan kendali.Dengan satu gerakan cepat, Arion melancarkan pukulan hook ke arah wajah Ethan, membuatnya terhuyung dan nyaris terjatuh.Ethan tidak siap dengan pukulan sekuat itu, dan untuk sesaat, ruangan terasa berputar. Namun, Ethan tidak jatuh—dia menahan diri dengan bertumpu pada tali ring.Wasit yang sejak ta
Mobil Dodge hitam dengan plat nomor SP-3487 berhenti terjepit di satu jalan yang sunyi, di pinggiran kota yang diterangi hanya oleh lampu jalan yang remang-remang.Sore itu sepi, seolah dunia meresapi ketenangan yang tidak wajar sebelum badai.Dalam keheningan itu, enam lelaki bersenjata dengan gerakan terlatih mengepung mobil tersebut dengan sigap dan disiplin.Seseorang di antaranya --pemimpin mereka, adalah seorang pria dengan sorot mata penuh kekejaman, mendekati mobil dan menggedor jendela dengan keras.“Keluar dari mobil sekarang!” perintahnya dengan suara lantang yang menggema di udara sore itu.Ada jeda sesaat.Ketegangan merambat di antara enam pengepung itu, namun mereka tetap fokus, memegang erat senjata mereka, siap menembak kapan saja.Mereka sudah dilatih untuk segala kemungkinan.Pintu pengemudi terbuka perlahan, dan seorang pria dengan tubuh tegap keluar dari dalam mobil.Dia mengenakan jaket
Di dalam mansion megah milik James Wayne, malam itu suasana terasa hening dan penuh ketenangan.Lampu kristal besar menggantung di langit-langit ruang makan yang luas, memancarkan kilau emas yang menyinari meja makan panjang dari kayu mahoni.Di ujung meja, James Wayne duduk di kursi utama dengan postur tegas. Di sebelah kirinya duduk Liliana, istrinya, wanita anggun dengan senyum yang selalu tampak tenang meski hatinya sering kali bergolak.Di seberang Liliana, ada Gerard, adik James, seorang pria dengan sorot mata teduh dan ramah. Di samping Gerard duduk Paula, istrinya, yang memancarkan aura dingin namun berkelas.Sementara di sebelah kanan James, Dianne, putri kesayangan James, duduk dengan anggun, sementara di sebelah Dianne, Ethan, putra Paula dan Gerard, terlihat pucat dan lebih pendiam dari biasanya.Mereka semua duduk dengan rapi di meja makan yang besar itu, menikmati makanan yang dihidangkan oleh para pelayan dengan penuh kesopanan.
Elara hampir tidak bisa percaya pada penglihatannya. "Ri-on...?"Arion Ellworth, pria yang selama ini memenuhi pikirannya, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi yang sulit dibaca.Garis wajahnya selalu terlihat tegas, namun ada sesuatu di matanya yang tidak bisa diabaikan oleh Elara."Ara," Arion memanggil namanya dengan suara rendah, mengunci tatapan mereka.Elara merasakan campuran antara kelegaan dan kekhawatiran. "Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa... kenapa kau ada di sini? Aku seharusnya berada di Deerfield. Ada apa dengan ini semua?"Arion tidak segera menjawab.Pria bermanik kelabu itu melangkah mendekat, manik kelabunya tetap terpaku pada Elara, seolah berusaha memberikan jawaban yang tersembunyi di balik ketenangan dan ketegasan yang terpancar dari wajahnya."Kita perlu bicara," jawab Arion akhirnya, suaranya serius namun mengandung kelembutan yang membuat hati Elara berdebar kencang.* * *James merasakan detak jantungnya meningkat, namun sebagai seseorang yang terbiasa
Aveline menjerit keras, suaranya memenuhi lorong sempit yang hanya diterangi lampu jalanan buram.Tubuhnya gemetar saat sebuah tangan kuat tiba-tiba meraih pinggangnya."Apa maksudnya ini?!" Aveline berteriak lagi, mencoba melawan, tapi tak ada yang mendengarnya.Udara malam yang dingin membuatnya semakin waspada, namun pria di depannya begitu cepat.Sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, bibirnya langsung tertutup oleh sesuatu yang hangat dan mendesak—bibir pria yang kini mencengkeramnya erat.Aveline meronta-ronta, hatinya dipenuhi kepanikan.Tubuhnya kaku saat pria itu memeluknya dengan kuat, membuka jaket kulit hitamnya seolah bersiap melakukan sesuatu yang lebih buruk.Mata Aveline melebar ketakutan.‘Tidak mungkin,’ pikirnya, ‘Apakah dia akan memperkosaku?’Ia semakin panik, berusaha membebaskan diri dari genggaman pria itu.Namun, pria itu begitu kuat.Semua tenaga Aveline seolah menguap, terjebak dalam dekapannya yang erat.Lalu, suara langkah kaki terdengar dari kejauhan.Sekelo
Langit sore yang kemerahan menyelimuti San Francisco Bay, tempat di mana sebagian besar kehidupan cinta sepasang insan berkisah.Suara ombak yang berdeburan pelan di pantai menciptakan melodi yang damai, selaras dengan angin sepoi-sepoi yang menyapu lembut permukaan laut.Elara berdiri di ujung dermaga kayu, menatap cakrawala yang tampak tanpa batas, tempat di mana langit bertemu lautan.Matanya menerawang, namun wajahnya kini memancarkan ketenangan yang baru.Dalam dekapan hangatnya, bayi kecil mereka terlelap, wajahnya damai seperti ibunya.Sudah lama sejak pertarungan hidup dan mati di acara peresmian Imera Sky Tower, dan sejak saat itu, kehidupan Elara dan Arion berubah drastis.Banyak hal yang telah dilalui—pengkhianatan, luka, cinta yang terlupakan dan kemudian dipulihkan.Namun hari ini, di bawah cahaya senja yang lembut, semuanya terasa sempurna.Tiba-tiba, langkah kaki yang berat namun mantap terdengar dari belakangnya.Elara tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.A
Arion duduk di ujung ranjang, pandangannya terpaku pada sosok mungil yang ada dalam dekapannya.Bayi perempuan itu terlelap dengan tenang, tubuhnya begitu kecil dan lembut seperti boneka porselen.Pipinya yang kemerahan tampak menggemaskan, kulitnya sehalus sutra dengan bulu-bulu halus yang masih tersisa di atas kepalanya.Mata bayi itu masih tertutup, namun ketika sempat terbuka sesaat, Arion melihat dengan jelas iris matanya yang kelabu, warna yang sama seperti miliknya—sebuah tanda tak terbantahkan bahwa bayi itu adalah darah dagingnya.Bibir kecilnya bergerak perlahan, seakan sedang menghisap udara, dan tangannya yang mungil mengepal erat, menggenggam sepotong kain selimut.Arion tersenyum kecil, hatinya penuh dengan rasa takjub yang tak pernah ia sanggup perkirakan sebelumnya.Di dalam ruangan itu, hanya suara napas lembut bayi perempuannya yang terdengar, membuatnya seperti terhanyut dalam keajaiban kecil yang ia pegang.Sudah lebih dari setengah jam, namun Arion tak bisa melepa
Arion mengangguk pelan, melanjutkan penjelasannya. “Selama aku menjalankan peranku sebagai The Draven, orang itu mengambil peran menjadi diriku, Arion Ellworth. Sehingga tidak ada yang curiga. Kecelakaan di Sunol itu terjadi pada doppelganger-ku.”Elara terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi yang baru saja diterimanya. “Jadi... orang itu? Apakah dia tewas dalam kecelakaan itu? Bagaimana aku bisa membedakan kalian? Bagaimana jika suatu saat aku salah mengenali orang itu sebagai dirimu?”Arion tersenyum melihat kepanikan sang istri. “Jangan khawatir, Honey. Orang itu berhasil selamat oleh orang-orangku. Wajahnya tidak sepenuhnya mirip denganku. Hanya postur tubuh dan perilakunya yang serupa. Aku membuatnya menjalani operasi plastik untuk mengubah beberapa bagian, seperti rahang dan hidung saja. Namun, saat dia menjalankan peran sebagai aku, dia menggunakan prosthetic mask yang dibuat menyerupai wajahku.”Elara memandang Arion, dengan sorot kompleks. “Astaga… sampai seperti itu kau m
Elara dan Arion berdiri di tengah keheningan, menghadap sebuah makam dengan batu nisan marmer yang megah. Di atasnya terukir dengan indah: Imelda Ellworth. Satu buket mawar putih mewah yang segar ditempatkan rapi di atas pusara, memberikan sentuhan penuh penghormatan. Pemakaman ini, yang terletak di Cypress Lawn Memorial Park, San Francisco—tempat peristirahatan terakhir para keluarga kaya dan terpandang—dikelilingi oleh pohon-pohon ek yang menjulang tinggi. Jalanan berkerikil putih menghubungkan setiap makam, dan di kejauhan terlihat pemandangan laut yang tenang, menambah suasana damai nan elegan. Udara pagi terasa sejuk, disertai suara angin yang membelai lembut pepohonan. Elara memandang ke sekeliling area pemakaman yang tampak megah, penuh dengan nisan-nisan yang terbuat dari batu marmer putih dan hitam. Di antara semua itu, nisan Imelda berdiri sebagai salah satu yang paling indah, seperti sebuah karya seni yang mencerminkan kehidupan seseorang yang telah meninggalkan jejak
Arthur Ellworth, atau Clay Mallory, kini duduk di sudut sel gelap penjara federal, matanya kosong menatap dinding dingin yang tak lagi bergema dengan wibawa yang pernah ia miliki.Hanya bayangan suram yang tersisa, menggantung di antara kesadaran dan kehancuran. Di penjara ini, waktu seolah-olah melambat, setiap detik menjadi siksaan yang tidak berujung.Hari ini, seorang penjaga penjara menghampiri pintu selnya.Wajah penjaga itu datar, tidak ada belas kasihan, tidak ada penghormatan.Hanya secarik kertas yang dilempar ke lantai di depan Arthur, yang langsung mengenal lambang Ellworth di atasnya.Tangannya yang dulu perkasa sekarang gemetar ketika meraih kertas itu.Di dalamnya, satu pesan singkat yang menghantamnya dengan kejam: "Semua aset, kekayaan, dan perusahaan yang pernah kau curi telah dikembalikan kepada pemiliknya yang sah—Aiden Ellworth."Arthur meremas kertas itu dengan tangannya yang gemetar, rasa panas menjalar da
Markas utama di San Bernardino tampak penuh ketegangan. Di ruang pertemuan besar, cahaya lampu gantung memantul di atas meja panjang tempat para eksekutif utama The Draven berkumpul. Ketiga Executor—Albert, Isaac, dan Samuel—duduk di posisi masing-masing, menatap sosok Arion Ellworth, pria yang selama ini mereka kenal sebagai The Draven, pemimpin mereka yang tak terbantahkan. Samuel, Executor wilayah San Jose, adalah pria bertubuh tegap dengan garis wajah tegas. Rambutnya mulai memutih, namun sorot matanya masih tajam, mencerminkan kekuatan dan ketenangan yang ia bawa selama bertahun-tahun memimpin wilayahnya. Isaac, Executor wilayah Mount Horeb, Wisconsin, berbeda. Tubuhnya ramping, wajahnya lebih halus, tetapi matanya menyiratkan kejeniusan yang sering kali tersembunyi di balik sikapnya yang tenang. Ia terkenal sebagai ‘otak cadangan’ di balik banyak rencana besar yang berhasil dijalankan The Draven. Albert, Executor wilayah San Bernardino, adalah yang termuda. Dengan rahang pers
Aiden tersenyum tipis, sebuah senyuman yang mengandung ketegasan, bahkan ancaman halus di baliknya.“The Orcus bukan ancaman bagi pemerintah. Kami tidak pernah bergerak melawan kalian, Donovan. Jika ada yang perlu kau pahami, ketahuilah ini: The Orcus hanya berurusan dengan mereka yang mengincar kami atau mereka yang berada dalam wilayah kami. Kami adalah perisai, bukan pedang.”Donovan menatapnya, tak sepenuhnya yakin apakah pernyataan itu adalah bentuk pembelaan atau manipulasi.Aiden melanjutkan, kali ini dengan suara yang lebih dalam dan penuh makna. “The Orcus tidak akan pernah menjadi ancaman bagi pemerintah Amerika Serikat… kecuali, jika pemerintah membuat kami tidak punya pilihan lain.”Kalimat itu menggantung di udara, begitu dingin dan tajam seperti bilah pedang yang tersembunyi di balik kata-kata.Donovan tahu, ini bukan ancaman langsung, tapi sebuah peringatan yang tak bisa diabaikan.Aiden sangat c
Matahari pagi yang hangat menyinari kamar tidur mewah di mana Elara sedang berdiri, merapikan dasi Arion dengan penuh perhatian.Arion Ellworth, dengan tubuh tegapnya dan postur sempurna, tampak gagah dalam setelan formal berwarna gelap yang membingkai fisiknya dengan sempurna.Mata kelabu pria itu berkilauan, menambah kesan misterius sekaligus memikat.Ketampanannya terasa tak terbantahkan, membuat Elara sejenak terpana, seperti kembali mengenang saat pertama kali bertemu dengannya.Arion telah kembali ke wujud lamanya—kuat, berwibawa, dan penuh energi—setelah beberapa bulan melemah akibat Couvade Syndrome.Selama sekitar 4 bulan, pria yang biasanya tegas dan tak tergoyahkan ini harus terkapar karena gejala kehamilan palsu yang dialaminya.Namun, kini di bulan kelima kehamilan Elara, semua gejala itu telah sirna.Tidak ada lagi mual, muntah, atau kelelahan yang membebani Arion. Dia kembali pada dirinya yang dulu, dengan e