Elara berdiri di depan rumah besar berlantai dua di hadapannya.
Tidak ada pilihan lain bagi Elara saat ini, selain meminta bantuan dari ayah tirinya, Tony White.
Ia masuk dan tepat di depan sana, di ruang keluarga, ia bisa melihat Tony dan Tina --adiknya, duduk bersantai.
“Kamu baru pulang heh?!” Suara lengkingan memekakkan telinga, langsung menggema seantero ruangan.
Elara menghentikan langkah dan menoleh pada wanita yang mengeluarkan suara melengking, Tina Palmer --bibi tiri Elara.
Wanita paruh baya itu memang tidak pernah menyukai kehadiran Elara dalam keluarga White.
Elara hanya menatap datar sang bibi, ia tidak bisa menghabiskan waktu berdebat dengan Tina, sementara neneknya memerlukan penanganan segera.
Ia pun memutar langkah, mendekati ayah tirinya.
“Ayah…” Elara berhenti di samping Tony duduk. “Aku butuh bantuan ayah.”
“Hah! Benar-benar anak tak tahu diri!” umpat Tina. “Dari kecil sudah merepotkan, sekarang pun masih ingin merepotkan!”
“Bantuan apa?” Suara dalam Tony begitu datar dan dingin.
“Nenek… nenek butuh transfusi darah. Bisakah.. bisakah ayah membantu mencarikan pendonor Rh-Null?” pinta Elara. Matanya tak berkedip, menyorotkan harapan yang begitu tinggi.
Tina menyambar lagi. “Sudah banyak uang yang dikeluarkan kakak ku untuk mengurus anak orang sepertimu! Apa kau tidak punya sedikit rasa malu?!”
Elara mengabaikan Tina dan tetap menatap penuh permohonan pada sang ayah.
“Ayah… nenek adalah ibunya ibuku. Kau pernah mencintai ibuku. Tolonglah nenekku.. Aku yakin jika ibu masih hidup, ia akan berterima kasih pada ayah…”
Genggaman Tony pada sandaran tangan di sofa yang ia duduki, mengerat.
“Jangan bawa-bawa Annie! Dia sudah mati! Kau hanya memanfaatkan kasih sayang kakak ku pada Annie yang sudah tiada! Jangan memanipulasi kakak ku lagi, hingga mengeluarkan uang untukmu, anak kurang ajar!” Tina berteriak marah.
Kalimat Tina kali ini bukan tanpa efek pada Elara.
Elara menoleh pada Tina dan menatapnya tajam. “Apa salahnya ayah mengeluarkan uang untukku? Bukankah bibi tahu, bahwa perusahaan yang ayah pegang saat ini, tidak lepas dari peran ibuku? Secara tidak langsung, aku --sebagai putri kandung ibuku, juga berhak atas perusahaan itu!”
Tina menggeram penuh amarah. “Apa kamu bilang? Dasar anak tidak tahu diri! Kamu hanya parasit yang menggerogoti kakak ku! Kamu--”
“Sudahlah Tina!” Tony bersuara untuk menghentikan Tina.
“Tapi kak! Dia--”
“Ku bilang, sudah!”
Tina pun akhirnya berhasil terbungkam. Ia duduk dengan mengerutkan wajah.
“Berapa yang kau butuh?” tanya Tony pada Elara.
“Ayah, aku bukan butuh uang. Aku butuh koneksi ayah untuk mendapatkan pendonor darah itu. Aku--”
“Aku tidak ingin direpotkan hal semacam itu. Sebutkan saja berapa aku harus mengeluarkan uang, dengan syarat kamu tidak akan pernah meminta atau menyebut tentang perusahaan lagi padaku. Apa kamu bisa?”
Wajah Elara menjadi pias. Kedua telapak tangannya dingin dan berkeringat.
Kalimat ayah tirinya sungguh menusuk hati.
“Ayah…” Suara Elara bergetar.
“Berapa? Aku tidak akan terlalu berbaik hati menawarkan ini lain kali,” tukas Tony dingin.
Tina yang semula cemberut, menjadi sumringah begitu mendengar bahwa kakaknya memberikan syarat itu pada Elara.
Ia melirik Elara yang wajahnya tampak pucat.
Gadis itu terlihat mengepalkan kedua tangannya. “Kalau begitu, berikan aku satu juta dolar!”
“Apa kau gila?!” pekik Tina tak terima.
Tina sungguh tak sudi melihat Elara mendapatkan uang dari Tony.
Perusahaan yang dikelola Tony, akan menjadi miliknya.
Tony tidak memiliki penerus sedarah, perusahaan itu ia pastikan akan jatuh pada anaknya kelak. Bagaimana mungkin ia rela Tony mengeluarkan uang sebanyak itu?
“Itu terlalu banyak. Akan mengganggu cash flow perusahaan,” tolak Tony. “Lima ratus ribu. Dan kamu tidak pernah mengungkit lagi soal perusahaan di hadapan kami.” Itu adalah keputusan final.
Elara menarik napas dalam-dalam.
Amarah yang berkumpul dan mengendap di dalam hatinya, akan ia simpan dan ia ingat baik-baik.
Elara mengangguk. “Kirimkan ke rekeningku. Aku tidak akan meminta bantuan kalian lagi setelah ini.”
“Asistenku akan menyerahkan satu berkas untuk kau tandatangani, sebelum aku mengirimkan uang itu.”
Kedua kalinya, Elara mengangguk. “Kirimkan saja ke rumah sakit. Aku akan berada di sana.”
Usai mengucapkannya, gadis itu pun memutar tubuh dan keluar dari kediaman White.
“Kau keterlaluan, Kak! Itu jumlah yang banyak!” Tina menggeram marah dan menatap Tony dengan tidak puas.
“Itu jumlah yang wajar. Satu juta pun masih sangat wajar, karena dulu Annie mengeluarkan banyak uang untuk modal awal perusahaan.” Tony mengembus napas. “Masih untung dia tidak meminta separuh saham perusahaan, sebagai ahli waris Annie.”
Tina kemudian hanya mendengkus kasar, merasa tidak puas tentunya.
Di luar kediaman White, Elara berdiri kaku di teras depan dengan hati yang berselimut hawa dingin.
Seseorang datang mendekati Elara dengan hati-hati dan memanggilnya pelan.
“Nona Elara.”
Elara menoleh dan mendapati pelayan berusia enam puluhan yang sangat ia kenali. “Bibi Ruth.”
“Tadi pagi bibi melihat Nyonya Willow datang ke sini, pasti ingin menengok Nona Elara. Namun Nyonya Tina mengusirnya dengan kejam dan mengatakan hal-hal buruk tentang Nona.”
“Apa?!” Tangan Elara seketika mengepal kuat, saking kuatnya, hingga telapak tangannya tertusuk dalam oleh kuku-kuku Elara.
Namun gadis bermata zamrud itu sama sekali tidak mempedulikan rasa sakit itu. Jauh lebih sakit mendengar bahwa neneknya datang dan diusir oleh Tina!
“Tuan Tony melihatnya. Namun Tuan tidak menghentikan pengusiran dan tidak mencegah kata-kata buruk yang diucapkan Nyonya Tina kepada Nyonya Willow. Lalu Nyonya Willow keluar dari rumah dengan wajah tampak kaget dan sedih.”
Ruth melanjutkan. “Saya melihat Nyonya Willow melamun saat berjalan menuju gerbang keluar. Mungkin…” Pelayan tua itu tidak meneruskan kalimatnya, namun Elara dapat menangkapnya dengan baik.
Neneknya, datang jauh-jauh dari desa ke sini dan mengalami pengusiran. Nenek Elara hanya tahu bahwa selama ini Elara dibesarkan dalam keluarga White, dengan baik.
Ia mungkin menjadi shock mengetahui bahwa Elara ternyata diperlakukan dengan tidak baik dalam keluarga ini.
Rasa dingin mengguyur seluruh tubuh gadis bermata zamrud itu. Membekukan seluruh sendi dan saraf-saraf nya.
Betapa tega keluarga White!
Ia tidak akan memaafkan mereka, jika sampai hal terburuk terjadi pada neneknya!
* * *
04:55 sore. Rasa sesak itu benar-benar terasa menghimpit di dada Elara. Ia baru saja menemukan dirinya memang berada di jalan buntu. Setelah penandatanganan satu berkas, Elara mendapatkan sejumlah uang --cukup banyak, dari ayah tirinya. Namun saat ia mengutarakan maksudnya pada pihak Rumah Sakit, ia tidak mendapatkan jawaban sesuai harapannya. Meskipun tadi Elara mengatakan bersedia membayar mahal pada pihak Rumah Sakit untuk darah neneknya, pihak Rumah Sakit menolak mentah-mentah. Mereka mengatakan tidak mampu mencari atau mendapatkan darah Rh-Null dalam waktu sesingkat itu. Itu darah yang langka. Bahkan jika pun ditemukan, pihak lain telah lebih dulu membelinya dengan harga sangat tinggi. Elara membuang napas beratnya. Ia kini berdiri di depan pintu ruangan yang sama. Kamar dengan angka 707 di atasnya. Itu bangsal di Rumah Sakit tempat nenek-nya dirawat. Tapi bukan bangsal milik sang nenek. Melainkan milik pria yang memiliki golongan darah langka, yang sama seperti nenek nya.
Sungguh Elara telah pasrah.Tangannya yang memegang akta pernikahan, sedikit bergetar.Demi Tuhan, dirinya masih muda dan memiliki begitu banyak mimpi serta hal-hal yang ingin ia lakukan. Tapi saat ini, ia telah menjadi istri seseorang.Elara melirik pria yang berdiri di sampingnya yang tengah menerima telepon.Pria itu kembali mengenakan pakaian proyek yang tadi siang Elara lihat. Namun itu sama sekali tidak mampu menutupi kharisma misterius pria tersebut.Wajah tampannya terlalu angkuh. Dengan rupa sempurna seperti itu --meski ia mengenakan pakaian lusuh sekalipun, wanita mana yang tidak terhipnotis oleh pesonanya? Elara terkesiap, pria itu telah mengakhiri teleponnya dan menoleh pada Elara.“Aku kerja dulu. Mulai hari ini ada satu mulut lagi yang harus kuberi makan. Kau. Setelah selesai urusanku, aku akan kembali ke Rumah Sakit. Sekarang aku akan mengantarmu dulu kembali ke sana.” Tanpa berjeda, pria itu berkata pada Elara. “Tidak perlu. Aku akan pergi sendiri. Kau urus saja ker
“Nenek! Tidaak! Bangun Nek! Kumohon! Jangan tinggalkan aku! Neneek…!” Ratapan pilu Elara terdengar begitu menyayat hati.Tubuhnya membungkuk, memeluk tubuh kaku sang nenek di atas brankar yang telah ditutupi selimut hingga muka.Rasa sakit yang bagai mengiris seluruh sisa jiwa dan harapan dalam dirinya, membuat Elara tak henti memohon dalam tangis.“Neneek…”Ia tidak ingin ditinggalkan seperti ini.Ia sudah tidak memiliki siapapun lagi.Bagaimana ia akan merasa rela ditinggalkan begitu saja oleh seseorang yang paling memerhatikan dan tulus menyayangi dirinya, setelah mendiang ibunya?“Kami telah berusaha semaksimal yang kami bisa, maaf kami tidak bisa menolongnya,” Seorang dokter berkata untuk kesekian kalinya pada Elara, sebelum ia akhirnya meninggalkan bangsal tempat Elara dan tubuh kaku Nyonya Willow berada.Elara tidak lagi menanggapi dokter tadi, karena ia telah menghujani dokter itu dengan puluhan, bahkan ratusan pertanyaan mengapa tindakan operasi yang dilakukan justru membuat
“Aku benar-benar minta maaf, El!” Jeanne mendekap erat tubuh Elara dan berulang kali mengatakan penyesalan, permintaan maaf serta belasungkawa kepada Elara.“Tidak apa, J.”“Apanya yang tidak apa!” Jeanne tergugu mendengar jawaban Elara. “Aku seharusnya berada di samping mu saat kau melalui itu semua kemarin. Aku benar-benar minta maaf!”Gadis teman dekat Elara itu baru saja kembali dari luar kota dan ia menerima berita duka dari Elara tentang neneknya.Yang lebih menyedihkan lagi untuk Jeanne, saat mendengar dari Elara bahwa anggota keluarga White tidak satu pun yang hadir pada pemakaman itu.Jeanne adalah salah satu yang mengetahui bahwa Elara bukanlah anak kandung Tony White, dan satu-satunya yang mengetahui serta melihat sendiri perlakuan keluarga White yang kurang manusiawi terhadap Elara.Sekali waktu ia pernah berkunjung ke rumah Elara yang tidak masuk kuliah karena sakit.Betapa terkejutnya Jeanne saat menerima hinaan dari wanita paruh baya yang kemudian ia ketahui, sebagai bib
Elara berada di dalam kamarnya yang sempit. Kamar itu tidak seperti kamar lainnya yang berada dalam kediaman White ini.Tentu saja tidak, karena Elara menempati salah satu kamar di samping area servis. Kamar untuk pelayan di sana.Sejak Annie Willow --ibu kandungnya-- meninggal, Elara dipaksa untuk keluar dari kamar miliknya dan berpindah ke kamar pelayan, dengan alasan kamar Elara akan digunakan oleh Dianne Palmer, anak dari Tina.Elara menghela napas yang terasa begitu berat dan menyisakan sedikit sesak dalam dadanya.Ia masih dalam masa berkabung, rasa kehilangan yang nyata dan begitu membuat dirinya --sekali lagi-- merasa luar biasa kesepian, semenjak kepergian mendiang ibunya.Namun Elara tahu, ia tidak boleh terus terlarut dalam duka ini.Amarahnya pada keluarga White, membuat Elara bertekad untuk betul-betul tidak tergantung lagi pada mereka dan membalas mereka kelak.Elara lalu meletakkan album foto yang sejak tadi ia pegang dengan erat. Rasa rindu yang kuat, membuat Elara meng
“El!”Elara mendongak dan mengarahkan pandangan pada sumber teriakan itu. Mata zamrud-nya menangkap sosok Jeanne yang berlari padanya.Kantin tempat Elara berada sedang tidak terlalu ramai, sehingga lengkingan suara Jeanne terdengar begitu jelas.“El!”“Tidak perlu berteriak, aku mendengarmu,” ujar Elara.“Apa kau sudah dengar?” Jeanne terengah saat berhenti di dekat Elara.“Iya. Aku dengar. Kau berteriak begitu kencang, bagaimana aku tidak mendengarnya?” ledek Elara.“Bukan!” Jeanne menggeleng kuat-kuat. Ia menarik kursi di depan Elara dan duduk dengan tergesa. “Edric sudah pulang dan sedang dipanggil dekan.”Elara menatap Jeanne. “Dipanggil dekan?”Anggukan kuat dari Jeanne menjawab pertanyaan Elara itu.“Kenapa?”“Mana ku tahu!” Jeanne menyorotkan tatapan menuding pada Elara. “Kup
“Apa kau percaya ini? Kita akan kehilangan satu teman baik kita!” keluh Jeanne sambil mengangkat gelas berisi cairan keemasan.“J, sudah. Kau hampir mabuk!” cegah Elara dengan dahi mengernyit.Malam ini, teman sekelas Edric mengadakan perpisahan untuk Edric di satu klub ternama di kota mereka untuk bersenang-senang dan perpisahan dengan Edric.Elara dan Jeanne tentu saja diundang.Elara tidak pernah bersentuhan dengan minuman beralkohol dan ia sejak tadi hanya menonton Jeanne minum, dengan kursi terpisah dari kumpulan teman-teman sekelas Edric yang sebagian besar lelaki.Edric terjebak dengan teman-teman sekelasnya dan hanya bisa sesekali memandang ke arah meja tempat Elara dan Jeanne duduk untuk mengawasi keduanya dari jauh.Ia sengaja memisahkan tempat duduk Elara dan Jeanne, tidak ingin teman-teman sekelasnya yang barbar memanfaatkan situasi pada Elara dan Jeanne.Botol demi botol mulai kosong. Di meja Edric
Dianne bersiul dan berjalan menuju satu sudut begitu riang dengan tangan terus menepuk tas yang tersampir di bahu kanannya. “Aku punya uang untuk beli tas dan sepatu yang itu…” gumamnya berulang kali dengan mata berbinar. Sebenarnya ia bukan sedang membutuhkan uang. Namun melihat Elara berada di dalam bar tadi, membuat Dianne seketika memiliki rencana untuk merusak nama baik sepupu tirinya itu. Dianne selalu merasa iri melihat Elara yang memiliki wajah cantik dan tubuh indah dan selalu menjadi primadona sejak mereka sama-sama di sekolah menengah dulu. Meskipun sejak kuliah Elara mengenakan kacamata yang membosankan, itu tidak menghilangkan fakta, sepupu tirinya itu memiliki rupa yang memikat. Belum lagi, Elara selalu memiliki semua barang yang ingin dirinya miliki. Dulu, Elara mempunyai bibi Annie dan paman Tony yang selalu bisa membelikan semuanya untuk Elara, sementara dirinya hanya dibelikan barang-barang yang lebih murah dari yang dimiliki Elara. Ibunya --Tina, menikahi Ian
Aveline menjerit keras, suaranya memenuhi lorong sempit yang hanya diterangi lampu jalanan buram.Tubuhnya gemetar saat sebuah tangan kuat tiba-tiba meraih pinggangnya."Apa maksudnya ini?!" Aveline berteriak lagi, mencoba melawan, tapi tak ada yang mendengarnya.Udara malam yang dingin membuatnya semakin waspada, namun pria di depannya begitu cepat.Sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, bibirnya langsung tertutup oleh sesuatu yang hangat dan mendesak—bibir pria yang kini mencengkeramnya erat.Aveline meronta-ronta, hatinya dipenuhi kepanikan.Tubuhnya kaku saat pria itu memeluknya dengan kuat, membuka jaket kulit hitamnya seolah bersiap melakukan sesuatu yang lebih buruk.Mata Aveline melebar ketakutan.‘Tidak mungkin,’ pikirnya, ‘Apakah dia akan memperkosaku?’Ia semakin panik, berusaha membebaskan diri dari genggaman pria itu.Namun, pria itu begitu kuat.Semua tenaga Aveline seolah menguap, terjebak dalam dekapannya yang erat.Lalu, suara langkah kaki terdengar dari kejauhan.Sekelo
Langit sore yang kemerahan menyelimuti San Francisco Bay, tempat di mana sebagian besar kehidupan cinta sepasang insan berkisah.Suara ombak yang berdeburan pelan di pantai menciptakan melodi yang damai, selaras dengan angin sepoi-sepoi yang menyapu lembut permukaan laut.Elara berdiri di ujung dermaga kayu, menatap cakrawala yang tampak tanpa batas, tempat di mana langit bertemu lautan.Matanya menerawang, namun wajahnya kini memancarkan ketenangan yang baru.Dalam dekapan hangatnya, bayi kecil mereka terlelap, wajahnya damai seperti ibunya.Sudah lama sejak pertarungan hidup dan mati di acara peresmian Imera Sky Tower, dan sejak saat itu, kehidupan Elara dan Arion berubah drastis.Banyak hal yang telah dilalui—pengkhianatan, luka, cinta yang terlupakan dan kemudian dipulihkan.Namun hari ini, di bawah cahaya senja yang lembut, semuanya terasa sempurna.Tiba-tiba, langkah kaki yang berat namun mantap terdengar dari belakangnya.Elara tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.A
Arion duduk di ujung ranjang, pandangannya terpaku pada sosok mungil yang ada dalam dekapannya.Bayi perempuan itu terlelap dengan tenang, tubuhnya begitu kecil dan lembut seperti boneka porselen.Pipinya yang kemerahan tampak menggemaskan, kulitnya sehalus sutra dengan bulu-bulu halus yang masih tersisa di atas kepalanya.Mata bayi itu masih tertutup, namun ketika sempat terbuka sesaat, Arion melihat dengan jelas iris matanya yang kelabu, warna yang sama seperti miliknya—sebuah tanda tak terbantahkan bahwa bayi itu adalah darah dagingnya.Bibir kecilnya bergerak perlahan, seakan sedang menghisap udara, dan tangannya yang mungil mengepal erat, menggenggam sepotong kain selimut.Arion tersenyum kecil, hatinya penuh dengan rasa takjub yang tak pernah ia sanggup perkirakan sebelumnya.Di dalam ruangan itu, hanya suara napas lembut bayi perempuannya yang terdengar, membuatnya seperti terhanyut dalam keajaiban kecil yang ia pegang.Sudah lebih dari setengah jam, namun Arion tak bisa melepa
Arion mengangguk pelan, melanjutkan penjelasannya. “Selama aku menjalankan peranku sebagai The Draven, orang itu mengambil peran menjadi diriku, Arion Ellworth. Sehingga tidak ada yang curiga. Kecelakaan di Sunol itu terjadi pada doppelganger-ku.”Elara terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi yang baru saja diterimanya. “Jadi... orang itu? Apakah dia tewas dalam kecelakaan itu? Bagaimana aku bisa membedakan kalian? Bagaimana jika suatu saat aku salah mengenali orang itu sebagai dirimu?”Arion tersenyum melihat kepanikan sang istri. “Jangan khawatir, Honey. Orang itu berhasil selamat oleh orang-orangku. Wajahnya tidak sepenuhnya mirip denganku. Hanya postur tubuh dan perilakunya yang serupa. Aku membuatnya menjalani operasi plastik untuk mengubah beberapa bagian, seperti rahang dan hidung saja. Namun, saat dia menjalankan peran sebagai aku, dia menggunakan prosthetic mask yang dibuat menyerupai wajahku.”Elara memandang Arion, dengan sorot kompleks. “Astaga… sampai seperti itu kau m
Elara dan Arion berdiri di tengah keheningan, menghadap sebuah makam dengan batu nisan marmer yang megah. Di atasnya terukir dengan indah: Imelda Ellworth. Satu buket mawar putih mewah yang segar ditempatkan rapi di atas pusara, memberikan sentuhan penuh penghormatan. Pemakaman ini, yang terletak di Cypress Lawn Memorial Park, San Francisco—tempat peristirahatan terakhir para keluarga kaya dan terpandang—dikelilingi oleh pohon-pohon ek yang menjulang tinggi. Jalanan berkerikil putih menghubungkan setiap makam, dan di kejauhan terlihat pemandangan laut yang tenang, menambah suasana damai nan elegan. Udara pagi terasa sejuk, disertai suara angin yang membelai lembut pepohonan. Elara memandang ke sekeliling area pemakaman yang tampak megah, penuh dengan nisan-nisan yang terbuat dari batu marmer putih dan hitam. Di antara semua itu, nisan Imelda berdiri sebagai salah satu yang paling indah, seperti sebuah karya seni yang mencerminkan kehidupan seseorang yang telah meninggalkan jejak
Arthur Ellworth, atau Clay Mallory, kini duduk di sudut sel gelap penjara federal, matanya kosong menatap dinding dingin yang tak lagi bergema dengan wibawa yang pernah ia miliki.Hanya bayangan suram yang tersisa, menggantung di antara kesadaran dan kehancuran. Di penjara ini, waktu seolah-olah melambat, setiap detik menjadi siksaan yang tidak berujung.Hari ini, seorang penjaga penjara menghampiri pintu selnya.Wajah penjaga itu datar, tidak ada belas kasihan, tidak ada penghormatan.Hanya secarik kertas yang dilempar ke lantai di depan Arthur, yang langsung mengenal lambang Ellworth di atasnya.Tangannya yang dulu perkasa sekarang gemetar ketika meraih kertas itu.Di dalamnya, satu pesan singkat yang menghantamnya dengan kejam: "Semua aset, kekayaan, dan perusahaan yang pernah kau curi telah dikembalikan kepada pemiliknya yang sah—Aiden Ellworth."Arthur meremas kertas itu dengan tangannya yang gemetar, rasa panas menjalar da
Markas utama di San Bernardino tampak penuh ketegangan. Di ruang pertemuan besar, cahaya lampu gantung memantul di atas meja panjang tempat para eksekutif utama The Draven berkumpul. Ketiga Executor—Albert, Isaac, dan Samuel—duduk di posisi masing-masing, menatap sosok Arion Ellworth, pria yang selama ini mereka kenal sebagai The Draven, pemimpin mereka yang tak terbantahkan. Samuel, Executor wilayah San Jose, adalah pria bertubuh tegap dengan garis wajah tegas. Rambutnya mulai memutih, namun sorot matanya masih tajam, mencerminkan kekuatan dan ketenangan yang ia bawa selama bertahun-tahun memimpin wilayahnya. Isaac, Executor wilayah Mount Horeb, Wisconsin, berbeda. Tubuhnya ramping, wajahnya lebih halus, tetapi matanya menyiratkan kejeniusan yang sering kali tersembunyi di balik sikapnya yang tenang. Ia terkenal sebagai ‘otak cadangan’ di balik banyak rencana besar yang berhasil dijalankan The Draven. Albert, Executor wilayah San Bernardino, adalah yang termuda. Dengan rahang pers
Aiden tersenyum tipis, sebuah senyuman yang mengandung ketegasan, bahkan ancaman halus di baliknya.“The Orcus bukan ancaman bagi pemerintah. Kami tidak pernah bergerak melawan kalian, Donovan. Jika ada yang perlu kau pahami, ketahuilah ini: The Orcus hanya berurusan dengan mereka yang mengincar kami atau mereka yang berada dalam wilayah kami. Kami adalah perisai, bukan pedang.”Donovan menatapnya, tak sepenuhnya yakin apakah pernyataan itu adalah bentuk pembelaan atau manipulasi.Aiden melanjutkan, kali ini dengan suara yang lebih dalam dan penuh makna. “The Orcus tidak akan pernah menjadi ancaman bagi pemerintah Amerika Serikat… kecuali, jika pemerintah membuat kami tidak punya pilihan lain.”Kalimat itu menggantung di udara, begitu dingin dan tajam seperti bilah pedang yang tersembunyi di balik kata-kata.Donovan tahu, ini bukan ancaman langsung, tapi sebuah peringatan yang tak bisa diabaikan.Aiden sangat c
Matahari pagi yang hangat menyinari kamar tidur mewah di mana Elara sedang berdiri, merapikan dasi Arion dengan penuh perhatian.Arion Ellworth, dengan tubuh tegapnya dan postur sempurna, tampak gagah dalam setelan formal berwarna gelap yang membingkai fisiknya dengan sempurna.Mata kelabu pria itu berkilauan, menambah kesan misterius sekaligus memikat.Ketampanannya terasa tak terbantahkan, membuat Elara sejenak terpana, seperti kembali mengenang saat pertama kali bertemu dengannya.Arion telah kembali ke wujud lamanya—kuat, berwibawa, dan penuh energi—setelah beberapa bulan melemah akibat Couvade Syndrome.Selama sekitar 4 bulan, pria yang biasanya tegas dan tak tergoyahkan ini harus terkapar karena gejala kehamilan palsu yang dialaminya.Namun, kini di bulan kelima kehamilan Elara, semua gejala itu telah sirna.Tidak ada lagi mual, muntah, atau kelelahan yang membebani Arion. Dia kembali pada dirinya yang dulu, dengan e