“El!”Elara mendongak dan mengarahkan pandangan pada sumber teriakan itu. Mata zamrud-nya menangkap sosok Jeanne yang berlari padanya.Kantin tempat Elara berada sedang tidak terlalu ramai, sehingga lengkingan suara Jeanne terdengar begitu jelas.“El!”“Tidak perlu berteriak, aku mendengarmu,” ujar Elara.“Apa kau sudah dengar?” Jeanne terengah saat berhenti di dekat Elara.“Iya. Aku dengar. Kau berteriak begitu kencang, bagaimana aku tidak mendengarnya?” ledek Elara.“Bukan!” Jeanne menggeleng kuat-kuat. Ia menarik kursi di depan Elara dan duduk dengan tergesa. “Edric sudah pulang dan sedang dipanggil dekan.”Elara menatap Jeanne. “Dipanggil dekan?”Anggukan kuat dari Jeanne menjawab pertanyaan Elara itu.“Kenapa?”“Mana ku tahu!” Jeanne menyorotkan tatapan menuding pada Elara. “Kup
“Apa kau percaya ini? Kita akan kehilangan satu teman baik kita!” keluh Jeanne sambil mengangkat gelas berisi cairan keemasan.“J, sudah. Kau hampir mabuk!” cegah Elara dengan dahi mengernyit.Malam ini, teman sekelas Edric mengadakan perpisahan untuk Edric di satu klub ternama di kota mereka untuk bersenang-senang dan perpisahan dengan Edric.Elara dan Jeanne tentu saja diundang.Elara tidak pernah bersentuhan dengan minuman beralkohol dan ia sejak tadi hanya menonton Jeanne minum, dengan kursi terpisah dari kumpulan teman-teman sekelas Edric yang sebagian besar lelaki.Edric terjebak dengan teman-teman sekelasnya dan hanya bisa sesekali memandang ke arah meja tempat Elara dan Jeanne duduk untuk mengawasi keduanya dari jauh.Ia sengaja memisahkan tempat duduk Elara dan Jeanne, tidak ingin teman-teman sekelasnya yang barbar memanfaatkan situasi pada Elara dan Jeanne.Botol demi botol mulai kosong. Di meja Edric
Dianne bersiul dan berjalan menuju satu sudut begitu riang dengan tangan terus menepuk tas yang tersampir di bahu kanannya. “Aku punya uang untuk beli tas dan sepatu yang itu…” gumamnya berulang kali dengan mata berbinar. Sebenarnya ia bukan sedang membutuhkan uang. Namun melihat Elara berada di dalam bar tadi, membuat Dianne seketika memiliki rencana untuk merusak nama baik sepupu tirinya itu. Dianne selalu merasa iri melihat Elara yang memiliki wajah cantik dan tubuh indah dan selalu menjadi primadona sejak mereka sama-sama di sekolah menengah dulu. Meskipun sejak kuliah Elara mengenakan kacamata yang membosankan, itu tidak menghilangkan fakta, sepupu tirinya itu memiliki rupa yang memikat. Belum lagi, Elara selalu memiliki semua barang yang ingin dirinya miliki. Dulu, Elara mempunyai bibi Annie dan paman Tony yang selalu bisa membelikan semuanya untuk Elara, sementara dirinya hanya dibelikan barang-barang yang lebih murah dari yang dimiliki Elara. Ibunya --Tina, menikahi Ian
Matahari telah beranjak lebih ke Barat, telah lewat tengah hari ketika Elara tiba di depan pintu rumah.Tidak ada prasangka apapun dalam pikiran Elara, ia melangkah masuk dan cukup terkejut saat melihat beberapa orang di ruang keluarga.Bukan hanya Tony --ayah tirinya.Namun juga Tina --sang bibi tiri, lalu Dianne --sepupu tiri dan bahkan Nyonya Besar White --nenek tirinya pun ada di sana.Elara terkesiap, melihat Tony berderap mendekat dengan cepat ke arahnya.“Ayah, ada ap--”PLAKK!Satu tamparan keras mendarat di pipi mulus Elara, hingga kepala gadis cantik itu terpaling ke kiri dan kacamata yang ia kenakan, terlempar jatuh.“Ayah?!” Dengan memegangi pipinya yang terasa perih dan memerah, Elara menoleh pada Tony dengan tatapan sangat terkejut yang tidak kuasa ia sembunyikan. “Kenapa ayah menamparku?”“Kau tidak perlu sampai menjadi jalang hanya untuk mengambil hati ayahmu, Ela
Elara berada di depan pagar rumahnya dengan wajah bingung. Tatapannya sempat kosong, namun tidak memakan waktu terlalu lama, karena tampaknya gadis bermanik zamrud itu segera menyadarkan diri. Ini terlalu mendadak dan ia jelas tidak punya tempat. Harus kemana ia sekarang? Kedua tangannya menggenggam erat gagang koper, sementara di punggungnya tersampir ransel hitam yang juga tampak penuh. Sementara itu, hanya tiga ratus meter dari tempat Elara berdiri dengan bingung, satu SUV mewah dan berwarna hitam pekat, terparkir rapi. Dengan kaca yang dilapisi pelapis ditambah suasana sore hari menjelang petang, membuat siapapun akan kesulitan melihat seseorang yang berada di dalamnya. Namun jendela bagian belakang mobil tersebut bergerak halus, membuka setengah. Seorang pria tengah menikmati adegan yang terjadi di seberang sana. Wanita muda yang terlihat linglung dan masih tak percaya pada pengusiran yang ia alami. Pria itu duduk dengan santai menumpangkan kaki kanan di atas kaki kirinya
Prakk! Dianne Palmer meletakkan ponselnya dengan kasar ke atas meja. “Kau kenapa lagi?” Alex Palmer --kakak kandung Dianne, melirik dan bertanya malas pada adiknya. Ia baru saja membalas pesan instan yang masuk ke ponselnya. “Itu menghilang!” “Apa yang menghilang?” Alex tidak terlalu tertarik dengan urusan adiknya. Sejak dulu Dianne memang sering membuat keributan dan masalah. Namun Tina Palmer --ibu mereka, selalu membereskan masalahnya. Terutama lagi ketika perusahaan yang dipimpin oleh paman mereka, Tony White, maju begitu pesat dan membawa keluarga besar White ke golongan atas. “Sesuatu yang bagus!” Dianna mengentak punggungnya ke sandaran sofa dan melipat tangannya di depan dada dengan kesal. Sungguh, ia kesal. Hasil kerja kerasnya hanya menjadi berita setengah hari. Sebenarnya Dianne tidak terlalu mengerti, mengapa pria dalam foto itu berbeda dengan lelaki paruh baya yang membayar mahal untuk tidur dengan Elara. Ia tidak peduli. Semalam, ia hanya menerima amplop beris
“Kau dari mana? Lama sekali kau keluar. Ibuku sudah selesai menyiapkan makan malam untuk kita. Ayo,” Jeanne menarik tangan Elara begitu melihat sahabatnya itu masuk ke dalam rumah. Namun Elara menahan tarikan Jeanne dan bertahan di tempat. “El?” “Emm… J, aku harus pergi sekarang,” ucap Elara pelan. “Apa? Tapi.. kenapa?” “Sesuatu terjadi. Aku akan menyelesaikan sesuatu dulu. Boleh aku titip koperku di sini? Sementara?” Elara menatap penuh permohonan pada sahabatnya itu. “Kau ngomong apa! Tentu saja boleh.” Jeanne menghela napas. “Paling tidak makan dulu, El.” “Maaf, ini benar-benar tidak bisa ditunda. Nanti aku cerita,” sergah Elara segera, tatkala melihat mulut Jeanne yang terbuka hendak bertanya. “Aku belum bisa menceritakan apapun padamu saat ini. Tapi percayalah, semua baik-baik saja.” Atas kalimat terakhir Elara itu, Jeanne menolak tetap bungkam. “Baik-baik bagaimana? Kau baru saja diusir oleh ayah tirimu! Dan kau masih belum menceritakan apa yang sebenarnya terjadi!” “Ak
Pagi hari berikutnya, Elara terbangun di dalam kamar asing. Terlalu lelap semalam, sepertinya Arion membawa dirinya hingga ke dalam kamar. Elara terkesiap, membayangkan pria bermanik kelabu itu menggendongnya masuk ke dalam kamar ini dan bergegas memeriksa seluruh tubuh. “Pakaianku masih sama.” Ia membuang napas lega. “Dia sepertinya tidak melakukan sesuatu yang aneh.” Setelah berangsur menjadi tenang, Elara mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Kamar ini tidak luas, tapi juga tidak terlalu sempit. Kasur yang ia tempati berukuran lebar seratus delapan puluh meter dan cukup empuk. Terdapat meja rias kecil bergaya minimalis dengan dua jenis sisir yang tersimpan vertikal di satu wadah tinggi. Cukup rapi. Perabot lain yang ada di dalam kamar itu, semua serba minimalis. Puas menelisik seluruh isi kamar itu, Elara segera turun dari ranjang dan keluar kamar untuk mencari Arion. “Mister…” panggil gadis itu, namun ia tidak menemukan Arion di manapun. Kakinya terhenti di dapur mini