“Apa kau percaya ini? Kita akan kehilangan satu teman baik kita!” keluh Jeanne sambil mengangkat gelas berisi cairan keemasan.
“J, sudah. Kau hampir mabuk!” cegah Elara dengan dahi mengernyit.
Malam ini, teman sekelas Edric mengadakan perpisahan untuk Edric di satu klub ternama di kota mereka untuk bersenang-senang dan perpisahan dengan Edric.
Elara dan Jeanne tentu saja diundang.
Elara tidak pernah bersentuhan dengan minuman beralkohol dan ia sejak tadi hanya menonton Jeanne minum, dengan kursi terpisah dari kumpulan teman-teman sekelas Edric yang sebagian besar lelaki.
Edric terjebak dengan teman-teman sekelasnya dan hanya bisa sesekali memandang ke arah meja tempat Elara dan Jeanne duduk untuk mengawasi keduanya dari jauh.
Ia sengaja memisahkan tempat duduk Elara dan Jeanne, tidak ingin teman-teman sekelasnya yang barbar memanfaatkan situasi pada Elara dan Jeanne.
Botol demi botol mulai kosong. Di meja Edric
Dianne bersiul dan berjalan menuju satu sudut begitu riang dengan tangan terus menepuk tas yang tersampir di bahu kanannya. “Aku punya uang untuk beli tas dan sepatu yang itu…” gumamnya berulang kali dengan mata berbinar. Sebenarnya ia bukan sedang membutuhkan uang. Namun melihat Elara berada di dalam bar tadi, membuat Dianne seketika memiliki rencana untuk merusak nama baik sepupu tirinya itu. Dianne selalu merasa iri melihat Elara yang memiliki wajah cantik dan tubuh indah dan selalu menjadi primadona sejak mereka sama-sama di sekolah menengah dulu. Meskipun sejak kuliah Elara mengenakan kacamata yang membosankan, itu tidak menghilangkan fakta, sepupu tirinya itu memiliki rupa yang memikat. Belum lagi, Elara selalu memiliki semua barang yang ingin dirinya miliki. Dulu, Elara mempunyai bibi Annie dan paman Tony yang selalu bisa membelikan semuanya untuk Elara, sementara dirinya hanya dibelikan barang-barang yang lebih murah dari yang dimiliki Elara. Ibunya --Tina, menikahi Ian
Matahari telah beranjak lebih ke Barat, telah lewat tengah hari ketika Elara tiba di depan pintu rumah.Tidak ada prasangka apapun dalam pikiran Elara, ia melangkah masuk dan cukup terkejut saat melihat beberapa orang di ruang keluarga.Bukan hanya Tony --ayah tirinya.Namun juga Tina --sang bibi tiri, lalu Dianne --sepupu tiri dan bahkan Nyonya Besar White --nenek tirinya pun ada di sana.Elara terkesiap, melihat Tony berderap mendekat dengan cepat ke arahnya.“Ayah, ada ap--”PLAKK!Satu tamparan keras mendarat di pipi mulus Elara, hingga kepala gadis cantik itu terpaling ke kiri dan kacamata yang ia kenakan, terlempar jatuh.“Ayah?!” Dengan memegangi pipinya yang terasa perih dan memerah, Elara menoleh pada Tony dengan tatapan sangat terkejut yang tidak kuasa ia sembunyikan. “Kenapa ayah menamparku?”“Kau tidak perlu sampai menjadi jalang hanya untuk mengambil hati ayahmu, Ela
Elara berada di depan pagar rumahnya dengan wajah bingung. Tatapannya sempat kosong, namun tidak memakan waktu terlalu lama, karena tampaknya gadis bermanik zamrud itu segera menyadarkan diri. Ini terlalu mendadak dan ia jelas tidak punya tempat. Harus kemana ia sekarang? Kedua tangannya menggenggam erat gagang koper, sementara di punggungnya tersampir ransel hitam yang juga tampak penuh. Sementara itu, hanya tiga ratus meter dari tempat Elara berdiri dengan bingung, satu SUV mewah dan berwarna hitam pekat, terparkir rapi. Dengan kaca yang dilapisi pelapis ditambah suasana sore hari menjelang petang, membuat siapapun akan kesulitan melihat seseorang yang berada di dalamnya. Namun jendela bagian belakang mobil tersebut bergerak halus, membuka setengah. Seorang pria tengah menikmati adegan yang terjadi di seberang sana. Wanita muda yang terlihat linglung dan masih tak percaya pada pengusiran yang ia alami. Pria itu duduk dengan santai menumpangkan kaki kanan di atas kaki kirinya
Prakk! Dianne Palmer meletakkan ponselnya dengan kasar ke atas meja. “Kau kenapa lagi?” Alex Palmer --kakak kandung Dianne, melirik dan bertanya malas pada adiknya. Ia baru saja membalas pesan instan yang masuk ke ponselnya. “Itu menghilang!” “Apa yang menghilang?” Alex tidak terlalu tertarik dengan urusan adiknya. Sejak dulu Dianne memang sering membuat keributan dan masalah. Namun Tina Palmer --ibu mereka, selalu membereskan masalahnya. Terutama lagi ketika perusahaan yang dipimpin oleh paman mereka, Tony White, maju begitu pesat dan membawa keluarga besar White ke golongan atas. “Sesuatu yang bagus!” Dianna mengentak punggungnya ke sandaran sofa dan melipat tangannya di depan dada dengan kesal. Sungguh, ia kesal. Hasil kerja kerasnya hanya menjadi berita setengah hari. Sebenarnya Dianne tidak terlalu mengerti, mengapa pria dalam foto itu berbeda dengan lelaki paruh baya yang membayar mahal untuk tidur dengan Elara. Ia tidak peduli. Semalam, ia hanya menerima amplop beris
“Kau dari mana? Lama sekali kau keluar. Ibuku sudah selesai menyiapkan makan malam untuk kita. Ayo,” Jeanne menarik tangan Elara begitu melihat sahabatnya itu masuk ke dalam rumah. Namun Elara menahan tarikan Jeanne dan bertahan di tempat. “El?” “Emm… J, aku harus pergi sekarang,” ucap Elara pelan. “Apa? Tapi.. kenapa?” “Sesuatu terjadi. Aku akan menyelesaikan sesuatu dulu. Boleh aku titip koperku di sini? Sementara?” Elara menatap penuh permohonan pada sahabatnya itu. “Kau ngomong apa! Tentu saja boleh.” Jeanne menghela napas. “Paling tidak makan dulu, El.” “Maaf, ini benar-benar tidak bisa ditunda. Nanti aku cerita,” sergah Elara segera, tatkala melihat mulut Jeanne yang terbuka hendak bertanya. “Aku belum bisa menceritakan apapun padamu saat ini. Tapi percayalah, semua baik-baik saja.” Atas kalimat terakhir Elara itu, Jeanne menolak tetap bungkam. “Baik-baik bagaimana? Kau baru saja diusir oleh ayah tirimu! Dan kau masih belum menceritakan apa yang sebenarnya terjadi!” “Ak
Pagi hari berikutnya, Elara terbangun di dalam kamar asing. Terlalu lelap semalam, sepertinya Arion membawa dirinya hingga ke dalam kamar. Elara terkesiap, membayangkan pria bermanik kelabu itu menggendongnya masuk ke dalam kamar ini dan bergegas memeriksa seluruh tubuh. “Pakaianku masih sama.” Ia membuang napas lega. “Dia sepertinya tidak melakukan sesuatu yang aneh.” Setelah berangsur menjadi tenang, Elara mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Kamar ini tidak luas, tapi juga tidak terlalu sempit. Kasur yang ia tempati berukuran lebar seratus delapan puluh meter dan cukup empuk. Terdapat meja rias kecil bergaya minimalis dengan dua jenis sisir yang tersimpan vertikal di satu wadah tinggi. Cukup rapi. Perabot lain yang ada di dalam kamar itu, semua serba minimalis. Puas menelisik seluruh isi kamar itu, Elara segera turun dari ranjang dan keluar kamar untuk mencari Arion. “Mister…” panggil gadis itu, namun ia tidak menemukan Arion di manapun. Kakinya terhenti di dapur mini
Pagi berikutnya Elara telah berada kembali di kampus, melakukan kembali kegiatan rutinnya seperti biasa.Ia baru saja hendak menuju kelasnya, ketika di koridor melihat satu sosok familiar seorang lelaki.“Elara White,” sapa lelaki itu.Di wajahnya tersungging senyuman yang mengembang lebar --mungkin maksud dia senyuman manis, namun bagi Elara itu senyuman licik.“Henry Wycliff,” balas Elara datar.Ia tidak menghentikan langkahnya dan berniat melewati lelaki itu, namun tangannya dicekal dengan cepat.“Bukankah tidak sopan melewati orang yang menyapamu?”Elara menoleh dan menjawab malas. “Bukankah tidak sopan mencekal lengan seseorang di luar keinginannya?” Mendengar itu, Henry melepas tangannya dari Elara. “Kalau begitu, kamu seharusnya berhenti dan menyapaku.”“Aku sudah menyapamu,” balas Elara tidak sabar. “Kalau ada sesuatu, cepat katakan. Aku harus mengejar kelasku.”Henry menyeringai. “Siang nanti aku traktir kau makan.”“Tidak, terima kasih. Aku tidak–”“Aku akan menjemput ke ke
Henry Wycliff berjalan mendekati kedua gadis itu.Elara dan Jeanne terkesiap.Bukan karena Henry, melainkan tiga pemuda lain di belakang Henry yang ikut masuk dan mendekati mereka berdua.Alasan lain Elara senantiasa bersikap cukup sopan pada Henry adalah, karena pemuda itu adalah pemuda manja yang berpikiran pendek.Henry berasal dari keluarga Wycliff yang kaya dan berkuasa di kota Hillsborough ini.Kehadirannya di kampus selalu dikelilingi gadis-gadis yang menginginkan barang mewah dengan cara mudah.Menarik perhatian Henry, adalah salah satu yang diimpikan gadis-gadis itu.“Apakah ada yang Tuan Muda Wycliff butuhkan?” Jeanne tersenyum manis –menutupi kegugupan saat melihat tiga pemuda lainnya di belakang Henry yang mengawasi dirinya dan Elara dengan tatapan tak ramah.“Aku menjemput Elara untuk makan siang,” jawab Henry tak acuh. Ia lalu mengulurkan tangan pada Elara yang langsung mengerutkan keningnya dengan kesal.“Aku tidak ingat menyetujui itu,” ujar Elara. “Aku akan makan denga
Aveline menjerit keras, suaranya memenuhi lorong sempit yang hanya diterangi lampu jalanan buram.Tubuhnya gemetar saat sebuah tangan kuat tiba-tiba meraih pinggangnya."Apa maksudnya ini?!" Aveline berteriak lagi, mencoba melawan, tapi tak ada yang mendengarnya.Udara malam yang dingin membuatnya semakin waspada, namun pria di depannya begitu cepat.Sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, bibirnya langsung tertutup oleh sesuatu yang hangat dan mendesak—bibir pria yang kini mencengkeramnya erat.Aveline meronta-ronta, hatinya dipenuhi kepanikan.Tubuhnya kaku saat pria itu memeluknya dengan kuat, membuka jaket kulit hitamnya seolah bersiap melakukan sesuatu yang lebih buruk.Mata Aveline melebar ketakutan.‘Tidak mungkin,’ pikirnya, ‘Apakah dia akan memperkosaku?’Ia semakin panik, berusaha membebaskan diri dari genggaman pria itu.Namun, pria itu begitu kuat.Semua tenaga Aveline seolah menguap, terjebak dalam dekapannya yang erat.Lalu, suara langkah kaki terdengar dari kejauhan.Sekelo
Langit sore yang kemerahan menyelimuti San Francisco Bay, tempat di mana sebagian besar kehidupan cinta sepasang insan berkisah.Suara ombak yang berdeburan pelan di pantai menciptakan melodi yang damai, selaras dengan angin sepoi-sepoi yang menyapu lembut permukaan laut.Elara berdiri di ujung dermaga kayu, menatap cakrawala yang tampak tanpa batas, tempat di mana langit bertemu lautan.Matanya menerawang, namun wajahnya kini memancarkan ketenangan yang baru.Dalam dekapan hangatnya, bayi kecil mereka terlelap, wajahnya damai seperti ibunya.Sudah lama sejak pertarungan hidup dan mati di acara peresmian Imera Sky Tower, dan sejak saat itu, kehidupan Elara dan Arion berubah drastis.Banyak hal yang telah dilalui—pengkhianatan, luka, cinta yang terlupakan dan kemudian dipulihkan.Namun hari ini, di bawah cahaya senja yang lembut, semuanya terasa sempurna.Tiba-tiba, langkah kaki yang berat namun mantap terdengar dari belakangnya.Elara tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.A
Arion duduk di ujung ranjang, pandangannya terpaku pada sosok mungil yang ada dalam dekapannya.Bayi perempuan itu terlelap dengan tenang, tubuhnya begitu kecil dan lembut seperti boneka porselen.Pipinya yang kemerahan tampak menggemaskan, kulitnya sehalus sutra dengan bulu-bulu halus yang masih tersisa di atas kepalanya.Mata bayi itu masih tertutup, namun ketika sempat terbuka sesaat, Arion melihat dengan jelas iris matanya yang kelabu, warna yang sama seperti miliknya—sebuah tanda tak terbantahkan bahwa bayi itu adalah darah dagingnya.Bibir kecilnya bergerak perlahan, seakan sedang menghisap udara, dan tangannya yang mungil mengepal erat, menggenggam sepotong kain selimut.Arion tersenyum kecil, hatinya penuh dengan rasa takjub yang tak pernah ia sanggup perkirakan sebelumnya.Di dalam ruangan itu, hanya suara napas lembut bayi perempuannya yang terdengar, membuatnya seperti terhanyut dalam keajaiban kecil yang ia pegang.Sudah lebih dari setengah jam, namun Arion tak bisa melepa
Arion mengangguk pelan, melanjutkan penjelasannya. “Selama aku menjalankan peranku sebagai The Draven, orang itu mengambil peran menjadi diriku, Arion Ellworth. Sehingga tidak ada yang curiga. Kecelakaan di Sunol itu terjadi pada doppelganger-ku.”Elara terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi yang baru saja diterimanya. “Jadi... orang itu? Apakah dia tewas dalam kecelakaan itu? Bagaimana aku bisa membedakan kalian? Bagaimana jika suatu saat aku salah mengenali orang itu sebagai dirimu?”Arion tersenyum melihat kepanikan sang istri. “Jangan khawatir, Honey. Orang itu berhasil selamat oleh orang-orangku. Wajahnya tidak sepenuhnya mirip denganku. Hanya postur tubuh dan perilakunya yang serupa. Aku membuatnya menjalani operasi plastik untuk mengubah beberapa bagian, seperti rahang dan hidung saja. Namun, saat dia menjalankan peran sebagai aku, dia menggunakan prosthetic mask yang dibuat menyerupai wajahku.”Elara memandang Arion, dengan sorot kompleks. “Astaga… sampai seperti itu kau m
Elara dan Arion berdiri di tengah keheningan, menghadap sebuah makam dengan batu nisan marmer yang megah. Di atasnya terukir dengan indah: Imelda Ellworth. Satu buket mawar putih mewah yang segar ditempatkan rapi di atas pusara, memberikan sentuhan penuh penghormatan. Pemakaman ini, yang terletak di Cypress Lawn Memorial Park, San Francisco—tempat peristirahatan terakhir para keluarga kaya dan terpandang—dikelilingi oleh pohon-pohon ek yang menjulang tinggi. Jalanan berkerikil putih menghubungkan setiap makam, dan di kejauhan terlihat pemandangan laut yang tenang, menambah suasana damai nan elegan. Udara pagi terasa sejuk, disertai suara angin yang membelai lembut pepohonan. Elara memandang ke sekeliling area pemakaman yang tampak megah, penuh dengan nisan-nisan yang terbuat dari batu marmer putih dan hitam. Di antara semua itu, nisan Imelda berdiri sebagai salah satu yang paling indah, seperti sebuah karya seni yang mencerminkan kehidupan seseorang yang telah meninggalkan jejak
Arthur Ellworth, atau Clay Mallory, kini duduk di sudut sel gelap penjara federal, matanya kosong menatap dinding dingin yang tak lagi bergema dengan wibawa yang pernah ia miliki.Hanya bayangan suram yang tersisa, menggantung di antara kesadaran dan kehancuran. Di penjara ini, waktu seolah-olah melambat, setiap detik menjadi siksaan yang tidak berujung.Hari ini, seorang penjaga penjara menghampiri pintu selnya.Wajah penjaga itu datar, tidak ada belas kasihan, tidak ada penghormatan.Hanya secarik kertas yang dilempar ke lantai di depan Arthur, yang langsung mengenal lambang Ellworth di atasnya.Tangannya yang dulu perkasa sekarang gemetar ketika meraih kertas itu.Di dalamnya, satu pesan singkat yang menghantamnya dengan kejam: "Semua aset, kekayaan, dan perusahaan yang pernah kau curi telah dikembalikan kepada pemiliknya yang sah—Aiden Ellworth."Arthur meremas kertas itu dengan tangannya yang gemetar, rasa panas menjalar da
Markas utama di San Bernardino tampak penuh ketegangan. Di ruang pertemuan besar, cahaya lampu gantung memantul di atas meja panjang tempat para eksekutif utama The Draven berkumpul. Ketiga Executor—Albert, Isaac, dan Samuel—duduk di posisi masing-masing, menatap sosok Arion Ellworth, pria yang selama ini mereka kenal sebagai The Draven, pemimpin mereka yang tak terbantahkan. Samuel, Executor wilayah San Jose, adalah pria bertubuh tegap dengan garis wajah tegas. Rambutnya mulai memutih, namun sorot matanya masih tajam, mencerminkan kekuatan dan ketenangan yang ia bawa selama bertahun-tahun memimpin wilayahnya. Isaac, Executor wilayah Mount Horeb, Wisconsin, berbeda. Tubuhnya ramping, wajahnya lebih halus, tetapi matanya menyiratkan kejeniusan yang sering kali tersembunyi di balik sikapnya yang tenang. Ia terkenal sebagai ‘otak cadangan’ di balik banyak rencana besar yang berhasil dijalankan The Draven. Albert, Executor wilayah San Bernardino, adalah yang termuda. Dengan rahang pers
Aiden tersenyum tipis, sebuah senyuman yang mengandung ketegasan, bahkan ancaman halus di baliknya.“The Orcus bukan ancaman bagi pemerintah. Kami tidak pernah bergerak melawan kalian, Donovan. Jika ada yang perlu kau pahami, ketahuilah ini: The Orcus hanya berurusan dengan mereka yang mengincar kami atau mereka yang berada dalam wilayah kami. Kami adalah perisai, bukan pedang.”Donovan menatapnya, tak sepenuhnya yakin apakah pernyataan itu adalah bentuk pembelaan atau manipulasi.Aiden melanjutkan, kali ini dengan suara yang lebih dalam dan penuh makna. “The Orcus tidak akan pernah menjadi ancaman bagi pemerintah Amerika Serikat… kecuali, jika pemerintah membuat kami tidak punya pilihan lain.”Kalimat itu menggantung di udara, begitu dingin dan tajam seperti bilah pedang yang tersembunyi di balik kata-kata.Donovan tahu, ini bukan ancaman langsung, tapi sebuah peringatan yang tak bisa diabaikan.Aiden sangat c
Matahari pagi yang hangat menyinari kamar tidur mewah di mana Elara sedang berdiri, merapikan dasi Arion dengan penuh perhatian.Arion Ellworth, dengan tubuh tegapnya dan postur sempurna, tampak gagah dalam setelan formal berwarna gelap yang membingkai fisiknya dengan sempurna.Mata kelabu pria itu berkilauan, menambah kesan misterius sekaligus memikat.Ketampanannya terasa tak terbantahkan, membuat Elara sejenak terpana, seperti kembali mengenang saat pertama kali bertemu dengannya.Arion telah kembali ke wujud lamanya—kuat, berwibawa, dan penuh energi—setelah beberapa bulan melemah akibat Couvade Syndrome.Selama sekitar 4 bulan, pria yang biasanya tegas dan tak tergoyahkan ini harus terkapar karena gejala kehamilan palsu yang dialaminya.Namun, kini di bulan kelima kehamilan Elara, semua gejala itu telah sirna.Tidak ada lagi mual, muntah, atau kelelahan yang membebani Arion. Dia kembali pada dirinya yang dulu, dengan e