#EMPAT
“Kau… pulang.” Elara melontarkan kata-kata retoris itu, untuk membuyarkan momen canggung di antara dirinya dan Arion yang sejak tadi hanya berdiri dan saling berdiam.“Hm.”Arion terlihat mengangguk kecil lalu berjalan mendekat, membuat napas Elara tertahan saat tubuh pria tampan itu kian mendekat.Ada debar tak diundang yang mengetuk kuat di dadanya.Ia selalu tidak bisa menebak, tindakan apa yang akan dilakukan oleh pria itu. Semua gerakannya terlalu tiba-tiba. Semua gerakannya selalu mencipta debar yang tak terduga.Napas Elara kian tertahan saat Arion bergerak semakin dekat, namun ia tertegun di tempat saat pria itu ternyata hanya melewatinya saja.Elara berdiri kaku kemudian sedikit menggeser tubuh, untuk mengetahui apa yang dilakukan Arion.Pria itu ternyata mengambil gelas dan menuang air ke dalamnya. Ia meneguk habis air itu lalu berbalik dan membuat Elara kembali terkesiap.Napasnya lagi-lagi tertahan saat melihat pergerakan Arion yang mendekat dan ia kembali tertegun, karena
Jantung Elara bagai terhenti dari detakan, tatkala ia mendapati kelopak mata pria itu telah membuka, disertai iris kelabu yang menatap Elara dengan sangat dalam.“Kau… bangun?” Elara menggigit bibirnya, gugup.Dadanya sudah berdebar hebat-- sisa terkejut, ditambah rasa aneh yang tiba-tiba menguasai tubuhnya.“El--” Bibir Arion membelah. “Maaf--”“Tidak perlu minta maaf,” Elara membalas dengan berbisik.“Maaf… Ella…” Kemudian kelopak mata Arion kembali menutup.Gadis bermanik zamrud itu terpasak diri di sana dengan tatapan lurus melekat pada wajah Arion.‘Ella?’Ia tidak mengerjap dengan iris matanya seketika bergetar, saat satu ingatan singgah.‘Tunggu dulu di sini Ella. Aku akan memesan.’Satu kalimat yang membuat Elara menoleh, saat di suatu coffee shop saat ia berbelanja dengan Jeanne.Kata ‘Ella’ memang membuatnya tertarik --Arion mengigaukan nama itu saat sebelumnya.Saat berpaling itulah, Elara melihat pria yang menindasnya, bersama…. Nona Goldwin.Ya. Isabelle Goldwin.“Jadi… E
“Bisakah kau duduk? Aku ingin bicara.” Akhirnya suara Elara yang mengudara.Meski itu terasa sedikit canggung, Arion mematuhi dan bergerak kembali ke meja pantri dan menarik kursi di seberang Elara.“Bicara apa?” Ketegangan mulai menyelimuti seluruh tubuh Arion.Melihat wajah tanpa ekspresi dan nada datar yang dari tadi keluar dari bibir manis Elara, membuat pria itu menarik napas panjang diam-diam untuk mengusir rasa cemas yang tiba-tiba hadir.“Aku telah berpikir semalaman tadi,” Elara membuka pembahasan setelah sama-sama menarik napas dalam dan panjang secara diam-diam. “Soal kita.”Kedua mata Arion langsung memicing waspada. “Soal kita yang mana?”“Kita dan pernikahan ini.”Tubuh Arion kian menegang. “Ya. Lalu kenapa dengan pernikahan ini?”“Apa kau memang mau meneruskan pernikahan ini?”Kedua alis Arion menukik, saat ia menjawab cepat dan tegas, “Ya.”“Kalau begitu, jawab pertanyaanku yang lainnya.” Elara menatap lekat Arion. “Apa kau tidak ingin menikahi Nona Goldwin?”“Tidak,”
‘Ambil ini. Bagaimana pun kau adalah istriku.’Kalimat itu berputar lagi di dalam pikiran Elara, ketika gadis itu menatap kartu hitam di atas meja.Arion telah sejak sejam setengah tadi pergi, karena ada urusan yang harus ia selesaikan.Pembicaraan mereka memang telah usai dan menyepakati sesuatu.“Nona, apakah ini saja barangnya?” Salah satu anak buah Arion yang bertugas mengawal Elara, menegur dengan sangat hati-hati.“Hm.. ya. Barangku tidak banyak,” jawab Elara sambil tersenyum.“Mobil sudah siap di bawah, jika Nona mau berangkat sekarang, kami pun sudah siap.”Elara mengangguk. “Terima kasih.. emm..”“Guez. Nona bisa panggil saya Guez,” jawab orang itu cepat. “Terima kasih, Guez.”Anak buah Arion yang bernama Guez itu mengangguk hormat lalu keluar dengan membawa tas ransel milik Elara.Ada senyum geli
Baik Dianne maupun lelaki itu terkesiap.Lelaki itu bergeming dan tidak berani memutar tubuh, sementara Dianne yang melihat kesempatan segera mengambilnya.Gadis itu langsung bergerak cepat berlari dengan mengambil celah kosong di sisi lelaki tersebut.“Hey!!” Lelaki itu berteriak dan menggapai bahu Dianne, namun suara teriakan di ujung gang itu kembali terdengar.“Apa yang kau lakukan?! Mobil patroli di sekitar sini, aku akan memanggil polisi jika kau macam-macam!”Lelaki itu terdiam dan melirik tajam Dianne yang langsung mengempas tangan lelaki itu dari bahunya dan segera berlari cepat menjauh.“Tolong aku! Orang itu tadi mau merampok dan melukaiku!” ujar Dianne terengah-engah begitu tiba di dekat orang yang tadi berteriak itu.“Dia kabur!” Orang itu berseru sambil menunjuk.Dianne menoleh dan benar saja, ia mendapati lelaki berambut model buzz cut itu dengan terampil mema
“Bukankah ini terlalu ‘pagi’ untuk datang ke bar?” Zhenzhen mengangkat alis melihat Arion yang telah duduk di stool bar dan memandangi layar ponselnya.Pria itu terlihat lesu --meski masih sangat nampak tampan. Setelan jas formal mahal miliknya membalut tubuh proporsional pria itu, meski kini semua kancing jas nya dalam keadaan terbuka.Ini masih pukul 6 petang, namun pria itu sudah berada di tempat Zhenzhen.“Bagaimana urusan kerjaanmu?” Mendapati Arion yang tidak menjawabnya, Zhenzhen menanyakan hal lain.“Apa artinya jika seorang wanita meminta pisah rumah?” Alih-alih menjawab, Arion mengatakan hal lain.Tangan Zhenzhen yang sedang mengelap beberapa gelas, tetiba terhenti dan menoleh. “Siapa yang minta pisah rumah? Elara?”Alih-alih menjawab, Arion kembali bergumam hal lain. “Kami sudah menikah, Zhen.”“Oh Dear God!” Zhenzhen membelalakkan mata --ta
"Keperawananmu untukku, atau.. kau menyerah atas nyawa nenekmu." Pria bermata kelabu itu menatap tanpa sorot emosi dan segera setelahnya udara dingin menyeruak dalam ruangan di mana ia dan seorang gadis berkacamata bulat berada."A-apa?""Kau tidur denganku, atau kau biarkan wanita tua itu mati. Pilihanmu.""Kau! Kau memang pria brengsek! Manusia kejam!!" Gadis itu memekik marah.Tangannya yang memegang berkas dari Rumah Sakit tempat neneknya dirawat, gemetar hebat.Saat ini neneknya membutuhkan transfusi darah Rh-Null dengan segera, atau ia akan tidak tertolong.Dan pria di hadapannya ini, satu-satunya orang yang ia ketahui saat ini --detik ini, memiliki darah dengan golongan yang sama.Sekitar satu jam setengah yang lalu, Elara menerima kabar dari pihak rumah sakit, bahwa neneknya mengalami kecelakaan.Elara yang saat itu tengah berada di kampus, bergegas datang ke rumah sakit tempat neneknya dilarikan.“Bagaimana nenek saya, Dok?” tanya Elara panik ketika tiba di ruang IGD dan bert
Elara berdiri di depan rumah besar berlantai dua di hadapannya. Tidak ada pilihan lain bagi Elara saat ini, selain meminta bantuan dari ayah tirinya, Tony White. Ia masuk dan tepat di depan sana, di ruang keluarga, ia bisa melihat Tony dan Tina --adiknya, duduk bersantai. “Kamu baru pulang heh?!” Suara lengkingan memekakkan telinga, langsung menggema seantero ruangan. Elara menghentikan langkah dan menoleh pada wanita yang mengeluarkan suara melengking, Tina Palmer --bibi tiri Elara. Wanita paruh baya itu memang tidak pernah menyukai kehadiran Elara dalam keluarga White. Elara hanya menatap datar sang bibi, ia tidak bisa menghabiskan waktu berdebat dengan Tina, sementara neneknya memerlukan penanganan segera. Ia pun memutar langkah, mendekati ayah tirinya. “Ayah…” Elara berhenti di samping Tony duduk. “Aku butuh bantuan ayah.” “Hah! Benar-benar anak tak tahu diri!” umpat Tina. “Dari kecil sudah merepotkan, sekarang pun masih ingin merepotkan!” “Bantuan apa?” Suara dalam Tony