Part 49"Kamu menyalahkanku, Mas?""Iya! Karena semua gara-gara kamu!" seru Ramdan lagi."Bukan gara-gara aku, Mas. Tapi gara-gara Risna!""Aah, sudahlah! Capek aku debat terus denganmu!"Alya terdiam, seketika bulir-bulir air mata itu tumpah. 'Mas Ramdan, kenapa sekarang kamu tega membentakku?' Batin Alya nelangsa.Ramdan bergegas mandi hingga terlihat segar. Usai memakai kemeja warna biru langit dan celana jeans hitam. Dia memakai sepatu pantofelnya, lalu menyisir rambut biar terlihat rapi. Penampilannya terlihat begitu necis, terlihat seperti orang yang mau berkencan. Aroma parfum menguar dari tubuhnya. Sekilas ia terlihat sangat tampan, hal itu pula yang diakui oleh Alya."Kamu mau kemana, Mas?" tanya Alya."Keluar sebentar.""Mau ketemuan sama siapa?""Karina. Aku harus negoisasi dengannya.""Aku ikut!""Tidak bisa, Alya. Kalau kamu ikut bisa gagal rencanaku lagi.""Tapi--""Kau di rumah saja. Aku akan mengusahakan yang terbaik untuk kita."Ck! Alya berdecak melihat Ramdan meng
"Ada apa kamu datang menemuiku, Mas Ramdan?" tanya Karina tanpa berbasa-basi.Ia langsung duduk di hadapan Ramdan yang telah memesan meja di sebuah cafe. Dua gelas chocholate milkshake sudah terhidang di meja. Ramdan memang meminta Karina untuk bertemu dan berbincang sebentar."Mbak, mohon maaf sebelumnya. Bisakah aku meminta tambahan waktu untuk melunasinya? Aku sedang berusaha mengumpulkan uang, tapi jumlahnya masih kurang."Karina tersenyum kecut. "No. Tak ada tambahan waktu lagi. Seperti perjanjian awal. Aku hanya memberimu waktu tiga bulan saja. Minggu besok tepat tiga bulan dan kau harus melunasinya. Kalau tidak, kamu harus angkat kaki dari rumah itu."Ramdan hanya bisa menelan air ludahnya sendiri mendengar pernyataan tegas dari Karina."Aku sudah berbaik hati membantumu. Lagi pula, tempo hari kau menolak tawaranku untuk bekerja sama. Jadi mohon maaf aku tidak bisa membantumu lagi. Paham kan, Mas Ramdan?"Ramdan terdiam. "Aku paham kok alasanmu tak mau lagi membantuku. Karen
Part 50"Bu, tolong saya, Bu, saya Alya, istrinya Mas Ramdan. Tolong, Bu ...""Is-tri Ram-dan?"Alya mengangguk sambil menangis."Alya, jangan buat drama di sini! Aku tahu siapa kamu sebenarnya! Pulanglah, jangan buat ibuku--"Alya menggeleng. ""Saya mohon, Bu, sebagai sesama wanita,tolong dengarkan saya dulu. Ini mengenai mas ramdan dan masalahnya," ucap Alya lagi dengan nada bergetar."Jangan dengarkan dia bu, dia hanya ingin membuat ibu--Bu Hafsah mengangkat tangannya agar Dewangga berhenti bicara. "A-pa yang ma-u ka-mu ka-ta-kan, Nak?""Maaf kalau kedatangan saya membuat ibu dan Mas Dewa terkejut. Tolong jangan usir saya dulu, Bu. Sekarang saya sedang hamil anak Mas Ramdan, cucu ibu. Apa ibu tega mengusir saya malam-malam begini?"Alya menghela nafas. Dewangga yang melihatnya jadi sedikit muak. "Tolong izinkan saya menginap malam ini saja, Bu. Saya butuh ketenangan hati dan pikiran."Degup jantung sang ibu mertua makin berdebar kencang. Ia benar-benar tak menyangka istri kedu
Ibundanya hanya bergeming, pandangannya menerawang jauh."Bu?" panggil Dewangga saat menatap tubuh ibunya yang membelakangi."Hmmm ... i-bu ma-u is-ti-ra-hat du-lu, Nak."Dewangga menghembuskan nafas panjang, ia tahu saat ini pasti sang ibunda tengah bimbang dan perang batin."Ya sudah, ibu istirahat saja. Jangan pikirkan apapun ya, Bu. Semua pasti akan baik-baik saja," ujar Dewangga. Setelah mengatakan hal itu Dewangga keluar kamar ibunya, menutup pintu kamarnya dengan rapat. Ia berjalan keluar rumah. Memilih duduk di teras. Banyak sekali yang dipikirkannya saat ini. Pikiran tentang Risna yang menolaknya bahkan belum hilang dari ingatan. Ditambah sekarang dengan kehadiran Alya, istri adiknya itu pasti tengah merencanakan sesuatu."Mas?" panggil sebuah suara mengejutkannya. Tanpa disuruh, Alya langsung mendekati pria itu lalu menaruh segelas kopi panas di dekatnya. Wanita itupun tersenyum ke arahnya."Maaf, kalau aku lancang. Tadi aku ke dapur dan lihat ada kopi, jadi sekalian aja
Part 51Dewangga tersenyum membaca pesan dari Risna. Ada harapan dalam hatinya bahwa cintanya bersambut. Segera ia membalas pesan darinya, dengan jantung yang berdebar-debar. Apakah ini artinya Risna mulai membuka hati untuknya?[Iya, Dek. Aku selalu doakan semoga ibu cepat sembuh dan bisa berkumpul lagi dengan keluarga] balas Dewangga.*** "Mbak Jum, biar saya aja yang rawat ibu. Saya juga menantunya ibu. Ingin berbakti pada ibu," ucap Alya seraya memilihkan baju ganti untuk ibu mertuanya."Jangan, Mbak. Nanti saya kena marah sama Mas Dewa," sahut Jumiroh."Gak mungkin. Mas Dewa gak mungkin marah sama Mbak Jum, paling marahnya sama saya.""Tidak usah, Mbak. Biar saya aja, apalagi mbak lagi hamil, jangan terlalu capek."Alya terdiam beberapa saat, kemudian ia bergegas ke dapur mengambilkan bubur hangat untuk ibu mertuanya. Ia juga mengambilkan air putih hangat untuknya. "Mbak, sekarang biar aku yang nyuapin ibu ya.""Jangan Mbak, nanti--""Tenang aja, bubur ini gak beracun kok. Kala
"Sial! Pasti Mas Dewa yang sudah menyembunyikannya!" lirihnya kesal. Wajah Alya menegang saat mendengar suara Dewangga ada di teras. Ia segera merapikannya lagi dan membuka pintu kamar sang ibu mertua. "Apa yang sudah kau lakukan pada ibuku hah?" Alya justru berlari mendekat ke arah pria itu seraya menempelkan jari telunjuk ke bibirnya."Ibu sedang tidur, jangan berisik, Mas!" ujar Alya.Dewangga menatapnya tajam lalu menarik Alya keluar, mencengkeram tangannya kuat hingga wanita itu mendesis kesakitan."Ini bukan jam tidur ibuku! Apa kau menaruh obat tidur dalam makanannya? Katakan sejujurnya, Alya!!" "Ee-enggak, Mas!" sahutnya, wajah Alya mulai pias melihat amarah di mata Dewangga."Aku tahu dari awal, kedatanganmu kesini hanya berniat buruk! Pergi kau!!"Dewangga menarik tangannya keluar rumah. "Pergi dari sini! Awas saja kalau aku masih lihat kau di sini!""Mas, tapi aku--""Gak usah beralasan! PERGI!!"Alya sedikit terhuyung. Ia benar-benar tak menyangka kalau kakak iparnya i
Part 52“Mas Dewa?” panggil salah seorang warga, mereka berlarian masuk ke dalam rumah, tampak heran melihat rumah yang berantakan. “Astaghfirullah, Pak tolong bantu angkat!” seru Pak Kades yang melihat Dewangga dan ibunya meringkuk di lantai.Dewangga masih mendesis lirih. “Pak, tolong bawa ibu saya, Pak, ke Rumah Sakit.”“Iya, Mas Dewa tenang dulu ya. Kasim, tolong bilang ke Rusja suruh bawa mobil siaga kesini. Cepetan ya!” perintah Pak Kades.“Baik, Pak.”Yang diberi perintah langsung lari. Sementara itu, Dewangga dipapah ke sofa lalu dibaringkan. Mang Dirman segera megambil air hangat dan juga washlap, lalu mengelap wajah Dewangga dengan pelan. Meski kepala terasa berat dan pandangan mengabur, sebisa mungkin ia menahan kesadarannya. Seseorang yang lain memberinya teh manis hangat.“Ya Allah, Mas Dewa kenapa?” Jumiroh lari tergopoh-gopoh mendekat setelah mendengar kabar buruk.“Mbak Jum, tolong ibu, Mbak.”“Iya, iya, Mas, maaf baru kesini lagi,” ujar Jumiroh, kemudian langsung be
Awan menyodorkan ponselnya pada Risna. Wanita itu menatap heran pada foto yang terpampang di ponselnya. Video pertama, video Martha—ibu tirinya, tengah berbincang dengan dua orang pria asing. Lalu ada moment dimana ibu tiri Risna itu menyerahkan sebuah amplop coklat yang diduga isinya uang. Risna tak mendengar apa yang mereka bicarakan karena posisi awal saat mengambil video itu berada di kejauhan.Foto kedua, foto Karina dengan Ramdan di salah satu cafe.“Mas, kamu dapat dari mana video dan foto ini?” tanya Risna penasaran.“Aku tak sengaja bertemu dengan mereka. Benar kan video yang di rekaman tadi adalah ibu tirimu?”Risna mengangguk. “Benar, Mas, tapi apa dia ngasih uang buat orang itu? Siapa mereka, Mas? Apa kamu kenal?”“Yang aku tahu, mereka berdua preman kelas kakap. Aku tidak tahu ada masalah apa tentang ibu tirimu, tapi kurasa kamu harus jaga diri baik-baik.”Risna tersenyum. “Iya Mas, makasih atas perhatianmu.”“Apa kamu tidak akan bertanya mengenai Ramdan?”“Aku gak ingin