Mentari merasa jantungnya kembali berdebar keras. Pertanyaannya bukan dijawab oleh Leon, tetapi justru dia mengajak Mentari pergi entah ke mana. Di dalam mobil Mentari menanyakan tujuan mereka, Leon hanya menggeleng. "Mas, jangan buat aku takut. Kita ke mana?" Mentari mendesak. "Ada, deh." Leon melirik Mentari dengan senyum simpul di bibirnya. "Aduh, kenapa aku degdegan ga karuan. Jangan gini, Mas!" Mentari memohon. "Hehehe, mau dijawab ga pertanyaan kamu?" Leon begitu tenang bicara. "Iya, pasti. Cuma ini ..." Mentari kembali melihat ke depannya. Matanya melebar. Leon masuk ke sebuah butik yang dari namanya saja, Mentari tahu butik macam apa yang mereka datangi. "Mas, ini kenapa ke sini?" tanya Mentari bingung. "Ayo turun," ajak Leon setelah mobil terparkir rapi di halaman butik mewah itu. Leon lebih dulu keluar dari mobil. Mentari masih terpaku di tempatnya duduk. Leon berjalan memutar dan membuka pintu untuk Mentari. "Mari, Sayangku ..." Leon mengulurkan tangan meminta Menta
Leon tidak habis pikir, Mentari menganggap yang dia rencanakan bukan hal yang baik untuk mereka berdua. Padahal sepenuh hati Leon berniat melakukannya andai Mentari tidak kabur. "Mentari!" Leon memanggil keras dan mengejar kekasihnya. Gadis itu berjalan tanpa menoleh ke belakang lagi. Leon mempercepat langkahnya. "Mentari Jelita!" Mendengar panggilan hampir utuh dari namanya, Mentari berhenti dan berbalik. Dia menunggu Leon mendekat. "Aku minta maaf jika yang aku lakukan menyinggung perasaan kamu. Aku sama sekali tidak ingin membuat kamu marah atau bersedih." Leon memandang serius dengan mata sayu. "Mas ... aku, aku sayang kamu, tapi ... setelah semua yang kamu katakan, aku sadar siapa diriku. Bagai bumi dan langit bertemu sama kamu, Mas. Ini tidak mungkin," kata Mentari dengan suara makin lirih dan ada rasa pedih. "Mentari Jelita Pramesti. Nama yang sangat indah. Aku yakin tidak asal orang tua kanu memberi nama itu buat kamu." Pandangan Leon tak beralih. Dua manik miliknya menat
Malam semakin larut. Leon dengan pemilik laundry, dan pengurus kampung bergerak. Mereka memeriksa CCTV memastikan kejadian penculikan terhadap Mentari. Di alam tayangan, pria-pria yang datang seperti yang dikatakan pegawai laundry, mereka mengenakan masker. Jadi tidak bisa dikenali wajahnya. Pria-pria itu pura-pura bertanya alamat di sekitar komplek perumahan. Dan tiba-tiba mereka menangkap Mentari dan menyerang teman Mentari. Sayang juga CCtV tidak dapat menangkap jelas nomor mobil pada kendaraan. Posisi mobil agak bersebrangan dengan kamera CCTV. "Lebih baik laporkan saja pada polisi. Ini menyangkut nyawa seorang gadis. Benar-benar keterlaluan!" Seroang bapak berkata dengan emosi. "Ya, kurasa begitu lebih baik. Kita pergi saja sekarang!" sahut yang lain. Leon sangat berterima kasih pada semua yang mau menolong. Mentari memang orang baru, tetapi mereka tetap sigap bersikap atas apa yang terjadi. Malam itu juga mereka membuat laporan ke kepolisian. Sampai petugas polisi pun datang
Mentari masih bersandar sambil melihat ke arah pintu. Dia tidak habis pikir ada wanita seperti Mami jahat itu."Wanita gila. Tuhan di pihaknya dia bilang? Mana mungkin Tuhan setuju dengan perbuatan laknat yang dia lakukan selama ini. Tuhan saja terlalu sabar. Kita lihat, aku pasti bisa lolos lagi. Entah bagaimana, tapi harus!" kata Mentari dengan rasa hati yang campur aduk. Mentari melihat ke sekeliling ruangan. Lampu di kamar sempit dan kotor itu redup, tidak terang. Memang ruangan sedikit lebih besar dari gudang tempat Mentari tinggal di mal. Tetapi karena ada barang-barang yang tidak ditata rapi, ditaruh sembarangan jadi terkesan ruangan itu penuh. Mentari bangun dan menuju pintu. Dia tahu pintu pasti dikunci dari luar, tapi tetap saja Mentari mencoba membukanya. Dan tidak terbuka. Mentari berbalik melihat lagi seluruh ruangan. Kalau dia harus disekap sampai berhari-hari di situ, bisa runyam. Ruangan kotor dan pengap. Dia harus mengatur bagaimana dia bisa duduk dan berbaring deng
Leon memandang kedua orang tuanya juga adiknya yang merasa heran melihat Leon muncul dengan aura kegelisahan yang besar. "Apa yang terjadi?" Horacio tidak sabar. Dia mengambil tempat dan duduk di samping Leon. Asterita dan Lusia pun mengambil tempat mereka. Berempat mereka duduk bersama. Dan ini sudah jarang terjadi. "Aku minta maaf, Pa. Aku mengalami situasi yang berat." Leon memulai dengan hati tidak nyaman, tapi harus dia ungkapkan. "Soal pekerjaan kamu?" Horacio menatap serius putra sulungnya. "Tidak. Ini masalah pribadi, tapi aku akan terkuras di sana," jawab Leon. "Jangan bilang kamu putus cinta lagi, padahal pacar baru kamu aku belum tahu yang mana," sahut Lusia. Gadis dengan rambut coklat terang itu memang ceplas-ceplos. "Leon, apa adikmu benar?" Asterita seketika menatap tajam putranya. Dia tidak akan lupa, Leon mengatakan dia punya kekasih, tapi belum juga sama sekali dia tunjukkan siapa kekasihnya. Sementara dia dengan tegas menolak Retha. Leon menghela napas. Dia me
"Bagaimana bisa kamu tertangkap lagi? Kamu di mana selama ini?" Irma memandang Mentari, menatap dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Panjang ceritanya. Aku benar-benar sial, Mbak. Aku kerja di laundry. Siapa yang mengira salah satu pelanggan laundry itu kerja di sini. Namanya Jalal." Mentari menjawab dengan wajah kuyu, tapi ada semangat di sana. "Ah, dia belum lama di sini. Tapi emang itu orang resek. Aku juga ga suka sama Pak Jalal. Hm, kebetulan yang tidak seru sama sekali." Irma menggeleng keras. "Mbak, aku harus keluar. Aku ga mau di sini. Mbak Irma bisa bantu aku?" Mentari memegang kedua tangan Irma dan memohon. "Tari, ini ga mudah. Ini berat. Kamu tahu situasi yang kuhadapi seperti apa di sini." Irma memandang dengan cemas mulai muncul di wajahnya. "Mbak, aku ketemu pria baik yang sayang aku. Dia pasti sedang bingung mencariku. Bisakah Mbak Irma menghubungi dia?" Mentari membujuk Irma. "Kamu punya pacar?" Irma lagi-lagi terkejut. "Iya, Mbak. Please, bantu aku," ujar Menta
Tatapan Mentari membuat Irma tersentak. Dia sadar Mentari tersinggung. "Aduh, maaf, aku ga ada maksud ..." "Nanti aku ceritakan kalau waktunya tepat," Mentari menyela. Dia juga tidak seharusnya merasa aneh atau kesal pada Irma. Irma kembali melihat ke ponsel. Dia lihat foto profil Leon. Matanya melebar dan bibirnya melotot. Pemuda tampan berbentuk bule keren yang terpampang di sana. "Ini beneran pacar kamu?" Irma makin tidak percaya saja rasanya. "Mbak Irma kirim pesan saja. Tuliskan, Mbak Irma tahu aku di mana." Mentari mengatakan itu agar segera Irma menghubungi Leon dan juga sebagai bukti Mentari tidak berdusta. "Oke, oke," sahut Irma. Dengan cepat tangannya mengirimkan pesan di nomor Leon. - Halo, Leon. Aku tahu di mana Mentari. Pesan pendek itu terkirim. Mentari memperhatikan Irma. Irma menunjukkan pesan yang dia kirimkan. Benar saja dengan cepat Leon mengirim pesan balasan. - Siapa ini? Buktikan jika benar kamu tahu di mana Mentari. Mata Irma melebar. Mentari tidak berd
"Zaman sekarang, Leon. Gambar di ponsel gini, profil, terlalu banyak yang bukan dirinya dipasang. Lu lugu juga dalam hal ini." Baharudin menggeleng pingin tertawa dengan ucapan Leon. "Ah, kenapa gue lemot sekali? Beruntung gue punya lu, Din. Kita segera jalan aja mencari Mentari di mana sambil gue terus kontak itu cewek." Leon memutuskan. "Boleh gue ketemu Lila bentar?" Baharudin mengalihkan percakapan. "Hei, gue sampai lupa urusan lu ame Lila. Gimana jadinya?" Leon bertanya dengan muka serius lagi. "Sejauh ini aman. Mama seneng banget sama Lila. Gue ga nyangka Lila bisa gitu baik sama Mama. Mama bilang gue udah dapat yang cocok buat gue." Tatapan nanar Baharudin tampak dari sorotan matanya. "Really? Kalau gitu bagus, dong!" Leon menaikkan kedua alisnya cukup kaget mendengar itu. "Jangan aneh-aneh. Lila jelas bukan tipe aku, Leon." Baharudin mengerutkan keningnya. Kaget juga itu respon sahabatnya. "Ga usah idealis. Yang penting bisa bikin kita happy dan punya tujuan jelas dalam