Sejak jogging dengan Agnia, Narendra kembali rutin jogging walau tidak selalu ditemani gadis itu. Beberapa kali dia tersasar hingga membutuhkan bantuan Maps untuk kembali ke kontrakannya. Jalanan kampung kota di sekitar kontrakan petak terasa sama di matanya. Penduduk sekitar juga mulai menyapa setiap kali berpapasan dengannya.
Abang Ganteng. Julukan yang didapat dari Mpok Wati dan entah bagaimana diikuti oleh penjual dan tetangga sekitar. Daripada sibuk menyebutkan nama, Narendra memilih untuk membiarkan mereka menggunakan julukan itu. Lagipula julukan itu tidak jelek. Dia cukup suka.
Pagi ini selesai jogging dan menghabiskan semangkuk bubur ayam – ya, Narenda sudah tidak sepemilih sebelumnya untuk urusan makan – begitu kembali ke kontrakan petak, dia langsung mandi. Hari ini dia memiliki jadwal penting, menagih janji Badi tentang lowongan pekerjaan untuknya.
Baru saja dia keramas air pancuran tiba-tiba mati. Panik karena
Badi memilih menandaskan isi gelasnya.“Badi,” nada suara Narendra semakin serius.“Dengar, Bos,” dia meletakkan gelas kosong di meja, “Belum ketemu lowongan yang cocok.“Kenapa lama sekali? Aku tahu kamu bisa diandalkan.”“Ya memang belum ada, Bos. Aku nemu beberapa lowongan tapi aku nggak yakin Bos mampu ngejalaninnya. Daripada kita nutup kesempatan buat orang lain mending biar yang benar-benar membutuhkan aja yang keterima.”“Maksud kamu aku nggak benar-benar membutuhkan? Aku butuh, Badi. Sangat.”“Buat apa?” Badi tidak pernah meninggikan suara tidak peduli sekesal apa dia. Termasuk sekarang, “Biar Agnia nggak curiga. Cuma itu, kan, alasannya?”Narendra terdiam.“Udahlah, Bos. Orang di luar sana susah buat nyari kerja, jangan kita tambah-tambahin.”“Aku tidak ambil kesempatan mereka. Aku akan mengikuti semua tah
Setelah Badi mengurus air dan mereka selesai menikmati nasi bungkus yang tentu sudah ditata rapi di piring oleh Badi - beberapa hari melakukan ini, bodyguard itu mulai yakin untuk pindah profesi menjadi penata makanan - mereka berangkat menuju dealer motor terdekat.Narendra hanya mengenakan kaos dan celana pendek selutut, pakaian kebesarannya selama menjalanin kehidupan di kontrakan petak. Terlihat kontras dengan Badi yang mengenakan kemeja flannel dan jeans. Begitu turun dari taksi daring, Narendra tidak bedanya dengan anak kecil yang tiba di toko mainan. Matanya terlihat berbinar menatap jajaran motor.Sebelum tiba-tiba meredup.“Kita nggak salah alamat?”“Bos mau beli motor, kan?”“Iya,” Narendra mengangguk, “Tapi… bukan motor kayak gini. Ini motor apa?”Badi melupakan satu hal. Narenda pecinta motor. Motor gede. Jangan ditanya koleksi pria itu. Tetapi tida
Sontak kedua wanita yang sedang beradu mulut itu terdiam. Keduanya menatap Narendra tidak percaya. Antari tidak menduga pria itu akan meminta bertemu dengan manajer dealer sementara Ara terkejut dengan keberanian pria berpenampilan lusuh ini.“Buat apa? Kalau Masnya mau complain juga percuma,” Ara masih dengan kepercayaan diri yang tidak tergoyahkan.“Saya mau beli motor dan Kakak malah memperlambat prosesnya.”“Beneran? Mas mau ngambil cicilan berapa bulan? Di sini nggak ada, tuh, yang cicilannya sampai berbulan-bulan.”Sementara pramuniaga dengan kesombongan menembus langit ini terus nyerocos, Narendra melihat kalau Antari bergegas menuju bagian kantor untuk memanggil atasannya. Kembali Narendra memberikan nilai tambah untuk pramuniaga itu.“Udah, deh, Mas, nggak usah banyak gaya. Mending Mas buruan angkat kaki dari ini.”“Saya akan pergi, setelah mendapatkan motor yang s
“Tumben keluar jam segini?” Agnia baru membuka pagar kontrakan petak ketika berpapasan dengan Narendra dan Badi.“Ada acara,” Narendra tersenyum, “Kamu baru pulang? Capek banget kayaknya.”Agnia tertawa untuk menutupi pipinya yang memerah. Dia tahu Narendra hanya berusaha bersikap ramah tetapi ada ketulusan yang sudah jarang diterima oleh gadis itu. Di dunia entertainment semua adalah palsu. Selalu ada topeng yang dikenakan setiap orang.“Biasa aja,” Agnia membiarkan pagar terbuka, “Rapi banget. Acara penting kayaknya.”Narendra yang biasa hanya mengenakan kaos dan celana pendek terlihat berbeda dalam balutan setelan yang pas badan. Setelan itu membalut tubuh pria itu dengan sempurna sekaligus memamerkan otot tubuh atletisnya.“Acara keluarga. Kalau nggak datang bisa dicoret dari KK,” Narendra melontarkan candaan yang pernah didengarnya, “Aneh, nggak?”
Turun dari taksi daring di lobi salah satu hotel termewah ibukota, Narendra melangkah dengan penuh percaya diri. Petugas keamanan terlihat gentar untuk bertanya, begitu juga dengan concierge hotel. Ini adalah taman bermain yang sudah dikenal baik oleh putra bungsu keluarga Widjaja.Di sini anggukan dan senyuman Narendra serupa dengan kartu akses. Tidak aneh, seluruh pegawai hotel-hotel mewah di negara ini bahkan negara tetangga diwajibkan menghapal wajah seluruh anggota keluarga Widjaja. Mereka adalah tamu istimewa di atas istimewa.“Tuan Sabda,” salah seorang manajer hotel mengimbangi jalan Narendra, “Acara keluarga Widjaja ada di ballroom. Mari saya antar.”“Ballroom?” Narendra menaikan sebelah alis, “Bukannya cuma makan malam?”“Benar. Tapi permintaan Nyonya Widjaja di ballroom. Agar lebih santai.”Narendra mengangguk, “Saya tahu ballroom
“Kak Narendraa..!” Pintu ballroom terbuka disusul dengan sebuah teriakan.Seluruh pandangan segera tertuju ke sosok cantik yang baru saja memasuki ballroom. Pandangan terkejut dengan cepat berubah menjadi senyum dan tawa ketika menyadari siapa sosok cantik itu.Calya Gayatri Widjaja.Narendra merupakan putra bungsu keluarga Widjaja, dan Calya adalah putri bungsu dan kesayangan seluruh keluarga Widjaja. Gadis yang baru saja berulang tahun kedua puluh beberapa waktu lalu bisa dibilang sangat berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain. Gadis itu seakan hidup dalam bubble, begitu riang dan ekspresif.“Ya, Sayang?” Narendra berdiri kemudian merentangkan tangan seakan mempersilakan Calya untuk memeluk.Tidak perlu menunggu lama, Calya segera memeluk kakaknya, “Kangeeen!!”Rajasena yang ada di samping Narendra tertawa geli, “Kangennya sama Narendra doang?”“Iya
“Sissy, do you prepare any gift?” Narendra bertanya ketika melihat para saudara berlomba memberikan kado ulang tahun pernikahan untuk Asija dan Reinya Widjaja. Rajasena dan Bima sudah pulang selesai menikmati makan malam. Menyisakan Narendra dan Calya bersama para saudara yang agresifnya tidak ada beda dengan keagresifan hiu ketika mengendus darah. Mereka berlomba memberikan perhatian kepada anggota keluarga inti Widjaja. “Nggak,” Calya dengan merengut menghabiskan jus jeruknya, “Kenapa, sih, aku nggak boleh minum wine?” “Kamu masih di bawah umur, ya,” Narendra terkekeh pelan, “Nanti di suite aja. Tapi pastiin kamu kunci pintu dan besok check out…” “Setelah pikiranku jernih,” Calya memotong ucapan Narendra, “Aku udah hapal. Kamu sama Kak Bima selalu ngulang-ngulang kalimat itu. Sampai aku bosan.” Narendra kembali terkekeh, “Masih lama nggak, sih? Aku bosan.” “Apalagi aku. Nggak ada seru-seru
“Dra,” Agnia mengetuk pintu kontrakan petak tetangganya, “Rendra, Dra. Bangun, dong. Bukain pintunya, banyak nyamuk, nih.”Masih belum ada sahutan dari Narendra.“Dra,” kali ini dia mengetuk dengan lebih kuat, “Rendraaa.”Hampir lima menit Agnia mengetuk pintu kontrakan petak Narendra sebelum terdengar sahutan parau khas orang baru bangun tidur.“Sebentar…”“Buruan, Dra! Udah dari tadi, nih, aku,” Agnia berujar tidak sabar.“Iya, iya,” jawaban itu bersamaan dengan bunyi kunci diputar, “Ada apa? Ini jam berapa?”“Nggak tahu. Jam enam mungkin,” Agnia menjawab asal lalu tanpa sungkan masuk ke kontrakan petak tetangganya, “Aku bawain hobakjuk, nih.”“Hm,” Narendra hanya bergumam tidak jelas, “Aku cuci muka dulu.”“Jangan lama-lama! Nanti keburu dingin.”Tanp