“Dra,” Agnia mengetuk pintu kontrakan petak tetangganya, “Rendra, Dra. Bangun, dong. Bukain pintunya, banyak nyamuk, nih.”
Masih belum ada sahutan dari Narendra.
“Dra,” kali ini dia mengetuk dengan lebih kuat, “Rendraaa.”
Hampir lima menit Agnia mengetuk pintu kontrakan petak Narendra sebelum terdengar sahutan parau khas orang baru bangun tidur.
“Sebentar…”
“Buruan, Dra! Udah dari tadi, nih, aku,” Agnia berujar tidak sabar.
“Iya, iya,” jawaban itu bersamaan dengan bunyi kunci diputar, “Ada apa? Ini jam berapa?”
“Nggak tahu. Jam enam mungkin,” Agnia menjawab asal lalu tanpa sungkan masuk ke kontrakan petak tetangganya, “Aku bawain hobakjuk, nih.”
“Hm,” Narendra hanya bergumam tidak jelas, “Aku cuci muka dulu.”
“Jangan lama-lama! Nanti keburu dingin.”
Tanp
“Tumben kali kau udah bangun!” Tanpa diundang Bang Ucok sudah nongol di depan pintu kontrakan petak Narendra. Tanpa menunggu dipersilakan, pria berbadan besar itu segera masuk dan bergabung dengan Narendra dan Agnia yang masih menikmati hobakjuk di meja makan.”“Pantes, ya! Ada Agnia rupanya,” Bang Ucok duduk di samping Narendra, “Makan apa kalian?”“Ini…”Belum selesai Narendra berucap, mangkuk yang ada di hadapannya dan baru dinikmati beberapa suapan sudah berpindah posisi, “Oh, ini hoba-hoba itu, kan? Pas kali. Suka aku ini. Udah lama juga kau nggak buat ini. Rindu kali aku!”Agnia tersenyum, “Bang, itu punya Rendra.”“Nggak apa. Ikhlas itu dia,” satu suapan besar masuk ke mulutnya.“Rendra belum sempat makan, lho, Bang,” Agnia masih berusaha membujuk Bang Ucok untuk mengembalikan mangkuk itu kepada Narendra. Dia merasa tidak enak
“Ngomongin apa kau sama Agnia?” Bang Ucok menyantap bubur ayam yang dibelikan Badi untuk Narendra.Setelah mereka menghabiskan hobakju buatannya dan mengobrol santai selama beberapa waktu, Agnia memutuskan untuk kembali ke kontrakan petaknya. Setelah sebagian beban terangkat dari pikiran akhirnya kantuk hadir.“Masih belum kenyang, Bang?” Narendra menandaskan kopi buatan Agnia yang masih tersisa di cangkirnya.“Ah, kau ini,” lagi Bang Ucok menikmati satu suapan besar bubur ayam, “Kalau ada makanan tak boleh dibuang-buang. Ini kalau bukan aku siapa yang bakal ngabisin? Mana mungkin kau. Si Badi pun tak mungkin.”“Kata Mamak aku, makanan itu hadiah dari bumi buat kita. Dosa kalau dibuang-buang.”“Memangnya belum kenyang, Bang?” Pria itu masih penasaran karena Bang Ucok terlihat sangat menikmati buburnya padahal pria itu sudah menghabiskan semangkuk hobakju buatan Agnia.&l
“Bos, beneran mau nyari kerja?” “Beneran!” Narendra yang sedang sibuk di depan laptop segera menutup laptop. Tidak peduli ada laporan yang menunggu untuk dibaca. Setelah menghabiskan bubur, Bang Ucok kembali ke kontrakan petaknya untuk bersiap-siap. Apa pun yang terjadi dia adalah budak korporat yang harus tetap bekerja. Mereka berjanji nanti malam akan kembali berkumpul untuk membahas permasalahan Agnia. Gadis itu memang tidak meminta batuan mereka, tetapi sebagai tetangga yang baik, mereka siap membantu. “Ya udah. Kalau gitu kita cari kemeja putih dulu.” “Kalau cuma kemeja aku punya.” “Bos, mana ada yang nyari kerja pakai kemeja mahal kayak gitu? Sekali lihat orang juga tahu kalau kemeja Bos itu harganya nggak masuk akal.” “Nggak masuk akal? Aku udah pilih. Aku bawa yang harganya sekitar lima jutaan aja.” Detik itu rasanya Badi ingin menoyor Narendra. Kalau saja dia bukan majikannya, pasti Badi tanpa sungkan meno
“Nah ini! Lima puluh ribu dapat tiga. Bagus, bagus, bisa pilih motif dan warna!” Seorang penjual berteriak nyaring sambil melambai celana pendek jualannya.“Daster cantik, cocok buat baju rumah. Adem dan bikin suami tambah cinta,” penjual yang lain berteriak tidak kalah nyaring walau ditingkahi dengan kegenitan.“Mijon, mijon, pokari, akua, semua dingin Yang harus ini ada mijon…” penjual minuman tidak ingin kalah saing dalam berteriak menarik perhatian pengunjung pasar kaget.Narendra yang baru saja tiba bersama Badi sama sekali tidak berusaha menutupi kebingungannya. Eh, bukan. Dia bukan bingung. Dibandingkan bingung. Pria itu jauh lebih terkejut dengan apa yang dilihatnya.Sebuah lahan yang cukup luas penuh dengan penjual yang membuka lapak bermodalkan terpal sebagai alas dan saling berteriak menjajakan jualannya. Yang lebih mengejutkan, pengunjung lain terlihat tidak ada masalah dengan hal itu. Mereka nyaman b
Sepulang dari Pasar Kaget dan setelah selesai memeriksa laporan yang dikirimkan oleh Abimana, Narendra memutuskan untuk bersantai di teras kontrakan petaknya. Bang Ucok tentu masih di kantor, Agnia sudah pergi sejak tadi katanya ada pemotretan sementara Badi sudah kembali ke kontrakannya. Biasanya pria itu akan muncul menjelang jam makan siang untuk bertanya apa yang ingin disantap oleh majikannya.Narendra berbaring di dipan bambu. Ketika pertama kali mencoba dia merasakan punggungnya sakit tetapi sekarang dia sudah terbiasa. Dia memperhatikan langit walau pikirannya berkelana tak tentu arah.Sejak tadi pikirannya sibuk mencerna ucapan Badi tentang nilai uang. Betapa jauh bedanya arti Rp65.000 bagi Narendra dan orang di sekitar kontrakan petak ini. Sebelum ini, Rp65.000 tidak berarti banyak untuknya. Uang segitu hanya mampu membeli dua botol air mineral yang biasa dikonsumsinya. Sementara untuk masyarakat sekitar sini, uang segitu cukup untuk makan seharian.Ti
“Bos, mau makan siang apa? Telur ceplok bumbu Bali sama tumis kangkung?”Sejak berkenalan dengan warteg, dua lauk itu merupakan kesukaan Narendra. Ketika pertama kali mencoba telur ceplok bumbu Bali pria yang jarang makan nasi mendadak mampu menghabiskan dua piring nasi dengan porsi besar. Dia juga semakin lahap ketika mencoba tumis kangkung. Menurutnya kedua lauk itu kombinasi yang sangat tepat.“Bos?” Badi kembali bersuara ketika majikannya tidak menyahut.“Bos lagi ngapain?” Kebingungan itu berubah menjadi tawa kecil ketika melihat Narendra yang duduk di sofa menatap lekat selembar uang pecahan Rp10.000, “Baru pertama kali lihat uang sepuluh ribu?”Badi tahu jawabannya. Sejak tinggal di kontrakan petak entah sudah berapa kali Narendra melihat atau memegang uang pecahan itu. Badi bertanya hanya untuk menggoda tuan mudanya.“Nyari duit itu beneran susah banget, ya,” Narendra berucap pelan
“Permisi, “ Antari, sales motor yang membantu Narendra memilih motor berdiri di teras kontrakan petak.Narendra yang kebetulan sudah kembali sibuk dengan laptop selesai makan siang langsung menoleh ke arah pintu yang dibiarkan terbuka. Tidak seluruh ruangan di kontrakan petaknya menggunakan AC sehingga hampir sepanjang hari dia membiarkan pintu terbuka.“Eh, kok…”“Mas Badi nggak bilang kalau hari ini saya mau antar motor Kakak?” Antari dengan cepat menangkap kebingungan pria yang berjalan mendekatinya.“Wah! Motornya udah bisa dipakai?!” Dia tersenyum lebar.Ketika tahu kalau motor tidak dapat langsung digunakan karena harus mengurus berbagai dokumen dan nomor polisi, dia cukup kecewa. Selama ini dia tidak pernah menunggu jika menginginkan sesuatu. Nama keluarganya memang mendatangkan berbagai kemudahan. Tetapi sesuai janjinya, saat ini dia hanya Narendra tanpa nama keluarga.
“Gerak, Badi! Kalau kelamaan nanti disambar cowok lain, gigit jari kamu!” Narendra masih belum puas menceramahi badi sejak bermenit lalu.Ini bukan pertama kalinya. Dulu bodyguard-nya juga pernah tertarik dengan seorang gadis ketika mereka tinggal di Boston. Menurutnya tidak ada yang salah dengan berkencan dan bersenang-senang. Tetapi Badi bersikeras kalau dia tidak menginginkan hubungan tanpa masa depan. Narendra tahu kalau itu bukan alasan sesungguhnya.Badi hanya terlalu takut. Dia takut dirinya tidak cukup untuk wanita yang disayanginya.“Itu saran bukan harusnya buat Bos?”“Aku? Kenapa aku?” Dia mengelap motor barunya dengan kain lap setengah basah.“Tuh,” Badi menunjuk kontrakan petak Agnia, “Naksir, kan?”“Nggak,” Narendra masih asyik membersihkan motornya walau tidak ada kotoran yang harus dibersihkannya. Tentu saja, mengingat itu motor baru.&ldq