Sepulang dari Pasar Kaget dan setelah selesai memeriksa laporan yang dikirimkan oleh Abimana, Narendra memutuskan untuk bersantai di teras kontrakan petaknya. Bang Ucok tentu masih di kantor, Agnia sudah pergi sejak tadi katanya ada pemotretan sementara Badi sudah kembali ke kontrakannya. Biasanya pria itu akan muncul menjelang jam makan siang untuk bertanya apa yang ingin disantap oleh majikannya.
Narendra berbaring di dipan bambu. Ketika pertama kali mencoba dia merasakan punggungnya sakit tetapi sekarang dia sudah terbiasa. Dia memperhatikan langit walau pikirannya berkelana tak tentu arah.
Sejak tadi pikirannya sibuk mencerna ucapan Badi tentang nilai uang. Betapa jauh bedanya arti Rp65.000 bagi Narendra dan orang di sekitar kontrakan petak ini. Sebelum ini, Rp65.000 tidak berarti banyak untuknya. Uang segitu hanya mampu membeli dua botol air mineral yang biasa dikonsumsinya. Sementara untuk masyarakat sekitar sini, uang segitu cukup untuk makan seharian.
Ti
“Bos, mau makan siang apa? Telur ceplok bumbu Bali sama tumis kangkung?”Sejak berkenalan dengan warteg, dua lauk itu merupakan kesukaan Narendra. Ketika pertama kali mencoba telur ceplok bumbu Bali pria yang jarang makan nasi mendadak mampu menghabiskan dua piring nasi dengan porsi besar. Dia juga semakin lahap ketika mencoba tumis kangkung. Menurutnya kedua lauk itu kombinasi yang sangat tepat.“Bos?” Badi kembali bersuara ketika majikannya tidak menyahut.“Bos lagi ngapain?” Kebingungan itu berubah menjadi tawa kecil ketika melihat Narendra yang duduk di sofa menatap lekat selembar uang pecahan Rp10.000, “Baru pertama kali lihat uang sepuluh ribu?”Badi tahu jawabannya. Sejak tinggal di kontrakan petak entah sudah berapa kali Narendra melihat atau memegang uang pecahan itu. Badi bertanya hanya untuk menggoda tuan mudanya.“Nyari duit itu beneran susah banget, ya,” Narendra berucap pelan
“Permisi, “ Antari, sales motor yang membantu Narendra memilih motor berdiri di teras kontrakan petak.Narendra yang kebetulan sudah kembali sibuk dengan laptop selesai makan siang langsung menoleh ke arah pintu yang dibiarkan terbuka. Tidak seluruh ruangan di kontrakan petaknya menggunakan AC sehingga hampir sepanjang hari dia membiarkan pintu terbuka.“Eh, kok…”“Mas Badi nggak bilang kalau hari ini saya mau antar motor Kakak?” Antari dengan cepat menangkap kebingungan pria yang berjalan mendekatinya.“Wah! Motornya udah bisa dipakai?!” Dia tersenyum lebar.Ketika tahu kalau motor tidak dapat langsung digunakan karena harus mengurus berbagai dokumen dan nomor polisi, dia cukup kecewa. Selama ini dia tidak pernah menunggu jika menginginkan sesuatu. Nama keluarganya memang mendatangkan berbagai kemudahan. Tetapi sesuai janjinya, saat ini dia hanya Narendra tanpa nama keluarga.
“Gerak, Badi! Kalau kelamaan nanti disambar cowok lain, gigit jari kamu!” Narendra masih belum puas menceramahi badi sejak bermenit lalu.Ini bukan pertama kalinya. Dulu bodyguard-nya juga pernah tertarik dengan seorang gadis ketika mereka tinggal di Boston. Menurutnya tidak ada yang salah dengan berkencan dan bersenang-senang. Tetapi Badi bersikeras kalau dia tidak menginginkan hubungan tanpa masa depan. Narendra tahu kalau itu bukan alasan sesungguhnya.Badi hanya terlalu takut. Dia takut dirinya tidak cukup untuk wanita yang disayanginya.“Itu saran bukan harusnya buat Bos?”“Aku? Kenapa aku?” Dia mengelap motor barunya dengan kain lap setengah basah.“Tuh,” Badi menunjuk kontrakan petak Agnia, “Naksir, kan?”“Nggak,” Narendra masih asyik membersihkan motornya walau tidak ada kotoran yang harus dibersihkannya. Tentu saja, mengingat itu motor baru.&ldq
“Yang kayak gitu mana ada.”Setelah Narendra selesai mengantar ibu hamil keliling kampung dengan motor baru dan setelah rombongan ibu-ibu meninggalkan halaman kontrakan petak mereka, dia meminta Badi untuk menjelaskan tentang apa yang terjadi. Aneh memang ada orang yang tidak mengerti apa itu ngidam. Tetapi Narendra yang dibesarkan dalam keluarga super kaya serta lebih banyak menghabiskan waktu di luar negeri hal ini wajar adanya.“Ya, ada. Namanya juga kepercayaan turun menurun. Mau dijelasin secara medis nggak ada juga mereka percayanya ada.”“Benar juga.”“Lagian, di sini informasi dan pengetahuan itu nggak merata. Kamu ngomong kalau ngidam itu secara medis nggak ada, aku jamin nggak ada satu orang pun yang percaya. Separah itu memang kesenjangan di ibu kota.”Narendra tidak berkomentar banyak walau dia setuju dengan apa yang diucapakan Badi. Dia sudah merasakannya sendiri selama empat minggu menja
Sepanjang mengendarai motornya kembali ke kontrakan petak, Narendra tidak berhenti tersenyum. Hari ini sepertinya hari keberuntungannya. Tadi pagi Badi mengatakan kalau sudah menemukan lowongan pekerjaan yang bisa dicobanya kemudian motornya diantar dan baru saja dia menghasilkan uang.Tidak banyak memang. Apa yang dihasilkannya dari mengantarkan tetangganya ke kampung sebelah bahkan tidak mampu membeli secangkir kopi yang biasa dikonsumsinya. Tetapi rasa senang yang dirasakan tidak jauh berbeda dengan perasaan ketika pertama kali berhasil mendapatkan $100.000 dari saham yang didapat sebagai hadiah ulang tahun kelima belasnya.“Hei! Sini lo!”Teriakan itu berhasil menghilangkan senyum dari bibir Narendra. Sesaat dia celingukan ke kiri dan kanan untuk memastikan kalau teriakan itu memang ditujukan kepadanya.“Iya, lo! Yang helm putih! Sini, sini!”“Berhenti, yoi! Minggir! Ke sini!” Seorang lain berteriak.M
“Kawan macam mana kau itu,” Bang Ucok menikmati nasi gila yang baru saja dibelikan Narendra sesuai janjinya, “Hampir aja itu kawan kau babak belur sama tukang ojek depan,”“Kok bisa?” Badi yang sedang membuka bungkusan nasi gila terhenti. Dia menatap Narendra tidak percaya. Sejak kembali, majikannya sibuk memamerkan nasi gila yang dibeli dengan menggunakan bayaran dari mengantar tetangga mereka.“Hah?! Tak tahu kau? Belum cerita dia? Tukang ojek marah karena dikira dia ojek bar uterus mau nyerobot antrean! Untuk ada aku! Kalau nggak… habis sudah dia!”“Makasih, Bang,” Narendra tersenyum, “It’s okay, Badi. Cuma salah paham dan tadi udah selesai dibantu Bang Ucok. Tenang aja.”“Tapi, Bos…”“Aku bilang nggak apa-apa,” Narendra sengaja menekan setiap kata yang diucapkan.Badi hanya mampu menghela napas panjang. Bukan perta
“Aku? Siapanya aku?”“Bah! Kenapa pula kau ngomong kayak aku?” Bang Ucok balik bertanya sebelum dia kembali menatap tajam, “Siapa kau sebenarnya?”Narendra mengernyitkan kening, “Rendra. Masa Abang lupa nama aku?”“Jangan bercanda, kau! Tahunya kau maksud aku. Tak mungkin pula kau dapat video-video itu kalau kau bukan siapa-siapa. Ngaku saja, hacker-nya kau ini?”“Mana mungkin Rendra ini hacker, Bang. Nggak punya tampang dia,” Badi berusaha membantu majikannya keluar dari kecurigaan tetangga mereka.“Macam ini lah tampang hacker itu. Bukan yang seram atau macam preman.”Badi terbahak, “Jadi maksud Ban Ucok, Rendra itu tampangnya culun?”Bang Ucok ikut tertawa berama Badi, “Bukan culun. Tapi yaa…macam itulah. Jadi kau ini hacker?”“Bukan, Bang,” Narendra berusaha terli
“Bah, hilang sudah selera makanku,” Bang Ucok mendorong piring makan di hadapannya.Bukan. Pria itu bukan cemburu melihat Narendra spontan merengkuh Agnia dan membiarkan gadis itu menangis di dadanya. Dia tahu kalau itu merupakan reaksi wajar. Semua orang pasti akan segera menawarkan sandaran ketika seseorang menangis. Mulutnya mendadak pahit karena selama mereka bertetangga tidak pernah sekalipun Agnia membiarkan dirinya menangis. Setidaknya sepanjang pengetahuan bang Ucok.Agnia selalu terlihat ceria dan penuh semangat. Sesekali gadis itu memang berkeluh kesah tentang pekerjaannya. Tetapi tidak lebih dari itu. Sangat berbanding terbalik dengan saat ini. Gadis itu membiarkan dirinya menunjukkan sisi terlemah di hadapan Narendra.“It’s okay,” Narendra mengusap punggung Agnia, “Nangis aja sepuas kamu.”Bang Ucok berdiri dan berjalan ke dapur untuk mengambilkan gadis itu segelas air.“Iya, nang