Sepanjang mengendarai motornya kembali ke kontrakan petak, Narendra tidak berhenti tersenyum. Hari ini sepertinya hari keberuntungannya. Tadi pagi Badi mengatakan kalau sudah menemukan lowongan pekerjaan yang bisa dicobanya kemudian motornya diantar dan baru saja dia menghasilkan uang.
Tidak banyak memang. Apa yang dihasilkannya dari mengantarkan tetangganya ke kampung sebelah bahkan tidak mampu membeli secangkir kopi yang biasa dikonsumsinya. Tetapi rasa senang yang dirasakan tidak jauh berbeda dengan perasaan ketika pertama kali berhasil mendapatkan $100.000 dari saham yang didapat sebagai hadiah ulang tahun kelima belasnya.
“Hei! Sini lo!”
Teriakan itu berhasil menghilangkan senyum dari bibir Narendra. Sesaat dia celingukan ke kiri dan kanan untuk memastikan kalau teriakan itu memang ditujukan kepadanya.
“Iya, lo! Yang helm putih! Sini, sini!”
“Berhenti, yoi! Minggir! Ke sini!” Seorang lain berteriak.
M
“Kawan macam mana kau itu,” Bang Ucok menikmati nasi gila yang baru saja dibelikan Narendra sesuai janjinya, “Hampir aja itu kawan kau babak belur sama tukang ojek depan,”“Kok bisa?” Badi yang sedang membuka bungkusan nasi gila terhenti. Dia menatap Narendra tidak percaya. Sejak kembali, majikannya sibuk memamerkan nasi gila yang dibeli dengan menggunakan bayaran dari mengantar tetangga mereka.“Hah?! Tak tahu kau? Belum cerita dia? Tukang ojek marah karena dikira dia ojek bar uterus mau nyerobot antrean! Untuk ada aku! Kalau nggak… habis sudah dia!”“Makasih, Bang,” Narendra tersenyum, “It’s okay, Badi. Cuma salah paham dan tadi udah selesai dibantu Bang Ucok. Tenang aja.”“Tapi, Bos…”“Aku bilang nggak apa-apa,” Narendra sengaja menekan setiap kata yang diucapkan.Badi hanya mampu menghela napas panjang. Bukan perta
“Aku? Siapanya aku?”“Bah! Kenapa pula kau ngomong kayak aku?” Bang Ucok balik bertanya sebelum dia kembali menatap tajam, “Siapa kau sebenarnya?”Narendra mengernyitkan kening, “Rendra. Masa Abang lupa nama aku?”“Jangan bercanda, kau! Tahunya kau maksud aku. Tak mungkin pula kau dapat video-video itu kalau kau bukan siapa-siapa. Ngaku saja, hacker-nya kau ini?”“Mana mungkin Rendra ini hacker, Bang. Nggak punya tampang dia,” Badi berusaha membantu majikannya keluar dari kecurigaan tetangga mereka.“Macam ini lah tampang hacker itu. Bukan yang seram atau macam preman.”Badi terbahak, “Jadi maksud Ban Ucok, Rendra itu tampangnya culun?”Bang Ucok ikut tertawa berama Badi, “Bukan culun. Tapi yaa…macam itulah. Jadi kau ini hacker?”“Bukan, Bang,” Narendra berusaha terli
“Bah, hilang sudah selera makanku,” Bang Ucok mendorong piring makan di hadapannya.Bukan. Pria itu bukan cemburu melihat Narendra spontan merengkuh Agnia dan membiarkan gadis itu menangis di dadanya. Dia tahu kalau itu merupakan reaksi wajar. Semua orang pasti akan segera menawarkan sandaran ketika seseorang menangis. Mulutnya mendadak pahit karena selama mereka bertetangga tidak pernah sekalipun Agnia membiarkan dirinya menangis. Setidaknya sepanjang pengetahuan bang Ucok.Agnia selalu terlihat ceria dan penuh semangat. Sesekali gadis itu memang berkeluh kesah tentang pekerjaannya. Tetapi tidak lebih dari itu. Sangat berbanding terbalik dengan saat ini. Gadis itu membiarkan dirinya menunjukkan sisi terlemah di hadapan Narendra.“It’s okay,” Narendra mengusap punggung Agnia, “Nangis aja sepuas kamu.”Bang Ucok berdiri dan berjalan ke dapur untuk mengambilkan gadis itu segelas air.“Iya, nang
“Gila sudah,” Bang Ucok menghabiskan potongan martabak terakhir sebelum membuka kotak martabak yang lain.Setelah Agnia selesai bercerita, mereka memutuskan untuk membeli beberapa kotak martabak. Itu upaya memperbaiki suasana hati Agnia. Tentu saja itu ide Badi. Pria itu tidak pernah merasa kenyang. Terlebih untuk martabak.“Jadi kau bilang dia sering lakuin itu dan semua orang nggak peduli?”“Bukan nggak peduli, lebih ke takut karena dia itu powerful banget,” Agnia mengigit sedikit potongan martabak kesekiannya. Setelah menghabiskan energy untuk menangis, dia kelaparan.“Separah itu?”Agnia mengangguk, “Dia itu salah satu produser terkenal. Terus royal banget. Cuma ya gitu kelakuannya. PK.”“PK itu apa?” Narendra membersihkan tangan dengan tisu.“Penjahat Kelamin,” Agnia menjawab, “Kerjaannya ngelecehin aktris mulu. Nggak tahu, deh, uda
Pelan Narendra membaring Agnia di tempat tidur. Entah sejak kapan gadis itu tertidur. Hari ini memang melelahkan untuknya. Hati-hati pria itu melepaskan cardigan yang dikenakan gadis itu sebelum menyelimutinya rapat. “Good night, Agnia.” Narendra mengusap pipi tetangga kontrakan petaknya. Ini bukan pertama kali Narendra dekat dengan seorang gadis. Tanya saja Badi jika tidak percaya. Tidak dapat dikatakan playboy tetapi dia cukup sering berganti pasangan. Ini karena dia tidak pernah ingin terikat dengan siapa pun. Menjadi seorang Widjaja merupakan anugerah sekaligus kutukan. Anugerah karena hidup dengan berbagai kemudahan dan kutukan karena ada banyak kewajiban yang harus dituntaskan. Sejak remaja dia sudah tahu walau orang tuanya tidak sekolot keluarga lain, mereka tetap menginginkan seorang menantu dengan latar belakang yang sama atau setidaknay menguntungkan keluarga Widjaja. Tidak ingin berdrama atau menghabiskan energi, Narendra
“Waaah…pagi-pagi udah rapi. Ada acara apa, nih?” Agnia sudah terlihat cantik sepagi ini, “Aku bawain bubur buat kalian.”“Kalian itu siapa?” Narenda memperbaiki kerah kemejanya.Sejak pertama mengenakan kemeja ini dia sudah ingin melepasnya. Bahannya tidak nyaman. Membuat kulitnya gatal dan sedikit panas. Tapi mengingat Badi yang secara khusus mengingatkan dia untuk mengenakan kemeja ini bukan kemeja putih lain yang dimilikinya, Narendra tidak memiliki pilihan.“Kamu, Badi sama Bang Ucok,” Agnia menghempaskan pantatnya di sofa, “Aku udah chat mereka. Paling bentar lagi ke sini.”“Lama-lama kontrakan aku udah kayak basecamp, ya?”“Nggak suka?”“Bukan nggak suka, “Narendra mengusap lengannya yang gatal karena bahan kemeja.“Kemeja kamu yang malam itu mana? Kenapa nggak pakai itu aja?”“Yang mana?&rdquo
“Udah siap?”Berbeda dengan Badi, ini pengalaman interview kerja pertama Narendra. Dia berpikir dengan pengalaman melakukan interview, dia akan baik-baik saja. Sejak remaja, Sang ayah membiarkan Narendra untuk memilih dan melakukan interview kepada seluruh pegawai terdekatnya seperti asisten rumah tangga, tutor bahasa asing, juga bodyguard.Dia salah.Sedetik setelah memarkirkan motornya pada tempat yang sudah disediakan, dia merasakan tangannya basah oleh keringat. Terlalu gugup. Terlalu bingung. Narendra merasa seperti seorang pendekar yang terpaksa melucuti seluruh senjatanya dan masuk ke daerah musuh tanpa memiliki informasi apa pun.“Nggak bakalan pernah siap.”“Batal aja?”Narendra menoleh kemudian tersenyum sinis, “Itu pertanyaan untuk seorang Widjaja?”Badi hanya tertawa, “Ayo! Pilihannya cuma dihadapi, kan?”Mereka berdua masuk ke ruko lima lantai yan
“Siang, Jo,” sapaan itu mengejutkan Jonathan yang sedang menggelinjang menikmati steak di salah satu restoran terbaik di Ibu kota.Pria yang berusia sekitar tiga puluh tahunan itu refleks mendongak untuk mencari tahu siapa yang menyapa. Dia tidak memiliki janji temu dengan siapa pun. Selain itu kecil kemungkinan dia akan bertemu dengan kenalannya di sini.Restoran ini terlalu mewah untuk lingkungannya. Termasuk dia. Tetapi sebelum sekali Jonathan akan menghamburkan uang di sini. Reward setelah berhasil bertahan selama satu bulan menjalani pekerjaan yang tidak diinginkannya, meneruskan usaha orang tua.Kerutan di keningnya semakin dalam ketika melihat sosok yang menyapanya. Dia berusaha menggali ingatan tetapi tidak menemukan jawaban. Siapa pria yang terlihat sangat mengintimidasi ini? Salah satu penerus konglomerasi, kah? Tapi…siapa yang mengenalnya?“Sabda Narendra Widjaja,” pria itu menarik kursi dan deng