“Waaah…pagi-pagi udah rapi. Ada acara apa, nih?” Agnia sudah terlihat cantik sepagi ini, “Aku bawain bubur buat kalian.”
“Kalian itu siapa?” Narenda memperbaiki kerah kemejanya.
Sejak pertama mengenakan kemeja ini dia sudah ingin melepasnya. Bahannya tidak nyaman. Membuat kulitnya gatal dan sedikit panas. Tapi mengingat Badi yang secara khusus mengingatkan dia untuk mengenakan kemeja ini bukan kemeja putih lain yang dimilikinya, Narendra tidak memiliki pilihan.
“Kamu, Badi sama Bang Ucok,” Agnia menghempaskan pantatnya di sofa, “Aku udah chat mereka. Paling bentar lagi ke sini.”
“Lama-lama kontrakan aku udah kayak basecamp, ya?”
“Nggak suka?”
“Bukan nggak suka, “Narendra mengusap lengannya yang gatal karena bahan kemeja.
“Kemeja kamu yang malam itu mana? Kenapa nggak pakai itu aja?”
“Yang mana?&rdquo
“Udah siap?”Berbeda dengan Badi, ini pengalaman interview kerja pertama Narendra. Dia berpikir dengan pengalaman melakukan interview, dia akan baik-baik saja. Sejak remaja, Sang ayah membiarkan Narendra untuk memilih dan melakukan interview kepada seluruh pegawai terdekatnya seperti asisten rumah tangga, tutor bahasa asing, juga bodyguard.Dia salah.Sedetik setelah memarkirkan motornya pada tempat yang sudah disediakan, dia merasakan tangannya basah oleh keringat. Terlalu gugup. Terlalu bingung. Narendra merasa seperti seorang pendekar yang terpaksa melucuti seluruh senjatanya dan masuk ke daerah musuh tanpa memiliki informasi apa pun.“Nggak bakalan pernah siap.”“Batal aja?”Narendra menoleh kemudian tersenyum sinis, “Itu pertanyaan untuk seorang Widjaja?”Badi hanya tertawa, “Ayo! Pilihannya cuma dihadapi, kan?”Mereka berdua masuk ke ruko lima lantai yan
“Siang, Jo,” sapaan itu mengejutkan Jonathan yang sedang menggelinjang menikmati steak di salah satu restoran terbaik di Ibu kota.Pria yang berusia sekitar tiga puluh tahunan itu refleks mendongak untuk mencari tahu siapa yang menyapa. Dia tidak memiliki janji temu dengan siapa pun. Selain itu kecil kemungkinan dia akan bertemu dengan kenalannya di sini.Restoran ini terlalu mewah untuk lingkungannya. Termasuk dia. Tetapi sebelum sekali Jonathan akan menghamburkan uang di sini. Reward setelah berhasil bertahan selama satu bulan menjalani pekerjaan yang tidak diinginkannya, meneruskan usaha orang tua.Kerutan di keningnya semakin dalam ketika melihat sosok yang menyapanya. Dia berusaha menggali ingatan tetapi tidak menemukan jawaban. Siapa pria yang terlihat sangat mengintimidasi ini? Salah satu penerus konglomerasi, kah? Tapi…siapa yang mengenalnya?“Sabda Narendra Widjaja,” pria itu menarik kursi dan deng
“Lho, Bapak, kok udah balik?”Resepsionis yang sama dengan yang tadi pagi menyambut Narendra sergera berdiri dan menyapa Jonathan. Gadis muda itu sempat melirik Narendra tetapi sepertinya dia tidak mengenali Narendra sebagai sosok yang sama dengan salah seorang pelamar pekerja tadi pagi.Setelah meninggalkan kantor percetakan ini, Narendra dan Badi menuju salah satu apartemen pribadi Narendra. Sesampai di apartemen, pria itu segera melepas kemeja yang membuat kulitnya gatal kemudian segera mandi dan berganti pakaian.Tidak ingin terlalu menonjol, Narendra memutuskan untuk mengenakan kemeja biru polos dengan lengan dilipat sebatas siku dipadu celana chino dan sepasang loafer. Kacamata yang selalu dikenakan selama di kontrakan petak tergantung di saku kemeja.Narendra juga menata rambutnya. Jika biasa dia membiarkan rambutnya berantakan kali ini dia memastikan rambutnya tertata rapi. Hanya dengan beberapa perbedaan, Narendra kembali men
“Kusut banget, tuh, muka?” Agnia tertawa kecil ketika melihat Narendra turun dari motornya, “Gagal interviewnya?”“Kelihatan banget, ya?”Agnia mengangguk, “Kalau berhasil muka kamu nggak bakalan kusut gitu.”“Yaaa…gitu, deh,” Narendra menyimpan helm, “Kamu tumben udah pulang jam segini.”“Memang nggak ke mana-mana seharian. Nungguin kamu.”“Nungguin aku?” dia mengernyitkan kening bingung, “Memangnya kita janjian?”“Nggak, sih,” Agnia tertawa, “Aku bosen aja. Kirain kamu sama Badi begitu selesai interview langsung balik. Mau ngajak makan bakso. Aku pernah janji, kan?”“Boleh. Mau sekarang? Atau udah nggak pengin?”“Maaau! Kapan aja juga ayo, sih, kalau bakso,” gadis itu memamerkan senyumnya, “Aku ganti baju sebentar, ya?”Narendra mengangguk.
“Aku pesenin yang baru aja, ya?”Awalnya Agnia merasa lucu melihat Narendra yang berusaha menghabiskan baksonya walau dia kepedasan. Tetapi sekarang dia khawatir. Narendra tidak terlihat baik-baik saja. Bulir keringat memenuhi dahi pria itu sementara bibirnya memerah. Mata dan hidungnya juga berair.“Nggak usah,” suaranya terdengar sengau, “Inia ja.”“Tapi kamu kepedesan, lho!”Karena keisengan Agnia, pria itu menambah banyak saos dan sambal dalam baksonya. Agnia sempat mencicipinya, pedas walau masih kurang untuk dia yang memang pecinta pedas.“Pedas tapi enak,” dia tersenyum untuk menenangkan Agnia, “Hhh…”“Tuh, kepedesan, kan! Aku pesenin yang baru aja.”Agnia baru akan melambaikan tangan ketika Narendra menahan dengan menggenggam tangannya. Gadis itu segera menurunkan tangan. Dia tidak dapat menutupi keterkejutannya.“Ke…
“Yeaaay!” Agnia melempar kedua tangannya ke atas.Saat ini gadis itu terlihat seperti anak kecil. Sejak tadi dia tidak berhenti bersenandung dan sesekali merentangkan tangan untuk merasakan angin melewati sela jarinya. Walau bingung kenapa gadis itu bisa begitu bahagia hanya karena hal sederhana, Narendra membiarkannya.“Eh, di depan nanti belok ke kanan terus …”Narendra tidak menanyakan tujuan mereka. Dia mengikuti arahan gadis itu tanpa mengucapkan apa-apa. Malam ini memang milik Agnia. Lagi pula melakukan ini membuatnya melupakan apa yang terjadi tadi siang.“Rendra, kamu lihat hotel itu?” Dia segera melanjutkan ucapan setelah melihat anggukan Narendra, “Aku selalu penasaran apa rasanya nginap di suite hotel mewah kayak gitu.”“Memangnya kenapa?”Hampir saja Narendra berucap kalau tidak ada yang istimewa menginap di sana. Dia sudah berulang kali menginap di sana dan rasan
“Maaak! Lama kalinya kalian balik. Ke mana dulu?” Suara Bang Ucok yang menggelegar seketika menyapa Narendra dan Agnia ketika memasuki halaman kontrakan petak.“Kita terpaksa beli martabak lagi akrena yang sebelumnya udah habis,” Badi menunjuk dua kotak kosong martabak manis, “Sorry, Bos, kita numpang ngadem.”Narendra memarkir motornya sambil tertawa kecil, “Makanya pasang AC.”“Nggak mampu aku bayar listriknya! Sayang pula, seharian kutinggal itu kontrakan,” Bang Ucok terbahak, “Untung tetangga aku ini baik hatinya!:“Ini pesta martabak ngerayain apaan?” Agnia bergabung dengan Bang Ucok dan Badi di ruang tamu kontrakan petak Narendra.“Bukan perayaan. Ini untuk nyemangatin Rendra sama Badi. Gagalnya kalian tadi?”“Tahu dari mana, Bang? Badi yang cerita?”“Tak usah dikasih tahu, tahunya aku! Manalah ada yang langsung b
“Jadi, kenapa?” Narendra berpaling dan menatap Abimana yang duduk di belakang kemudi.Berbeda dengan Narendra yang lebih senang menggunakan supir pribadi atau meminta Badi untuk menyetir, Abimana hampir selalu menyetir sendiri kecuali ketika pria itu terlalu lelah karena lembur atau jetlag ketika baru kembali dari luar negeri.Abimana menatap lurus ke depan. Dia seakan sedang memperhatikan para pekerja pelabuhan yang sibuk melakukan bongkar muat kapan berukuran raksasa. Tidak ada yang peduli kalau ini masih dini hari, ada tenggat waktu yang harus dikejar. Dan tidak ada yang menyadari kehadiran Porsche Cayman hitam milik Abimana. Ini lokasi favorit mereka setiap kali ingin membicarakan sesuatu yang sensitif dan tidak boleh bocor ke pihak lain.“Bi, kamu ngajak aku ke sini bukan tanpa alasan, kan? Ada apa?”Hanya terdengar hembusan napas panjang. Abimana masih membisu.“Oke,” Narendra menurunkan sand