Turun dari taksi daring di lobi salah satu hotel termewah ibukota, Narendra melangkah dengan penuh percaya diri. Petugas keamanan terlihat gentar untuk bertanya, begitu juga dengan concierge hotel. Ini adalah taman bermain yang sudah dikenal baik oleh putra bungsu keluarga Widjaja.
Di sini anggukan dan senyuman Narendra serupa dengan kartu akses. Tidak aneh, seluruh pegawai hotel-hotel mewah di negara ini bahkan negara tetangga diwajibkan menghapal wajah seluruh anggota keluarga Widjaja. Mereka adalah tamu istimewa di atas istimewa.
“Tuan Sabda,” salah seorang manajer hotel mengimbangi jalan Narendra, “Acara keluarga Widjaja ada di ballroom. Mari saya antar.”
“Ballroom?” Narendra menaikan sebelah alis, “Bukannya cuma makan malam?”
“Benar. Tapi permintaan Nyonya Widjaja di ballroom. Agar lebih santai.”
Narendra mengangguk, “Saya tahu ballroom
“Kak Narendraa..!” Pintu ballroom terbuka disusul dengan sebuah teriakan.Seluruh pandangan segera tertuju ke sosok cantik yang baru saja memasuki ballroom. Pandangan terkejut dengan cepat berubah menjadi senyum dan tawa ketika menyadari siapa sosok cantik itu.Calya Gayatri Widjaja.Narendra merupakan putra bungsu keluarga Widjaja, dan Calya adalah putri bungsu dan kesayangan seluruh keluarga Widjaja. Gadis yang baru saja berulang tahun kedua puluh beberapa waktu lalu bisa dibilang sangat berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain. Gadis itu seakan hidup dalam bubble, begitu riang dan ekspresif.“Ya, Sayang?” Narendra berdiri kemudian merentangkan tangan seakan mempersilakan Calya untuk memeluk.Tidak perlu menunggu lama, Calya segera memeluk kakaknya, “Kangeeen!!”Rajasena yang ada di samping Narendra tertawa geli, “Kangennya sama Narendra doang?”“Iya
“Sissy, do you prepare any gift?” Narendra bertanya ketika melihat para saudara berlomba memberikan kado ulang tahun pernikahan untuk Asija dan Reinya Widjaja. Rajasena dan Bima sudah pulang selesai menikmati makan malam. Menyisakan Narendra dan Calya bersama para saudara yang agresifnya tidak ada beda dengan keagresifan hiu ketika mengendus darah. Mereka berlomba memberikan perhatian kepada anggota keluarga inti Widjaja. “Nggak,” Calya dengan merengut menghabiskan jus jeruknya, “Kenapa, sih, aku nggak boleh minum wine?” “Kamu masih di bawah umur, ya,” Narendra terkekeh pelan, “Nanti di suite aja. Tapi pastiin kamu kunci pintu dan besok check out…” “Setelah pikiranku jernih,” Calya memotong ucapan Narendra, “Aku udah hapal. Kamu sama Kak Bima selalu ngulang-ngulang kalimat itu. Sampai aku bosan.” Narendra kembali terkekeh, “Masih lama nggak, sih? Aku bosan.” “Apalagi aku. Nggak ada seru-seru
“Dra,” Agnia mengetuk pintu kontrakan petak tetangganya, “Rendra, Dra. Bangun, dong. Bukain pintunya, banyak nyamuk, nih.”Masih belum ada sahutan dari Narendra.“Dra,” kali ini dia mengetuk dengan lebih kuat, “Rendraaa.”Hampir lima menit Agnia mengetuk pintu kontrakan petak Narendra sebelum terdengar sahutan parau khas orang baru bangun tidur.“Sebentar…”“Buruan, Dra! Udah dari tadi, nih, aku,” Agnia berujar tidak sabar.“Iya, iya,” jawaban itu bersamaan dengan bunyi kunci diputar, “Ada apa? Ini jam berapa?”“Nggak tahu. Jam enam mungkin,” Agnia menjawab asal lalu tanpa sungkan masuk ke kontrakan petak tetangganya, “Aku bawain hobakjuk, nih.”“Hm,” Narendra hanya bergumam tidak jelas, “Aku cuci muka dulu.”“Jangan lama-lama! Nanti keburu dingin.”Tanp
“Tumben kali kau udah bangun!” Tanpa diundang Bang Ucok sudah nongol di depan pintu kontrakan petak Narendra. Tanpa menunggu dipersilakan, pria berbadan besar itu segera masuk dan bergabung dengan Narendra dan Agnia yang masih menikmati hobakjuk di meja makan.”“Pantes, ya! Ada Agnia rupanya,” Bang Ucok duduk di samping Narendra, “Makan apa kalian?”“Ini…”Belum selesai Narendra berucap, mangkuk yang ada di hadapannya dan baru dinikmati beberapa suapan sudah berpindah posisi, “Oh, ini hoba-hoba itu, kan? Pas kali. Suka aku ini. Udah lama juga kau nggak buat ini. Rindu kali aku!”Agnia tersenyum, “Bang, itu punya Rendra.”“Nggak apa. Ikhlas itu dia,” satu suapan besar masuk ke mulutnya.“Rendra belum sempat makan, lho, Bang,” Agnia masih berusaha membujuk Bang Ucok untuk mengembalikan mangkuk itu kepada Narendra. Dia merasa tidak enak
“Ngomongin apa kau sama Agnia?” Bang Ucok menyantap bubur ayam yang dibelikan Badi untuk Narendra.Setelah mereka menghabiskan hobakju buatannya dan mengobrol santai selama beberapa waktu, Agnia memutuskan untuk kembali ke kontrakan petaknya. Setelah sebagian beban terangkat dari pikiran akhirnya kantuk hadir.“Masih belum kenyang, Bang?” Narendra menandaskan kopi buatan Agnia yang masih tersisa di cangkirnya.“Ah, kau ini,” lagi Bang Ucok menikmati satu suapan besar bubur ayam, “Kalau ada makanan tak boleh dibuang-buang. Ini kalau bukan aku siapa yang bakal ngabisin? Mana mungkin kau. Si Badi pun tak mungkin.”“Kata Mamak aku, makanan itu hadiah dari bumi buat kita. Dosa kalau dibuang-buang.”“Memangnya belum kenyang, Bang?” Pria itu masih penasaran karena Bang Ucok terlihat sangat menikmati buburnya padahal pria itu sudah menghabiskan semangkuk hobakju buatan Agnia.&l
“Bos, beneran mau nyari kerja?” “Beneran!” Narendra yang sedang sibuk di depan laptop segera menutup laptop. Tidak peduli ada laporan yang menunggu untuk dibaca. Setelah menghabiskan bubur, Bang Ucok kembali ke kontrakan petaknya untuk bersiap-siap. Apa pun yang terjadi dia adalah budak korporat yang harus tetap bekerja. Mereka berjanji nanti malam akan kembali berkumpul untuk membahas permasalahan Agnia. Gadis itu memang tidak meminta batuan mereka, tetapi sebagai tetangga yang baik, mereka siap membantu. “Ya udah. Kalau gitu kita cari kemeja putih dulu.” “Kalau cuma kemeja aku punya.” “Bos, mana ada yang nyari kerja pakai kemeja mahal kayak gitu? Sekali lihat orang juga tahu kalau kemeja Bos itu harganya nggak masuk akal.” “Nggak masuk akal? Aku udah pilih. Aku bawa yang harganya sekitar lima jutaan aja.” Detik itu rasanya Badi ingin menoyor Narendra. Kalau saja dia bukan majikannya, pasti Badi tanpa sungkan meno
“Nah ini! Lima puluh ribu dapat tiga. Bagus, bagus, bisa pilih motif dan warna!” Seorang penjual berteriak nyaring sambil melambai celana pendek jualannya.“Daster cantik, cocok buat baju rumah. Adem dan bikin suami tambah cinta,” penjual yang lain berteriak tidak kalah nyaring walau ditingkahi dengan kegenitan.“Mijon, mijon, pokari, akua, semua dingin Yang harus ini ada mijon…” penjual minuman tidak ingin kalah saing dalam berteriak menarik perhatian pengunjung pasar kaget.Narendra yang baru saja tiba bersama Badi sama sekali tidak berusaha menutupi kebingungannya. Eh, bukan. Dia bukan bingung. Dibandingkan bingung. Pria itu jauh lebih terkejut dengan apa yang dilihatnya.Sebuah lahan yang cukup luas penuh dengan penjual yang membuka lapak bermodalkan terpal sebagai alas dan saling berteriak menjajakan jualannya. Yang lebih mengejutkan, pengunjung lain terlihat tidak ada masalah dengan hal itu. Mereka nyaman b
Sepulang dari Pasar Kaget dan setelah selesai memeriksa laporan yang dikirimkan oleh Abimana, Narendra memutuskan untuk bersantai di teras kontrakan petaknya. Bang Ucok tentu masih di kantor, Agnia sudah pergi sejak tadi katanya ada pemotretan sementara Badi sudah kembali ke kontrakannya. Biasanya pria itu akan muncul menjelang jam makan siang untuk bertanya apa yang ingin disantap oleh majikannya.Narendra berbaring di dipan bambu. Ketika pertama kali mencoba dia merasakan punggungnya sakit tetapi sekarang dia sudah terbiasa. Dia memperhatikan langit walau pikirannya berkelana tak tentu arah.Sejak tadi pikirannya sibuk mencerna ucapan Badi tentang nilai uang. Betapa jauh bedanya arti Rp65.000 bagi Narendra dan orang di sekitar kontrakan petak ini. Sebelum ini, Rp65.000 tidak berarti banyak untuknya. Uang segitu hanya mampu membeli dua botol air mineral yang biasa dikonsumsinya. Sementara untuk masyarakat sekitar sini, uang segitu cukup untuk makan seharian.Ti