Sesampai di kontrakan petak, Narendra kembali memastikan Agnia baik-baik saja dan menunggu hingga gadis itu masuk ke kontrakan petaknya sebelum dia memasukan motor dan bersiap untuk bersih-bersih.
Setelah menggantung jaket dan menyimpan kunci, pria itu ke dapur untuk mengambil air minum dan mengecek apa yang dimilikinya untuk makan malam. Melihat tidak ada yang dapat dimakan, dengan cekatan dia menghubungi Badi, meminta untuk dibelikan makan malam. Dia tidak memiliki rencana untuk keluar lagi.
Hari yang melelahkan. Tidak hanya untuk Agnia tetapi juga baginya. Dia menyelesaikan banyak pekerjaan, Kesal karena dokumen yang diberikan bawahannya jauh dari standar yang diterapkannya. Ditutup perseteruan dengan fotografer tidak penting itu. Lengkap.
Sambil menunggu balasan Badi, dia menelepon tangan kanannya.
“Ya, Dra? Udah kangen aja lo sama gue?” Abimana menerima panggilannya dengan riang.
“Kampret,” mau tidak mau Narendra tertaw
“Macam mana hasilnya?” Bang Ucok yang duduk di teras kontrakan petak Narendra langsung berdiri melihat motor Narendra memasuki halaman.“Iya, gimana? Langsung ada hasilnya?” Agnia yang sepertinya baru pulang juga ikut bertanya penasaran.Narendra tertawa kecil dari balik helmnya. Tidak langsung menjawab, pria itu memarkirkan motornya dengan rapi, mematikan mesin kemudian turun setelah Badi dan melepaskan helm yang dikenakannya. Setelah menyimpan helm di rak, dia duduk di dinding depan teras yang tidak terlalu tinggi.“Belum ada hasilnya,” dia melepaskan sepatu dan kaos kaki.“Katanya tiga hari lagi dikabarin, “ Badi duduk di samping Bang Ucok.“Hah! Lama kali! Tak bisa langsun saja begitu?!”Agnia tertawa kecil, “Kan, ada prosesnya. Kalau disuruh tunggu tiga kali ya udah, kita tunggu aja. Lagian tiga hari, kan, nggak lama.”“Kamu udah balik? Bagaimana hari i
“Aku pinjam itu motor kau sebentar, ya?” Bang Ucok mengembalikan ponsel Agnia, “Pesta martabak lagi kita malam ini. Lapar kata kau tadi, iya, kan?”“Lapar, Bang,” Narendra memberikan kunci motor, “Tapi aku nitip makanan lain, boleh?”“Bos mau makan apa?” Badi langsung berdiri, “Bang, sama aku perginya, ya? Tapi Abang yang nyetir. Aku nggak bisa nyetir motor.”“Macam mana pula laki tak bisa bawa motor!” Bang Ucok terbelalak kaget.“Bisa, Bang. Cuma pernah tabrakan jadi trauma.”“Halah, tak ada itu trauma-trauma. Kapan-kapan kuajarin kau. Jamin bisa!” Bang Ucok menghampiri motor, “Kalian berdua, awas kalau aneh-aneh,” pria itu menunjuk Narendra dan Agnia bergantian.“Aneh-aneh gimana, sih, Bang?” Agnia tertawa geli, “Habis ini paling aku mau mandi dulu. Gerah banget seharian di luar.”“Sam
Bang Ucok terkantuk-kantuk di depan laptopnya yang terbuka. Seharusnya dia memeriksa laporan yang dikirimkan oleh bawahannya tetapi karena semalam dia dan para tetangga kontrakan petaknya terlalu bersemangat, mereka baru tertidur diri hari. Dia lupa kalau di antara mereka berempat hanya dia yang memiliki jam kerja normal, harus berangkat pagi hari. “Bang,” Amelia, salah seorang juniornya di kantor menyapa sambil membawa dua cangkir minuman, “Bang Ucok, tidur?” “He? Mana mungkinnya aku tidur! Tak ada ceritanya Ucok ketiduran di jam kerja,” matanya langsung membulat sempurna. Kantuk yang sejak tadi memberati mata hilang entah ke mana. Tidak ada yang tahu kalau Bang Ucok tidak pernah benar-benar serius mengatakan kalau dia naksir Agnia. Untuknya tetangga kontrakan petaknya itu adalah seorang adik perempuan yang tidak pernah dimilikinya. Sejak pertama berkenalan dengan Agnia, dia sudah ingin melindungi gadis itu. Agnia persis seperti anak kucing yang send
Kembali dari pertemuan itu, Bang Ucok langsung ke ruangannya. Dia tidak melakukan apa-apa selain menatap layar laptop. Di kepalanya dia masih terus bertanya apa yang baru saja terjadi dan siapa Narendra sesungguhnya.Sudah lama dia menyimpan kecurigaan terhadap tetangganya. Bukan kecurigaan kalau tetangganya itu jahat atau sebagainya, tetapi Bang Ucok curiga kalau tetangganya itu tidak menceritakan tentang latar belakangnya dengan jujur.Beberapa kali dia menemukan kejanggalan. Seperti cara berbicara, cara bersikap dan hal lainnya. Pria itu memiliki postuh tubuh sempurna seakan dia dibesarkan dalam lingkungan elegan dan berjelas. Ketidaktauannya mengenai makanan dan beberapa jal umum juga aneh. Mana mungkin ada orang yang tidak tahu bentuk martabak manis?!Dia sudah pernah bertanya tetapi Narendra selalu memiliki jawaban atau mengalihkan pembicaraan dengan pintar. Bang Ucok juga tidak bisa memaksa karena dia tidak memiliki bukti kuat untuk memaksanya mengaku.
“Bang,” tiba-tiba Amelia sudah berdiri di samping Bang Ucok yang sedang menunggu lift, “Mau pulang?”“Iya. Mau ke mananya lagi aku?” Bang Ucok tertawa untuk menutupi salah tingkahnya.“Temenin aku belanja sebentar, dong,” Amelia memamerkan senyumannya.“HE? Mau belanja apa kau?”Bang Ucok tidak pernah menduga ajakan ini. Dia memang dapat dikatakan dekat dengan Amelia. Gadis itu sering bercerita tentang keluarganya, sesekali mereka juga keluar untuk makan sepulang kerja tetapi tidak pernah hanya berdua.Hari ini benar-benar aneh. Mulai dari panggilan tetapi meeting mendadak dibatalkan kemudian Amelia yang memasakkan makan siang dan sekarang… ini. Ada apa sebenarnya? Dia merasa seseorang sedang mengisenginya. Tentu itu tidak mungkin, bukan?“Belanja barang dapur sama shampoo gitu-gitu. Mau, ya? Nggak lama, kok.”Bang Ucok mengangguk, “Ya udah,
“Bang, tumben malam pulangnya? Aku tunggu dari tadi mau ajak beli sate di depan,” Narendra sedang bersantai di teras kontrakan petaknya bersama Badi yang sibuk berlatih gitar.Sejak beberapa hari yang lalu, Badi seperti tergila-gila pada gitar. Setiap ada waktu luang, dia selalu sibuk berlatih. Tidak peduli walau yang lain merasa terganggu karena kemampuannya yang masih di bawah rata-rata.“Biasanya aku pulang jam segini,” Bang Ucok berbelok ke kontrakan petak Narendra, “Biasanya juga aku pulang jam segini. Lupanya aku sering lembur?”“Benar juga,” Narendra memperbaiki duduk, memberikan ruang bagi Bang Ucok, “Sudah makan malam, Bang?”Bang Ucok mengangguk, “Udah. Tadi sama teman. Sekalian belanja bulanan. Kau lihat ini belanjaanku.”“Borong, Bang?” Badi yang bertanya, “Ada camilan nggak? Laper banget. Dari tadi nungguin Bang Ucok pulang.”“K
Narendra menguap bosan. Hari baru menjelang pukul sepuluh dan dia sudah menyelesaikan pekerjaan yang dikirimkan oleh Abimana. Tangan kanannya itu masih berisik memintanya untuk datang ke kantor tetapi tidak diacuhkan olehnya. Malas, tidak ada yang penting di kantor.Tidak tahu harus melakukan apa, dia membuka YouTube kemudian memilih untuk menonton video-video kucing. Melihat kelakukan lucu hewan kecil itu selalu berhasil membuatnya merasa hangat walau tidak berhasil mengusir rasa bosannya.“Bos, hari ini ada rencana apa?” Tanpa mengetuk, Badi masuk ke kontrakan petak Narendra.“Nggak ada,” Narendra fokus menatap langit-langit, “Aku nggak tahu mau ngapain. Bosan.”“Gimana kalau kita cobain makanan yang belum pernah Bos coba? Atau…hm, ngelakuin apa yang belum pernah Bos lakuin gitu?”“Apa? Ngelakuin apa?” Saat ini Narendra tidak ada bedanya dengan anak kecil yang merengek kebosanan.
“Hai, Agnia,” Narendra menyapa sambil tersenyum konyol, “Baru bangun?”Gadis itu mengangguk. Tanpa berucap sepatah kata pun, dia masuk dan menduduki sofa kosong.“Suntuk banget? Sudah sarapan?”“Belum,” gadis itu menatap ujung jari kakinya.“Mau aku buatin?”Setelah sebulan lebih menghuni kontrakan petak, Narendra akhirnya berhasil membuat roti bakar, telur orak-arik dan tomat yang dipanggang dengan menggunakan wajan anti lengket. Sejak itu dia sering membuat hidangan itu untuk sarapan. Agnia sudah pernah mencicipnya dan dia menyukai masakan pria itu.Agnia menggeleng dengan lesu.“Kamu kenapa, hm?” Narendra mengubah posisi duduk kemudian memperhatikan Agnia yang masih diam sambil menatap ujung jari kakinya.“Aku buatin sarapan. Selesai makan baru cerita, ya? Mau?”Gadis itu bergeming.Narendra tidak menunggu jawaban Agnia. D