“Aku pinjam itu motor kau sebentar, ya?” Bang Ucok mengembalikan ponsel Agnia, “Pesta martabak lagi kita malam ini. Lapar kata kau tadi, iya, kan?”
“Lapar, Bang,” Narendra memberikan kunci motor, “Tapi aku nitip makanan lain, boleh?”
“Bos mau makan apa?” Badi langsung berdiri, “Bang, sama aku perginya, ya? Tapi Abang yang nyetir. Aku nggak bisa nyetir motor.”
“Macam mana pula laki tak bisa bawa motor!” Bang Ucok terbelalak kaget.
“Bisa, Bang. Cuma pernah tabrakan jadi trauma.”
“Halah, tak ada itu trauma-trauma. Kapan-kapan kuajarin kau. Jamin bisa!” Bang Ucok menghampiri motor, “Kalian berdua, awas kalau aneh-aneh,” pria itu menunjuk Narendra dan Agnia bergantian.
“Aneh-aneh gimana, sih, Bang?” Agnia tertawa geli, “Habis ini paling aku mau mandi dulu. Gerah banget seharian di luar.”
“Sam
Bang Ucok terkantuk-kantuk di depan laptopnya yang terbuka. Seharusnya dia memeriksa laporan yang dikirimkan oleh bawahannya tetapi karena semalam dia dan para tetangga kontrakan petaknya terlalu bersemangat, mereka baru tertidur diri hari. Dia lupa kalau di antara mereka berempat hanya dia yang memiliki jam kerja normal, harus berangkat pagi hari. “Bang,” Amelia, salah seorang juniornya di kantor menyapa sambil membawa dua cangkir minuman, “Bang Ucok, tidur?” “He? Mana mungkinnya aku tidur! Tak ada ceritanya Ucok ketiduran di jam kerja,” matanya langsung membulat sempurna. Kantuk yang sejak tadi memberati mata hilang entah ke mana. Tidak ada yang tahu kalau Bang Ucok tidak pernah benar-benar serius mengatakan kalau dia naksir Agnia. Untuknya tetangga kontrakan petaknya itu adalah seorang adik perempuan yang tidak pernah dimilikinya. Sejak pertama berkenalan dengan Agnia, dia sudah ingin melindungi gadis itu. Agnia persis seperti anak kucing yang send
Kembali dari pertemuan itu, Bang Ucok langsung ke ruangannya. Dia tidak melakukan apa-apa selain menatap layar laptop. Di kepalanya dia masih terus bertanya apa yang baru saja terjadi dan siapa Narendra sesungguhnya.Sudah lama dia menyimpan kecurigaan terhadap tetangganya. Bukan kecurigaan kalau tetangganya itu jahat atau sebagainya, tetapi Bang Ucok curiga kalau tetangganya itu tidak menceritakan tentang latar belakangnya dengan jujur.Beberapa kali dia menemukan kejanggalan. Seperti cara berbicara, cara bersikap dan hal lainnya. Pria itu memiliki postuh tubuh sempurna seakan dia dibesarkan dalam lingkungan elegan dan berjelas. Ketidaktauannya mengenai makanan dan beberapa jal umum juga aneh. Mana mungkin ada orang yang tidak tahu bentuk martabak manis?!Dia sudah pernah bertanya tetapi Narendra selalu memiliki jawaban atau mengalihkan pembicaraan dengan pintar. Bang Ucok juga tidak bisa memaksa karena dia tidak memiliki bukti kuat untuk memaksanya mengaku.
“Bang,” tiba-tiba Amelia sudah berdiri di samping Bang Ucok yang sedang menunggu lift, “Mau pulang?”“Iya. Mau ke mananya lagi aku?” Bang Ucok tertawa untuk menutupi salah tingkahnya.“Temenin aku belanja sebentar, dong,” Amelia memamerkan senyumannya.“HE? Mau belanja apa kau?”Bang Ucok tidak pernah menduga ajakan ini. Dia memang dapat dikatakan dekat dengan Amelia. Gadis itu sering bercerita tentang keluarganya, sesekali mereka juga keluar untuk makan sepulang kerja tetapi tidak pernah hanya berdua.Hari ini benar-benar aneh. Mulai dari panggilan tetapi meeting mendadak dibatalkan kemudian Amelia yang memasakkan makan siang dan sekarang… ini. Ada apa sebenarnya? Dia merasa seseorang sedang mengisenginya. Tentu itu tidak mungkin, bukan?“Belanja barang dapur sama shampoo gitu-gitu. Mau, ya? Nggak lama, kok.”Bang Ucok mengangguk, “Ya udah,
“Bang, tumben malam pulangnya? Aku tunggu dari tadi mau ajak beli sate di depan,” Narendra sedang bersantai di teras kontrakan petaknya bersama Badi yang sibuk berlatih gitar.Sejak beberapa hari yang lalu, Badi seperti tergila-gila pada gitar. Setiap ada waktu luang, dia selalu sibuk berlatih. Tidak peduli walau yang lain merasa terganggu karena kemampuannya yang masih di bawah rata-rata.“Biasanya aku pulang jam segini,” Bang Ucok berbelok ke kontrakan petak Narendra, “Biasanya juga aku pulang jam segini. Lupanya aku sering lembur?”“Benar juga,” Narendra memperbaiki duduk, memberikan ruang bagi Bang Ucok, “Sudah makan malam, Bang?”Bang Ucok mengangguk, “Udah. Tadi sama teman. Sekalian belanja bulanan. Kau lihat ini belanjaanku.”“Borong, Bang?” Badi yang bertanya, “Ada camilan nggak? Laper banget. Dari tadi nungguin Bang Ucok pulang.”“K
Narendra menguap bosan. Hari baru menjelang pukul sepuluh dan dia sudah menyelesaikan pekerjaan yang dikirimkan oleh Abimana. Tangan kanannya itu masih berisik memintanya untuk datang ke kantor tetapi tidak diacuhkan olehnya. Malas, tidak ada yang penting di kantor.Tidak tahu harus melakukan apa, dia membuka YouTube kemudian memilih untuk menonton video-video kucing. Melihat kelakukan lucu hewan kecil itu selalu berhasil membuatnya merasa hangat walau tidak berhasil mengusir rasa bosannya.“Bos, hari ini ada rencana apa?” Tanpa mengetuk, Badi masuk ke kontrakan petak Narendra.“Nggak ada,” Narendra fokus menatap langit-langit, “Aku nggak tahu mau ngapain. Bosan.”“Gimana kalau kita cobain makanan yang belum pernah Bos coba? Atau…hm, ngelakuin apa yang belum pernah Bos lakuin gitu?”“Apa? Ngelakuin apa?” Saat ini Narendra tidak ada bedanya dengan anak kecil yang merengek kebosanan.
“Hai, Agnia,” Narendra menyapa sambil tersenyum konyol, “Baru bangun?”Gadis itu mengangguk. Tanpa berucap sepatah kata pun, dia masuk dan menduduki sofa kosong.“Suntuk banget? Sudah sarapan?”“Belum,” gadis itu menatap ujung jari kakinya.“Mau aku buatin?”Setelah sebulan lebih menghuni kontrakan petak, Narendra akhirnya berhasil membuat roti bakar, telur orak-arik dan tomat yang dipanggang dengan menggunakan wajan anti lengket. Sejak itu dia sering membuat hidangan itu untuk sarapan. Agnia sudah pernah mencicipnya dan dia menyukai masakan pria itu.Agnia menggeleng dengan lesu.“Kamu kenapa, hm?” Narendra mengubah posisi duduk kemudian memperhatikan Agnia yang masih diam sambil menatap ujung jari kakinya.“Aku buatin sarapan. Selesai makan baru cerita, ya? Mau?”Gadis itu bergeming.Narendra tidak menunggu jawaban Agnia. D
“Kosong dia. Tadi aja ngeluh bosan,” Badi tersenyum konyol ketika melihat majikannya merangkul Agnia.“Iya. Tidak ada rencana apa-apa.”“Hm,” Agnia bergumam tidak jelas, “Tapi aku nggak enak nyusahin kamu terus.”“Sejak kapan kamu nyusahin aku?” Narendra mengusap pundak gadis itu dengan lembut, “Kamu nggak pernah nyusahin aku atau Badi atau Bang Ucok.”“Iya?” Gadis itu bertanya ragu.“Kamu yang bilang kalau tetangga harus saling bantu.”“Lebih dari tetangga kalau buat Narendra,” Badi meletakkan gitar di sudut ruangan, “Jadi kamu tenang aja. Mau kamu rusuhin kayak apa juga anaknya ikhlas aja.”Sementara Narendra berusaha terlihat tenang dan tidak terganggu dengan ucapan bodyguard-nya, Agnia menanggapi ucapan itu dengan serius.“Beneran, Ndra? Nggak apa kalau aku gangguin?”“Kap
“Bu,” Agnia berjongkok di samping kuburan ibunya, “Nia kangen. Kangeeen sekali.”Narendra berdiri di samping gadis itu. Dia tidak tahu harus melakukan atau berucap apa. Pria itu juga tidak ingin menganggu momen pribadi Agnia dan ibunya. Rasanya yang terbaik adalah berdiam dan memberi ruang seluas mungkin untuk gadis itu.“Aduh, Neng, kok, duduk di bawah,” seorang ibu-ibu paruh baya yang sepertinya pemilik kios bunga yang ada di dekat makan ibunya Agnia menghampiri mereka dengan membawa dua bangku plastik, “Ini, lho, duduk di sini aja.”“Terima kasih,” Narendra menjawab sambil menerima kursi pemberian penjual itu dan meletakan salah satunya di dekat Agnia agar gadis itu dapat duduk.“Udah lama Ibu nggak lihat Neng nggak jenguk ibunya. Sibuk banget, ya, Neng?”“Iya,” Agnia tersenyum, “Kapan itu saya datang juga Ibu lagi tutup.”“Oalaah. Iya, N
"Nia, kamu sudah selesai berganti pakaian?"Suara Narendra membuat Agnia yang sedang berada di kamar mandi segera melepas kimono sutra yang dikenakan ketika dia membersihkan riasan wajah dengan bantuan seorang asisten MUA yang diminta oleh Reinya untuk tinggal sampai setelah acara selesai. Gadis itu mengambil piyama yang diberikan oleh Calya khusus untuk Agnia dan Narendra. Piyama berbahan sutra itu merupakan salah satu brand mewah dan salah satu yang tertua di Inggris. Kualitasnya sudah tidak perlu dipertanyakan karena sekelas Ratu Elizabeth II saja mempercayakan pakaian tidurnya kepada mereka.Agnia tidak pernah menduga kalau hal tersulit yang harus dilakukannya setelah memutuskan menikah dengan Narendra adalah beradaptasi dengan begitu banyak priviledge yang tiba-tiba dimilikinya. Semua serba dapat dimiliki. Tidak hanya sekadar memiliki tetapi selalu yang terbaik. Apapun itu."Nia?" Terdengar ketukan pelan di pintu kamar mandi."Sebentar," tergesa gadis itu menggelung rambut kemudi
"Macam inilah! Sah udah kalian sekarang," Bang Ucok langsung menyapa ketika seluru prosesi akad nikah selesai. Penampilan pria berbadan besar itu terlihat berbeda hari ini. Seperti seluruh undangan pria, Bang Ucok juga mengenakan three piece suit. Amelia turut hadir juga terlihat menawan dengan whimsical garden-inspired maxi dress. Penampilan disempurnakan dengan rambut tergelung model french twist yang memamerkan leher jenjangnya."Akhirnya, Bang," Agnia tertawa kecil, "Sekarang Bang Ucok udah nggak perlu khawatir lagi sama aku, kan? Aku udah nggak sendiri lagi.""He! Macam manaa... tak mungkin aku tak khawatir sama kau. Adik akunya kau ini," Bang Ucok berpura-pura bersungut kesal, "Jangan sementang kau sudah nikah terus kau anggap tak peduli lagi aku sama kau, ya!"Narendra terkekeh memperhatikan interaksi antara Agnia dan Bang Ucok. Walau mereka sudah tidak lagi di kontrakan petak tetapi tidak ada yang berubah. Semuanya masih sama seperti dulu."Maaf, Bang," Narendra menyela percak
"Kamu yakin?""Ayah," Agnia hanya berpaling karena hiasan kepalanya cukup berat, "Ayah sudah berulang kali nanyain itu, lho. Mau Ayah tanya sampai seratus bahkan ribuan kali, jawaban Agnia tetap sama. Agnia yakin.""Tapi gimana kalau sampai tersebar? Memang pernikahan kamu private tapi tetap aja, di depan venue itu wartawan udah ngumpul kayak mau demo.""Memangnya kenapa kalau sampai nyebar?" Agnia menatap Kenny melalui cermin, "Ayah malu kalau sampai publik tahu aku ini anak ayah?""Bukan gitu," Kenny membalas tatapan Agnia, "Ayah bertanya karena Ayah nggak mau kamu menyesali kepuutusanmu.""Aku nggak akan nyesal, Yah," Agnia menjawab dengan yakin, "Percaya sama aku. Ini bukan keputusan impulsif. Aku udah mikirin ini dari lama. Dan itu keinginan aku. Pertanyaannya sekarang, apa Ayah mau ngelakuinnya atau nggak?""Tentu saja Ayah mau, Nia," Kenny menghampiri anak semata wayangnya dan meletakkan kedua tangan di bahu Agnia yang terbuka karena kebaya pernikahannya memiliki leher yang cuk
Narendra menatap pantulan diri pada cermin sambil menghembuskan napas dengan pelan. Dirinya terlihat sempurna dengann three pieces suit warna kelabu yang dipilihkan Agnia untuk hari istimewa ini. Kekasih yang akan segera menjadi istrinya itu mengatakan kalau kelabu merupakan warna yang hangat, dan itu sesuai dengan apa yang dirasakannya setiap kali berada di dekat Narendra. Sebagai seorang pria, Narendra menyerahkan sepenuhnya kepada Agnia.Ketika gadis itu meminta agar pernikahan mereka dilakukan secara private dan hanya mengundang keluarga dekat serta sahabat, Narendra juga dengan segera menyetujuinya. Beruntung keluarga besar mereka mau berkompromi. Walau pernikahan akan dirayakan secara sederhana tetapi resepsi akan diselenggarakan besar-besaran dan mengundang seluruh kenalan mereka. Agnia yang menyadari posisi mereka, Narendra merupakan pewaris keluarga Widjaja dan dirinya yang merupakan selebritas, setuju dengan itu."Narendra," Asija bersama dengan Reinya memasuki ruangan yang
"Lo gila," Abimana masuk ke ruang kerja Narendra sambil menggulirkan jari di tablet."Ada apa?" Narendra masih sibuk memperhatikan layar ponselnya. Dia sedang memeriksa portofolio saham miliknya sambil beristirahat dari memeriksa berbagai dokumen pekerjaan.Ketika Narendra kembali dari Seoul kemarin, dia disambut dengan tumpukan dokumen di meja kerja. Hanya dua hari tetapi tumpukan dokumen itu seakan Narendra sudah tidak mengantor selama berbulan-bulan. Seandainya bisa, dia ingin mengabaikan dokumen-dokumen itu. Tetapi tentu saja dia tidak dapat melakukannya karena ada tanggung jawab yang dipikul di bahunya.Asija menanggapi keputusan Narendra yang akhirnya setuju untuk menjadi pewaris Widjaja Group dengan serius. Walau pria itu mengatakan akan menggantikan Asija beberapa tahun lagi, pria paruh baya itu dengan cerdik mulai mengalihkan pekerjaan dan tanggung jawabnya kepada Narendra. Tentu saja Narendra tahu apa yang dilakukan oleh ayahnya tetapi dia tidak merasa keberatan dengan itu.
"Woaa!" Lee Jieun, aktris yang menjadi salah seorang lawan main Agnia di serial yang bekerja sama dengan Netflix itu memasuk lobi sambil berseru tidak percaya, "Mereka penasaran sekali sama kalian, ya!"Setelah Agnia, aktris berikutnya yang tidak di red carpet adalah Lee Jieun. Sayangnya, beberapa pewarta masih penasaran mengapa Agnia ditemani oleh Narendra sehingga mereka masih melontarkan pertanyaan itu berulang kali. Berkat pengalaman panjang menjadi aktris dan penyanyi, dengan cepat Lee Jieun dapat mengendalikan suasana dan menarik perhatian para pewarta. Setelah meladeni permintaan untuk berfoto dan menjawab pertanyaan yang dilontarkan serta berbincang dengan MC, gadis itu memasuki lobi gedung tempat acara digelar dan segera menyapa Agnia yang kebetulan masih belum memasuki ruangan tempat acara akan berlangsung."Eonnie," Agnia tertawa penuh rasa bersalah. Seharusnya spotlight hari ini milik Lee Jieun yang merupakan aktris utama di serial yang mereka bintangi. Tetapi karena kehad
"Surprise!" Narendra tertawa kecil sambil menjawil hidung kekasihnya, "May I be you plus one?""Ren... dra?" Agnia masih tidak percaya kalau pria yang sudah menunggu di mobil adalah kekasihnya, "Kamu ngapain di sini?""Jadi plus one kamu. Boleh?" Narendra masih menatap kekasihnya sambil tersenyum, "Shit! I really want to kiss you but it will ruins your lipstick."Sisa kebingungan Agnia menghilang dan berganti dengan tawa, "Kamu udah nggak ketemu aku lama terus itu kalimat pertama kamu?"Narendra masih tersenyum tanpa rasa bersalah sama sekali, "Seaneh itu? Bagian mana yang aneh dari seorang pria yang ingin mencium kekasihnya?""Bukan aneh," Agnia masih tertawa, "Tapi aku nggak nyangka kalau itu yang bakalan kamu ucapin setelah kita nggak ketemu selama beberapa minggu.""Beberapa minggu?" Senyuman masih tersisa walau sekarang pria itu mengernyit bingung, "Bukannya beberapa hari lalu kita baru bertemu, ya?""Beberapa hari?" Agnia berpiki selama beberapa saat, "Aaah! Aku ingat! Astagaa,
Suara ketukan disusul dengan seseorang gadis membuka pintu kamar hotel yang digunakan Agnia sejak beberapa malam lalu. Gadis berheadset dan memeluk clipboard berdiri di ambang pintu."Selamat siang Nona Agnia," senyumnya merekah sempurna, "Kita sesuai dengan jadwal. Lima menit lagi Anda sudah harus turun. Mobil yang akan mengantarkan Anda ke lokasi sudah siap."Agnia yang berdiri di tengah ruangan dan dikelilingi oleh begitu banyak orang dengan kesibukan masing-masing hanya dapat menoleh sambil tersenyum kemudian menganggukkan kepala. Dia tidak dapat melakukan lebih dari itu. Penata busana sedang memastikan seluruh lekuk tubuh artisnya menonjol dengan tepat tanpa ada kerutan atau lipatan yang merusaknya. Asisten penata busana sudah menyodorkan entah pasangan sepatu ke berapa untuk dicobanya. Hairdresser sejak tadi memastikan kalau rambut Agnia sempurna sesuai dengan keinginannya sementara make up artist yang dipercaya oleh artis muda itu sedang melakukan retouch pada beberapa bagian w
"Paman Leo," Narendra tersenyum ketika melihat pria paruh baya yang sudah berpuluh tahun bekerja di tailor yang sudah menjadi langganan keluarga besar Widjaja. "Saya tidak pernah menyangka kalau saya masih diberi kesempatan untuk mengukur dan menyiapkan suits untuk pernikahan Anda," Leo menyapa dengan ramah. "Paman pasti masih menganggapku anak kecil," Narendra terkekeh. "Kebiasaan orang tua," dengan hati-hati Leo mengarahkan Narendra yang ditemani Abimana dan Badi untuk berjalan ke bagian belakang yang lebih tertutup, "Rasanya baru kemarin Anda ke sini untuk pengukuran suits pertama. Bahan wol, warna kelabu. Three pieces dengan celana pendek." "Untuk ulang tahun pernikahan Papa dan Mama," Narendra menyambung, "Saya juga masih mengingatnya dengan baik, Paman." Selama beberapa saat Leo berdiri sambil menatap Narendra. Tatapannya penuh dengan kenangan bercampur kebanggaan. Dia sempat larut sebelum menyadari kalau ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Dengan cepat dia mengeluarkan