“Enak?” Agnia bertanya sambil menatap Narendra yang sedang menikmati makan malamnya.
Seperti yang dijanjikan Agnia membawa nasi uduk untuk tiga pria tetangga kontrakan petaknya. Saat ini mereka berlima sedang berkumpul di kontrakan petak Narendra. Entah sejak kapan, kontrakan pria itu sudah menjadi tempat berkumpul mereka.
“Maaak! Rendra aja yang kau tanya sekarang? Tau kau anggap lagi abang kau ini?” Bang Ucok yang baru saja kembali dari dinas luar kota bertanya dengan mulut penuh nasi uduk.
“Jorok, Bang! Telan dulu itu,” Agnia tertawa sambil melempar tisu yang sudah dibulat-bulatkannya ke arah tetangganya itu, “Aku tanya Rendra kaarena dia belum pernah nyobain nasi uduk di situ. Padahal terkenal banget, kan?”
“Tak aneh. Rendra itu macam hidup dalam batok kelapa. Tak tahu apa-apanya dia itu!” Bang Ucok kembali berkomentar, kali ini setelah mengosongkan mulutnya.
“Enak,” Narend
"Ibuk kenapa ke sini? Badi udah bilang kalau Hanny butuh beberapa hari buat nenangin diri, kan?""Lah ya gimana. Nggak tenang Ibuk. Kepikiran terus. Kalau di Ibu kota lebih gampang anak itu terjerumus.""Terjerumus apa, sih, Buk? Hanny itu nggak aneh-aneh, kok.""Kamu jangan belain adik kamu, ya. Nggak usah kamu sembunyiin. Ibu udah tahu, ya! Dia itu jual diri! Sedih Ibuk. Kecewa juga. Salah Ibuk di mana? Kok bisa dia begitu? Apa yang kurang dari cara Ibuk mendidik dia? Sama aja Ibuk didik kamu dan dia. Tapi kok ya..""Buk, Hanny nggak pernah jual diri. Nggak mungkin dia mau melakukan itu. Ibuk kayak nggak kenal sama anak sendiri."Wanita paruh baya itu menghela napas panjang. Untuk pertama kalinya sejak Sang Ibu tiba, Badi memperhatikan raut wajah beliau. Wanita itu seakan terlihat beberapa tahun lebih tua sejak terakhir mereka melakukan video call. Padahal itu baru seminggu lalu. Mungkin kekecewaan karena salah paham itu membuat beliau terlihat m
Hanny duduk diam di ruang tengah kontrakan petak Agnia. Gadis itu melipat kedua kaki sambil menahan air matanya. Matanya sudah memanas sejak tadi. Tetapi dia tidak ingin menangis di depan orang lain. Dia tidak ingin membuat orang lain mengkhawatirkan dirinya.“Kamu nggak apa-apa?” Agnia bertanya sambil melesakkan diri ke sofa di samping Hanny.“Nggak apa-apa,” gadis itu menjawab pelan.“Bener?” Agnia mengusap bahu Hanny dengan lembut, “Kalau kamu apa-apa juga nggak apa-apa, lho. Wajar kamu kaget dan marah karena tiba-tiba diteriakin kayak tadi, kan?”“Aku nggak marah,” suaranya semakin parau, “Aku merasa bersalah sama Ibuk.”“Kenapa?” Dengan hati-hati Agnia bertanya.“Omongan Bang Ucok bikin aku mikir. Seharusnya aku nggak langsung marah, kan? Ibuk juga punya alasan kenapa langsung nuduh gitu.”“Nggak cuma itu. Semalam aku juga sempat
“Kenapa aku tidak dikabari terkait pergantian sutradara?”Narendra dan Abimana sudah berbicara selama hampir satu jam. Mereka sudah selesai membicarakan berbagai hal terkait pekerjaan ketika pertanyaan itu meluncur dari mulut Narendra.“Sutradara apa?” Abimana menjawab sambil menahan kuap. Tidak aneh mengingat sekarang sudah hampir pukul tiga pagi.“Sutradara apa lagi? Proyek film itu.”“Oh!” Dia langsung memperbaiki duduknya, “Belum pasti.”“Belum pasti tapi para kru dan pemain sudah tahu?”“Memangnya mereka udah tahu?” Sepupunya malah balik bertanya.“Kamu pikir aku tahu dari mana? Aku dapat informasi ini dari Agnia.”“Besok gue cari tahu siapa yang bocorin. Itu harusnya confidential karena sampai sekarang belum ada pembicaraan official.”“Can you give me an update?” Nada su
“Habis dari sini mau ke mana lagi?”Narendra bertanya ketika melihat Agnia sudah selesai berdoa. Gadis itu bangkit dan menoleh ke arah Narendra yang sejak tadi menemaninya dalam diam. Pria itu hanya mengucapkan salam kepada ibu Agnia setelah itu membiarkan dia bercerita dan mengungkapkan apa yang ingin gadis itu curahkan kepada ibunya.“Nggak tahu,” Agnia tertawa kecil, “Kamu punya ide?”“Hm…” Narendra bergumam sambil memeriksa ponsel, “Nggak ada. Kamu yang lebih tahu kota ini daripada aku.”Lagi, Agnia tertawa, “Tapi aku beneran nggak tahu mau ke mana lagi.”“Mau balik aja ke kontrakan? Tapi nggak ada siapa-siapa.”Pagi-pagi sekali Bang Ucok sudah keluar. Katanya dia ada janji dengan Amelia. Mereka akan kembali mencari apartemen karena sampai sekarang gadis itu masih belum menemukan apartemen yang cocok. Bang Ucok sampai curiga kalau Amelia tidak bena
“Jadi kita bakalan nonton apa?” Agnia bertanya sambil masuk ke kontrakan petak Narendra.Sekitar setengah jam yang lalu mereka kembali ke kontrakan petak. Agnia langsung ke kontrakan petaknya untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Begitu juga dengan Narendra. Setelah memastikan motornya terparkir dengan aman, dia langsung mandi, berganti pakaian dan menyulap ruang tengah agar lebih nyaman untuk acara Netflix-an mereka.Sofa yang bisa berada di tengah ruangan sudah digeser hingga mepet dinding. Sekarang di bagian tengah sudah tergelar kasur lipar . Dia mengeluarkan menya lipat kecil kemudian meletakkan berbagai camilan dan makanan ringan yang sudah dipesan berikut minuman botol pilihan mereka. Setelah itu dia memasangkan smart stick untuk mengubah TV menjadi smart TV dan membuka aplikasi Netflix.“Kamu kelihatan santai banget,” Narendra tidak tahan berkomentar ketika melihat Agnia hanya mengenakan oversized
“Apa lah pula maksudnya! Sakit kepala aku dibikinnya!”Suara itu yang menyambut ketika Narendra mengintip ke luar dari jendela kontrakan petaknya. Malam sudah mulai turun sehingga dia membutuhkan waktu sebelum dapat menangkap sosok Bang Ucok yang duduk di teras kontrakan petaknya. Pria itu sepertinya beru pulang karena lampu teras kontrakan petaknya belum menyala.“Nia,” Narendra melambai seakan meminta gadis itu untuk mendekat.Tanpa menunggu waktu, gadis itu segera menghampiri kekasihnya. Dia berdiri di depan Narendra dan melihat ke arah yang ditunjuk oleh pria itu.“Bang Ucok?” Suaranya nyaris berbisik.“Sepertinya sedang ada masalah,” samar mereka dapat mendengar gerutuan Bang Ucok, “Kencan kita ditunda dulu tidak apa-apa?”Gadis itu menghela napas. Dia kecewa. Tentu saja. Setelah ciuman tadi dia sudah membayangkan kalau malam ini mereka akan…lupakan. Dia tidak boleh egoi
“Capek,” Narendra mengeluh sambil melepas seragam kerjanya.Hari ini dia sudah tidak lagi training di gudang. Timnya dipindahkan ke bagian depan, langsung berhadapan dengan pelanggan. Mereka berpikir kalau bekerja melayani pelanggan lebih mudah daripada pekerjaan di gudang. Ternyata dugaan mereka salah besar.Sepanjang hari mereka tidak berhenti mondar-mandir mencarikan barang yang diinginkan oleh pelanggan. Karena belum menghapal posisi barang, pekerjaan ini menjadi berkali lipat lebih besar. Tidak hanya mondar-mandir mencarikan barang, mereka juga harus beberapa memeriksa stock ketika pelanggan tidak menemukan barang yang dibutuhkan.Sejak pukul sepuluh, Narendra sudah ingin mengeluh. Tetapi dia menelan kembali keluhannya ketika melihat teman-teman dan pegawai senior. Meski pekerjaan ini melelahkan, para pegawai senior sama sekali tidak terlihat menekuk wajah. Mereka tersenyum dengan tulus ketika berhadapan dengan pelanggan.
“Bos!” Badi melambai ketika melihat sosok Narendra di antara pengunjung stasiun kereta api lainnya.Narendra yang melihat lambaian itu langsung berjalan cepat menghampiri bodyguard dan keluarganya. Pria itu tersenyum kemudia mencium tangan Miranti. Terdengar aneh tetapi seluruh keluarga Widjaja dibesarkan dengan tata krama tanpa cela. Orang tua, siapapun mereka harus dihormati.“Untung masih sempat. Tadi macet,” Narendra sengaja memberantaki rambut Hanny yang segera membuat gadis itu memberengut kesal, “Ibuk dan Hanny senang menginap di W Hotel?”“Seneng banget, Mas Bos! Mana kita boleh nyobain semua fasilitasnya terus makan sepuasnya. Tapi Ibuk susah makan karena nggak cocok sama selera Ibuk.”“Iya,” Miranti tersipu, “Ibuk kan orang desa, jadi nggak terbiasa makan yang begitu-begitu.”“Tapi, Mas Bos! Pegawai Mas Bos keren banget! Pas mereka tahu, mereka langsung