“Kayak ada yang beda tapi apa, ya?” Agnia bukannya ke kontrakan petaknya, dia malah memilih untuk ke kontrakan petak Narendra.
“Hei, kamu sudah pulang?” Narendra yang sedang mengepel langsung berhenti dan menoleh ke arah pintu, “Cepat. Lancar syutingnya?”
“Lancar, kok,” kekasihnya tertawa kecil, “Bang Kenny ngebubarin kita lebih cepat karena scene-nya udah beres semua terus kita harus siap-siap buat pindah syuting ke luar kota minggu depan. Kamu lagi bersih-bersih?”
“Iya. Calya alergi debu,” pria itu tersenyum sambil mengacak rambut Agnia, “Kamu pasti capek. Mau aku belikan makan malam apa?”
“Aku udah makan tadi sama Calya. Kita ditraktir sama Fred. Salah satu MUA yang seneng banget sama Calya.”
“Senang bagaimana?”
“Katanya dia kayak punya adik yang selama ini dia harapin,” Agnia kembali tertawa, “Aku tuh kad
“Ngapain kau di teras jam segini?!”Menjelang pukul sepuluh malam Bang Ucok baru kembali ke kontrakan petak. Pria itu terlihat letih walau suasana hatinya masih cukup baik. Hari ini pekerjaannya berjalan lancar walau banyak yang harus dikerjakannya.“Menunggu Abang pulang,” Narendra tersenyum ke arah tetangganya itu.Jawabannya tidak sepenuhnya salah. Dia memang sedang menunggu Bang Ucok sekalian mengawasi sekitar kontrakan petaknya. Sesuai dengan janji, ketiga penyusup itu tidak lagi berada di kawasan ini untuk mengintainya. Narendra sudah mengantongi jawaban yang dibutuhkannya.“Kenapa kamu nungguin aku? Ada hutang aku sama kau?” Pria itu melontarkan candaan yang sayangnya ditanggapi Narendra dengan serius.“Tentu saja Abang tidak memiliki hutang kepadaku,” pria itu menjawab santai walau terdengar serius, “Aku menunggu untuk melanjutkan percakapan kita tadi pagi.”“Yang mana
“Kak Rendra!” Calya menggedor pintu kamar Narendra sebelum masuk dan langsung lompat ke tempat tidur kakaknya.“Ck,” Narendra hanya berdecak kesal karena tidurnya diganggu oleh sang adik, “Masih pagi, Calya.”“Justru karena masih pagi makanya aku bangunin. Aku bosan, Kak Agnia udah berangkat dari subuh. Katanya hari ini aku nggak boleh ikut karena bakalan sampai malam banget.”“Cuma itu alasannya?”Calya menatap kakaknya sebelum menghela napas, “Nggak cuma itu, sih. Kemarin aku sempat diisengin sama beberapa aktor gitu.”“Diisengi seperti apa maksud kamu?” Sisa kantuknya sudah terbang tak bersisa mendengar ucapan Calya.“Yaaa…digodain itu, Kak. Tapi Kakak tenang aja, tadi aku langsung ngelawan. Pokoknya aku bikin mereka jera!”“Benar?”“Iya, Kak! Aku langsung tending bagian itunya,” Calya tertawa kecil,
“Jadi apa yang mau kamu bicarakan?”Narendra langsung bertanya serius setelah waitress menjauhi meja mereka. Selesai bersepeda di seputaran kota tua, sesuai keinginan Calya, mereka berakhir di tea house yang berada di salah satu sudut kota tua.Calya menyesap the pesanannya sambil tersenyum, “Sejak kapan Kakak tahu kalau aku ngajak Kakak sepedaan karena ada yang mau aku obrolin?”“Sejak awal,” Narendra terkekeh, “Aku terlalu mengenalmu, sissy. Menebak tujuanmu adalah hal paling mudah. Jadi apa yang ingin kamu bicarakan?”“Latar belakang Kak Agnia,” Calya meletakkan kembali cangkir tehnya, “Kak Bimasakti udah ceritanya banyak ke aku tentang latar belakang keluarga Kak Agnia. Aku tahu kalau Om Kenny kemungkinan besar adalah ayah Kak Agnia.”Pria itu mengangguk sambil melirik ke arah Badi yang duduk beberapa meja dari mereka, “Ya. Dan s
“Kak, kamu nggak mau cerita ada kejadian apa kemarin di kontrakan petak?”“Kejadian apa?” Narendra menghabiskan camilan yang tersisa di atas meja.“Aku udah bukan anak kecil, ya,” Calya memberengutkan kedua pipinya, “Aku bisa lihat kalau sofa kamu baru dan ada sisa aroma disinfektan yang biasa dipakai sama jasa kebersihan profesional langganan kita. Ngaku aja, deh, Kak!”“Tidak terjadi apa-apa,” Narendra menghabiskan teh kemudian melambaikan tangan meminta waitress untuk menggantinya dengan teh baru yang masih panas.“Ayolah, Kak! Masa rahasiaan sama aku, sih? Aku kesal lho, ini!”Narendra tergelak, “Tidak terjadi apa-apa. Hanya ada beberapa penyusup tapi sudah ditangani oleh Badi. Mereka juga sudah dibereskan oleh tim keamanan kita. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”“Kak! Itu masalah besar, ya!” Walau berbisik tapi gadis itu menekan s
“Ada apa?”Narendra baru terbangun ketika dia membaca pesan yang dikirimkan oleh kekasihnya. Agnia memintanya untuk segera mengunjungi kontrakan petaknya jika pria itu sudah bangun. Sedetik setelah membaca pesan itu, Narendra sudah berada di kamar mandi untuk membersihkan diri kemudian tergesa mengenakan kaos dan celana pendek selutut. Hanya dengan beralaskan sandal jepit pria itu berkunjung ke kontrakan petak kekasihnya.“Kamu udah bangun?” Agnia malah balas menjawab sambil tersenyum lebar, “Kirain masih entaran bangunnya.”“Kamu pikir aku bisa tidur lagi atau setidaknya bermalas-malasan setelah membaca pesan yang kamu kirimkan?”Tawa renyah gadis itu seketika pecah, “Maaf. Aku nggak bermaksud bikin kamu khawatir atau panik.”“Lalu?” Narendra duduk di salah satu kursi makan milik Agnia.“Kirain kamu bakalan bangun agak siang. Aku takut mie buatanku udah membengkak
“Wah, wah, akhirnya…tuan muda super sibuk sampai juga di sini.”Rajasena yang sedang bersantai di halaman belakang rumahnya bersama Masyha, sang istri, dan Elena, anak bungsunya yang baru berusia lima tahun, langsung berdiri dan menyambut kedatangan Narendra.“Tuan muda apa?” Narendra terkekeh sambil balas memeluk kakak tertuanya, “Bertiga aja? Allen mana?”“Wah, keajaiban, nih, kamu bisa ingat nama keponakan,” Masyha ikut berdiri kemudian bergantian memeluk adik iparnya, “Udah di-briefing sama Abimana?”Narendra tertawa malu mendengar ucapan Masyha, “Kalian nggak jetlag? Baru sampai kemarin, bukan?”“Allen masih di Zurich. Katanya mau ke Interlaken karena kemarin bareng aku nggak bisa ke mana-mana.”“Sendirian?” Narendra masih tidak percaya kakaknya mengizinkan anak pertamanya berlibur seorang diri. Walau dia tahu keponak
Bang Ucok berjalan menyusuri koridor berdinding panel kayu kualitas terbaik. Pria itu yakin sehelai panel kayu itu seharga rumah berukur kecil di ibukota. Sesekali panel kayu akan berganti dengan lukisan karya para maestro. Bang Ucok tidak memiliki pengetahuan yang cukup terkait lukisan tetapi dia yakin berduit saja tidak cukup untuk memiliki lukisan-lukisan itu.Sambil terus berjalan mengikuti pegawai lounge ini, Bang Ucok semakin yakin kalau orang yang akan ditemuinya nanti jauh dari kata orang biasa. Lokasi pertemuan yang dipilih pria itu merupakan salah satu lounge mewah yang dikhususkan hanya untuk para anggotanya. Tidak sembarang orang dapat menjadi anggota lounge ini. Uang saja tidak cukup. Kekuasaa, uang dan koneksi. Hanya mereka yang memiliki ketiga hal itu yang dapat menjadi anggotanya.Pria berbadan besar itu tak habis pikir. Bagaimana seorang Rendra dapat mengenal seseorang dengan posisi sehebat ini?Dan … siapa yang
“Kenapa sekaget itu, Bang?”Bang Ucok tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Yang ada di hadapannya saat ini adalah tetangga kontrakan petaknya, Narendra. Tetapi entah bagaimana pria itu terlihat sangat berbeda. Bukan karena pria itu"mengenakan kemeja putih yang hanya dengan sekali lihat Bang Ucok tahu kalau harganya tidak masuk akal sanking mahalnya dipadu dengan celana bahan yang licin sempurna tanpa kerut yang menodai kesempurnannya.“Bang?” Narendra terkekeh, “Apa aku terlihat begitu berbeda?” dengan santai dia berbalik ke arah pria tua yang masih membersihkan pisau cukurnya, “Aku aku terlihat sangat berbeda?”Pria tua itu hanya tertawa kecil, “Tentu saja tidak. Saya hanya merapikan sedikit rambut Anda dan mencukur saja. Mungkin teman Anda bisa melihat yang tidak terlihat?”Selorohan pria tua itu membuat Narendra dan Abimana tergelak bersama.“Terima kasih untuk bantuk